Friday, January 11, 2008

Mengenang Djok Mentaya di Zaman yang Berubah (13 Januari 1994-13 Januari 2008)



Oleh : Budi Kurniawan (Aktivis Journalist and Writer Forum of Borneo dan bersama HM Thamrin Junus menulis buku “DJOK, Penakluk dari Sungai MENTAYA”. E-mail: budibanjar@yahoo.com)


“Hoofd, amun bisa jangan turun ka kantor dulu. Di sini HI lagi mahamuk. Inya mambawa lading (Ketua, kalau bisa jangan berangkat ke kantor dulu. Di sini HI sedang mengamuk. Dia membawa pisau).”

Hal itu disampaikan Wakil Pemimpin Umum Banjarmasin Post HG Rusdi Effendi AR pada 1 September 1977. Rusdi yang kini menjabat Pemimpin Umum Banjarmasin Post mengingatkan hal itu kepada atasannya, HJ Djok Mentaya, melalui telepon ketika melihat segerombolan orang dengan marah dan bersenjata tajam mendatangi kantor Banjarmasin Post di Jalan Pasar Baru 222, Banjarmasin.

Pada awalnya Djok mengindahkan peringatan itu. Tetapi tak berselang lama, Djok mengangkat telepon dan menghubungi Rusdi. “Di, HI masih di situ kah? Kaya apa amun aku ka kantor ja? (Di, HI masih di kantor? Bagaimana kalau saya ke kantor saja?).”

“Tasarah Hoofd aja. HI masih di sini. Inya tarus maangkat dan maarah akan ladingnya. (Terserah Ketua saja. HI mash di sini. Dia terus mengacung-acungkan pisaunya),” jawab Rusdi ragu.

Sekitar pukul 09.30 WITA pada Kamis, 1 September 1977, itu Djok sudah berada di depan kantor Banjarmasin Post, koran yang dia dirikan dan kelola bersama kawan-kawan mantan aktivis gerakan mahasiswa Angkatan 1966 itu. Begitu Djok tiba, HI yang sebelumnya sudah mengamuk itu menyambut Djok dengan sebilah pisau terhunus. HI tak sendiri, ia ditemani tiga orang lainnya yang juga mencabut pisau.

Djok berusaha lari menghindari kejaran kawanan itu. Tetapi malang, dia tergelincir dan jatuh di depan kantor Harian Utama, salah satu koran cukup besar pada era 1970-an di Banjarmasin. Ketika itulah tiga mata pisau ditudingkan ke arah Djok. HI membentak Djok dan memerintahkan ayah tiga anak ini meminta ampun. “Ya, saya minta ampun,” kata Djok kepada Sjachran R dari Majalah TEMPO pada awal September 1977.

Saat meminta ampun dan terdesak akibat tudingan pisau itulah, beberapa wartawan Harian Utama yang sedang berada di kantor muncul membantu Djok yang kala itu berusia 38 tahun. HI dan kawan-kawan pun langsung kabur. Para wartawan Harian Utama langsung memapah dan melarikan Djok ke rumah sakit.

Ternyata ketika Djok tergelincir saat berusaha menghindari HI dan kawan-kawan dia jatuh deras betul. Setelah tiba di Rumah Sakit Umum Ulin Banjarmasin, Djok diperiksa Bagyo S Winoto, seorang dokter bedah yang cukup ternama di Kalimantan Selatan kala itu. Pemeriksaan menemukan tempurung lutut kiri Djok pecah, kakinya patah, dan salah satu urat kakinya putus. “Kalau tak segera dioperasi bisa cacat seumur hidup. Timpang atau lumpuh,” kata dr Bagyo tentang tempurung lutut Djok yang pecah.

Pada Jumat (2/9) siang sekitar pukul 12.00 WITA dokter berhasil mengoperasi lutut kiri Djok yang cedera. Pada malam hari setelah Djok sadar dari pembiusan ketika operasi berlangsung, dia merasakan nyeri dan ngilu luar biasa pada tempurung lututnya yang sudah dijahit dengan kawat anti karat. Sakit yang luar biasa itu menyebabkan Djok tak bisa tidur. Baru pada malam ketiga setelah insiden itu rasa sakit berangsur-angsur berkurang.

Pasca operasi Djok harus diopname selama sebulan. Dan sesudah sembuh, Djok harus banyak beristirahat. Djok hanya boleh berjalan dengan dua tongkat penopang. Enam bulan kemudian tongkat itu mungkin boleh dibuang setelah kepingan tempurung lutut yang pecah bertaut kembali. Kawat-kawat yang digunakan menautkan tempurung lutut itu dicabut melalui pembedahan ulang.

Peristiwa percobaan pembunuhan tak hanya membuat Banjarmasin gempar. Di seluruh penjuru Kalsel dan Kalteng peristiwa itu menjadi buah bibir. Reaksi keras pun berdatangan, dari mahasiswa, politis lokal dan nasional, aparat keamanan dan penegak hukum, persatuan wartawan lokal dan nasional, dan pejabat Kalsel dan Kalteng. Semua mengutuk peristiwa percobaan pembunuhan itu. Pelaku pun ditangkap dan diproses di pengadilan.

***
Tak sekali dua Djok menghadapi rintangan. Ketika mulai membangun “Banjarmasin Post” misalnya dia menghadapi rintangan yang datang dari rekan sejawatnya saat bersama-sama turut menumbangkan Orde Lama yang kemudian memunculkan Orde Baru. Sayangnya kekuasaan yang cenderung korup juga berlaku pada Orde Baru. Orba menjelma menjadi rezim otoriter yang mengatur seluruh napas hidup khalayak. Djok kecewa.

Namun ia tetap melawan segala kelaliman dengan caranya sendiri, misalnya dengan menolak tawaran untuk menjadi anggota parlemen –baik di tingkat lokal maupun nasional—dan lebih memilih mengurus –juga membesarkan—Banjarmasin Post. Sebuah keputusan yang kini sulit dicari tandingannya ketika semua orang berlomba-lomba dan kadang dengan menghalalkan segala cara untuk menjadi anggota parlemen lokal dan nasional yang dilengkapi segala macam kemewahan duniawi. Djok bersikap tegas seperti motto "Demi Keadilan, Kebenaran, dan Demokrasi” pada Banjarmasin Post yang ia lahirkan dan besarkan.

Djok harus pintar meniti buih menghadapi berbagai rintangan yang datang. “Kalau tidak terus berkonsultasi dengan psikiater, saya sudah sakit saraf. Tulis begini, dipanggil si ini. Tulis begitu, dipanggil si itu. Yah, harus rajin minta maaf,” kata Djok kepada George Junus Aditjondro dari TEMPO pada awal September 1977. George kini dikenal sebagai aktivis anti korupsi dan rajin membongkar kekayaan mantan Presiden Soeharto. Kini George mengajar di sebuah perguruan tinggi di Australia setelah “pindah” dari Universitas Kristen Satywa Wacana, Salatiga, Jawa Tengah.

Namun jalan hidup rupanya tak selalu lempang. Hal itu juga berlaku pada diri Djok Menyata (Lahir di Sampit, Kalteng, 19 Juli 1939-Wafat di Jakarta 13 Januari 1994). Djok yang menurut Lies Pandan Wangi, putrinya, saat masih dalam kandungan sang ibu mimpi sedang mengasuh bulan itu –pertanda sang anak akan menjadi orang besar-- dikenal sebagai sosok penentang dominasi kapital besar media itu akhirnya mengalami ironi.

Hanya setahun setelah dia berpulang, Banjarmasin Post yang ia bangun dengan darah dan air mata itu tak lagi menjadi miliknya. Tak ada yang salah sesungguhnya dalam hal ini. Karena perubahan tak bisa diindahkan. Ia bisa menjadi macan yang memakan anaknya. Tetapi juga bisa menjadi macan yang dengan telaten menjaga dan membimbing anaknya hingga perkasa menghadapi perubahan.