Tuesday, November 27, 2007

Sebuah Tanya Untuk Gerakan Dan Pers Mahasiswa Unlam?

Oleh:
Budi Kurniawan (Pendiri dan mantan Pemimpin Umum Tabloid Mahasiswa INTR-O, tinggal di Jakarta. E-mail: budibanjar@yahoo.com)

Dalam sejarah pergerakan menumbangkan kekuasaan lalim dan korup, mahasiswa selalu turut serta. Tak lengkap rasanya jika bicara gerakan rakyat, mahasiswa tidak turut dibicarakan. Di belahan dunia lain di luar Indonesia, hal ini pun terjadi. Memang ada gerakan yang berhasil menumbangkan kekuasaan, tapi ada juga yang tersungkur. Tapi paling tidak mahasiswa selalu turut serta dalam hampir semua babakan sejarah pergerakan.

Di Indonesia pun mahasiswa punya peran besar. Mereka sering menjadi lokomotif perubahan untuk menjadi lebih baik. Sayangnya ketika kekuasaan yang mereka tentang tumbang, lalu melahirkan rezim baru, hampir semua substansi perjuangan yang dikibarkan mahasiswa hilang tak berbekas dan terbang entah kemana.

Beberapa mahasiswa yang menjadi ikon gerakan turut masuk dalam lingkaran kekuasaan. Seiring waktu mereka kemudian hidup gembira berlimpah kemewahan, kekuasaan. Tapi ada juga sebagian mahasiswa yang tetap menjaga jarak dengan kekuasaan dan memilih hidup sebagai orang biasa. Hidup normal kembali di tengah masyarakat setelah misi gerakan mereka tercapai.

Sejarah kontemporer Indonesia ketika gerakan mahasiswa Angkatan 1966 menumbangkan kekuasaan Bung Karno, menunjukkan dengan jelas fluktuasi gerakan mahasiswa dan pelakunya. Beberapa mantan aktivisnya --lokal dan nasional-- masuk dalam pusaran kekuasaan. Mereka memperoleh semua kemudahan dalam bentuk menjadi menteri, anggota parlemen dan pengusaha yang disokong habis-habisan oleh kekuasaan yang turut mereka bangun dan lahirkan. Beberapa aktivis lainnya memilih tetap terus kritis dan menggugat rezim yang mereka lahirkan dari luar. Namun nasib mereka umumnya tak terlalu bagus secara ekonomi dan politis. Dalam hal ini Soe Hok Gie menjadi salah satu ikonnya.

***

Gerakan mahasiswa Indonesia yang terjadi tak bisa dilepaskan dengan peran pers
mahasiswa ketika itu. Pers mahasiswa menjadi medium strategis untuk menyosialisasi gerakan. Berita yang diliput, ditulis, dicetak dalam bentuk sederhana dan diedarkan dengan cara yang sederhana pula, mampu menjadi energi luar biasa bagi kalangan mahasiswa pergerakan.

Ketika kekuasaan yang ditentang mahasiswa dan aktvis persnya tumbang, dalam konteks lokal beberapa tokoh pers mahasiswanya memilih untuk berada di luar kekuasaan. Mereka kemudian menerbitkan beberapa koran lokal seperti Banjarmasin Post (didirikan oleh Djok Mentaya, HG Rusdi Effendi AR cs), Media Masyarakat (Anang Adenansi cs),
Dinamika Berita --kini menjadi Kalimantan Post (didirikan Djohar Hamid) dan beberapa media lokal lainnya.

Walaupun pada awalnya menjaga jarak dengan kekuasaan Orde Baru, karena tekanan
yang sangat kuat beberapa tokoh pers ini terpaksa pasrah. Dalam sebuah pembicaraan dengan mantan aktivis 66 di Universitas Lambung Mangkurat (Unlam), seorang di antaranya berkisah tentang kuatnya tekanan Orba kepada mereka.

Karena berpikir panjang dan berbuat banyak untuk anak buah yang jumlahnya ratusan, mantan aktivis 66 itu terpaksa mengiyakan tekanan kuat kekuasaan melalui Menteri Penerangan Harmoko ketika itu.

Tindakan ini tentu punya nilai plus ketika dilihat pada strategi gerakan. Artinya, keterpaksaan itu dilakukan untuk kepentingan yang lebih luas, penuh perhitungan dan bermuara pada kepedulian terhadap anak buah beserta 'periuk nasi' yang mereka perjuangkan. Jadi tak ada yang salah untuk memilih strategi gerakan yang djalankan. Bertahan selangkah untuk melaju beberapa langkah, rasanya tidak salah.

Langkah strategis itu kini berbuah juga. Beberapa koran lokal yang didirikan
mantan aktivis mahasiswa hingga kini berkibar sukses. Walaupun masuknya beberapa investor luar ke dalam industri pers lokal tak bisa dikesampingkan.

***

Memasuki era 1990-an, pers mahasiswa tetap tumbuh subur. Atmosfir politik
ketika itu turut menghidupi pers mahasiswa. Mereka tumbuh menjadi pers alternatif, tempat berita yang tidak berani disentuh pers umum. Ketika itu orang hanya bisa mendapatkan berita yang kritis, berani, komprehensif dan menyentuh berbagai isu berbahaya, hanya ada di pers mahasiswa. Pers mahasiswa bergerak dengan cara klandestein dan underground.

Pengalaman penulis ketika bersama kawan-kawan di pers mahasiswa (Tabloid Mahasiswa INTR-O) pada era 1990-an menunjukkan, betapa mengasyikkannya menulis berita berbahaya. Dominasi tentara melalui Dwi Fungsi ABRI, kekuasaan sentralistik Orba dan lainnya bisa ditulis dengan sangat berani dan terbuka. Namun risiko seperti dipanggil dan 'diwanti-wanti' petinggi militer dan kepolisian lokal, juga birokrat Departemen Penerangan sering terjadi. Tapi karena idealisme yang terus menggelora, membuat semua 'wanti-wanti' itu dianggap angin lalu yang lindap begitu saja.

Tapi anehnya di kalangan mahasiswa sendiri, berita penuh idealisme lengkap dengan panji anti kekuasaan yang korup itu justru tidak populer. Yang populer malah berita yang ngepop, gaul, berbau seks dan misteri. Untuk menyiasati pasar demikian, aktivis pers mahasiswa di Tabloid Mahasiswa INTR-O memilih untuk meniti buih berita.

Sebagian berita tetap berbau idealisme dan perjuangan, tapi di sisi lain berita yang lebih ngepop tetap dikedepankan. Hasilnya pasar menerima itu. Hingga kini di usianya yang ke-13, INTR-O tetap bertahan dan menjadi satu-satunya tabloid mahasiswa yang terus berkiprah.

***

Di tengah kembalinya peran pers mahasiswa di Unlam, hal yang berbanding terbalik justru terjadi pada gerakan mahasiswanya. Gerakan mahasiswa Unlam kini seolah lindap begitu saja. Kalau pun ada, hanya dalam tataran yang tidak terlalu luas. Hanya ergerak pada isu lokal.

Ini bukan hal aneh. karena sudah menjadi fenomena fase gerakan mahasiswa. Pada era 1920-an, gerakan mahasiswa bergerak menentang kekuasaan penjajah. Isu yang mereka usung pun bergerak di dataran itu. Pada era 1940-an, gerakan mahasiswa tak jauh berbeda dengan sebelumnya. Mereka menentang penjajahan dan bermuara pada kemerdekaan Indonesia. Pada era 1960-an ketika kemerdekaan sudah diraih, mahasiswa bergerak menentang kekuasaan yang mereka lihat korup. Ketika kekuasaan tumbang, mereka turut mereguk berkah.

Memasuki era 1970-an, gerakan mahasiswa berada dalam lingkaran menentang kekuasaan dan dominasi modal asing. Di sela isu itu, beberapa kali gerakan mahasiswa bergerak pada tataran lokal kampus. Mereka mulai menentang prilaku kampus yang dianggap tidak adil. Mereka memprotes minimnya sarana, prasarana dan biaya kuliah yang tinggi.

Fenomena ini terus berlangsung hingga era 1980-an. Tapi beberapa elemen gerakan
juga mulai bergerak ke luar kampus. Mereka memprotes berbagai tindakan korup dan lalim penguasa pada rakyatnya. Penggusuran tanah pertanian untuk keperluan lapangan golf, perumahan mewah, waduk dan lain sebagainya adalah beberapa tindakan yang ditentang mahasiswa.

Memasuki era 1990-an, gerakan ini terus berlangsung di dataran yang sama. Akumulasi gerakan ini kemudian pecah pada 1998 ketika Soeharto, kekuasaan yang turut dilahirkan mahasiswa, tumbang. Sejarah kembali berulang. Reformasi yang dituntut mahasiswa ternyata tak banyak berbuah. Kekuasaan yang silih berganti kemudian justru kian menjauh dari idealisme gerakan yang dilahirkan mahasiswa.

Kekuasaan kembali cenderung korup. Mahasiswa kembali ditinggalkan kekuasaan. Beberapa elemen gerakan memilih kembali ke kampus, menjadi insan intelektual dan tak lagi terlibat pada perebutan kekuasaan dan hingar-bingar politik lainnya.

Pasca 1998, gerakan mahasiswa kembali meredup. Mahasiswa memilih bergerak di kampus sambil sesekali mengusung isu berdataran luas. Ini terjadi karena memang atmosfir yang berkembang di masyarakat tak lagi bisa menjadi lahan subur bagi pergerakan mahasiswa, seperti yang sudah-sudah terjadi. Reformasi yang diperjuangkan mahasiswa membuahkan keterbukaan di segala bidang. Semua orang kini menjadi berani. Orang yang semula 'maling', kini bisa meneriaki orang lain 'maling'. Semula berpihak pada kekuasaan korup, kini bisa meneriaki orang lain korup. Perilaku buruk Orba turut merembesi mahasiswa dengan berbagai kepentingan.

Kini ketika fase gerakan dan pers mahasiswa turun tensinya, kehadiran Tabloid
Mahasiswa INTR-O semoga saja bisa menjadi titik picu kembalinya kejayaan
mahasiswa yang pernah gilang-gemilang dan dicatat sejarah, bisa terulang.
Bahkan dalam konteks dan dataran yang lebih kuat dan luas. Walau gerakan dan
pers mahasiswa kini berada di ujung senja, semoga saja senja yang tercipta
bukan senja yang muram. Tapi senja yang indah penuh jingga dan merah, yang
tercipta.

Sunday, November 11, 2007

Lepas Belenggu di Taman Sunyi



Patung ini dibuat atas perintah Bung Karno. Ia menggambarkan kebebasan Irian (Bung Karno memberi nama bagi pulau ini sebagai akronim Ikut Republik Indonesia Anti Nederland --kini Papua-- dari tangan Belanda. Kini patung ini "kesunyian" di sekitar Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Taman tempat patung ini berdiri kini sepi. Kebijakan pemerintah Jakarta yang mengubah desain lalu lintas di kawasan ini membuat "Kebebasan" --juga kebebasan Papua-- berada di ujung sunyi.

Friday, November 9, 2007

Pahlawan dan The Last Man Standing

Oleh : Budi Kurniawan (Alumnus FISIP Unlam. Penulis buku, tinggal di Jakarta. E-mail: budibanjar@yahoo.com)

“Turunkan tangan kau Jenderal! Tak pantas kau menghormat pada mereka!”
“Umar, apa betul mereka yang dikubur di sini semua pahlawan?”


Permintaan memelas kepada patung Jenderal Sudirman yang berdiri kokoh membelah sebuah jalan protokol di Jakarta, dan pertanyaan pada Umar si tukang bajaj bersahaja, ini menjadi garis paling tebal dalam film Naga Bonar Jadi 2 yang dibintangi maestro Dedy Mizwar. Permintaan memelas dan pertanyaan ini menjadi ironi ketika menyaksikan hidup dan kehidupan yang berlangsung kini di negeri ini.

Para tokoh datang silih berganti. Sebagian dipuja lalu dijadikan dan menjadikan dirinya bak pahlawan. Sebagian lainnya lagi disinggirkan dan lindap menjadi pecundang. Politik yang kini kian terbuka juga kian memudahkan orang menjadi pahlawan. Berbagai medium di zaman mutakhir ini turut berperan besar menjadikan seseorang menjadi “somebody” dan “no body”.

Kekuasaan yang digenggam sebuah rezim pun memudahkan seseorang mendapat predikat pahlawan. Obral bintang jasa kepada seseorang yang sesungguhnya bukan siapa-siapa selalu menjadi pemandangan biasa kala peringatan kemerdekaan Indonesia berlangsung. Predikat pahlawan hanya diberikan kepada orang-orang besar dan berpunya. Sementara kaula yang berdarah-darah penuh nestapa dan berada di garis depan dihujani peluru tak pernah mendapatkan apa-apa. Pasca revolusi meraih kemerdekaan yang bergemuruh itu sirna, para kaula yang terlibat hanya menjadi figuran sejarah. Menyaksikan sejarah berlangsung dari pinggiran lapangan dan tempat yang terbuang.

Sejarah versi pemenang dan pemegang kekuasaan sesungguhnya tak pernah objektif. Negeri ini selalu meminggirkan kaum tertentu yang dianggap dan dipersepsikan sebagai lawan kekuasaan. Tak ada prasasti, tak ada bintang jasa, dan tak ada predikat apa pun pada mereka yang dipinggirkan, selain pecundang dan orang-orang yang merongrong kekuasaan.

Sejarah Indonesia modern misalnya menjadikan Kartosuwiryo, Tan Malaka, DN Aidit, Ibnu Hajar, Kahar Muzakkar, Daud Bereuh, dan seterusnya sebagai pecundang. Tak ada yang mau menengok dan membicarakan kenapa mereka melakukan langkah-langkah yang kemudian dicap sebagai separatisme dan subversif. Tak ada yang berbesar hati untuk melihat kiprah mereka ketika terlibat menyokong kemerdekaan. Yang ada adalah melihat mereka setelah melakukan sesuatu yang dianggap berseberangan dengan kekuasaan.

Padahal kata para ahli, sejarah adalah proses dialektika dari berbagai peristiwa. Dan untuk melihat dialektika itu tak boleh menggunakan kacamata kuda dengan mengesampingkan latar belakang tindakan. Kajian dan penulisan sejarah yang baik –bukan benar—adalah yang mencoba memaparkan segala sesuatunya dalam bingkai holistik dan komprehensif. Bukankah pahlawan di satu tempat bisa jadi adalah pecundang di tempat lain. Semuanya hanya dipisahkan oleh selimut tipis kekuasaan.

Pahlawan sesungguhnya adalah mereka yang berdiri terakhir dan melawan ketika yang lain tiarap menggigil ketakutan. The Last Man Standing, kata para bule. Apakah karena membenci Golkar lalu orang bisa menganggap AA Baramuli yang berselemak masalah itu namun berdiri tegak dan membela partainya ketika diserang badai reformasi lalu ia bukan pahlawan? Paling tidak pahlawan bagi kelompoknya. Apakah karena menganggap Ibnu Hajar separatis, lalu ia bukan pahlawan bagi para pemujanya yang menentang masuk dan berkuasanya para tentara yang berasal dari luar Kalsel yang berpendidikan tapi tidak punya jam terbang dan rekam jejak heroik di medan pertempuran? Apakah karena membenci kaum Komunis, lalu orang bisa dengan mudah melupakan betapa partai ini membuktikan kata dan janji dengan perbuatan nyata pada kaum proletar pendukungnya? Apakah Osama bin Ladin yang marah dengan prilaku Amerika bukan pahlawan bagi kelompok yang sepemikiran dengannnya? Apakah..Apakah..?

Pahlawan memang tak pernah lepas dari kontroversi dan standar ganda. Namun semua orang sesungguhnya ingin menjadi pahlawan. Yang membedakan hanya soal ruang, tempat, dan waktu. Seseorang yang berdarah-darah berjuang bagi keluarganya agar lepas dari deraan lapar, dahaga, dan hidup yang tak jua kunjung membaik, adalah pahlawan dalam konteks yang sederhana. Lalu seseorang yang bisa hidup bersama dalam keberagaman dan perbedaan tanpa menggangu orang lain, apakah bukan pahlawan? Begitu juga dengan seseorang yang mampu menggunakan dan mempraktikkan kata “kita” tanpa melihat orang dan kelompok lain sebagai “mereka”, “kalian”, dan “kamu”, bukan pahlawan?

Pahlawan itu bak kebenaran. Ia biasa ada dimana pun. Di tempat yang kadang tidak kita sukai. Ia biasa ada pada kapan pun. Di waktu yang kadang tidak kita senangi. Ia bisa ada pada kelompok dan orang tertentu yang kadang tidak kita puja. Tetapi ia tetap pahlawan. Ia tetaplah sebuah kebenaran. Pahlawan dan kebenaran baru bisa digenggam setelah ia teruji baik secara faktual maupun filosofis. Apa yang terlihat belum tentu sama dengan yang tak terlihat. Yang tersurat belum tentu mencerminkan yang tersirat.

Walau demikian pahlawan tetaplah pahlawan. Dalam sebuah gerakan pemikiran dan jalanan membela kebebasan berekspresi yang terancam di Kalsel misalnya, masih ada orang yang muncul bak pahlawan, lalu menistakan dan memfitnah orang lain untuk kepentingan dirinya. Atau memanfaatkan situasi untuk kepentingan dirinya sendiri.

Kebingungan akibat prilaku rezim, cara pandang yang sempit, membeda-bedakan orang, dan selalu menjadikan pahlawan dalam ruang yang dipenuhi gemilang kisah dan mitos, lalu meminggirkan para kaula sederhana dari babakan sejarah, bisa jadi menggerus nurani.

Jadi tangis Naga Bonar yang meminta “Jenderal Sudirman” untuk menurunkan tangannya dan tidak menghormat pada gerombolan mobil mewah yang dengan angkuh melintasi jalanan Jakarta yang macet, pertanyaannya pada Umar si tukang bajaj bersahaja, dan keraguannya mengangkat tangan menghormat pada kuburan di Kalibata, sama saja dengan keraguan kita kini. Ah, pahlawan...

Doktor, Dayak Ngaju, dan Kekuasaan yang Jumawa


Oleh : Budi Kurniawan (Alumnus FISIP Unlam dan Aktivis Journalist and Writer Forum of Borneo. Tinggal di Jakarta. E-mail: budibanjar@yahoo.com)

Akhir Oktober 2007, menjadi lembaran sejarah baru bagi kajian hukum adat Dayak Ngaju. Dua putra Kalteng, H Suriansyah Murhaini SH MH dan Drs Eddy MPd yang mengkaji dan mengangkat hukum adat Dayak Ngaju melalui disertasi “Singer Bagi Masyarakat Dayak Ngaju di Tengah Perubahan Sosial di Kecamatan Katingan Tengah, Kabupaten Katingan” dan “Palaku Masyarakat Dayak dalam Perubahan Sosial di Kabupaten Gunung Mas” meraih gelar Doktor Ilmu Sosial dari Universitas Merdeka, Malang.

Dalam disertasi yang dipromotori Prof H Samsul Wahidin SH MS –dulu dosen Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat (Unlam) dan kini mengajar di berbagai perguruan tinggi di Malang dan Surabaya-- dan diuji secara terbuka oleh 12 Profesor dan Doktor dengan berbagai latar keilmuan itu, Suriansyah menyatakan walau mulai tergerus zaman akibat perubahan sosial, sebagai perangkat hukum pada masyarakat Dayak Ngaju, Singer (denda adat) hingga kini masih relevan dan berperan penting dalam menyeimbangkan dan melestarikan adat. Sengketa yang terjadi dalam masyarakat Dayak Ngaju sebaiknya diselesaikan dengan penegakan hukum adat berupa pemberian sanksi berupa Singer dengan jipen dalam jumlah tertentu. Sayangnya, peran Damang sebagai pemangku dan pemuka adat dalam penegakan Singer masih kurang maksimal.

Dalam paparannya Suriansyah Murhaini menyatakan, dari 15 jenis Singer Perkawinan yang terbagi dalam banyak pasal, kini tidak seluruhnya lagi berlaku dan memiliki kekuatan hukum. Hal ini disebabkan oleh adanya perubahan sikap dan pola pikir masyarakat yang bersifat irasional menjadi rasional; pembanding budaya yang menyebabkan budaya lama ditinggalkan; terjadinya pertukaran sosial budaya perseorangan dan kelompok; dan adanya penerapan aturan perudang-undangan oleh pemerintah yang memiliki kekuatan, sanksi, dan perangkat hukum yang lebih kuat.

Sementara Eddy dalam disertasinya menyatakan telah terjadi pergeseran dalam hal Palaku (mahar perkawinan) dalam masyarakat Dayak Ngaju. Berbagai simbol Palaku di masa silam seperti gong kini berubah menjadi emas, perhiasan, dan barang berharga lainnya.

Selain itu masyarakat Dayak Ngaju juga kini menjadi jauh lebih terbuka di tengah perubahan sosial, perkawinan tidak hanya bersifat endogami tapi juga eksogami. Ini menunjukkan fleksibilitas dan terbukanya masyarakat Dayak Ngaju terhadap perubahan sosial. Perkawinan eksogami menunjukkan masyarakat Dayak Ngaju telah terbuka dan mengenal sikap egalitarian. Proses permintaan dan pemberian Palaku kini menjadi sangat fleksibel, disesuaikan dengan kemampuan pihak yang akan melaksanakan perkawinan. Musyawarah mufakat menjadi faktor utama dalam permintaan dan pemberian Palaku.

Dua kajian ini menjadi tak sekadar kegiatan mengangkat batang terendam. Meminjam istilah DR JJ Kusni, putra Dayak yang kini mengajar di Universitas Sorbonne, Prancis, ia juga bukan sekadar menjadi ragi usang. Hukum adat Dayak Ngaju ternyata masih bisa mengisi ruang kosong hukum formal yang diproduksi pemerintah. Karena memang tak semua pelanggaran hukum bisa ditangani hukum formal, walau dari sisi legalitas dan otoritas ia lebih kuat dari hukum adat.

“Kekosongan” hukum formal misalnya bisa dilihat dalam penanganan illegal logging dan illegal mining yang dilakukan di tanah-tanah adat. Persekongkolan jahat dan perselingkuhan penegak hukum dengan pengusaha menjadikan sanksi tidak bisa berbuat apa-apa. Kalau pun ada yang diberi sanksi, ia tak lebih dari sekadar pelaksanaan konsep tebang pilih. Mereka yang terkena sanksi sering datang dari kalangan yang tidak lagi memiliki basis politik dan ekonomi. Sementara yang memiliki kedua hal itu bisa melenggang bebas.

Dalam konsep hukum adat Dayak Ngaju, perusakan lingkungan adalah sesuatu yang sangat diharamkan dan akan dikenakan Singer dengan jumlah jipen tertentu. Pelanggaran terhadap hal itu tak sekadar merusak alam, tetapi juga telah mengganggu keseimbangan alam mikrokosmos dan makrokosmos. Karena itu jika sesuatu terjadi terhadap alam, baik disengaja atau tidak, sejumlah upacara adat dan pembayaran denda adat (Singer) wajib dilakukan. Jika tidak, keseimbangan alam terganggu dan hubungan antara manusia dan alam akan terganggu.

Dayak Ngaju juga tak hanya menghukum manusia pelanggar hukum adat. Suku yang distigmakan barbarian oleh Kompeni dan pemerintah Hindia Belanda ini juga akan “menghukum” alam yang menyebabkan nyawa manusia melayang. Upacara mangayau kayu dan mangayau danum (air) menunjukkan dengan jelas hukuman yang harus ditanggung kayu dan alam yang menyebabkan kematian manusia. Kayau jenis ini bertujuan mengembalikan keseimbangan dan hubungan manusia-alam yang telah rusak.

Ini menunjukkan betapa hukum adat Dayak Ngaju menekankan sikap antara alam dan manusia untuk tidak saling mengganggu dan membinasakan. Hubungan alam-manusia wajib berlangsung dalam suasana damai, saling memberi dan menerima, dan menjaga kehidupan secara bersama-sama.

Manusia “membalas” tindakan dan “menghukum” alam dengan setimpal. Demikian pula sebalinya, alam pasti bereaksi terhadap prilaku buruk manusia terhadapnya. Karena itu jangan heran ketika banjir datang, puting beliung menghantam, gempa berderap, dan berbagai fenomena alam silih berganti hantam manusia. Manusia yang menebar permusuhan, dan alam membelinya dengan memberi balasan yang setimpal pula.

Tak hanya soal alam, hukum adat Dayak Ngaju juga memberi ruang sangat terhormat bagi kaum perempuan. Palaku yang sering memiliki nilai ekonomi tinggi menjadi salah satu gambaran betapa perempuan memiliki tempat tertinggi dan karenanya wajib dihargai. Tetapi karena fleksibiltasnya, maka nilai Palaku bisa ditentukan secara bersama-sama, berlandaskan azas musyawarah mufakat, tidak memberatkan, dan terbuka terhadap berbagai perubahan.

Sayangnya pemerintah yang jumawa dengan segala kekuasaan yang melekat padanya, justru memporak-porandakan hukum adat yang ada. Alat pemaksa dan legitimasi yang dimiliki pemerintah justru menyingkirkan hukum adat yang memiliki kekuatan psikologis dan melintasi batas ruang, waktu, dan formalitas.

Dalam kajian DR Abdurrahman SH MH misalnya, ia menemukan betapa hukum adat Dayak Ngaju yang mengatur perusakan alam kini hanya berlangsung dalam ruang sempit. Hanya efektif ketika perusakan alam terjadi di lahan milik sesama suku Dayak Ngaju. Tetapi jika perusakan itu dilakukan kapital besar terhadap lahan milik suku Dayak Ngaju, hukum adat itu menjadi singa ompong. Kalau pun perselisihan masuk dalam area hukum formal, kapitas besar selalu menang. Karena uang rupanya sudah mengkristal menjadi “Tuhan” baru bagi segenap orang.

Hal yang sama juga terjadi dalam soal Palaku. Dengan alasan modernitas, Palaku kini banyak ditinggalkan. Padahal Palaku tak sekadar menjadi salah satu syarat pernikahan, tetapi juga menjadi modal dasar bagi dua pasangan anak manusia membangun keluarga yang bahagia dan sejahtera.

Jadi sudah saatnya kekuasaan –juga kita—yang jumawa, belajar kembali pada kearifan lokal yang sejak lama menjadi bagian hidup para pendahulu. Mengutip Prof Samsul Wahidin dalam pidato yang menjadi bagian akhir uji disertasi di Malang awal Oktober 2007, pendekatan budaya kini menduduki tempat penting dalam menyelesaikan permasalahan sosial. Kearifan lokal menjadi keniscayaan di berbagai aspek kehidupan. Tidak saja dalam maknanya yang formal dalam arti birokrasi pemerintahan, namun lebih dari itu secara substansial juga memberikan makna lebih mendalam dan konkret kepada penyelesaian konflik secara arif, santun, dan cerdas. Pelajaran dan langkah yang kini mulai tertatih...