Wednesday, October 31, 2007

Meneliti Singer dan Palaku, 2 Putra Kalteng Raih Doktor




Malang – Walau mulai tergerus zaman akibat perubahan sosial, sebagai perangkat hukum pada masyarakat Dayak Ngaju, Singer (denda adat) hingga kini masih relevan dan berperan penting untuk menyeimbangkan dan melestarikan adat. Sengketa yang terjadi dalam masyarakat Dayak Ngaju sebaiknya diselesaikan dengan penegakan hukum adat berupa pemberian sanksi berupa Singer dengan jipen dalam jumlah tertentu. Sayangnya, peran Damang sebagai pemuka adat dalam penegakan Singer masih kurang maksimal.

Hal ini disampaikan dosen Universitas Palangkaraya H Suriansyah Murhaini SH MH dalam disertasi doktornya berjudul “Singer Bagi Masyarakat Dayak Ngaju di Tengah Perubahan Sosial di Kecamatan Katingan Tengah, Kabupaten Katingan” di Universitas Merdeka Malang, yang diuji dalam Sidang Terbuka Program Pasca Sarjana Universitas Merdeka Malang, Sabtu (27/10). Prof H Samsul Wahidin SH MS bertindak selaku promotor dan DR I Made Weni SH MS menjadi ko promotor. Sebanyak 11 Profesor dan Doktor dari Unmer Malang, Perguruan Tinggi Swasta dan Negeri, menjadi penguji disertasi tersebut.

Dalam paparannya H Suriansyah Murhaini SH MH, kelahiran Tumbang Samba, Kabupaten Katingan itu, menyatakan dari 15 jenis Singer Perkawinan yang terbagi dalam banyak pasal, kini tidak seluruhnya lagi berlaku dan memiliki kekuatan hukum. Hal ini disebabkan oleh adanya perubahan sikap dan pola pikir masyarakat yang bersifat irasional menjadi rasional, pembanding budaya yang menyebabkan budaya lama ditinggalkan, terjadinya pertukaran sosial budaya perseorangan dan kelompok, dan adanya penerapan aturan perudang-undangan oleh pemerintah yang memiliki kekuatan, sanksi, dan perangkat hukum yang lebih kuat.

Dalam uji disertasi yang dihadiri para civitas akademika Unmer Malang itu, para penguji mengajukan banyak pertanyaan seperti apakah Singer masih relevan dalam kehidupan suku Dayak Ngaju yang kian terbuka, bagaimana prospek Singer di masa depan, apakah Singer yang merupakan produk adat dan salah satu aturan dalam agama Kaharingan tidak tergeser dan bergesekan dengan ajaran-ajaran yang dibawa agama-agama baru.

Dengan lancar H Suriansyah Murhaini SH MH menyatakan walau Singer terus didera perubahan sosial, sesungguhnya ia masih relevan dalam menegakkan hukum adat dan menjaga hubungan baik antar masyarakat. Setelah melalui ujian yang berlangsung hampir dua jam itu, para penguji sepakat memutuskan H Suriansyah Murhaini SH MH lulus dengan predikat sangat memuaskan.

Palaku Bergeser

Sementara itu Drs Eddy MPd dalam disertasinya berjudul “Palaku Masyarakat Dayak dalam Perubahan Sosial di Kabupaten Gunung Mas” yang juga diuji di Universitas Merdeka Malang dengan promotor Prof DR Samsul Wahidin SH MS dan ko promotor Prof DR H Agus Solahuddin MS ini menyatakan telah terjadi pergeseran dalam hal Palaku dalam masyarakat. Berbagai simbol Palaku seperti gong kini berubah menjadi emas, perhiasan, dan barang berharga lainnya.

Selain itu masyarakat Dayak Ngaju juga kini menjadi jauh lebih terbuka di tengah perubahan sosial, perkawinan tidak hanya bersifat endogami tapi juga eksogami. “Ini menunjukkan fleksibilitas dan terbukan masyarakat Dayak Ngaju terhadap perubahan sosial. Perkawinan eksogami menunjukkan bahwa masyarakat Dayak Ngaju telah terbuka dan mengenal sikap egalitarian,” kata Eddy.

Faktor-faktor perubahan menurut promovendus dilatar belakangi oleh reaksi terhadap adat kebiasaan yang sebelumnya terkungkung hanya dalam lingkup satu suku, kemajuan tingkat pendidikan, dan pemahaman nilai agama, yang mengajarkan kesetaraan.

Menurut Samsul Wahidin diraihnya gelar Doktor oleh dua putra Kalteng yang meneliti adat dan budaya Dayak Ngaju ini membuka banyak kesempatan untuk kajian-kajian berikutnya yang berguna bagi kehidupan bangsa yang menjaga kearifan-kearifan lokal.

Sementara menurut Rektor Unmer DR Kridawati Sadhana, kedua dosen Unpar yang meraih gelar Doktor ini adalah Doktor ke-17 dan 18 di bidang Ilmu Sosial yang lulus dari Unmer Malang.

Predikat Pemenggal Kepala

Dalam pidato yang menjadi bagian akhir uji disertasi, Profesor H Samsul Wahidin SH MS menyatakan sesungguhnya pendekatan budaya akhir-akhir ini menduduki tempat penting dalam menyelesaikan permasalahan sosial. Akar budaya berupa kearifan lokal menjadi satu keniscayaan searah dengan desentralisasi di berbagai aspek kehidupan. Tidak saja dalam maknanya yang formal dalam arti birokrasi pemerintahan, namun lebih dari itu secara substansial juga memberikan makna lebih mendalam dan konkret kepada penyelesaian konflik secara arif, santun, dan cerdas.

Singer menurut Samsul Wahidin memberi makna dalam penyelesaian konflik adat memberi nuansa damai dan sejuk serta dapat diterima semua pihak dalam masyarakat Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah. Secara khusus Samsul menegaskan stigma bahwa orang Dayak suka memenggal kepala manusia pada masa lalu sengaja diciptkan penjajah Belanda untuk memprimitifkan orang dan memecah belah bangsa.

Saturday, October 27, 2007

"Melawan dengan Restoran"


Perlawanan ternyata tidak hanya bisa dilakukan dengan mengepalkan tangan kiri ke udara.
Perlawanan kadang bisa dilakukan dengan cara sederhana, namun memberi inspirasi.
Perlawanan semacam inilah yang dilakukan Sobron Aidit dan kawan-kawan di Paris, Prancis.
Semua kisah tentang perlawanan yang sederhana ini terangkum dan tersaji dalam buku yang ditulis Budi Kurniawan dan Sobron Aidit ini.

Thursday, October 25, 2007

Melawan dengan Restoran



Pengen tau kisah para eksil di Prancis yang mendirikan Restoran Indonesia sebagai tempat kumpul-kumpul dan menyusun gerakan? Pengen tau kisah Sobron Aidit, adik kandung Ketua CC PKI DN Aidit di Prancis? Baca buku ini. Ditulis dengan cara bertutur oleh Budi Kurniawan (penulis buku Menolah Menyerah, Menyingkap Tabir Keluarga Aidit) dan Sobron Aidit. Sudah ada di toko-toko buku terdekat lho:)

Saturday, October 20, 2007

Berpuasa Sepanjang Zaman



Oleh : Budi Kurniawan (Aktivis Journalist and Writer Forum of Borneo. Tinggal di Jakarta. E-mail: budibanjar@yahoo.com)

Pekan ini menjadi pekan pertama para pekerja memulai aktivitasnya setelah lebih seminggu menikmati cuti bersama yang ditentukan pemerintah sebelum dan sesudah Lebaran. Seperti yang dilansir berbagai media –termasuk Banjarmasin Post— dengan berbagai sarana angkutan para pekerja yang sebelumnya ramai-ramai mudik pulang kampung, kini bergegas kembali ke kota-kota tempat mereka bekerja. Jalanan, pelabuhan, bandara, dan kapal-kapal penyeberangan dipadati para pekerja dalam arus balik Lebaran itu.

Menyaksikan kesibukan semacam ini yang konon hanya terjadi di Nusantara, seperti menyaksikan sebuah kenduri besar pasca Lebaran. Semua orang sedang bersiap-siap kembali ke kehidupan “normal”.

Puasa yang dijalankan selama sebulan penuh seolah tak banyak meninggalkan sesuatu dalam polah kehidupan. Puasa seolah hanya menjadi “gencatan senjata” terhadap polah negatif. Semua orang menjadi baik dan beriman saat Ramadhan. Segala hal yang mungkin biasa dilakukan dengan bebas, pada Ramadhan ditinggalkan.

Ramadhan memang tegas terhadap segala macam kemunafikan dan prilaku negatif kehidupan. Ketentuan dalam Ramadhan seperti tidak makan dan minum, bersenggama dengan istri pada siang hari, berbohong, menjaga mata, hati, dan perbuatan, tidak berprasangka dan seterusnya, memang sangat tegas. Namun seusai Ramadhan, semua itu seolah tak lagi menjadi ketentuan yang digenggam erat dan diterapkan dalam hidup keseharian.

Padahal yang terpenting dari puasa bukan kala menjalankan semua aturan itu pada bulan Ramadhan. Yang terpenting adalah bagaimana semua nilai yang dijaga selama Ramadhan diimplementasikan dalam keseharian. Ini sama dengan pengertian nilai kesarjanaan dan Haji Mabrur. Kesarjanaan justru diuji ketika sang sarjana keluar kampus dan meniti hidup. Haji baru bisa disebut mabrur seusai pulang dari tanah suci.

Karena jika menjalankan nilai-nilai luhur dalam situasi yang mengharuskan pelaksanaannya, itu bukanlah sesuatu yang luar biasa. Tetapi mampu melaksanakan nilai-nilai yang semula dilaksanakan dalam situasi yang baik, dan kemudian berada pada situasi destruktif, barulah hal itu bisa disebut luar biasa.

Meminjam istilah cendekiawan Muslim Nurcholis Majid, manusia sering disandera oleh situasi di sekitar dirinya. Ketika seseorang naik sebuah bus yang penuh sesak dan panas, lalu tiba-tiba menyalip sebuah mobil mewah yang berada pada jalur jalan yang benar, lalu sang sopir bus berteriak menyalahkan, ia pun turut menyalahkan. Kadang sang penumpang turut mengumpat dan mengeluarkan sumpah serapah. “Mentang-mentang naik mobil mewah. Nggak mau ngalah,” kalimat semacam ini yang sering terdengar.

Namun jika kebetulan kita yang menumpangi mobil mewah itu, maka kita juga akan bertindak sama dengan penumpang bus tadi. Maka kalimat “Bus sialan. Nggak tau diri. Main salib aja,” bisa dengan mudah meluncur.

Karena itu puasa sesungguhnya tidak banyak bermakna ketika Ramadhan berlangsung. Semua orang akan melakukan yang terbaik dalam bulan penuh berkah, ampunan, dan pembebasan dari jilatan api neraka itu. Yang penting justru sesudah Ramadhan berlalu.

Dalam bahasa Ziauddin Sardar, intelektual Muslim di Inggris, agama kadang menjadi tidak fungsional. Sederet ritual –termasuk berpuasa pada bulan Ramadhan—yang dijalankan justru hampa implikasi sosial. Kesalehan sosial penting di samping kesalehan individual.

Agama fungsional bisa kita temukan dan pelajari sehari-hari. Yang sulit ditemukan adalah agama yang diimplementasi dan memiliki implikasi sosial. Internalisasi nilai-nilai ke-Ilahian-an dalam kehidupan sehari-hari lah yang seharusnya terwujud pasca Ramadhan.

Jadi setelah kembali beraktivitas seperti sebelum pulang mudik dan seuasai Ramadhan pergi, teruslah menghindar dari hal-hal yang membatalkan puasa. Negeri ini pasti akan menjadi jauh lebih baik, jika puasa dari korupsi, polah menyakiti, membohongi, dan menipu rakyat, dilakukan sepanjang zaman. *

Thursday, October 18, 2007

Bubuhan Amang dan Ibnu Hajar (Catatan untuk Konggres Budaya Banjar 28 Oktober-1 November 2007 di Banjarmasin)


Oleh : Budi Kurniawan (Alumnus FISIP Unlam Banjarmasin, wartawan, dan penulis buku. Tinggal di Jakarta. E-mail: budibanjar@yahoo.com)


Pada awalnya Banjar atau Bandar, menjadi sebutan sebuah kampung kecil yang dipimpin Patih Masih di pinggiran Sungai Kuin yang berfungsi sebagai pelabuhan kecil. Sebutan ini kemudian menjadi identitas kelompok etnis yang menjadi pendukung utama terbentuknya Kerajaan Banjar. Islam yang masuk kala perebutan kekuasaan marak di istana, mengakibatkan Hindu tersingkir. Tak pelak, Islam pun menjadi agama negara. Lalu Banjar dan Islam pun jadi tak terpisahkan. Adagium Banjar adalah Islam, dan Islam adalah Banjar pun mengkristal.
Dalam catatannya, Karl Muller menyatakan sebagian besar Urang Banjar menyebut dirinya sebagai Melayu atau Dayak yang beragama Islam (Karl Muller, Introducing Kalimantan, Penerbit Periplus Edition, 47).
Definisi dan kristalisasi Banjar adalah Islam, dan Islam adalah Banjar, kemudian mempengaruhi reproduksi dan transformasi nilai-nilai yang bergerak bak pendulum. Pergerakan ini berbanding lurus dengan migrasi Urang Banjar ke segala penjuru Nusantara yang selain disebabkan oleh alasan perubahan nasib, perbaikan kehidupan ekonomi, penaklukan lahan gambut, menyingkir dari Perang Banjar yang berkecamuk pasca konflik internal Kerajaan Negara Daha pada Abad 16, pergi ke pedalaman sehingga terbebas dari kewajiban membayar pajak pada Kompeni, dan penyebaran Islam.

Alasan ini selain menjadi pondasi bagi terbentuknya komunitas baru yang jauh dari pusat kekuasaan Kerajaan Banjar dan tanah lahir, juga menjelma jadi perekat antar anggota komunitas. Walau ruang komunitas yang terbentuk berbeda, namun nilai-nilai yang diproduksi –juga ditransformasikan—tak jauh berbeda dengan tanah asal, namun tetap mengadopsi dan memadukan nilai-nilai lama di tanah harapan. Sehingga yang terjadi kemudian –dalam soal bahasa misalnya-- Urang Banjar perantauan sering memiliki dialek yang berbeda dengan di tanah asal mereka.

Adopsi dan perpaduan dengan nilai-nilai di tanah harapan tak semuanya berlangsung mulus. Sebagian Banjar perantauan yang memiliki base ekonomi sering secara tidak sengaja menciptakan sekat halus dengan orang-orang dan budaya di tanah harapan. Di beberapa daerah di pedalaman Kalimantan Tengah misalnya, masih sering muncul idiom yang relatif mempariakan –selain dominasi bahasa Banjar atas bahasa yang dipergunakan orang Dayak di pedalaman. “Bubuhan Amang” (sebutan untuk orang-orang tua Dayak Ngaju berpenampilan lusuh dan tak berpendidikan yang membeli segala macam bahan pokok di warung dan toko-toko Urang Banjar perantauan), “Biaju” (ingat sejarah awal sebutan ini), “Bubuhan Sabalah” (sebutan terhadap Dayak bukan Islam yang dikembangkan Urang Banjar di berbagai daerah baik di Kalsel maupun Kalteng), “Bubuhan Palang”, “Bubuhan Simpang Empat” (sebutan Urang Banjar pada Dayak Kristen), adalah antara lain sebutan yang hingga kini masih sering terdengar.

Ini belum lagi ditambah dengan folklor, joke, dan anekdot yang dikembangkan Urang Banjar untuk menggambarkan keterbelakangan Orang Dayak (ingat joke tentang kalambu, es yang dingin dan ditiup Orang Dayak, atau tentang cara mencuci kemaluan laki-laki Banjar yang menggunakan daun, dan seterusnya). Padahal sejarah Banjar yang terjadi di masa silam, tak bisa menafikkan betapa berpadunya Dayak dan Banjar. Baik dalam hubungan kawin mawin di antara elite kerajaan dengan putra-putri tokoh Dayak berpengaruh, maupun keterlibatan Dayak menentang Kompeni dalam Perang Banjar.

Jika mau jujur, sesungguhnya ada nilai yang kurang fleksibel yang dikembangkan Banjar perantauan di tanah-tanah harapan di Kalteng yang dulu mereka datangi dan kini diami.
Untungnya orang Dayak –paling tidak hingga kini-- memiliki hati yang lapang menerima kurang fleksibelnya nilai-nilai yang dikembangkan Banjar perantauan itu.

Konflik etnis Dayak-Madura di Sampit misalnya menjadi penanda betapa Dayak sesungguhnya menerima Banjar dengan sangat baik. Walau banyak berbeda keyakinan (Dayak diidentikkan dan mengidentikan dirinya sebagai Kaharingan dan Kristen –sebagian Islam--) dalam konflik etnis itu tak ada satu pun Urang Banjar menjadi korban. Skenario kalangan elit dan kelompok berkepentingan untuk membenturkan Dayak yang Kristen dan pendatang yang Islam (Banjar, Bugis, Batak, Jawa, dan Sunda) tak sempat berkembang. Kearifan ini tak salah jika diadopsi Banjar perantauan di mana pun berada.

Sayangnya Banjar sendiri menghadapi masalah dalam dirinya. Sejarah Banjar misalnya masih dipenuhi kisah-kisah heroik yang bergerak sentralistik di sekitar tokoh-tokohnya. Perang yang melibatkan Pangeran Antasari dan Kompeni misalnya masih disebut sebagai Perang Banjar. Padahal perang yang sesungguhnya terjadi bukan di Banjarmasin dan sekitar pusat kekuasaan Kerajaan Banjar. Perang Banjar lebih berkecamuk di pedalaman Barito –kini menjadi bagian dari Provinsi Kalimantan Tengah. Karena itu dalam beberapa buku yang ditulis cendekiawan Dayak, mereka menyebut perang itu sebagai Perang Banjar/Barito.

Banjar juga kurang memberi ruang bagi sejarah kaum –kalangan tentara dan kaum komunis-- yang dipinggirkan sejarah. Padahal kalangan ini –apapun persoalannya—memiliki kontribusi besar dalam sejarah Banjar modern. Kini misalnya sulit mencari sejarah Banjar yang menulis peran Amar Hanafiah dan Ibnu Hajar. Kalau pun ada, semua masih ditulis dalam perspektif pecundang (Amar Hanafiah) dan pemberontak (Ibnu Hajar). Padahal jika dialektika sejarah terjadi, maka peran kaum yang dipinggirkan sejarah ini sesungguhnya bisa mengemuka.

Amar Hanafiah misalnya bersikap tegas membela kalangan tak berpunya. Dan Ibnu Hajar misalnya bersikap keras pada dominasi tentara asal Jawa yang kebetulan berpendidikan tapi tak punya rekam jejak pertempuran. Ibnu Hajar menolak takluk pada dominasi itu dan memilih “melawan” kekuasaan. Sikap yang kemudian menelan dan menghunjamkan keduanya ke dasar jurang pecundang.

Jika memang Banjar ingin menjadi sebuah identitas yang modern, tidak terbuai dengan kisah heroik dan jargon-jargon kosong, dan bisa beradaptasi dalam mereproduksi dan mentransformasikan nilai-nilai, maka memberi ruang terhadap segala macam perbedaan tanpa “melecehkan” identitas dan rekam jejak kaum yang dipinggirkan sejarah, adalah salah satu jalan dan pilihan yang wajib ditempuh. Selamat berkongres. Semoga menghasilkan sesuatu yang baru dan membumi.

Saturday, October 6, 2007

Ketua Komnas HAM Kunjungi Faisal di Penjara


* “Dari Kalsel Menyelamatkan Kebebasan Berekspresi di Indonesia” Digelar

BANJARMASIN - Eksekusi yang dilakukan aparat Kejaksaan Negeri Banjarmasin dan keputusan kasasi Mahkamah Agung yang menghukum Muhammad Faisal selama empat bulan dalam perkara pencemaran nama baik terhadap mantan Gubernur Kalsel Sjachriel Darham, mendapat perhatian serius dari Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Ifdhal Kasim. Karena selain kasus ini memiliki implikasi sangat tinggi bagi kebebasan berpendapat di Indonesia, juga berbahaya bagi pengembangan demokrasi.

Untuk mengetahui kasus yang disebabkan tulisan Faisal berjudul “Duh Gus Dur Kecil” dalam rubrik Surat Pembaca sebuah koran di Banjarmasin itu, pada hari ini (Senin, 8 Oktober) Ifdhal Kasim khusus datang dari Jakarta ke Banjarmasin. “Kasus ini bukan sekadar soal Faisal. Kasus ini menjadi cerminan betapa kekuasaan bisa memperlakukan orang secara semena-mena karena sikap dan tindakan kritisnya terhadap para pemegang kekuasaan. Karena itu, Ketua Komnas HAM di sela kesibukannya datang ke Banjarmasin,” kata Koordinator Kajian Hukum Solidaritas untuk Kebebasan Berekspresi Hasanuddin SH dalam konferensi pers yang digelar di kampus Universitas Lambung Mangkurat, Minggu (7/10).

Menurut Hasanuddin, setibanyanya di bandara Syamsuddin Noor, Banjarbaru, Ifdhal akan langsung menuju LP Teluk Dalam. Selain melihat dari dekat kondisi LP Teluk Dalam dan aktivitas di dalamnya, di LP ini Ifdhal akan menemui Muhammad Faisal. Pertemuan ini dimaksudkan untuk mendapatkan langsung informasi yang akurat yang menimpa aktivis yang dikenal kritis terhadap kebijakan pemerintah ini.

Menilai Kasus Faisal

Seusai pertemuan Ifdhal akan memberikan penilaian terhadap LP dan kasus yang menimpa Faisal dalam sebuah konferensi pers. Setelah itu Ifdhal akan menjadi salah satu pembicara dalam diskusi publik bertema “Dari Kalsel Menyelamatkan Kebebasan Berekspresi di Indonesia” yang digelar Solidaritas untuk Kebebasan Berekspresi, Dewan Mahasiswa Unlam, dan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Unlam, di Stasiun TVRI Kalsel.

Pada kesempatan yang sama Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa
Fakultas Hukum Unlam M Hadi Saputra menyatakan kasus yang menimpa Faisal bisa menjadi studi bagi para mahasiswa. “Pasal-pasal yang diterapkan dan proses hukumnya, bisa menjadi bahan studi bagi mahasiswa, khususnya Fakultas Hukum,” katanya.

Sementara Ketua Dewan Mahasiswa Unlam Joko Nurcahyo menyatakan keterlibatan mahasiswa dalam diskursus tentang kekebasan berekspresi sesungguhnya bernilai positif. “Ini bukan sekadar soal Faisal. Apa yang terjadi dengan pembungkaman terhadap kebebasan berpendapat saat ini bisa menjadikan Kalsel sebagai sumber bencana bagi demokrasi di Indonesia. Kasus Faisal bisa menjadi yurisprudensi. Karena itu kajian dan gerakan yang konstruktif perlu terus dilakukan. Mahasiswa bisa memberi warna cerdas dalam gerakan-gerakan ini,” kata Joko.

Dalam konferensi pers, Hasanuddin mengundang akademisi, pengacara, wartawan, kalangan LSM dan organisasi kepemudaan, dan segenap lapisan masyarakat yang peduli pada terancamnya kebebasan berpendapat hadir dan mengikuti Diskusi Publik di TVRI pada Senin (8/10) pukul 12.00 WITA.

Karaniyametta Sutta dan Gereja Diaspora dalam Ramadhan


Oleh : Budi Kurniawan (Alumnus FISIP Unlam dan Aktivis Journalist and Writer Forum of Borneo, tinggal di Jakarta. E-mail: budibanjar@yahoo.com)

Mata yatha niyam puttam
Ayusa ekaputtamanurakkhe
Evampi sabbabhutesu
Manasambhavaye aparimanam

Karaniyamatthaku salena
Yantam santam padam abhisamecca
Sakhouju ca suhajuca
Suvaco cassa mudu anatimani
Santussako ca subharo ca
Appakicco ca sallahu kavuti
Santindriyo ca nipako ca
Appagabbho kulesu ananugiddho

(Khotbah Cinta Kasih)

Kidung Karaniyametta Sutta dalam bahasa Pali didendangkan puluhan ribu biksu dan biksuni yang memenuhi udara Burma –junta militer mengubahnya menjadi Myanmar—kini tak lagi banyak terdendangkan. Junta membungkam mereka. Junta rupanya memegang teguh ucapan Ketua Mao, bahwa kekuasaan sesungguhnya lahir dari moncong senapan, ketika menghadapi protes para pemuka agama Buddha ini. Darah pun tumpah. Dunia kembali disentakkan aksi brutal junta setelah pada 1988 mereka melakukan hal yang sama.

Darah tumpah di Burma kali ini kian menegaskan bahwa kawasan yang di masa silam memiliki sejarah gilang-gemilang kini perlahan tapi pasti masuk dan berada di jurang kelam. Biksu yang dalam sejarah Burma selalu memegang peranan penting, baik dalam dataran moral maupun politik, dan menjadi harapan rakyat yang ternistakan, kali ini kembali membuktikan bahwa dengan diam mereka telah menyalakan pelita perlawanan terhadap kekuasaan yang lalim.

Protes dengan membalikkan mangkok-mangkok sedekah sebagai simbol penolakan mereka terhadap derma yang diberikan junta dan keluarga (pattam nikkujjana kamma) –dalam ajaran Buddha ini menunjukkan tingkat perlawanan dalam diam yang tertinggi tensinya—tak sedikit pun menyentuh nurani. Sehingga tidak berlebihan jika biksu dan biksuni mengeluarkan pernyataan keras dengan menyamakan junta dengan kekuasaan setan.

Para pemuka agama Buddha itu sesungguhnya bisa saja berdiam diri dan terlena dengan berbagai ritus di pagoda-pagoda. Tapi hal itu tak mereka lakukan. Panggilan moral dan perlawanan terpaksa mereka lakukan ketika kekuasaan menjadi lalim dan tak lagi memedulikan nasib para kaula. Prilaku junta yang menaikkan harga bahan bakar minyak hingga 500 persen menjadi pemicu kian miskinnya rakyat Burma. Dan para biksu memilih bergerak dalam diam dan menghadapi segala macam risiko, termasuk kehilangan nyawa di ujung senjata.

Sebuah foto yang dilansir gerakan perlawanan di Burma yang menunjukkan tubuh seorang biksu mengapung di tengah sungai dengan luka lebam dan darah membeku kehilangan nyawa adalah prilaku yang sangat jauh dari nilai moral dan kemanusiaan.

Dalam ajaran Katholik, apa yang dilakukan para biksu yang memilih bergerak melawan dan meninggalkan pagoda-pagoda –untuk sementara-- adalah bentuk penerjemahan gerakan Gereja Diaspora (kesadaran baru perlunya pembaharuan gereja dengan terlibat langsung pada persoalan-persoalan kaum marjinal). Gerakan ini dalam bentuk nyata diterjemahkan Romo Mangun Wijaya pada era 1980-an. Romo Mangun memilih “meninggalkan” gereja dan bergabung bersama kaum terpinggirkan di pinggiran Kali Code, Yogyakarta. Romo Mangun berhasil mengubah cara hidup warga pinggiran Kali Code yang sebelumnya dikenal sebagai kawasan kumuh dan semrawut tanpa nilai di Yogyakarta.

"Pemujaan kepada Tuhan Yang Maha Besar diungkapkan lewat pengangkatan manusia hina ke taraf kemanusiawian yang layak, sebagaimana dirancang oleh Tuhan pada awal penciptaan, tetapi dirusak oleh kehadiran hukum rimba buatan manusia,” kata Romo Mangun tentang apa yang dilakukannya.

Dalam bentuk nyata, Romo Mangun mengajak warga pinggir Kali Code (Girli Code) belajar bersama, sambil membangkitkan apa saja potensi terpendam yang mereka miliki. Romo Mangun terlibat langsung dalam semua proses itu. Ia misalnya turut mendesain rumah-rumah sederhana di sepanjang pinggiran kali. Ia juga mengajari anak-anak belajar segala macam hal, dari ilmu-ilmu yang umum dipelajari di sekolah hingga berdebat soal filsafat.

Melalui Yayasan Edukasi Dasar yang dipimpinnya, Romo Mangun memberi kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat miskin di girli untuk belajar. Romo Mangun berhasil memanusiakan (memperlakukan masyarakat girli sebagai manusia yang bermartabat). Ia juga mendirikan sebuah gubuk yang dihuninya di tengah komunitas girli.

Romo Mangun berhasil mengubah sikap dan pikiran pemerintah yang menganggap masyarakat girli yang hampir tergusur dan telah mengotori wajah kota Yogya dan merusak lingkungan di sepanjang Kali Code menjadi masyarakat yang “berharga” dan bukan sampah masyarakat yang pantas dimusnahkan.

Islam pun mengajarkan dan mengembangkan keberpihakan pada kaum terpinggirkan yang dihinakan kekuasaan dalam ajaran-ajarannya. Beragam ayat-ayat suci dalam Al Qur’an misalnya menganjurkan –bahkan memerintahkan—kaum berpunya menyedekahkan sebagian penghasilannya kepada kaum marjinal. Itu menunjukkan bahwa Islam sesungguhnya berpihak pada kaum lemah tak berpunya.

Ramadhan yang kini berada di ujung bulan pun menyimpan pesan tentang keberpihakan itu. Dahaga dan lapar yang mendera selain bermanfaat untuk kesehatan, juga menyimpan pesan dan praktik untuk merasakan betapa dicobanya kaum miskin memenuhi kebutuhan mendasarnya. Setelah waktu berbuka tiba, kaum berpunya bisa jadi bebas dari dahaga dan lapar yang sebelumnya mendera. Sementara bagi kaum miskin papa dahaga, lapar, dan ketidakberdayaan menjadi bagian hidup yang tidak terpisahkan.

Jika para biksu di Burma, Romo Mangun di pinggiran Kali Code, Yogyakarta, memilih berbaur dan membela para jelata, menjadi ibu yang mempertaruhkan jiwa melindungi “anak tunggalnya”, maka rasanya tak ada alasan bagi kaum berpunya yang taat menjalankan perintah agama untuk tak peduli dan memalingkan mukanya dari segala penindasan yang hingga kini masih saja ada.

Bagaikan seorang ibu mempertaruhkan jiwanya
Melindungi anak tunggalnya
Demikian terhadap semua makhluk
Dipancarkan (kasih sayang) tanpa batas
Kasih sayangnya ke segenap alam semesta