Thursday, January 19, 2012
Berminat Memiliki dan Melestarikan Budaya?
Upacara Tiwah dalam masyarakat Dayak penganut agama Kaharingan, sesungguhnya mer...upakan ritual tertinggi. Melalui serangkaian upacara panjang, melalui sebuah jembatan, roh leluhur diantar menuju surga. Kami mendokumentasikan seluruh rangkaian upacara itu dalam sebuah film dokumenter produksi PADMA Publisher & Communications (Penerbit Tabloid URBANA). Berminat memiliki dan melestarikan budaya? Hubungi via blog ini. Harga Rp55.000,- sudah termasuk ongkos kirim.
Monday, January 9, 2012
Surat dari Lombok Sudah Berada dalam Tubuh
Oleh: Budi Kurniawan (Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi Tabloid URBANA, bekerja di Banjarmasin, tinggal di Jakarta)
Nyiur melambai di pantai landai. Ombak putih saling berkejaran, lalu berdebur di pantai berpasir halus. Angin berembus pelan membelai dedaunan rimbun pohon cemara. Ratusan bule menjemur diri di bawah terik mentari pagi. Di pantai yang senyap, sebagian di antara mereka bercengkerama dengan pasangan masing-masing. Sebagian lainnya, asyik membaca buku, berselancar, berenang, dan menyelam menikmati indahnya laut di sekitar Gili Trawangan, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, awal November lalu.
Keindahan alam dan suasana senyap, rupanya menjadi alasan utama para pelancong dari berbagai negara mengunjungi Lombok dan pulau-pulau kecil di sekitarnya. Data Pemprov NTB tahun 1980 mencatat ada 101 pulau yang berada di sekitar Lombok. Pulau-pulau seperti Gili Trawangan, Gili Air, dan Gili Meno, menjadi salah satu tujuan utama para turis selain Pantai Senggigi yang terkenal itu dan obyek wisata lainnya.
Secara umum, topografi dan kebudayaan di Lombok sangat mirip dengan Bali. Karena itu pula, sejak lama banyak orang menyebut Lombok sebagai Bali kedua. Namun, Lombok bisa jadi lebih eksotis dan alami dibanding Bali. Obyek-obyek wisata di pulau ini relatif masih belum banyak direkayasa tangan manusia. Selain itu, tak seperti Bali yang riuh dan padat pelancong, di Lombok semua masih berlangsung sangat damai.
Karena itu, Pulau Lombok mengibarkan semangat wisata dengan jargon, “Anda bisa melihat Bali di Lombok, tapi Anda tak bisa melihat Lombok di Bali”. Slogan ini tak berlebihan, karena nuansa Lombok memang tak jauh beda dengan nuansa Bali. Anda bisa melihat pura atau tata cara peribadatan umat Hindu di Bali, tapi tak bisa menyaksikan keindahan budaya Islam seperti yang ada di Lombok. Karena nuansa Islam yang sangat kental, khalayak menjuluki Nusa Tenggara Barat sebagai provinsi ‘Seribu Mesjid’.
Hampir di semua pulau –orang Lombok menyebutnya Gili—terdapat keindahan alam luarbiasa. Di Gili Trawangan misalnya, pelancong bisa berkeliling pulau sepanjang 7,3 Kilometer menggunakan Cidomo, pedati khas Lombok. Satu Cidomo bisa diisi enam penumpang yang duduk saling berhadapan. Biayanya relatif murah, Rp35.000,- untuk tiga penumpang. Sedangkan untuk jarak dekat, tarifnya Rp3000,- hingga Rp5000,-.
Di pulau seluas 360 hektare yang sama sekali tak ada kendaraan bermotor ini, terdapat 32 Cidomo. Sarana transportasi tradisional ini juga biasanya digunakan pelancong menuju hotel atau penginapan dari tempat pendaratan. Selain untuk mengantar pelancong berkeliling pulau, Cidomo juga digunakan untuk mengangkut berbagai barang, dari air tawar, makanan, buah-buahan, sayuran, hingga minuman ringan berbagai merek.
Selain Cidomo, pelancong juga bisa menggunakan sepeda sebagai alat transportasi di Gili Trawangan. Sepeda-sepeda ini disewakan baik oleh penginapan maupun warga lokal. Tarifnya sebesar Rp50.000,- sehari semalam. Umumnya sepeda berkondisi baik dan bermerek.
Sambil berkeliling pulau, kita bisa menyaksikan panorama di sepanjang pantai Gili Trawangan dengan lautnya yang membiru. Rumah-rumah penduduk yang sederhana dan khas juga jadi pemandangan tersendiri di bagian tengah pulau. Di pulau ini terdapat 315 kepala keluarga. Rata-rata merupakan pendatang dari Lombok. Mereka mulai bermukim sejak pulau ini mulai dikunjungi banyak pelancong. Warga umumnya bekerja tukang pijat, penjual cenderamata, pembuat rumah, pelayan restoran, dan karyawan hotel.
Di Gili Trawangan sangat mudah mendapatkan tempat menginap. Terdapat puluhan penginapan dengan kelas dan harga beragam, dari Rp300 ribuan hingga Rp1,5 juta per malam.
Harga umumnya ditentukan letak penginapan. Yang berada di sepanjang pantai harganya lebih mahal. Sebaliknya yang jauh lebih murah. Harga juga ditentukan oleh tersedia tidaknya air tawar di penginapan. Maklumlah di Gili Trawangan tidak banyak terdapat sumber air tawar.
Untuk Anda berlibur sambil bekerja, tidak perlu khawatir. Sarana komunikasi dan perbankan di Gili Trawangan sudah jauh dari cukup. Beberapa bank menyediakan mesin ATM. Hampir semua penginapan juga menyediakan internet, bahkan Wifi pun tersedia hingga ke kamar-kamar. Berbagai barang kebutuhan tersedia di banyak toko. Tapi, harganya jauh berbeda dibanding di Lombok.
Di bagian utara Gili Trawangan, para penggemar diving bisa menyaksikan kelompok ikan hiu jinak. Pada kedalaman 80 feet, bisa disaksikan beberapa ekor ikan hiu yang sedang beristirahat. Sementara di bagian timurnya terdapat sponge point atau sponge garden yang dipenuhi karang dan ikan-ikan berwarna menawan.
Di bagian timur Gili Trawangan terdapat konservasi penyu sisik (Eretmochelys Imbricata). Selain berhasil menyelamatkan, konservasi milik pribadi ini juga berhasil menetaskan dan melepaskan banyak penyu ke lautan. Upaya konservasi ini menyedot banyak perhatian para pelancong.
Selain di Gili Trawangan, para penggemar snorkling bisa mendapat pemandangan indah di Gili Meno. Pulau ini memiliki banyak karang laut yang bisa dilihat tanpa harus menyelam lebih dalam. Ikan hias di pulau ini sungguh berlimpah. Ikan untuk dikonsumsi seperti Kerapu dan Napoleon juga mudah didapat. Wisatawan Jepang yang datang pada bulan Mei-Juni menyenangi dua jenis ikan ini.
Jika ingin bersantai, Anda juga bisa memilih menginap di Gili Air. Luas pulau kedua di seberang Gili Trawangan ini 180 hektare dengan keliling 6 Kilometer. Di sini juga banyak penginapan, dari yang sederhana hingga berpendingin udara. Di laut sekitar pulau ini juga terdapat ikan hias aneka warna.
Dibanding Trawangan dan Meno, Gili Air jauh lebih sepi. Ombak biasanya berdebur setelah senja menjelang. Kebun-kebun milik warga yang berada di sekitar penginapan menambah asri suasana. Begitu juga dengan pohon-pohon kelapa yang tumbuh bebas memenuhi tepian pantai Gili Air.
***
Untuk menuju Gili Trawangan, Meno, dan Air relatif mudah dan murah. Jika bepergian dari Jakarta, Anda bisa menggunakan pesawat udara menuju Bandara Internasional Praya di Lombok Timur. Bandara ini baru sekitar tiga bulan menggantikan Selaparang sebagai pintu masuk utama ke Lombok, NTB. Berbeda dengan Selaparang yang berada di tengah kota, Praya berada cukup jauh dari Mataram. Sarana dan prasarana bandara ini juga masih belum lengkap. Penataan bandara masih berlangsung disana-sini. Hampir di seluruh bagian luar menuju bandara masih gersang. Jalanan menuju bandara pun masih baru diaspal.
Parahnya, pengaturan bandara masih jauh dari sempurna. Kala musim haji, bandara dipenuhi ribuan warga yang mengantar atau menjemput sanak-saudara mereka ke dan dari Tanah Suci. Pengantar dan penjemput memenuhi bagian luar pintu masuk bandara, sehingga cukup menyulitkan penumpang yang datang dan mencari angkutan. Para pengantar dan penjemput ini juga meninggalkan sampah dimana-mana. Akibatnya, bandara jauh dari kesan internasional. Yang ada justru kumuh, kotor, dan penuh sampah.
Memasuki Lombok dari Bandara Praya, kita wajib hati-hati, terutama ketika memilih angkutan menuju berbagai tempat wisata di NTB. Made Sudana, sopir taksi yang mangkal di bandara itu berkisah, menurutnya banyak angkutan gelap (tanpa izin) yang beroperasi di sana. Mereka umumnya menawarkan angkutan jenis minibus dengan harga cukup mahal, hingga ratusan ribu untuk perjalanan Bandara-Mataram.
Langkah terbaik untuk menghindari para calo angkutan ini adalah dengan berpura-pura sudah dijemput saudara atau berjalan kaki agak ke luar bandara baru kemudian naik taksi argo. Ini terpaksa dilakukan karena angkutan umum di bandara –juga di Mataram—umumnya tak banyak beroperasi. Jika ingin menghemat, bisa juga naik angkot. Namun Anda harus rela berganti-ganti angkutan hingga menuju Bangsal Pemenang.
Dengan menggunakan taksi argo kita menuju Bangsal Pemenang, 25 Kilometer arah utara Mataram, tempat pemberangkatan para pelancong menuju Gili Trawangan, Air, dan Meno. Perjalanan dari bandara ke Bangsal cukup jauh, memakan waktu hampir dua jam. Setelah melewati Mataram dan menuju Bangsal, Anda akan melewati jalan berkelok, menanjak, dan menurun. Di sebelah kiri terhampar lautan luas yang terlihat jauh karena terlindung jurang. Sedangkan di sebelah kanan, terhampar perbukitan yang sebagian besar telah gundul.
Tiba di Bangsal, kita harus menunggu kapal penuh penumpang sebelum berangkat menuju Gili Trawangan. Kapal penyeberangan yang berkapasitas 30-an orang itu dioperasikan sebuah jasa angkutan berbentuk koperasi. Ongkos menyeberang per orang relatif murah. Biayanya tercantum dalam tiket yang dijual penyedia jasa angkutan. Jika ingin cepat sampai, bisa mencarter kapal dengan biaya di atas Rp115 ribu sekali jalan.
Perjalanan Bangsal-Gili Trawangan hanya membutuhkan waktu kurang dari 20 menit. Perjalanan berlangsung lancar, karena ombak hanya berdebur sesekali dan angin pun berembus pelan. Dari tengah laut, kita bisa menyaksikan gunung-gunung, bukit-bukit, dan pantai Pulau Lombok yang indah. Dari kejauhan kita menyaksikan Pantai Senggigi dengan pasir putihnya yang menawan. Gunung Rinjani setinggi 3.726 meter di atas permukaan laut dan yang ketiga tertinggi di Indonesia, puncaknya nampak tertutup kabut dan awan.
Tiba di Gili Trawangan kita langsung disambut pantai berpasir putih yang bersih dan terpelihara. Pelancong asing asyik berjemur di sepanjang pantai dengan pakaian-pakaian minim. Mereka juga berselancar dan berenang. Silih berganti kapal membawa penumpang yang baru tiba dan pelancong yang pergi meninggalkan Gili Trawangan setelah menginap beberapa hari.
Di jalanan pulau, Cidomo lalu-lalang membawa berbagai barang. Pengelola penginapan berlomba menawarkan kamar. Para pedagang dan pemilik penyewaan peralatan menyelam, sepeda, dan anak-anak pantai menawarkan jasa masing-masing. Kesibukan ini terus berlangsung hingga malam tiba.
Untuk pecinta kuliner tak perlu khawatir ketika berada di Gili Trawangan atau pulau-pulau kecil lain yang Anda kunjungi. Di pulau-pulau ini, segala macam makanan, baik lokal maupun internasional tersedia. Harganya beragam, dari Rp15.000,- per porsi hingga ratusan ribu rupiah. Restoran yang umumnya dimiliki para pemodal asing yang bekerjasama dengan orang lokal terhampar di sepanjang pantai. Makan malam yang romantis ditemani cahaya lilin dan deburan ombak pun tersedia.
Sebelum malam tiba, Anda bisa menyaksikan matahari terbenam dari banyak bagian pulau. Para pelancong biasanya bersepeda menuju pantai-pantai ketika senja menjelang menunggu matahari terbenam sambil menikmati makanan dan minuman yang disediakan pengelola penginapan.
Namun, Gili Trawangan dan tempat-tempat wisata lainnya di Pulau Lombok tak hanya menyimpan keindahan tiada tara, tapi juga bara perbenturan keras kebudayaan. Beberapa orang yang saya temui di sepanjang Pantai Senggigi berkisah soal kekhawatiran mereka. Umumnya mereka bersyukur atas berkah keindahan alam yang mendatangkan banyak uang bagi warga Lombok. Tapi berkah itu sesungguhnya sedang diuji.
Ujian itu berupa kian tersingkirnya warga lokal yang awalnya menjadi pemilik tanah yang di atasnya telah banyak berdiri bungalow, hotel, dan penginapan.Umumnya mereka hanya memperoleh remah-remah pariwisata dengan menjadi pelayan restoran, karyawan hotel, penjual cendera mata, tukang pijat, tenaga keamanan, guide, dan pengemudi Cidomo.
Tapi apa mau dikata, pariwisata selalu jadi pedang bermata dua. Satu sisi mendatangkan banyak uang. Di sisi lainnya, kebudayaan bisa kehilangan makna dan jadi produk semata.
Di Gili Trawangan hal ini nampak sangat jelas. Di pulau ini ratusan hektare lahan dikuasai perusahaan-perusahaan besar. Mereka membangun banyak hotel berkelas. Para pemodal umumnya orang asing yang bekerjasama dengan pengusaha-pengusaha asal Lombok. Sebuah restoran yang berada di tepi pantai misalnya dimiliki orang Jerman yang berkongsi dengan pengusaha asal Jakarta. Hal yang sama juga terjadi di tempat-tempat wisata lainnya di Lombok.
Tak jauh dari pantai di Gili Trawangan yang dipenuhi penginapan dan restoran, sebuah mesjid nampak belum jadi dibangun. Tak banyak warga yang menjalankan ibadah di mesjid ini. Namun yang menarik adalah, di depan mesjid berdiri sebuah baliho berukuran cukup besar. Di baliho itu tertulis kata-kata penuh perlawanan terhadap hegemoni pemodal dan datangnya budaya asing ke Gili Trawangan. Baliho ini mungkin hanya sebagian kecil bukti adanya pergerakan akibat telah terjadinya perbenturan budaya.
Muhammad Noor (35), warga Lombok Timur yang empat hari dalam sepekan rutin mendatangi Gili Trawangan karena dipanggil pelancong untuk memijat berkisah tentang baliho itu. Katanya, itu mungkin reaksi dari banyak orang yang tidak bisa mengubah diri dan persepsi terhadap pariwisata. “Saya ini tukang pijat yang dipanggil bule-bule. Saya merasa itu berkah wisata. Dengan upah memijat saya bisa hidup dan menghidupi keluarga. Anda bayangkan, saya mencari nafkah dengan menyentuh badan orang. Tapi, saya tetap menjadi muslim yang baik. Kita harus bisa mengubah pikiran dan pemahaman,” kata Muhammad Noor yang biasa disapa Matnor itu.
Dalam hati sebelum meninggalkan Gili Trawangan dan kembali ke Kalimantan, saya berharap semoga baliho perlawanan itu tak menjadi pemantik perbenturan kebudayaan yang lebih keras lagi. Dan semoga banyak orang bersikap seperti Matnor.
Harapan itu ternyata sia-sia. Tak berapa lama, di penghujung 2011, benturan keras berlangsung juga di Pulau Lombok. Masyarakat yang berdemonstrasi di Pelabuhan Sape, Bima, Lombok Tengah, menentang keputusan bupati yang mengizinkan perusahaan tambang beroperasi di sana, ditembaki polisi. Beberapa orang tewas. Komnas HAM menyebut tiga orang tewas, masyarakat menyebut empat orang, dan polisi menyebut hanya dua dalam peristiwa itu.
Seperti yang sudah-sudah, konflik polisi-masyarakat lebih sering berujung pada penangkapan orang-orang yang dituding sebagai provokator –sejak Orde Baru, “hantu” provokator ini rupanya masih saja dimunculkan hingga kini--, diajukan ke pengadilan dan dihukum, lalu pemerintah membentuk tim pencari fakta, orang-orang pintar saling bersilang sengketa dan mengajukan data-data, dan perkara pun selesai tak berujung.
Jika terus begini, percayalah, Republik ini sudah berada di tubir jurang. Kekerasan akan terus berlangsung di sekujur tubuh Republik. Rakyat pasti akan terus jadi korban, apapun alasannya. Perpecahan bangsa ini bukan lagi ada di depan mata. Tapi sudah berada dalam tubuh. U
Wednesday, September 21, 2011
September
September kembali berada di ujung penanggalan. Kala September, selalu saja kenangan akan nama-nama mereka yang pernah mampir kembali tiba menyapa. Bagi kawan-kawan itu --juga bagiku-- September menjadi bagian tahun yang tak pernah berakhir. Sejarah itu tetap abadi hingga kini. Entah lusa nanti...Takzim untukmu selalu kawan....
Mencoba Memahami
Setelah bertahun-tahun jadi wartawan di berbagai media di Jakarta, dan kini lebih banyak berada di Kalimantan, saya perlahan mencoba memahami keadaan dan orang-orang. Banyak yang berubah. Satu per satu sahabat pergi meninggalkan idealisme dan bergabung bersama orang-orang di "seberang". Tak ada yang salah memang, karena hidup tentu sebuah pilihan.
Saya juga mencoba memahami kian punahnya budaya perlawanan. Kekuasaan kian jumawa. Beberapa orang yang saya kira berada di dataran yang sama, ternyata melawan hanya sesaat, ketika bertemu "harga" yang cocok, mereka kemudian pergi.
Segala persoalan yang datang dan pergi, membuat saya mencoba memahami, mungkin ada baiknya mengerjakan yang bisa dikerjakan, walau kecil sekalipun.
Banjarbaru, September 2011
Saya juga mencoba memahami kian punahnya budaya perlawanan. Kekuasaan kian jumawa. Beberapa orang yang saya kira berada di dataran yang sama, ternyata melawan hanya sesaat, ketika bertemu "harga" yang cocok, mereka kemudian pergi.
Segala persoalan yang datang dan pergi, membuat saya mencoba memahami, mungkin ada baiknya mengerjakan yang bisa dikerjakan, walau kecil sekalipun.
Banjarbaru, September 2011
Wednesday, July 28, 2010
Hanya Sehelai
Berbincang tentang bintang jatuh di kejauhan
Mengenangkan perjalanan para leluhur yang dikalahkan akal budi yang diselewengkan siasat terburuk seperti merentangkan setiap helai rambut di sepanjang jalan hingga tiba di tempat yang mereka sebut akhir tujuan perjalanan. Akhir itulah yang menjadi awal perjalanan setelah kehilangan segalanya termasuk juga harga diri yang murah semurah-murahnya hingga elang burung suci itu pun memalingkan mukanya ketika ayat-ayat dan doa-doa dinaikkan agar perjalanan benar-benar berakhir di tanah harapan. Tanah menyaksikan bintang-bintang berjatuhan lalu harapan diudarakan dan tak jua berjawab hingga hari berganti dan luka menjadi sarang darah nanah dan belatung berjatuhan menggantikan mantra-mantra yang tak lagi punya tempat berpijak kecuali menadahkan tempayan menampung semua airmata yang tak kuasa bertahan
Berbincang tentang terbit pelangi di balik bumi berujung
Di ujung pelangi itulah bongkahan emas menanti disetubuhi menjadikannya perhiasan berharga menghiasai paras hingga ujung jari yang retak diretakkan godam mereka yang mengirimkan berbungkus-bungkus airmata hingga menerbitkan tangis. Lunglai jiwa lunglai hati ketika menjadikan airmata bekal perjalanan menuju harapan kematian tapi tak jua kunjung berhenti atau menjenguk sesekali apalagi menyapa dengan tulus hati. Tak guna berharap pada pelangi ketika hanya tangis yang bisa dijadikan buah tangan yang garis-garisnya tak lagi beraturan membentuk kisah nasib perjodohan dan rejeki tapi hanya membentuk jalan menuju kematian yang datang diam-diam sambil menunggu kapan waktu tepat untuk berkunjung
Berbincang tentang jalan airmata yang menenggelamkan segala
Tulus hati tak pernah tiba ketika mesiu menundukkan perlawanan panah tombak parang sumpit bengkok membengkokkan hati jauh sasaran meleset melesatkan sejarah jauh ke pinggiran dan menjadikannya bunga tidur dan dongeng tak berkesudahan. Di tanah inilah kami berdiri menyanyikan kidung malam sambil merindukan lolong serigala beruang dan lesatan burung elang di angkasa yang berbalas hujan airmata membasahi kerontang tanah yang dulu mendekap dalam hangat mimpi. Berhelai-helai bulu burung elang berjatuhan tapi tak sehelai pun berhenti dalam dekap tangan semuanya bertebaran naik memenuhi langit kemudian menghilang padahal untuk sembuhkan semua luka ini hanya perlu sehelai. Elang menitikkan airmata melihat seluruh helai bulunya dihumbalangkan angin. Merenangi airmata tenggelam dalam kedalamannya menuju dasar terdalam mencari kuburan masing-masing linglung di pekuburan tak bernisan
(Quawpaw, Oklahoma, Juli 2010)
Monday, July 26, 2010
Surat dari Amerika (Bagian Kedua)
Sarah...
Oleh : Budi Kurniawan
(Wartawan, bekerja di Banjarmasin, tinggal di Jakarta.
E-mail: budibanjar@yahoo.com)
Dari sebuah rumah di sebuah komplek yang teduh di pinggiran Los Angeles, nada-nada berdentingan kala jemari kecil itu menari di atas papan-papan piano. Nada-nada itu membentuk lagu. Sederhana. Ada ragu saat jemari itu kebingungan harus menekan papan mana untuk melanjutkan lagu yang dimainkan. Di saat seperti itu, mata kecilnya yang indah memandang pada sang ibu yang sibuk mengiris tomat, bawang merah, dan cabe merah, mengaduknya dan mencampurkannya dengan remasan jeruk nipis segar, bertanya ke mana jari harus ditekankan agar lagu bisa terus berlanjut. Di dini hari yang dingin itu, sang ibu memberi arah. Tapi lagu tetap tak bisa mencapai tuntas paripurnanya.
“Mom, how can I play this song? My books leave in Ambon. U must bring it,” kata gadis kecil bermata hitam itu pada sang ibu.
“Ok, when holiday next year, we are going to Ambon again and bring your book and you can play that’s song. Right? Now, how can you say good night in Bahasa?”
“That’s simple Mom. Selamat malam,” jawab si gadis kecil sambil tertawa kecil.
Ada rasa yang berbeda kala mendengar kata ‘Selamat Malam’ keluar dari gadis kecil warga Amerika itu. Namun tak hanya kata sederhana itu yang bisa ia suarakan. Ia mahir berhitung dalam Bahasa Indonesia. Ia mengenal Ambon dengan sangat sempurna. Kian sempurna lagi ketika hampir sebulan ia berada di sana, bermain bersama anak-anak Ambon, menyaksikan dan menjadi bagian terapat dari keindahan alam dan kekhasan masyarakatnya.
Bagi Sarah, gadis kecil bermata indah itu, Ambon bukan sekadar tempat berlibur. Dari pulau dengan pantai, tanjung, dan gunung-gunung indah itulah leluhurnya berasal. Usi Endah, ibunya orang Ambon yang bermukim dan menjadi warga negara Amerika sejak tahun 1980. Sang ibu bekerja di Amerika dan menemukan jodohnya, lelaki asal Belanda yang menikahinya pada tahun 2000. Tak berapa lama, Sarah lahir dan kini berusia delapan tahun.
Ayah dan ibu Sarah tak sekadar bertemu, berjodoh, dan kini membesarkan putri tunggal mereka. Keduanya pribadi yang unik. Sang ibu termasuk orang cukup berada di Ambon. Hampir semua orang di sana mengenal baik leluhur dan orangtua Usi Endah. Keluarga mereka lah yang menjadi pionir masuknya bisnis perminyakan di Ambon. Keluarga besar ini juga berpendidikan. Sebagian besar di antara mereka tinggal di luar negeri. Selebihnya masih di Ambon.
Ayah Sarah tak kalah menariknya. Leluhurnya orang sangat terkenal di Buitenzborg atau Bogor di masa silam. Namanya terukir abadi dalam sejarah pembangunan Kebun Raya Bogor. Namanya setenar Rafless. Bedanya, ia orang Belanda. Ayah Sarah dan empat generasi sebelumnya lahir dan besar di Tanah Jawa. Mereka orang baik yang terpaksa meninggalkan Indonesia karena tanah air ini memproklamirkan kemerdekaannya dan mengusir semua orang Belanda pulang ke kampungnya tanpa bisa lagi membedakan apa pun.
Walau demikian, Sarah dan kedua orangtuanya tetap merasa menjadi orang Indonesia, bagaimanapun lusuh tidaknya wajah negeri ini. Perasaan semacam ini, kata Usi Endah dan beberapa warga Amerika keturunan Ambon di Los Angeles, wajib dipelihara. Caranya kadang sederhana: berkisah tentang Ambon dan masyarakatnya pada anak dan cucu masing-masing.
Salah satu kisah yang malam itu ramai mereka bincangkan adalah pertemuan dengan beberapa putra Ambon yang membela tim nasional sepak bola Belanda. Yang berkesan ketika mereka membicarakan bagaimana Kapten Timnas Belanda, Giovanni Van Bronckhorst bersama teman-temannya sesama keturunan Ambon pulang dan bertanding melawan kesebelasan lokal. Giovanni yang kedua orangtuanya berasal dari Ambon dan kawan-kawan mengalahkan Persatuan Sepak Bola Ambon (PSA) dengan skor 13-0.
Giovanni dan kawan-kawan memang punya akar sangat dalam dengan Ambon dan masyarakatnya. Menjelang final Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan melawan Spanyol misalnya, secara berantai beredar pesan pendek ke telepon genggam warga Ambon. Isinya: Tahuri babunyi di Murkele/Bringin tua berbunga bangga/Nusa ina Pulau Ibu meneteskan airmata/Ketika lima dan satu anak cucu alune dan wemale berlaga di Afrika Selatan membela Belanda/Gandong Ee…Jangan pisah tanpa garam/Mari dukung lima saudara laki-laki di Timnas Belanda/Karena Maluku cuma satu darah…
Yang dimaksud anak cucu Alune dan Wemale dalam pesan pendek itu adalah: Giovanni Van Bronckhorst, Gregory Van Der Wiel, Jhony Heitinga, Zemy de Zeuw, dan Nigel de Jong. Karena kedekatan emosional dan psikologis dengan para pemain Belanda ini, jadi jelas mengapa Ambon gaduh ketika tim yang mereka dukung itu kalah dari Spanyol.
Apalagi dulu Giovanni dan kawan-kawan rutin datang ke Ambon dengan biaya pribadi. Mereka juga membiayai promosi hingga penyelenggaraan pertandingan. Di sela pertandingan dan saat berada di rumah leluhurnya di Ambon, Giovani berbagi kisah tentang pengalamannya bermain sepak bola di daratan Eropa dalam bahasa Ambon yang sangat fasih. Sefasih saat Sarah mengucapkan kata ‘Selamat Malam’…
Subscribe to:
Posts (Atom)