Monday, December 15, 2008

Damang Masih Dipandang Sebelah Mata

Berita di Harian Sinar Kalimantan, Sabtu 2 Desember 2008

PALANGKA RAYA - Posisi Damang/Kepala Adat selama ini masih dianggap sebelah mata dalam setiap pengambilan keputusan. Kondisi ini sangat memprihatinkan mengingat lembaga Kedemangan merupakan institusi tertua di tengah masyarakat Indonesia yang menjujung tinggi nilai-nilai budaya.

“Damang harus memiliki posisi tawar dan memiliki kesamaan persepsi,” kata Setia Budhi, Direktur Eksekutif Centre for Reseach and Development Studies ( CRDS) kepada Sinar Kalimantan di Palangka Raya, kemarin.

Menurut dia, di berbagai daerah di Kalimantan, posisi Damang sering terjepit ketika harus berhadapan dengan investor yang didukung pemerintah daerah.
Di daerah rawan konflik kepemilikan tanah, posisi Damang selalu berada di pihak yang kalah karena tekanan penguasa dan pemodal besar. Dengan pertimbangan tersebut CRDS berupaya memberikan bimbingan dan pedampingan kepada Damang Kepala Adat yang wilayah kerjanya rawan gesekan kepentingan investor.

Damang Kepala Adat, kata Setia Budhi, harus di bekali pengetahuan seiring dengan perkembangan jaman. Seperti meningkatnya konflik tanah menyusul masuknya investor ke daerah ini. “Selama ini hak-hak Damang banyak terabaikan.” katanya.

Direktur Program CRDS, Budi Kurniawan menyatakan pihaknya siap mengadakan pendampingan bila para Damang/Kepala Adat terlibat konflik dengan investor menyangkut kepemilikan tanah di daerahnya. Saat ini CRDS memfokuskan pendampingan pada masyarakat adat di Daerah Aliran Sungai (DAS). “CRDS memiliki komitmen tinggi terhadap kearifan lokal,” kata Budi Kurniawan.

Dalam rangka memberdayakan posisi Damang CRDS menyelenggarakan pelatihan dasar-dasar HAM bagi Damang di daerah konflik di wilayah Kalteng dan Kalsel. Pelatihan dilaksanakan di Hotel Batu Suli Palangka Raya, mulai Senin (1/12) hingga Jum’at
(5/12). bgz/SK

Tuesday, December 9, 2008

Ketika Mereka Menghakimi Dayak


Oleh : Budi Kurniawan

Bertahun-tahun kerusuhan antar etnis
Dayak-Madura di Sampit, Kotawaringin Timur, Kalimantan
Tengah, telah berlalu. Tragedi paling berdarah di bumi
Kalimantan ini menyebabkan 90.000 orang Madura
terpaksa mengungsi pulang ke kampung halamannya.
Seperti puluhan orang Dayak lainnya di Sampit,
sebagian dari orang Madura itu tewas.

Konflik etnis ini tak sekadar menyentakkan. Tetapi
juga memunculkan kembali diskursus dan kontoversi
terhadap orang Dayak yang selama pemerintahan Belanda
di Indonesia sebagai suku terasing, tidak beradab,
barbarian, kanibal, dan biasa mengayau (memotong
kepala musuh dalam peperangan) ke permukaan.
Stigmanisasi Belanda ini “berhasil” menyesatkan
pandangan suku-suku lain di Nusantara terhadap orang
Dayak. Hingga kini misalnya anak-anak di Pulau Jawa
yang lahir pada era 1970-an percaya bahwa orang Dayak
itu berekor, haus darah, dan dilingkupi kehidupan
black magic yang pekat.

Penyesatan persepsi inilah yang dilakukan Michael
Theophile Hubert (MTH) Perelaer (1831-1901) dalam buku
yang ditulisnya dan diterjemahkan oleh Helius
Sjamsuddin ini. Perelaer yang pernah ambil bagian
dalam Perang Banjarmasin (1859) sebagai opsir Belanda
dan diangkat sebagai Civiel Gezaghebber (pejabat
sipil) di daerah Groote en Kleine Dajak --kini
Kalimantan Tengah-- (1860) ini di hampir seluruh
bagian buku yang ditulisnya menggambarkan dengan
sangat mumpuni keindahan rimba raya Borneo beserta
sungai-sungai yang bersih dan berarus deras mengalir.
Tentu sebelum ganasnya gergaji dan raung bulldozer
milik kaum kapitalis dari kota meluluh-lantakkan wajah
dan perut bumi.

Melalui kacamata empat serdadu Pemerintah Kolonial
Belanda (dua Swiss, satu Belgia, dan satu Indo beribu
Nias) yang minggat dari benteng Kuala Kapuas,
melakukan perjalanan selama 70 hari menembus belantara
Borneo dari utara ke Selatan melalui segala
marabahaya, dan tidak mau lagi menjalankan tugas
kemiliteran (desersi) karena merasa ditipu oleh
Pemerintah Belanda yang memberi janji penghasilan
melimpah saat mereka ditugaskan, Perelaer juga
berkisah tentang kebudayaan, mitos, jipen (denda
adat), perkawinan, persaudaraan dan kekerabatan, dan
ketajaman mandau Dayak Punan memenggal kepala
musuh-musuhnya.

Namun yang paling banyak dikisahkah Perelear adalah
hal yang terakhir. Di mata Perelear, kayau menjadi
bukti barbarianisme tumbuh, berkembang, dan menjadi
mesin pembunuh yang sangat efektif di kalangan orang
Dayak pada abad ke-19. Hampir di semua bab novelnya
(19 Bab), Perelear menggambarkan bagaimana kayau
berlangsung. Sayangnya Perelear lupa (?) –mungkin
karena buku ini bersifat novel-- menjelaskan mengapa
kayau hidup, berkembang, dan juga menjadi sarana
perlawanan terhadap kekuasaan kolonial selain menjadi
medium penaklukan dan lambang keperkasaan.

Namun tidak sekali ini saja penulis-penulis Belanda
–juga orang asing lainnya—menggambarkan dengan sangat
tidak sempurna dan cenderung mendiskreditkan orang
Dayak dan kayau-nya.

Buku berbahasa Prancis yang ditulis Jean-Yves Domalain
(1971) yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh
Len Ortzen berjudul Panjamon: I was a Headhunter
(Morrow, New York, 1973) pun demikian. Sebuah buku
yang berkisah tentang kayau terakhir (mungkin). Buku
ini lebih banyak memuat fantasi sang petualang (turis)
Domalain. Karena itu tidaklah mengherankan Library of
Congress (AS) membuat subjek buku ini sebagai
Borneo- Description and Travel yang secara tak
langsung menunjukkan kualitas buku ini tak lebih dari
sekadar iklan untuk turis yang keranjingan bepergian
ke tempat-tempat “eksotik”, liar, primitif, dan
menyeramkan. Terutama dalam menantang marabahaya
kayau.

Sama halnya dengan buku Wyn Sargent, My Life with the
Headhunters yang diterbitkan Garden City, New York,
Doubleday, 1974. Seorang Dayak Ngaju perantauan
menceritakan, Gubernur Kalteng WA Gara pernah terpaksa
mengusir Wyn Sargent, wartawan petualang asal Virginia
ini, karena menulis di koran dan tabloid di Amerika,
dan memberi wawancara bahwa dia tinggal di betang
(rumah panjang tempat beberapa keluarga Dayak tinggal
bersama denga guyub) bersama para pengayau dan
melakukan sex orgy setiap malam.

Dalam bukunya Sargent menceritakan hengkang dari
Borneo, ibu seorang putera (waktu itu berusia 11
tahun) kembali berpetualang ke Lembah Baliem, Papua
Barat. Di sini dia mengaku kawin dengan kepala suku
Bahorok atau O'Bahorok. Sargent kembali membuat
sensasi dengan gambar-gambar pesta perkawinan yang
sebenarnya cuma pesta biasa di kalangan
orang-orang Bahorok selesai musim tanam. Sargent
mengklaim gambar-gambar itu sebagai pesta
perkawinannya dengang sang kepala suku. Sargent
kembali membumbui kisahnya dengan sex orgy seperti
yang dilakukannya di Borneo. Dengan cara demikian
Sargent melengkapi fantasi keprimitifan Borneo dan
Papua bagi para pembaca buku-buku berbahasa Inggris di
Amerika dan Eropa.

Penguasa kolonial dan turis menggunakan ketidaktahuan
–bisa jadi karena kesengajaannya—berkisah dan
melebih-lebihkan kenyataan yang ada agar orang
membayangkan Borneo –juga Papua-- sebagai tempat
primitive. Kayau di tangan mereka dibumbui dengan
cerita-cerita lisan yang menggambarkannya sebagai kegiatan
perorangan yg meneror komunitas
lokal maupun seberang sana. Mereka tak pernah berkisah
alasan di balik propaganda kayau sebagai medium
perang psikologis, pertahanan, dan reaksi terhadap
sesuatu yang sudah berlangsung kelewat batas.

Prof Andrew P Vayda dalam bukunya War in Ecological
Perspective: Persistence, Change, and Adaptive
Processes in Three Oceanian Societies (1976)
mengungkapkan bagaimana upaya propaganda menjadi alat
pertahanan komunitas maupun tribal nation setempat
untuk mengamankan wilayahnya dari para pengganggu
keseimbangan hidup dan kearifan lokal yang sudah
berlangsung dan terpelihara sekian lama.

Perelear mungkin lupa bahwa orang Dayak bisa juga
menjadi lebih beradab dengan saling berdamai dan
menghentikan pertikaian yang berlangsung ratusan tahun
melalui sebuah rapat besar yang dihadiri oleh para
utusan dari 400 kelompok Suku Dayak di seluruh
Kalimantan di Desa Tumbang Anoi, Kahayan Hulu Utara,
Kalimantan Tengah, pada 22 Mei -24 Juli 1894.

Pertikaian yang berlumuran adat kebiasaan lama yang
sudah terlanjur membudaya, berurat berakar warisan
negatif dalam bentuk asang-maasang (perang suku),
bunu-habunu (saling membunuh), kayau-mangayau (saling
penggal kepala), dan jipen-hajipen (saling mendenda),
berganti menjadi suasana yang penuh getaran semangat
pembaharuan dan persaudaraan yang pekat akibat Pakat
Tumbang Anoi itu.

Lalu jika kayau terjadi dalam konflik etnis di Sampit
silam, tentu penyebabnya adalah sesuatu yang
maha luar biasa. Hanya sesuatu yang maha dahsyatlah
yang bisa membangkitkan reaksi orang Dayak dalam
bentuk mangayau musuhnya itu hidup kembali.
Ketidakadilan dan pemihakan kekuasaan yang
meminggirkan hak-hak orang Dayak lah yang sesungguhnya
menjadi penyebabnya. Kayau dalam bentuk modern
(korupsi, diskriminasi, penjarahan kekayaan rimba raya
Borneo dan seterusnya) justru lebih berbahaya dari
kayau yang sudah lindap pasca Pakat Tumbang Anoi 1894.

Friday, December 5, 2008

Senja Kala di Tanah Dayak


Genosida budaya berlangsung sistematis. Kapitalis besar tak hanya merampas tanah. Tapi juga membunuh segalanya. Lembaga Kedamangan dan keberlangsungan adat terancam. Perlawanan harus dilakukan.

Oleh : Budi Kurniawan

Pada suatu masa, hiduplah seekor monyet dan kura-kura –orang Dayak di Kalimantan Tengah menyebut dua binatang ini, bakei dan kelep. Untuk bertahan hidup keduanya sepakat menanam pisang. Karena bisa memanjat dengan mudah, hanya monyet yang bisa menikmati kala pisang yang berbiji yang ditanam itu berbuah.

Melihat prilaku buruk monyet, kura-kura protes. “Bakei nenga aku bua pisang te (Monyet, berikanlah aku buah pisang itu),” kata kura-kura dalam bahasa Kapuas –banyak orang menyebutnya sebagai bahasa Kahayan.

Monyet di puncak pohon pisang bergeming. Ia asyik terus menikmati manisnya buah pisah yang ditanamnya bersama kura-kura. “Mangat bua tuh kelep (buah pisang ini enak sekali),” kata monyet.

“Mun dia bua, upak a barangai (kalau tidak bisa buahnya, kulitnya juga boleh),” kata kura-kura.
“Upak a gin mangat (kulitnya pun enak.”
“Mun dia tau upak ah, bawak a barangai (kalau tidak bisa kulitnya, bijinya juga boleh).”

Permintaan kura-kura tak berjawab. Kura-kura yang jengkel kemudian menyusun siasat. Ia memiringkan tubuhnya dan mengarahkan sisi rumahnya di bawah pohon pisang. Sementara monyet yang keasyikan menikmati buah pisang tak menyadari bahaya yang menanti di bawah. Saat ingin mengambil kembali buah pisang, tangannya tak sampai. Keseimbangan tubuhnya pun goyah. Tak ayal, tubuh monyet pun jatuh deras menimpa sisi rumah kura-kura yang tajam. Darah pun berhamburan. Monyet pun tewas.

Kisah yang hingga kini sudah jarang terdengar di antara komunitas Dayak di Kalimantan Tengah diceritakan Damang Kecamatan Timpah, Kabupaten Kapuas, Punding W Daron, dalam Pelatihan Dasar-Dasar Hak Asasi Manusia untuk Damang Kepala Adat Kalteng dan Kalsel yang berlangsung di Palangka Raya pada 1-5 Desember 2008. Pelatihan yang digagas Center for Research Development Studies, Banjarmasin, ini diikuti para Damang dan Kepala Adat dari lima daerah aliran sungai berbeda di Kalselteng.

“Apa yang jadi pesan dari kisah ini. Nasib kura-kura sama dengan orang Dayak. Orang Dayak yang tertipu berkali-kali baru bisa memperoleh haknya setelah berjuang dengan sangat keras,” kata Punding W Daron.

Ya, budaya Dayak di seluruh Kalimantan sesungguhnya sedang berada di ujung senjakala. Derasnya globalisasi menghantam eksistensi Dayak beserta seluruh bagian adatnya. Masyarakat adat terancam. Ancaman ini juga datang dari derasnya suku bangsa lain yang datang ke tanah Dayak dan tidak mengindahkan –juga menghormati—semua budaya yang telah hidup dan berakar.

Dalam sebuah perjalanan ke Palangkaraya, ibukota Provinsi Kalteng, saya mendengar sayup-sayup sampai musik dengan gending Jawa mengudara di sela acara sebuah pernikahan. Tak hanya itu, bahasa Ngaju yang sudah ratusan tahun hidup pun diganti bahasa Banjar yang disebarkan dengan sangat ekspansif oleh para penuturnya.

Persoalan kian pelik ketika kapitalisasi perkebunan sawit merajalela. Di pinggiran jalan trans Kalimantan kini membentang luas perkebunan sawit. Semua ini sungguh kontras ketika hutan rimba masih meraja memenuhi tanah Kalimantan.

Penguasa rupanya mendewakan angka pertumbuhan ekonomi sebagai gambaran keberhasilan pembangunan, lalu menapikkan manusia dan hak adat. Sawit menjelma menjadi sektor penting mendatangkan investor. Logika investor datang membawa pundi-pundi uang, menanamkannya, memberi berkah, kebaikan, dan pendapatan diyakini para penguasa. Soal bagaimana lingkungan porak-poranda, hutan yang beralih fungsi, rusaknya tatanan sosial dan budaya, dan berada di tubir jurangnya kearifan lokal menjadi hal yang tak pernah dihitung. Benda dan uang menjelma menjadi “Tuhan” baru yang diyakini bisa menentukan dan membeli apapun.

Kini di wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan terdapat 1,8 juta hektare program sawit dan enam juta hektare untuk pengembangan biofuel; di Kalimantan Tengah saat ini ada 334 izin perkebunan kelapa sawit yang telah dikeluarkan dengan luas areal yang dicadangkan mencapai 4,2 juta hektare. Dari jumlah itu, yang beroperasi baru 130 izin dengan luas areal 600 ribu hektare dan sisanya sebanyak 204 izin belum operasional. Data Departemen Kehutanan hingga Desember 2006 ada pencadangan pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan di Kalimantan seluas 4,3 juta hektare. Dari luas itu yang terealisasi menjadi perkebunan 373.303 hektare dan yang belum termanfaatkan 3,9 juta hektare.

Secara nasional hingga tahun 2006, luas perkebunan kelapa sawit telah mencapai 6.04 juta hektare dengan laju tanam rata-rata dalam waktu lima tahun (1999-2004) mencapai 400,100 ha per tahun (Sawit Watch, 2006). Produksi CPO Indonesia mencapai 16,17 juta ton dibandingkan Malaysia yang hanya 15,88 juta ton (Investor Daily, 01/02/2007). Struktur produksi bisnis minyak sawit dikuasai dan berasal dari 27 grup besar mengendalikan sekitar 600 anak perusahaan yang tersebar di 19 provinsi dan dikembangkan dengan distribusi 50% milik swasta, 33% petani kecil penghasil buah, dan 17% BUMN (Deptan, 2006). Dari segi investasi, hampir 45% berasal dari Malaysia.

Ekspansi besar-besaran ini akhirnya bermuara pada konflik perusahaan versus masyarakat adat, hukum positif versus hukum adat, dan genosida budaya. Hampir di semua daerah yang dimasuki para investor konflik lahan terjadi. Sampai tahun 2006, terdapat 140 kasus yang melibatkan 353 komunitas di wilayah perkebunan yang melibatkan sesama masyarakat lokal atau dengan pendatang.

Sawit Watch mencatat, sekitar 70% dari 500 kasus perselisihan perkebunan besar swasta dan warga bersumber dari sengketa tanah. Di Kalimantan Tengah, ada sekitar 20 kasus sengketa yang dilaporkan. Konflik ini terjadi karena kesalahan sejak awal proses perizinan yang tak melibatkan warga sehingga terjadi tumpang tindih lahan. Ketika persoalan terjadi, para penegak hukum menafikkan hukum adat. Mereka lebih memilih menegakkan hukum positif. Padahal adat ada jauh sebelum republik ini berdiri.

Proses ini seperti mengulangi kesalahan fatal Orde Baru dengan Proyek Lahan Gambut (PLG) Sejuta Hektare yang gagal dan menyengsarakan hingga kini. Soeharto dan menteri-menterinya membagi hutan Kalteng bak puzzle dari Jakarta, tanpa melihat di tanah yang mereka bagi itu hidup orang Dayak dengan seluruh potensi alam dan kearifan lokal yang mereka miliki. Konflik lahan kala itu dihadapi dengan senjata dan intimidasi.

Menarik apa yang dikatakan Darius Dubut, seorang Doktor yang bergerak dalam diam di pedalaman membela orang-orang Dayak, tentang betapa besarnya “api” dalam sawit. “Uluh Dayak bara tatu hiang a bihin, belum bara himba, upun kayu, metu dan sebagainya. Itah maimbul parei hong tana haru tau amun jadi balaku dengan liau. Himba lepah, sawit dumah, itah dia tau hindai babalian balaku izin dengan liau? Itah dia tau hindai manyambulut burung. Itah tau matei lepah (Orang Dayak sejak nenek moyang dulu, hidup dari hutan, kayu, binatang dan sebagainya. Kita menanam padi di ladang baru bisa dilakukan setelah menggelar upacara meminta izin pada roh. Ketika hutan hilang, dawit datang, kita tak lagi bisa menggelar upacara dan memuja alam. Kita tak bisa lagi menjebak burung di pohon. Kita akan binasa,” kata Darius. Senjakala sepertinya akan tiba di tanah Dayak.