Monday, August 6, 2007

Potong Kepala yang Sesat di Mata

Oleh : Budi Kurniawan (Aktivis Journalist and Writers Forum of Borneo)

Judul Buku : Borneo van Zuid naar Noord (Desersi: Menembus Rimba Raya Kalimantan)
Penulis : MTH Perelaer
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Cetakan : Pertama, Oktober 2006
Halaman : xiv + 286 halaman



Sudah hampir 6,5 tahun kerusuhan antar etnis Dayak-Madura di Sampit, Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, terjadi. Tragedi paling berdarah di bumi Kalimantan ini menyebabkan 90.000 orang Madura terpaksa mengungsi pulang ke kampung halamannya. Seperti puluhan orang Dayak lainnya di Sampit, sebagian dari orang Madura itu tewas.

Konflik etnis ini tak sekadar menyentakkan. Tetapi juga memunculkan kembali diskursus dan kontoversi terhadap orang Dayak yang selama pemerintahan Belanda di Indonesia sebagai suku terasing, tidak beradab, barbarian, kanibal, dan biasa mengayau (memotong kepala musuh dalam peperangan) ke permukaan. Stigmanisasi Belanda ini “berhasil” menyesatkan pandangan suku-suku lain di Nusantara terhadap orang Dayak. Hingga kini misalnya anak-anak di Pulau Jawa yang lahir pada era 1970-an percaya bahwa orang Dayak itu berekor, haus darah, dan dilingkupi kehidupan black magic yang pekat.

Penyesatan persepsi inilah yang dilakukan Michael Theophile Hubert (MTH) Perelaer (1831-1901) dalam buku yang ditulisnya dan diterjemahkan oleh Helius Sjamsuddin ini. Perelaer yang pernah ambil bagian dalam Perang Banjarmasin (1859) sebagai opsir Belanda dan diangkat sebagai Civiel Gezaghebber (pejabat sipil) di daerah Groote en Kleine Dajak --kini Kalimantan Tengah-- (1860) ini di hampir seluruh bagian buku yang ditulisnya menggambarkan dengan sangat mumpuni keindahan rimba raya Borneo beserta sungai-sungai yang bersih dan berarus deras mengalir. Tentu sebelum ganasnya gergaji dan raung bulldozer milik kaum kapitalis dari kota meluluh-lantakkan wajah dan perut bumi.

Melalui kacamata empat serdadu Pemerintah Kolonial Belanda (dua Swiss, satu Belgia, dan satu Indo beribu Nias) yang minggat dari benteng Kuala Kapuas, melakukan perjalanan selama 70 hari menembus belantara Borneo dari utara ke Selatan melalui segala marabahaya, dan tidak mau lagi menjalankan tugas kemiliteran (desersi) karena merasa ditipu oleh Pemerintah Belanda yang memberi janji penghasilan melimpah saat mereka ditugaskan, Perelaer juga berkisah tentang kebudayaan, mitos, jipen (denda adat), perkawinan, persaudaraan dan kekerabatan, dan ketajaman mandau Dayak Punan memenggal kepala musuh-musuhnya.

Namun yang paling banyak dikisahkah Perelear adalah hal yang terakhir. Di mata Perelear, kayau menjadi bukti barbarianisme tumbuh, berkembang, dan menjadi mesin pembunuh yang sangat efektif di kalangan orang Dayak pada abad ke-19. Hampir di semua bab novelnya (19 Bab), Perelear menggambarkan bagaimana kayau berlangsung. Sayangnya Perelear lupa (?) –mungkin karena buku ini bersifat novel-- menjelaskan mengapa kayau hidup, berkembang, dan juga menjadi sarana perlawanan terhadap kekuasaan kolonial selain menjadi medium penaklukan dan lambang keperkasaan.

Namun tidak sekali ini saja penulis-penulis Belanda –juga orang asing lainnya—menggambarkan dengan sangat tidak sempurna dan cenderung mendiskreditkan orang Dayak dan kayau-nya.

Buku berbahasa Prancis yang ditulis Jean-Yves Domalain (1971) yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Len Ortzen berjudul "Panjamon: I was a Headhunter" (Morrow, New York, 1973) pun demikian. Sebuah buku yang berkisah tentang kayau terakhir (mungkin). Buku ini lebih banyak memuat fantasi sang petualang (turis) Domalain. Karena itu tidaklah mengherankan Library of Congress (AS) membuat subject-nya buku ini sebagai "Borneo- Description and Travel" yang secara tak langsung menunjukkan kualitas buku ini tak lebih dari sekadar iklan untuk turis yang keranjingan bepergian ke tempat-tempat “eksotik”, liar, primitive, dan menyeramkan. Terutama dalam menantang marabahaya kayau.

Sama halnya dengan buku Wyn Sargent, "My Life with the Headhunters" yang diterbitkan Garden City, New York, Doubleday, 1974. Seorang Dayak Ngaju perantauan menceritakan, Gubernur Kalteng WA Gara pernah terpaksa mengusir Wyn Sargent, wartawan petualang asal Virginia ini, karena menulis di koran dan tabloid di Amerika, dan memberi wawancara bahwa dia tinggal di betang (rumah panjang tempat beberapa keluarga Dayak tinggal bersama denga guyub) bersama para pengayau dan melakukan sex orgy setiap malam.

Dalam bukunya Sargent menceritakan hengkang dari Borneo, ibu seorang putera (waktu itu berusia 11 tahun) kembali berpetualang ke Lembah Baliem, Papua Barat. Di sini dia mengaku kawin dengan kepala suku Bahorok atau O'Bahorok. Sargent kembali membuat sensasi dengan gambar-gambar pesta perkawinan yang sebenarnya cuma pesta biasa di kalangan
orang-orang Bahorok selesai musim tanam. Sargent mengklaim gambar-gambar itu sebagai pesta perkawinannya dengang sang kepala suku. Sargent kembali membumbui kisahnya dengan sex orgy seperti yang dilakukannya di Borneo. Dengan cara demikian Sargent melengkapi fantasi keprimitifan Borneo dan Papua bagi para pembaca buku-buku berbahasa Inggris di Amerika dan Eropa.

Penguasa kolonial dan turis menggunakan ketidaktahuan –bisa jadi karena kesengajaannya—berkisah dan melebih-lebihkan kenyataan yang ada agar orang membayangkan Borneo –juga Papua-- sebagai tempat primitive. Kayau di tangan mereka dibumbui dengan cerita-cerita
lisan yang menggambarkannya sebagai kegiatan perorangan yg meneror komunitas
lokal maupun seberang sana. Mereka tak pernah berkisah alas an di balik propaganda kayau sebagai medium perang psikologis, pertahanan, dan reaksi terhadap sesuatu yang sudah berlangsung kelewat batas. w (perang psikologis) ini.

Prof Andrew P Vayda dalam bukunya "War in Ecological Perspective: Persistence, Change, and Adaptive Processes in Three Oceanian Societies" (1976) mengungkapkan bagaimana upaya propaganda menjadi alat pertahanan komunitas maupun tribal nation setempat untuk mengamankan wilayahnya dari para pengganggu keseimbangan hidup dan kearifan lokal yang sudah berlangsung dan terpelihara sekian lama.

Perelear mungkin lupa bahwa orang Dayak bisa juga menjadi lebih beradab dengan saling berdamai dan menghentikan pertikaian yang berlangsung ratusan tahun melalui sebuah rapat besar yang dihadiri oleh para utusan dari 400 kelompok Suku Dayak di seluruh Kalimantan di Desa Tumbang Anoi, Kahayan Hulu Utara, Kalimantan Tengah, pada 22 Mei -24 Juli 1894.

Pertikaian yang berlumuran adat kebiasaan lama yang sudah terlanjur membudaya, berurat berakar warisan negatif dalam bentuk asang-maasang (perang suku), bunu-habunu (saling membunuh), kayau-mangayau (saling penggal kepala), dan jipen-manjipen (saling mendenda), berganti menjadi suasana yang penuh getaran semangat pembaharuan dan persaudaraan yang pekat akibat Pakat Tumbang Anoi itu.

Lalu jika kayau terjadi dalam konflik etnis di Sampit 6,5 tahun silam, tentu penyebabnya adalah sesuatu yang maha luar biasa. Hanya sesuatu yang maha dahsyatlah yang bisa membangkitkan reaksi orang Dayak dalam bentuk mangayau musuhnya itu hidup kembali. Ketidakadilan dan pemihakan kekuasaan yang meminggirkan hak-hak orang Dayak lah yang sesungguhnya menjadi penyebabnya. Kayau dalam bentuk modern (korupsi, diskriminasi, penjarahan kekayaan rimba raya Borneo dan seterusnya) justru lebih berbahaya dari kayau yang sudah lindap pasca Pakat Tumbang Anoi 1894. *