Sunday, September 30, 2007

Matahari Terbit di Sela Gunung Kembar


Matahari Terbit di Sela Gunung Kembar

Oleh : Budi Kurniawan (Wartawan, Penulis Buku, dan Peminat Sastra. Tinggal di Jakarta. Email: budibanjar@yahoo.com)


kupancing kau masuk hutan, kekasih sayang
dan kau ikuti aku seperti bayangan
tinggal pantai hilang lautan
bertimbun bangkai di kota rebutan
pita merah dan matahari
cinta berdarah sampai mati.

(Revolusi, 1957)


Ketika politik kian jauh dari logika, hukum milik kaum berpunya, kebenaran menjadi paria, jelata merayapi hidup dalam nista, ekonomi hanya penuh angka tak bermakna, perselingkuhan kalangan elite menjadi biasa, dan orang-orang yang sudah tak punya basis ekonomi dan politik silih berganti datang dan pergi dari penjara, kerinduan terhadap perlawanan tiba.

Perlawanan yang dinanti tak hanya datang dari kalangan pergerakan yang memang sudah menjadi khittahnya. Perlawanan melalui berbagai karya sastra, entah itu cerita pendek, esai, puisi, dan sebagainya, itu yang kini dinanti.

Bukankah karya sasta –juga media massa—adalah cerminan zamannya. Ironi rasanya jika zaman edan seperti yang sedang berlangsung saat ini, lewat begitu saja dan tidak dilawan.

Ketika berbicara dalam tataran ini, orang mungkin kembali berdebat tentang “Seni untuk Seni”, “Seni untuk Rakyat”, “Realisme Sosialis”, “Manifestasi Kebudayaan (Manikebu) versus Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra)”, “Politik sebagai Panglima”, “Tinggi mutu ideologi tinggi mutu artistik", dan sebagainya.

Umbul-umbul dan embel-embel ini menjadi semacam kontroversi abadi dan memisahkah dua kutub besar. “Seni untuk Seni” dan “Seni untuk Rakyat”. Lekra di kutub yang satu dan Manikebu di kutub yang lain.

Umbul-umbul dan embel-embel semacam itu di masa silam ketika ideologi sedang baku hantam bisa jadi masalah tersendiri. Namun yang namanya penindasan –juga perlawanan—tak mengenal umbul-umbul dan embel-embel semacam itu. Penindasan tetaplah penindasan. Dan perlawanan wajib dilakukan oleh semua kutub dan aliran kesenian.

Perlawanan bahkan kadang bisa dilakukan dengan sangat santun. Puisi yang panas membara, kadang bisa tampil dingin dan elegan. Meminjam istilah penyair Lekra, Amarzan Ismael Hamid alias Amarzan Loebis, yang penting bukan puisi yang bagus atau tidak bagus, tapi puisi yang menyentuh atau tak menyentuh. Atau, secara sederhana: puisi yang puisi.

Jadi bukan puisi atau karya sastra yang sekadar “berbunyi nyaring” namun kosong belaka. Puisi politik pun bisa menyentuh, bahkan bisa "tidak politik". Sekadar memberi contoh –karena masih banyak puisi perlawanan yang lain yang ditulis para penyair--, puisi berjudul “Revolusi” yang ditulis Agam Wispi pada 1957 misalnya, indah, tinggi mutu, politik sekaligus tidak politik.

kain ini kain sutra
kalau mandi disesah jangan
main ini main berdua
kalau mati disesal jangan

kecitak-kecitung jakarta-bandung
terasa jauh, terasa jauh
jika kau gubuk di kaki gunung
singgahku tidak untuk berteduh.

(Agam Wispi, 1957)

Tetapi bisa juga puisi menjadi sangat politik. Apalagi jika suasana bathin dan fakta yang melatarbelakanginya dramatik dengan tensi ketertindasan yang tinggi. Misalnya puisi tentang Peristiwa Tanjung Morawa, Lubuk Pakam, Sumatera bagian Timur, yang terjadi pada suatu hari pertengahan 1950-an tak lama setelah Konfrensi Meja Bundar yang juga ditulis Wispi.


“Matinya Seorang Petani”
buat L. Darman Tambunan

1.
depan kantor tuan bupati
tersungkur seorang petani
karena tanah
karena tanah
dalm kantor barisan tani
silapar marah
karena darah
karena darah
tanah dan darah
memutar sejarah
dari sini nyala api
dari sini damai abadi

2.
dia jatuh
rubuh
satu peluru
dalam kepala
ingatannya melayang
didakap siksa
tapi siksa Cuma
dapat bangkainya
ingatannya kejaman muda
dan anaknya yang jadi tentera
-- ah, siapa kasi makan mereka? --
isteriku, siangi padi
biar mengamuk pada tangkainya
kasihi mereka
kasihi mereka
kawan-kawan kita
beri aku air, aku haus
dengan lapar tubuh lemas
aku datang pada mereka
aku pulang padamu
sedang tanah kering dikulit
kita makan samasama

3.
mereka berkata
yang berkuasa
tapi membunuh rakyatnya
mesti turun tahta

4.
padi bunting bertahan
dalam angin
suara loliok disayup gubuk
menghirup hidup
padi bunting
menari dengan angin
ala, wanita berani jalan telanjang
di sicanggang
dimana cangkol dan padi dimusnahkan
mereka yang berumah penjara
bayi digendongan
juga tahu arti siksa
mereka berkata
yang berkuasa
tapi merampas rakyat
mesti turun tahta
sebelum dipaksa
jika datang traktor
bikin gubuk hancur
tapi pintu kitagedor
kita gedor


Jadi alangkah aneh dan tidak arifnya ketika segala macam penindasan terjadi, imajinasi kanak-kanak ketika melukiskan matahari terbit di sela gunung kembar, sinarnya menerangi persawahan di bawahnya, dan seorang petani sedang menanam padi, masih saja ada dalam kepala.

Padahal petani yang ada dalam imajinasi itu sudah tak punya tanah, padi yang ditanam tumbuh merana karena pupuk dimakan spekulan, air di sawah mengering, korupsi telah merusak irigasi, dan tengkulak telah menghancurkan nasib sang petani.

Maafkan jika kini saya merindukan karya sastra yang menjadi cermin zamannya. Bukan hanya karya tentang bulan nan indah di langit malam. Namun juga tentang rakyat yang ternistakan.

Friday, September 28, 2007

Dua Pelukan, Dialektika, dan Reproduksi Sejarah di Sekitar Peristiwa G 30 S

Oleh: Budi Kurniawan (Wartawan, Penulis Buku “Menolak Menyerah, Menyingkap Tabir Keluarga Aidit” dan Buku “Melawan dengan Restoran” ditulis bersama Sobron Aidit).


Dua puluh delapan tahun silam, seorang jenderal TNI bersilang maaf dengan seorang anak komunis. “Rekonsiliasi” terjadi di balik sebuah tebing di Kawah Upas di Gunung Tangkuban Perahu.

BERDEBAR-debur jantung anak muda berusia 22 tahun itu. Sebentar lagi, ia akan bertatapan mata langsung dengan Sarwo Edhie, mantan Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD). Anak muda itu tahu benar siapa Sarwo Edhie dan sepak terjangnya dalam mengganyak Partai Komunis Indonesia (PKI) pada rentang tahun 1965-1966. Sepak terjang itu diketahuinya seusai menerima pelajaran sejarah di sekolah.

Anak muda itu tak bisa menghindari tatap mata Sarwo Edhie yang mengarah padanya. Ia tak bisa berlindung di antara 72 anggota Wanadri, sebuah kelompok pendaki gunung di Bandung, Jawa Barat, yang hingga kini masih tersohor, yang akan dilantik pada awal tahun 1981. Sarwo Edhie selaku Inspektur Upacara lah yang akan melantik anak muda dan 72 rekannya itu. Sarwo Edhie mengetahui di antara anggota Wanadri yang akan dilantiknya itu terdapat seorang putra Dipa Nusantara (DN) Aidit, Ketua Centra Committee PKI. Sarwo Edhie juga tahu nama anak muda itu, Ilham Aidit.

Jantung Ilham kian berdegub kencang. Ilham berada di baris kedua, dan beberapa detik lagi ia akan berhadapan dan bersalaman dengan Sarwo Edhie. Saat sang Jenderal tiba di hadapannya, Ilham menguatkan diri. Sarwo Edhie menyalami dan menepuk bahu kanan Ilham sesuai dengan tradisi yang biasa dilakukan Wanadri. Mata Sarwo Edhie mengarah pada nama Ilham yang tertera di bagian dada kemejanya. Ilham berusaha tegar menatap mata sang Inspektur Upacara. Sarwo memeluk Ilham. "Ilham, selamat kamu telah berhasil menyelesaikan pendidikan," kata Sarwo.

Pelukan itu hanya berlangsung sekejap. Pelukan itu adalah satu-satunya pelukan di antara 72 siswa Wanadri yang dilantik. Tidak ada yang tahu apa makna pelukan itu, kecuali Sarwo Edhie dan Ilham Aidit.

Pada tahun 1984 –tiga tahun seusai pertemuan pertama-- Ilham kembali bertemu Sarwo Edhie. Ketika itu, Wanadri kembali melakukan pendidikan dasar anggota baru. Pada pelantikan anggota baru yang dilakukan pukul tujuh pagi itu, Ilham menjadi komandan operasi dan Sarwo Edhie sebagai Inspektur Upacara.

Pukul enam pagi, Sarwo Edhie sudah datang. Tiba-tiba, Sarwo Edhie memanggil Ilham. Ia mengajak Ilham berjalan berdua ke balik sebuah tebing di Kawah Upas, Gunung Tangkuban Perahu. Ilham gugup menerima ajakan itu. Hanya sepuluh menit keduanya berbicara di tebing itu.

Dalam pertemuan itu, Sarwo Edhie mengatakan dalam Peristiwa 1965 dirinya melakukan tugas dan kewajiban yang diyakininya sebagai satu hal yang benar. Tetapi setelah itu, dia sadar betul bahwa semua yang dilakukannya itu salah. Ilham terpana mendengar pengakuan itu. Sarwo Edhie mengulurkan tangannya pada Ilham. Tangan Ilham bergetaran. Mereka bersalaman dan berpelukan seperti tiga tahun silam.

Ilham, saat itu menganggap apa yang terjadi antara keduanya adalah semacam rekonsiliasi
Kala itu, ada pembicaraan tentang masa lalu yang menyangkut kebenaran. Kemudian, ada semacam pengakuan bersalah, dan saling memaafkan. "Hanya 10 menit, tetapi maknanya luar biasa. Saya menganggap pertemuan itu semacam rekonsiliasi," kata Ilham.

Saat bertemu pada 1981 itu, sebenarnya Ilham dirasuki perasaan takut dan marah. "Saya sudah tahu apa yang dilakukan Sarwo Edhie pada Peristiwa 1965. Ada kemarahan luar biasa dan ketakutan terhadap figurnya,” kata Ilham.

Tapi Ilham bertahan tegar menatap mata Sarwo Edhie saat bersalaman. Saat mereka bersalaman dan berpelukan, Ilham merasakan ada juga getaran di hati Sarwo Edhie. "Suara pak Sarwo juga bergetar," kenang Ilham. Setelah saling memaafkan, Ilham baru menyadari betapa kabut pagi Kawah Upas yang hening sangatlah dingin. "Saya memahaminya, Pak Sarwo. Dan saya bisa memaafkan," kata Ilham kepada Sarwo. Bagi Ilham kenangan berbincang –walau sesaat— dengan Sarwo Edhie di pagi berkabut itu sangat berkesan.

Usai pertemuan itu, Ilham semakin sering bertemu dengan Sarwo Edhie. Maklum posisi Sarwo di Wanadri adalah anggota kehormatan. Sarwo juga adalah nara sumber dalam pelatihan untuk The Esprit The Corps (Kesetiaan terhadap Korps). "Itu sebabnya saya mengerti bahwa dia adalah orang yang sangat setia terhadap korpsnya. Demikian juga ketika dia ditugaskan untuk menumpas PKI. Mungkin dia menilai bahwa itu tugas dan merasa itu benar," kata Ilham.

Memberi Ruang

Peristiwa itu, seperti yang dituturkannya pada saya ketika menyusun buku “Menolak Menyerah, Menyingkap Tabir Keluarga Aidit” (Era Publisher, 2005), selalu terbayang menjelang peringatan tragedi paling berdarah dan kelam dalam sejarah Indonesia, Gerakan 30 September. Bagi kebanyakan orang di Indonesia, hari itu selalu mengingatkan pada tewasnya beberapa jenderal TNI AD, diumumkannya Dewan Revolusi yang mengkudeta kepemimpinan Presiden Soekarno, pembunuhan para anggota dan mereka yang dituding terlibat dan memiliki hubungan dengan PKI, dan berujung pada lahirnya rezim baru pimpinan Soeharto (Orde Baru).

Sejak menggenggam kekuasaan, Orde Baru selalu mereproduksi ulang peristiwa itu dengan mencampur kisah dan fiksi yang mendiskreditkan PKI –juga lawan-lawan politiknya. Buku-buku yang berpihak dan tidak melalui kajian sejarah mendalam juga objektif diproduksi secara sistematis oleh Orde Baru. Ketika Orba berkuasa tak ada sedikitpun ruang bagi versi sejarah yang isinya berbeda dengan versi yang mereka kembangkan.

Sejak mahasiswa dan sebagian besar elemen masyarakat berhasil menumbangkan Orba pada Mei 1998, barulan berbagai versi sejarah bermunculan. Ada yang berasal dari penelitian pakar, pengakuan korban, dan dari dokumen resmi pemerintah Amerika yang boleh diunduh secara terbuka. Berbagai karya sastra yang ketika Orba berkuasa terlarang diterbitkan dan diedarkan, kini bermunculan.

Fakta dan cerita baru ini sesungguhnya memberi ruang bagi khalayak untuk menyeimbangkan sekaligus mereproduksi nilai dan pemahaman baru yang berbeda dengan apa yang selama ini mereka ketahui. Reproduksi ini bisa bernilai positif bagi penulisan teks sejarah modern Indonesia. Meminjam istilah Prof Sartono yang menyatakan bahwa sejarah adalah sebuah proses dialektika berbagai fakta dan cerita dari masa silam dan kekinian yang berlangsung terus menerus tanpa henti.

Bagi sejarah tak ada terminal terakhir soal satu peristiwa. Dengan atau tidak adanya campur tangan pemerintah, sejarah akan terus bergulir. Fakta dan cerita lama akan terus berpadu. Pemahaman pada satu hal akan ditindih pemahaman baru. Begitu seterusnya.

Dengan reproduksi dan dialektika tanpa akhir itu satu bangsa bisa belajar sejarah terus menerus. Bisa saja satu bagian sejarah ditulis tidak objektif. Namun seleksi alam pikiran yang meragukan fakta dan cerita bisa memilah-milahnya. Komprehensif dan konstruktifnya peristiwa sejarah disusun dan dituturkan menjadi penentu diterima tidaknya fakta dan cerita-cerita itu.

Dialektika dan Reproduksi Terhenti

Sayangnya proses reproduksi dan dialektika ini justru rusak akibat salah kaprahnya pemerintah menerjemahkan dirinya sebagai satu-satunya otoritas yang berhak memproduksi dan mengatur sejarah. Salah kaprah ini terwujud dalam bentuk pelarangan buku-buku teks yang tidak mencantumkan nama PKI sebagai dalang Peristiwa 30 September 1965 dan dihentikannya pembahasan –juga pembentukan—Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) oleh pemerintah dan DPR.

Komisi yang konon mengadopsi penyelesaian konflik politik masa silam seperti di Afrika Selatan pasca Nelson Mandela menjadi Presiden itu sempat membersitkan harapan banyak pihak. Komisi ini menjadi tumpuan penyelesaian dan rekonsiliasi peristiwa-peristiwa politik –bukan hanya pada korban Peristiwa 30 September 1965, tapi juga korban yang jatuh akibat tindakan DII/TII, DOM Aceh, dan korban tindakan negara yang lainnya.

Padahal di sebuah negara yang pernah mengalami konflik berdarah mutlak memerlukan rekonsiliasi sebagai antisipasi pada peristiwa serupa di kemudian hari. Rupanya pasal-pasal dalam RUU KKR menjadi batu sandungan yang kemudian merubuhkan bangunan imajinasi penyelesaian konflik. Pada pasal 27 misalnya disebutkan bahwa rehabilitasi dan kompensasi hanya diberikan kepada korban apabila pelaku mendapatkan amnesti. Kalau tidak mendapatkan amnesti tidak ada kompensasi dan rehabilitasi. Padahal, amnesti tidak bisa dikaitkan dengan rehabilitasi atau kompensasi. Walau pun pelaku jelas-jelas terbukti salah, kemudian tidak mendapatkan amnesti, korban tetap harus mendapatkan rehabilitasi dan kompensasi.

Langkah pemerintah yang memberangus buku-buku dan terkuburnya KKR sesungguhnya telah menghentikan kebebasan masyarakat untuk belajar sejarah secara komprehensif dan terbuka. Sadar atau tidak, pemerintah telah menghentikan proses reproduksi dan dialektika sejarah. Jika dua hal itu lindap, maka tak hanya rekonsiliasi psikologis seperti yang dialami Sarwo Edhie dan Ilham di tebing Kawah Upas saja yang sia-sia. Tetapi juga rekonsiliasi seluruh komponen bangsa.

Bukan Sekadar Faisal

Berita Opini Harian Radar Banjarmasin

Selasa, 18 September 2007


Oleh: Nasrullah


SAYA yakin, kedatangan kaum akademisi, mahasiswa, kalangan parpol, aktivis LSM maupun kalangan jurnalis yang menjenguk Faisal di tahanan, bukan sekadar solidaritas untuk Muhammad Faisal saja. Percayalah, kedatangan mereka untuk hal-hal yang lebih jauh. Anda jangan beranggapan, “Ko’ Faisal aja dibela”. Padahal saya sendiri, mungkin juga anda, boleh jadi tidak akan setegar Faisal yang harus berjuang di setiap persidangan membela diri dari dakwaan, hingga berujung sebuah keputusan bernama penjara.

Ada kekhawatiran kasus Faisal berpengaruh kepada para aktivis jurnalis, akan menyendatkan goresan pena untuk menulis, atau membuat kaku ujung jari untuk mengetukkannya di atas keyboard komputer maupun mesin tik. Inilah dunia penulis, antara pena dan penjara di masa sebelum reformasi jaraknya terlampau dekat. Kita terlanjur berharap banyak, ketika reformasi bergulir jarak pena dan penjara itu semakin jauh. Namun yang terjadi pada Faisal misalnya, saat bangsa Indonesia berbulan madu dalam reformasi, ternyata kebebasan mengekspresikan pendapat lewat tulisan ternyata tidak dimiliki oleh setiap orang. Lebih celaka lagi, terjadi di Kalimantan Selatan ini.

Kita mesti melihat pengalaman Faisal dalam hubungan antara penulis dan penguasa, setidaknya ada tiga kemungkinan pilihan tulisan yang akan disampaikan. Pertama, membenarkan, kebenaran versi penguasa. Bagi sang penulis apapun menjadi kebijakan penguasa akan selalu benar, pokoknya “semua baik-baik saja Pak”. Kedua, mempertanyakan kebenaran. Bagian ini, apa yang disampaikan penguasa, bukanlah sebuah kebenaran mutlak, jadi memberikan peluang untuk dipertanyakan. Ketiga, menyatakan kebenaran kepada penguasa, yakni kebenaran itu bukan hanya milik penguasa, melainkan penulis atau bahkan orang lain memiliki pandangan tentang kebenaran versi mereka sendiri.

Jika mengambil pilihan pertama, maka kita akan bermesraan dengan penguasa. Boleh jadi mendapatkan fasilitas enak, karena mendapatkan “proyek maambung” demi menyenangkan penguasa. Namun kita melupakan suara-suara rakyat, bahkan suara dari hati nurani kita sendiri tidak akan didengarkan. Pilihan kedua, kita akan menjadi pengawal kebijakan penguasa. Bukan untuk membenarkan, tapi menjadi navigator untuk melihat jalan mana semestinya ditempuh, barangkali perselisihan dengan penguasa akan terjadi. Pilihan ketiga, menjadi pilihan sulit bagi orang yang terbiasa berdekatan dan bermesraan dengan penguasa. Tapi pilihan ketiga, Anda menjadi juru bicara rakyat dan nurani Anda sendiri untuk menyatakan kebenaran-kebenaran yang terlindungi oleh gemerlapnya kekuasaan dan atas kebenaran tunggal dari penguasa.

Terhadap pilihan kedua dan ketiga ini, jika seorang penguasa atau pemimpin maupun pejabat mengerti akan hak berpendapat dalam kehidupan berdemokratisasi dan meniadakan sakralisasi kekuasaan. Maka ia menempuh jalan dialog, atau pena diladeni dengan pena juga, sehingga akan terbuka berbagai kemungkinan lebih luas untuk melihat kebenaran dari berbagai sudut pandang.

Saya yakin pilihan Faisal adalah kedua dan ketiga, jika Anda pembaca pernah menempuh pilihan-pilihan tersebut, saya yakin Anda akan mengetahui mengapa nabi bersabda “Jihad yang paling disukai di sisi Allah adalah perkataan yang benar diucapkan kepada imam (pemimpin) yang palsu/curang”. Sebab menyatakan kebenaran melalui tulisan sekalipun, bukanlah perkara mudah apalagi kebenaran anda tidak bisa diterima. Risikonya, kalau Anda tidak bisa dipanggil sang Penguasa, maka keluarga Anda akan mendapatkan getahnya. Jika keluarga Anda mempunyai hubungan struktural dengan penguasa tersebut, bersiap-siaplah karena Anda, maka hubungannya dengan penguasa akan terancam, barangkali ancaman penurunan jabatan. Sungguh pengalaman seperti ini turut saya rasakan.

Seorang penulis akan mampu mengekpresikan pikiran-pikirannya, apabila tidak ada ketakutan apakah tulisan itu salah, dicemooh orang, atau bahkan mendapat tekanan dari banyak. Seorang penulis yang tegar tak akan goyah dengan berbagai kecaman. Tapi menjadi pertanyaan, siapakah yang setegar itu? Apalagi dengan kejadian dialami Faisal, akan melayukan semangat para penulis menyuarakan kebenaran. Sungguh kita tidak berharap Faisal kebal hukum, jika ia memang salah. Justru ada perkara lain yang tidak bisa disepelekan, yakni kebebasan berpendapat lewat tulisan untuk menyuarakan kebenaran tersebut. Itulah yang sangat dikhawatirkan.

Saya yakin, bagi Faisal di dalam penjara tidak akan memenjarakan jiwanya, dia tahu penjara merupakan sekolah bagi para penulis untuk mempertajam nuraninya dan mengkilatkan ujung pena. Faisal tahu, banyak karya besar lahir dari dalam penjara, bukan dari hotel berbintang. Pramoedya Ananta Toer bahkan mengatakan, “karena kau terus menulis, namamu akan abadi hingga jauh, jauh dikemudian hari”. Maka jangan pernah sama sekali, minta pengurangan masa tahanan baginya, saya yakin Faisal tidak akan pernah berharap untuk itu. Kita menunggu saja, ia akan melahirkan karya-karya besar dari dalam tahanan.

Saya lantas berpikir, jika hal seperti ini terjadi kembali. Seorang Faisal saja yang cukup disegani dan mempunyai banyak teman dari berbagai kalangan, tidak terjamin kebebasan mengeluarkan pendapat apalagi orang seperti saya. Imbasnya bagi media massa juga merupakan pukulan, sebab mereka akan kehilangan para penulis yang memberikan kritik kepada pemerintah ataupun penguasa.

Maka kedatangan kaum akademisi, mahasiswa, kalangan parpol, aktivis LSM maupun kalangan jurnalis yang menjenguk Faisal di tahanan bukan sekadar demi Faisal belaka. Tapi karena kesedihan kita seperti dikatakan Budi Kurniawan mengancam hak berekspresi dan kebebasan pers. Semestinya lebih banyak pihak lagi turut menyesalkan kejadian ini, kalau saya pemimpin daerah Kalimantan Selatan, tentu akan turut berduka cita karena belenggu terhadap kebebasan untuk mengemukakan pendapat lewat tulisan di media massa belum sepenuhnya hilang. Sebagai pemimpin Kalsel, sayalah orang yang lebih dulu bersedih dan berteriak, namun sayangnya justru hal itu yang tak terdengar.***


*) Mahasiswa Pascasarjana Antropologi UGM

Aktivis Journalist and Writer Forum of Borneo

Debu Dalam Retina


Sebutir debu dalam retina
Kukedip mata
Penglihatan segala rupa
Tapi tetap juga tak kucium harumnya bunga
Kuusir dengan segala mantra
Tapi dekap debu kian merata
Harapku debu ke sisi mata
Biar pandang sedia kala
Ah, tak jua dia sudi beringsut
Pandang mengelam
Padahal kucoba jadi kelana di rimba malam
Namun lunglai mempercepat waktu
Kunang-kunang di ujung pohon
Usir debu ini kumohon


Banjarmasin, 28 September 2007

Menyelami Misi Dakwah Seorang Faisal (Bagian Terakhir dariri Dua Tulisan)

Berita Opini Harian Radar Banjarmasin
Jumat, 28 September 2007

Oleh: Ali Mustofa *,-


ADA keadaan umum mengatakan bahwa nilai manusia itu sengguhnya ditentukan oleh nama baiknya yaitu nama baik dari sisi penilaian manusia dan penilaian dihadapan KhalikNya. Adapun pengertian “kehormatan” merujuk kepada “respect” (rasa hormat) yang merupakan hak seseorang sebagai manusia. Sedangkan pengertian “nama baik” merujuk pada “mengurangi kehormatan seseorang di mata orang lain”.

Penilaian tentang nama baik di hadapan Tuhan adalah hak prerogatif Tuhan dan manusia tidak berwenang untuk campur tangan atasnya. Tetapi nama baik yang bersandar pada penilaian manusia mempunyai kriteria-kriteria yang bisa dijadikan pegangan bersama.

Sebagai contoh seorang penguasa yang suka berzina, korupsi dan menyimpangkan amanah yang diembannya maka masyarakat luas akan menilainya bahwa penguasa tersebut sebenarnya sudah tidak pantas lagi menjadi pemimpinnya. Dengan kata lain nama baik sang penguasa telah hilang dimata rakyat yang dipimpinnya. Nama baik adalah penilaian yang dilakukan oleh orang luar sebagai konsekuensi dari perilaku yang dilakukan oleh seorang penguasa.

Pertanyaan pun muncul, kalau seorang penguasa bertindak zalim dan menyimpangkan amanah yang di embannya, masihkan ia dianggap mempunyai nama baik? Sehingga ia berhak untuk menuntut orang lain yang mengkritiknya karena telah dianggap mencemari nama baiknya? Bukankah “label” nama baik itu diberikan oleh orang lain bukan karena SK atau melekat pada jabatan yang diembannya?

Itulah sebabnya, dalam masyarakat demokratik yang modern, delik penghinaan tidak boleh lagi digunakan untuk menghambat “kritik” dan “protes’ terhadap kebijakan pemerintah atau penguasa. Terhadap pasal-pasal pencemaran nama baik yang dituduhkan pada Faisal dengan merujuk pasal 310 KUHP sesungguhnya pada ayat (3)nya menyatakan bahwa bila kritik itu dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri, maka perbuatan tersebut bukan tindakan “pencemaran”. Dibedakan juga antara “pencemaran” (pasal 310), dengan “fitnah” (pasal 311). Bahwa dalam delik “pencemaran” dan “pencemaran tertulis”, tidak disyaratkan bahwa apa yang dikatakan tentang korban adalah tidak benar (onwaar).

Lain halnya pada “fitnah”, di sini dipersyaratkan bahwa pelaku harus mengetahui bahwa apa yang dikatakan tentang korban adalah tidak benar. Dengan demikian kalau kemudian apa yang dituduhkan oleh seorang Faisal itu benar adanya, maka seyogyanya ia bukanlah suatu fitnah atau mengada-ada karena terbukti.

Memang rumusan kata-kata dalam perundang-undangan hukum pidana sering harus ditafsirkan, dan ini merupakan tugas hakim dan para akamedisi (termasuk penemuan hukum). Dengan mempertimbangkan perkembangan nilai-nilai social dasar (fundamental social values) dalam masyarakat demokratik yang modern, maka delik penghinaan tidak boleh lagi digunakan untuk menghambat “kritik” dan “protes’ terhadap kebijakan pemerintah (pusat dan daerah), maupun pejabat-pejabat pemerintah (pusat dan daerah)..

Karena itu bagi aparat penegak hukum, seyogyanya pertimbangan untuk menjatuhkan hukuman pada Faisal tidak hanya semata-mata mendasarkan diri pada fakta hukum yang sifatnya tekstual yang seringkali multi tafsir tetapi harusnya juga dengan menyelami asbabul nuzul atau asal usul lahirnya surat pembaca itu. Selain itu juga menggali kebenaran kontekstual berdasarkan aspirasi yang berkembang di masyarakat. Sehingga hukum yang ditegakkan benar-benar hukum yang berkeadilan sesuai dengan aspirasi masyarakat.

Dampak hukum yang timbul juga perlu di pikirkan karena akan lebih strategis bagi aparat penegak hukum untuk mengusut kasus-kasus besar seperti korupsi di birokrasi yang terbukti merugikan rakyat banyak ketimbang memperkarakan kasus Faisal yang notabene justru mengemban misi perbaikan kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini perlu di lakukan agar supaya tidak muncul stigma di masyarakat bahwa aparat penegak hukum selama ini hanyalah menjadi “anjing penjaga” kepentingan penguasa di Pusat maupun di Daerah.


Harus Dilawan

Penahanan seorang Faisal harus dimaknai sebagai tindakan sewenang-wenang aparat penegak hukum terhadap warganya. Hukum yang seyogyanya berlaku secara sinergis mempertimbangkan aspek yuridis, filosifis dan sosiologis terbukti hanya mengedepankan pertimbangan kebenaran yuridis belaka. Seorang Faisal yang di tuduh melakukan pencemaran nama baik, seharusnya bebas demi hukum karena apa yang dituduhkan tujuh tahun lalu olehnya terbukti benar adanya. Terbukti benar karena mantan Gubernur Sjahriel Darham menjadi pesakitan sekarang. Karena itu wajar kalau rombongan aktivis, LSM dan tokoh-tokoh masyarakat berbondong-bondong menjenguk seorang Faisal di Teluk Dalam. Karena apa yang terjadi pada Faisal sebenarnya adalah miniatur kejadian yang bisa menimpa mereka juga. Rasa senasib dan seperjuangan inilah yang membuat mereka semua “bergerak” menyuarakan asipirasinya. Langkah ini harus dilakukan terus menerus untuk membuka mata hati dan menunjukkan pada semua orang bahwa perjuangan perlu di teruskan. Terjadinya kemungkaran dan kesewenang-wenangan khususnya yang dilakukan oleh penguasa harus dilawan. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW: “Siapa saja yang menyaksikan kemungkaran, hendaknya mengubahnya dengan tangan-nya. Jika tidak mampu, hendaknya dengan lisannya” (HR Muslim).

Berani karena benar, takut karena salah.***


*) Penulis warga Banjarmasin yang sekarang tinggal di Semarang

Thursday, September 27, 2007

Melawan dalam Diam


Kutunggu

Tak berhingga kata mengudara
Udara jadi tak berjiwa
Sunyi dianggap diam
Sunyi jadi paria

Kutunggu kata berjiwa
Walau hanya teronggok nista
Di sisi kiri persimpangan jalan

Banjarmasin, September 2007

Faisal Ingin Nulis Buku

Berita Utama Harian Radar Banjarmasin

Jumat, 21 September 2007
Kemarin Dikunjungi Anggota DPRD Kalsel

BANJARMASIN,- Dukungan moral terus saja mengalir kepada Muhammad Faisal SE, yang kini meringkuk di LP Teluk Dalam Banjarmasin. Bang Faisal, sapaan akrab Ketua DPD Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK) Kalsel ini tak henti-hentinya mendapat simpati sekaligus suntikan semangat dari koleganya.
Jika sebelumnya dia kedatangan para tokoh muda, aktivis dan kaum intelektual, kini giliran para politisi DPRD Kalsel yang mendatangi Faisal, pukul 14.00 kemarin siang.

Tampak hadir Ketua Komisi I DPRD Ibnu Sina beserta dua anggota Komisi I, yakni Adhariani dan SJ Abdis, serta Ketua Komisi III DPRD Gusti Perdana Kesuma. Tak ketinggalan juga Sukrowardi (LSM Olah Tajuk Banjar) dan istri tercinta Faisal, Mona. Berselang 30 menit kemudian, 2 orang aktivis Komisi HAM Kalsel M Razak dan Budairi datang. Mereka baru meninggalkan LP sekira pukul 14.45.

Dengan mimik muka cerah mengenakan celana jins warna biru muda dan baju koko putih berbordir merah di bagian dada, serta kopiah kain berwarna hitam dengan bordir putih, Faisal diizinkan menerima koleganya tersebut di ruang depan penjagaan LP. Faisal langsung menyalami setiap koleganya dan khususnya istrinya, mereka saling menempel pipi.

Wartawan kini tak terlalu leluasa lagi meliput kegiatan Faisal. Seorang penjaga LP meminta agar wartawan terlebih dahulu meminta izin Kanwil Hukum dan HAM Kalsel jika ingin meliput pertemuan tersebut.

Jeruji besi agaknya tak menyurutkan, apalagi memudarkan idealisme Faisal. Meski dikemas santai, Faisal Cs tetap terlibat diskusi tentang kondisi Banua dan Indonesia ini. Beberapa hari menjadi penghuni LP, Faisal pun mendapat banyak pengalaman baru. Dia berencana, pengalaman di LP tersebut akan dibukukan.

“Banyak yang saya dapat di sini. Misalnya tentang kondisi tahanan anak-anak yang dititipkan ke LP. Begitu pula tentang kondisi LP yang tak sebanding lagi dengan penghuninya. Seharusnya LP ini hanya diisi oleh 425 orang saja, namun harus diisi lebih dari 1.000 orang. Pokoknya, banyak yang dapat ditulis,” kata Faisal, yang juga mantan wartawan ini.

Ide unik bahkan dilontarkan Faisal. Menurutnya, perlu dibentuk Alumni LP Teluk Dalam. Diyakini Faisal, kemampuan napi LP Teluk Dalam ini sangat potensial dikembangkan. “Yang ada malah malu juga jika mengaku Alumni LP sehingga tak diterima di masyarakat,” katanya.

SJ Abdis mengkritik dijebloskannya Faisal ke LP. Menurut politisi PAN ini, bukan Faisal yang harus meringkuk di LP, namun para pejabat yang jelas-jelas melakukan korupsi. “Satu Faisal ini harus segera keluar dan sebagai gantinya adalah para pejabat. Lihat saja, kasus Bandara Syamsudin Noor, Alur Barito, dan PKM. Kini tinggal ketegasan aparat kejaksaan dan polisi,” sindirnya.

Dukungan moral juga bergema hingga di Banjarbaru. Aktivis LSM Banjarbaru Anang Syahrani menilai, dijebloskannya Faisal sama artinya dengan mundurnya demokrasi di Kalsel hingga 10 tahun silam. “Kritikan yang benar berujung penjara,” katanya. (pur)

KEBEBASAN BERPENDAPAT TAK BISA DIBUNGKAM

* Aktivis Gelar Happening Art Lawan Pembungkaman

BANJARMASIN – Pembungkaman terhadap kebebasan berekspresi dalam bentuk menulis, berpendapat, dan berbicara, tak bisa semena-mena dilakukan. Semua orang dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bermasyarakat yang kian terbuka, sesungguhnya berhak mendapatkan hak berekspresi tanpa ancaman dan tekanan. Karena tindakan pembungkaman adalah pengingkaran terhadap hak-hak dasar manusia, maka ia wajib dilawan.

Hal ini menjadi pesan yang disampaikan para aktivis dalam aksi happening art, Rabu (26/9). Aksi yang dilakukan kalangan akademisi dan aktivis kampus ini dilakukan di lima titik di Banjarmasin. Lima titik ini tersebar di perempatan Jalan Pangeran Samudera, Jalan S Parman, Jalan Soetoyo S, Terminal Km 6 Jalan A Yani, dan depan kampus Universitas Lambung Mangkurat Jalan Brigjen H Hasan Basry.

Di setiap titik itu terdapat empat aktivis yang mengenakan kaos bergambarkan sosok Muhammad Faisal –aktivis yang kini dijebloskan ke LP Teluk Dalam pada 13 September 2007 karena mengkritik kebijakan dan prilaku mantan Gubernur Kalsel Sjachriel Darham dalam sebuah tulisannya berjudul “Duh Gus Dur Kecil” yang dimuat di rubrik Surat Pembaca sebuah koran lokal di Banjarmasin --membagikan selebaran anti pembungkaman dari dalam kurungan yang menyimbolkan telah dipasung dan dibungkamnya hak berpendapat. Selebaran itu ditulis dalam dua versi bahasa, Banjar dan Indonesia. “Penggunaan bahasa Banjar dimaksudkan untuk menghargai bahasa lokal, dan memudahkah masyarakat memahami pesan-pesan yang disampaikan dalam aksi happening art ini,” kata Koordinator Pelaksana Aksi Taufik Arbain.

Dalam selebaran yang disebarkan itu, para aktivis Solidaritas Kebebasan Berekspresi menyatakan kasus yang menimpa Faisal dan menyebabkan ia dijebloskan ke penjara menunjukkan kebebasan berpendapat telah mati di Kalsel.

“Aksi ini merupakan bentuk gerakan moral mengingatkan segenap unsur masyarakat dari mana pun asalnya, bahwa kasus Faisal sesungguhnya mengancam kita semua. Kasus Faisal bisa menyebabkan matinya keberanian masyarakat untuk mengingatkan pemegang kekuasaan baik berbentuk tulisan, berpendapat, dan berbicara, dalam menjalankan tugasnya menyejahterakan rakyat yang mereka pimpin. Jika perlawanan tidak dilakukan, maka kekuasaan yang dijalankan bisa berlangsung semena-mena dan melupakan rakyat banyak,” kata Budi Kurniawan, wartawan dan penulis buku dari Journalist and Writer Forum of Borneo.

“Hukuman yang kini dijalani sang aktivis turut mengancam kita semua. Kasus ini menyebabkan ekspresi berupa tulisan, obrolan, pembicaraan, dan hal positif untuk mengingatkan para penguasa, yang kita sampaikan bisa berbuah penjara. Jika ini dibiarkan, maka penguasa dan kekuasaan yang mereka jalankan dan merupakan amanah dari kita semua, bisa dengan sangat mudah diselewengkan. Tanpa kritik dan langkah mengingatkan yang kita lakukan bersama, maka korupsi untuk memperkaya diri sendiri dan penyalahgunaan wewenang seenaknya akan membuat Kalsel bangkrut,” tulis para aktivis itu dalam selebaran yang mereka bagikan dalam dua tahap, pukul 09.00-10.00 dan 16.00-17.00 WITA.

Kita, tulis para aktivis Solidaritas Kebebasan Berekspresi, rakyat pemilik sah Banua ini, pasti akan terus menderita. Sementara penguasa bisa melakukan apa saja, termasuk menjebloskan kita yang kritis menjalankan amar ma’ruf nahi munkar ke penjara. Karena itu, kasus yang menimpa Muhammad Faisal, tak sekadar soal dirinya pribadi. Tapi juga soal kita semua. Ketika kebebasan berbicara, menulis, dan berpendapat, dibungkam, maka wajib bagi kita semua untuk melawan. Yang hak dan benar harus berdiri tegak. Yang bathil dan salah harus runtuh.

Jika hal ini kita biarkan, maka sangat mungkin Faisal-Faisal yang lain akan jadi korban. Apa yang terjadi di Kalsel saat ini pun bisa menjadi mimpi buruk bagi Indonesia. Penguasa akan menggunakan kasus Kalsel sebagai rujukan untuk memenjarakan para pejuang yang menegakkan kebenaran dan keadilan. Para aktivis mengajak segenap masyarakat Kalsel, untuk melawan pembungkaman dan menyelematkan Indonesia.

Bingka Barandam

Sementara itu dalam selebaran berbahasa Banjar, para aktivis mengingatkan bahwa pembungkaman akan mematikan kebiasaan masyarakat Banjar yang terbuka dalam menyampaikan pendapatnya –dalam bentuk bapanderan di getek.

“Tapi nang kalaliwaran lagi sabujurnya kasus nang manimpa Faisal ini maancam kita sabarataan. Imbah pang, mun kita kena manulis, bakesahan –ujar urang wayah ini tu bacurhat-curhatan--, bapandapat, atawa bakesahan di getek, lalu Abah-Abah pejabat nang di atas sana tasinggung dan marasa ngaran sidin jadi kada baik, bubuhannya langsung mangadu ke polisi, dan kita sabarataan bisa dipenjara. Lamun sudah kaitu, makin gampang dan sakahandaknya ai bubuhannya batingkah. Ulih kadada lagi nang wani mangingat akan, bubuhannya bisa asyik haja lawan diri dan bubuhannya sabarataan. Kada manutup kamungkinan korupsi dan sebagainya bisa marajalela. Mun sudah kaitu, hantu gin mati,” tulis para aktivis dalam selebaran yang mereka bagikan.

“Lamun kaitu nang balangsung, ampihan ai sudah. Matian ai kita sabarataan. Tapi jangan manyarah. Mun nang bujur tatap ai harus disampai akan, biarpun pahit adanya. Kita sabarataan harus tatap wani bapander nang bujur. Jar urang sampai akan nang bujur walau pun hanya sabuting ayat. Mun kada kaitu, kita wan anak cucu kita kaena, kada kawa lagi bapanderan. Amang Garbus wan Palui gin kena kada kawa lagi bapanderan di getek kaya bahari.”

Para aktivis mengakhiri seruan mereka dalam selebaran dengan sebuah pantun berbunyi:

“Bingka barandam, bingka kantang
Hintalu karuang wan sarimuka
Nang bakuasa jangan pina mantang-mantang
Gampang manangkap urang wan mamanjara”

Menyelami Misi Dakwah Seorang Faisal (Bagian Pertama dari Dua Tulisan)


Berita Opini Harian Radar Banjarmasin

Kamis, 27 September 2007

Oleh: Ali Mustofa *


HARI masih gelap ketika telepon dirumah kontrakanku berdering kencang. Pagi itu tanggal 13 September 2007, seorang kawan dari Banjarmasin tergopoh-gopoh mengabarkan bahwa Faisal barusan dijebloskan ke penjara oleh Kejaksaan Negeri Banjarmasin. Penulis yang merasa mempunyai “andil’ atas terjadinya kasus ini ikut tersentak atas penahanan Faisal.

Segera ingatanku menerawang pada kejadian-kejadian tujuh tahun lalu tepatnya tahun 2000 silam. Saat itu Gubernur Kalsel Sjahriel Darham sedang berada di puncak kekuasaannya. Roda pemerintahan Kalsel yang dikendalikannya tengah mendapatkan sorotan deras dari masyarakat luas di Kalimantan Selatan. Tak lain karena saat itu, mantan Gubernur yang sekarang menghuni hotel prodeo di Jakarta itu sedang “jalan-jalan” ke Jerman dan China untuk studi banding dengan membawa rombongan besar yang diduga keras menghabiskan uang APBD Kalsel. Kunjungan ini terkait dengan proyek pengerukan alur Barito yang menggandeng “perusahaan bonafid“ dari China bernama CHEC. Belakangan diketahui bahwa perusahaan itu hanyalah perusahaan ecek-ecek yang kemudian terbukti bermasalah. Hartono Limin yang menjadi dedengkot perusahaan CHEC akhirnya juga masuk bui.

Sepulang studi banding, Banjarmasin saat itu berubah menjadi semarak dengan hiasan aneka spanduk dan umbul-umbul penyambutan sang penguasa. “Selamat atas keberhasilan meraih investasi 33 miliar/triliun?”, begitu kira-kira salah satu bunyi spanduk yang digelar oleh para pendukung sang penguasa. Belakangan juga terbukti bahwa investasi Rp33 triliun yang gembar-gembor akan ditanam oleh negara luar itu hanyalah pepesan kosong belaka.

Pendek kata, sang penguasa pada waktu itu memang sedang menebar pesona dan angin surga bagi masyarakatnya. Namun bagi seorang Faisal, ulah sang penguasa itu dinilainya sebagai bentuk kebohongan publik dan kesemena-menaan penguasa. “Kita tidak boleh diam, kita harus melakukan sesuatu,” katanya. Lantas beberapa tindakan pun diambil. Diantaranya dengan menulis surat pembaca di media massa. Salah satu surat pembaca yang kemudian mengantarkannya ke penjara berjudul “Duh Gus Dur Kecil”. Karena perilaku sang penguasa Kalsel saat itu yang mirip-mirip dengan aksi Gus Dur khususnya dalam konteks hobi “melancongnya”.


Misi Dakwah

Alhasil apa yang dilakukan seorang Faisal pada waktu itu sesungguhnya tak lain adalah wujud tanggung jawab sosialnya atas terjadinya penyimpangan perilaku sang penguasa yang dinilainya lalim dan sewenang-wenang. Sekiranya pada waktu itu Pemerintah Kalsel berjalan lurus-lurus saja tentu tidak akan muncul surat pembaca yang bernada keras dari seorang Faisal. Seandainya, penguasa waktu itu tidak melakukan kebohongan publik, tentulah Faisal tidak melakukan perbuatannya yang kemudian mengantarkannya ke penjara. Tidak ada asap kalau tidak ada api. Tidak ada reaksi kalau tidak ada aksi.

Kritik seorang Faisal sesungguhnya juga merupakan representasi aspirasi publik yang berkembang saat itu sehingga harus dimaknai sebagai langkah positif untuk perbaikan jalannya pemerintahan daerah. Dari sisi agama, seorang Faisal sebenarnya juga sedang melaksanakan misi dakwah yaitu menyikapi tindak-tanduk sang penguasa yang telah keluar dari koridor amanah yang diembannya.

Sebagai bagian dari warga rakyat biasa tentu seorang Faisal juga berhak untuk memberikan nasehat kepada penguasa. Karena nasihat adalah hak setiap orang, mulai dari rakyat jelata hingga para penguasa. Artinya, penguasa juga mempunyai hak untuk dinasihati. Sebaliknya, nasihat menjadi kewajiban bagi setiap mukallaf, tatkala menyaksikan kemungkaran atau kezaliman yang dilakukan oleh orang lain; baik pelakunya penguasa maupun rakyat jelata. Inilah yang dinyatakan dalam hadis Nabi SAW: “Agama adalah nasihat; untuk Allah, Rasul-Nya, para pemimpin kaum Muslim, dan orang-orang awam” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Karena itu, nasihat sebagai upaya mengubah perilaku mungkar atau zalim orang lain, baik penguasa maupun rakyat jelata, sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari konteks dakwah bi al-lisân (melalui lisan maupun tulisan), sebagaimana sabda Nabi SAW: “Siapa saja yang menyaksikan kemungkaran, hendaknya mengubahnya dengan tangan-nya. Jika tidak mampu, hendaknya dengan lisannya” (HR Muslim).

Karena itu, tindakan mengkritik kebijakan zalim atau mungkar yang dilakukan oleh penguasa, baik secara langsung ketika berada di hadapannya maupun tidak langsung, misalnya melalui tulisan, demonstrasi atau masîrah, bukan saja boleh secara syar‘i, tetapi wajib. Kewajiban ini bahkan pahalanya dinyatakan sebanding dengan pahala penghulu syuhada, yaitu Hamzah bin Abdul Muthallib, seperti dalam hadis Nabi SAW: Penghulu syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthallib dan orang yang berkata di hadapan seorang penguasa yang zalim, lalu dia memerintahkannya (pada kemakrufan) dan melarangnya (terhadap kemungkaran), kemudian penguasa itu membunuhnya” (HR al-Hakim).

Apa yang dilakukan oleh para Sahabat terhadap Umar dalam kasus pembatasan mahar atau pembagian tanah Kharaj hingga kain secara terbuka di depan publik adalah bukti kebolehan tindakan ini. Memang, ada pernyataan Irbadh bin Ghanam yang mengatakan, “Siapa saja yang hendak menasihati seorang penguasa, maka dia tidak boleh mengemukakannya secara terbuka, tetapi hendaknya menarik tangannya dan menyendiri. Jika dia menerimanya maka itu kebaikan baginya; jika tidak, pada dasarnya dia telah menunaikannya.Akan tetapi, pada dasarnya pernyataan tersebut tidak menunjukkan adanya larangan mengkritik atau menasihati penguasa di depan publik; ia hanya menjelaskan salah satu cara (uslûb) saja.

Dengan demikian, bisa disimpulkan, bahwa menasihati penguasa atau mengkritik kebijakan penguasa yang zalim, termasuk membongkar kemungkaran atau kebohongan publik seperti yang dilakukan oleh seorang Faisal hukumnya wajib, hanya saja cara (uslûb)-nya bisa beragam; bisa dilakukan langsung, dengan bertemu face to face; atau secara tidak langsung, dengan melalui tulisan, surat, demonstrasi atau masîrah. Melakukan upaya dengan lisan—termasuk melalui tulisan, seperti surat pembaca , buletin, majalah, atau yang lain—baik langsung maupun tidak, jelas lebih baik ketimbang upaya bi al-qalb (dengan memendam ketidaksukaan), apalagi jika tidak melakukan apa-apa, sementara terus mengkritik orang lain yang telah melakukannya. (bersambung)


*) Penulis warga Banjarmasin yang sekarang tinggal di Semarang

Kasus Faisal Dipantau Komnas HAM

Berita Utama Harian Radar Banjarmasin
Kamis, 27 September 2007

* Awal Oktober, Ketua Komnas HAM Temui Faisal

BANJARMASIN,- Kasus yang menimpa Ketua PNBK Kalsel Muhammad Faisal SE memantik perhatian Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI. Bahkan, rencananya, awal Oktober nanti Ketua Komnas HAM RI Ibdhal Kasim akan datang ke Banjarmasin untuk menemui Faisal. “Kasus yang menimpa Faisal menjadi perhatian serius Komnas HAM. Karenanya, awal Oktober nanti Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim akan datang ke Banjarmasin,” ungkap Budi Kurniawan, aktivis yang tergabung dalam Solidaritas Kebebasan Berekpresi, pada sela-sela aksi happening art yang digelar di perempatan Jl Pangeran Samudera-Lambung Mangkurat, Banjarmasin, kemarin.

Menurutnya, pemenjaraan terhadap Faisal adalah preseden buruk bagi penegakan demokrasi, yaitu pembungkaman terhadap kebebasan berekpresi dalam bentuk menulis, berpendapat, dan berbicara. “Karena pembungkaman adalah pengingkaran terhadap hak-hak dasar manusia, maka wajib dilawan. Mungkin karena itulah, Komnas HAM sangat serius memantau kasus yang menimpa Faisal ini,” kata penulis buku anggota Journalist and Writers Forum of Borneo ini.

Di sisi lain Budi menegaskan, pada prinsipnya aksi yang digelar para aktivis bukan karena membela pribadi Faisal. Tapi lebih mengedepankan perlawanan terhadap pembungkaman kebebasan berekpresi dan mengeluarkan pendapat. “Jadi jangan salah diartikan aksi moral yang digelar para aktivis lantaran membela pribadi Faisal. Perjuangan ini untuk melawan pembungkaman, jika tidak dilawan maka kedepannya akan ada Faisal Faisal lain yang jadi korban. Kami tidak ingin kebebasan berpendapat dan berekspresi para aktivis, masyarakat, dan juga Anda wartawan akan dibelengu dan dibatasi,” tandasnya.

Kalau itu terjadi, lanjut Budi, maka kebebasan berpendapat telah mati di Kalsel ini. “Kasus yang menimpa Faisal dapat menyebabkan matinya keberanian masyarakat untuk mengingatkan pemegang kekuasaan baik berbentuk tulisan, berpendapat, dan berbicara. Jika perwalanan tidak dilakukan, maka kekuasaan yang dijalankan bisa berlangsung semena-mena dan melupakan rakyat banyak,” tandasnya lagi.

Parahnya lagi, lanjut Budi, jika kasus yang menimpa Faisal dibiarkan, akan menjadi mimpi buruk bagi Indonesia. Karena penguasa akan menggunakan kasus Kalsel sebagai rujukan untuk memenjarakan para pejuang yang menegakkan kebenaran dan keadilan. “Kalau itu terjadi, berarti telah terjadi kemunduran dalam penegakan demokrasi di Indonesia,” katanya.

Perjuangan para aktivis yang tergabung dalam Solidaritas Kebebasan Berekpresi, tandas Budi, akan terus berlanjut. Bahkan, mereka meminta Mahkamah Agung melakukan judicial review terhadap pasal-pasal yang berhubungan dengan pencemaran nama baik. “Kami juga akan mengadu kepada Dewan Pers dan Mahkamah Konstitusi di Jakarta soal pasal-pasal karet yang dapat membungkam kebebasan berekspresi,” katanya lagi.

Pantauan koran ini, aksi happening art kemarin digelar pada lima titik di Kota Banjarmasin. Yaitu dimulai di perempatan Jl Pangeran Samudera-Lambung Mangkurat, lalu menuju Jl S Parman, Jalan Soetoyo S, Terminal Km 6 Banjarmasin, dan depan Kampus Unlam Banjarmasin. Pada setiap titik terdapat 4 orang aktivis yang mengenakan kaos hitam bergambar sosok Faisal, aktivis yang kini dijebloskan ke LP Teluk Dalam Banjarmasin pada 13 September 2007 lalu karena mengkritik kebijakan mantan Gubernur Kalsel HM Sjahriel Darham dalam sebuah tulisannya berjudul “Duh Gus Dur Kecil”. Menariknya, dalam aksi kemarin, para aktivis menutup mulut dengan isolasi berwarna hitam, dan terkurung dalam kurungan bambu. “Kurungan ini sebagai simbol telah dipasung dan dibungkamnya hak berpendapat,” kata Kordinator Pelaksana Aksi, Taufik Arbain.

Tak hanya itu saja, para aktivis juga membagikan bunga dan selebaran yang berisikan pesan moral anti pembungkaman kepada pengendara yang melintas sekitar lokasi aksi.

Tampak dalam aksi kemarin, Apriansyah (dosen Fisip Unlam), Sukhrowardi (pengusaha muda/mantan aktivis LSM), sejumlah intelektual, tokoh muda, aktivis kampus, serta LSM di Kalsel.

Seperti diketahui, Kamis 13 September 2007 lalu, Faisal dijemput paksa oleh pihak Kejaksaan Negeri Banjarmasin untuk menjalani hukuman penjara selama empat bulan. Tindakan pihak kejaksaan ini merupakan eksekusi putusan Mahkamah Agung RI yang menyatakan Faisal terbukti melakukan pencemaran nama baik mantan Gubernur Kalsel HM Sjachriel Darham sekitar tahun 2000 silam.

Kala itu Faisal, melalui Harian Radar Banjarmasin ini, menyebut Sjachriel sebagai “Gus Dur Kecil”. Disebut seperti itu, Sjachriel tak terima, lalu mengadukan Faisal ke polisi.

Pada sidang di PN Banjarmasin, Faisal dibebaskan. Namun, pihak kejaksaan yang menyeretnya ke meja hijau tak terima. Pihak kejaksaan kemudian mengupayakan banding/kasasi. Sampai akhirnya, pada September 2004, Mahkamah Agung memutuskan Faisal terbukti bersalah dan dijatuhi hukuman penjara selama empat bulan.

Sampai sekian lama, putusan MA itu tak kunjung dieksekusi. Yang aneh, pada Kamis, 13 September 2007 lalu, ketika Faisal yang sedang berada di Polda Kalsel untuk satu urusan, tiba-tiba dijemput pihak kejaksaan dan langsung dibawa ke LP Teluk Dalam Banjarmasin untuk menjalani putusan MA tersebut.(sga)

Sunday, September 23, 2007

Antara Metta, Faisal, dan Pembungkaman Itu

Oleh : Budi Kurniawan (Alumnus FISIP Unlam dan Aktivis Journalist and Writer Forum of Borneo. Email: budibanjar@yahoo.com)

Metta Dharmasaputera, wartawan Majalah Berita Mingguan TEMPO, kini mengalami masalah. Komunikasi intensnya dengan narasumber yang memberikan data sangat lengkap tentang praktik bisnis curang dan illegal justru bocor. Komunikasi dilakukan Metta, satu diantara tiga bersaudara wartawan berdarah Tionghoa, ini untuk membongkar praktik curang yang sering menjadi ciri “khas” pebisnis Indonesia. Sayangnya investigasi yang dilakukan Metta justru mengantarkannya pada masalah.

Dengan alasan yang tak jelas aparat keamanan justru meminta rekaman komunikasi itu –termasuk pesan-pesan pendek—antara Metta dan narasumbernya. Rekaman komunikasi itu tak ayal membuat kerahasiaan terbongkar dan Metta berada dalam bahaya. Betapa tidak selain membocorkan investigasi yang dilakukan, tindakan aparat itu menjadi tanda tanya besar. Karena komunikasi yang dilakukan Metta tidak ada hubungannya dengan tindakan makar, terorisme, dan membahayakan kepentingan publik. Kasus ini kini mengemuka dan menjadi perhatian khalayak di Jakarta. Tak kurang Dewan Pers turun tangan.

Dalam tataran yang hampir sama, kasus di sekitar dunia kewartawanan dan pers juga terjadi di Banjarmasin. Sebuah tulisan pendek yang ditulis Muhammad Faisal dan dimuat di salah satu koran lokal berbuah penjara. Surat pembaca berjudul “Duh Gus Dur Kecil” isinya mengkritik kebijakan Gubernur Kalimantan Selatan Sjachriel Darham –kini mantan Gubernur dan divonis hukuman penjara selama empat tahun oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Jakarta—dalam soal pengerukan alur Barito dan perjalanan yang dilakukan Sjachriel dan keluarganya ke luar daerah.

Tak terima dengan surat pembaca itu Sjachriel mengadukan Faisal ke polisi. Pengaduan itu menjadi dasar penyelidikan dan penyidikan. Di pengadilan Faisal menang. Kejaksaan tidak terima dengan vonis pengadilan itu dan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Setelah sempat terkubur selama hampir dua tahun –ini anehnya—Kejaksaan melakukan eksekusi terhadap Faisal dan menjebloskannya ke Lembaga Pemasyarakatan Teluk Dalam Banjarmasin beberapa waktu lalu. Keputusan kasasi Mahkamah Agung itu membuat Faisal meringkuk dalam penjara selama empat bulan.

Mencuatkan Diskursus

Kasus yang menimpa Faisal ini mau tidak mau mencuatkan kembali diskursus terhadap kebebasan berekspresi (berpendapat, menulis, dan berbicara) yang dilindungi Undang-Undang dan menjadi salah satu dari unsur Hak Asasi Manusia yang sesuai dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.

Ketika kritik disampaikan masyarakat –siapa pun orangnya—terhadap jalannya kekuasaan dan tindakan para penguasa justru berbuah penjara, maka masa kelam pembungkaman seperti yang terjadi ketika Orde Baru berkuasa telah kembali. Padahal tindakan semacam ini menjadi musuh bersama dalam era yang kini jauh lebih terbuka.

Lebih jauh lagi ketika kritik dengan sangat mudah dibungkam, maka para penguasa akan semakin memaharaja melakukan tindakan apa pun. Kontrol yang dilakukan para aktivis –juga kalangan pers—akan menjadi sia-sia. Dan kekuasaan yang selalu cenderung korup dan menyengsarakan rakyat banyak akan makin seenaknya.

Karena itu kasus ini bukan sekadar menyangkut diri Faisal. Namun kasus ini menjadi starting point kembalinya kekuasaan lalim yang dengan sangat mudah membungkam kritik. Padahal era pembungkaman sudah lama berlalu. Kebebasan pers yang dituangkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan merupakan perubahan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan Pokok Pers, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1967 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 karena sudah tidak sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman.

Diktum Undang-Undang Pers jelas menyebutkan bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis, sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 harus dijamin.

Diktum itu juga menyebutkan bahwa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis, kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani dan hak memperoleh informasi, merupakan hak asasi manusia yang sangat hakiki, yang diperlukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejateraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa;

Undang-Undang itu juga menyebut peran pers sebagai wahana komunikasi massa, penyebar
informasi, dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional, sehingga harus mendapat jaminan dan perlindungan hukum, serta bebas dari campur tangan dan paksaan dari manapun.

Wajib Dilawan

Berdasarkan pemikiran bahwa pembungkaman terhadap kritik konstruktif yang disampaikan siapa pun terhadap jalannya kekuasaan dan kebijakan yang diambil penguasa itulah maka kalangan aktivis di Banjarmasin pada Rabu (21/9) menggelar “Malam Melawan Pembungkaman”. Acara yang digelar di halaman terbuka kampus Universitas Lambung Mangkurat, diterangi obor nan bersahaja, dan juadah sederhana, itu dihadiri oleh hampir semua kalangan, termasuk wartawan dan pekerja media lainnya.

Satu pesan yang terungkap jelas dari acara itu adalah pembungkaman dalam bentuk apa pun dan diterapkan pada siapa pun harus dilawan. Karena hal itu menyangkut kebebasan masyarakat untuk menyampaikan pendapatnya. Jika kemudian penguasa yang dikritik tidak terima, jalur yang diatur oleh instrument perundang-undangan sesungguhnya sudah jelas.

Undang-Undang Pers misalnya dijelaskan adanya hak jawab yang bisa dilakukan pihak-pihak yang tidak terima dengan kritik dan pemberitaan yang dianggap telah merugikan dirinya. Pers sendiri diwajibkan memuat hak jawab itu. Memang Undang-Undang tidak menyarankan dengan sangat tegas penggunaan hak jawab diutamakan sebelum pengaduan pidana oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan.

Namun, di era yang sudah jauh berbeda ketimbang era Orde Baru yang biasa menggunakan cara-cara refresif, maka metode hak jawab sesungguhnya bisa dikatakan sebagai salah satu solusi jika persoalan soal pers dan kritik terjadi.

Dari Kalsel Menyelamatkan Indonesia

Apa yang dilakukan para aktivis muda Kalsel dalam dua pekan terakhir ini selain menunjukkan adanya reaksi terhadap pembungkaman hak berpendapat sesungguhnya menyiratkan pesan mendalam. Dalam soal kebebasan pers dan berpendapat Kalsel sesungguhnya saat ini sedang dalam proses menyelamatkan Indonesia.

Betapa tidak, ketika kebebasan pers dan berpendapat yang merupakan salah satu hasil reformasi terancam melalui kasus yang menimpa Faisal, para aktivis dan semua kalangan bereaksi. Tidak bisa dibayangkan betapa buruknya dampak kasus Faisal ini bagi kebebasan pers dan berpendapat di Indonesia, jika dalam kasus serupa keputusan kasasi MA menjadi yurisprudensi. Maka polah penguasa dan kekuasaan yang cenderung korup dan karenanya wajib diawasi, dikritik, dan dikabarkan secara terbuka dan objektif, akan semakin memaharaja. Jika itu yang kemudian terjadi, maka percayalah kebebasan berpendapat bisa jadi akan tinggal cerita. Dan kekuasaan berlangsung kian seenaknya.

Konflik Sampit= Tragedi Komplit

Banjarmasin Post, Senin, 17-09-2007

Imaji atau stigma ini harus diakui sebagai bagian dari realitas masa lampau.

Oleh: Baron R Binti (Urang Banjar dari Suku Dayak Ngaju)


Adalah satu persoalan besar ketika ada kegagalan negara menjalankan perannya selaku pemegang monopoli atas kekuasaan. Padahal, dikehendaki otoritas tersebut mampu mengendalikan serta menjalankannya untuk kesejahteraan rakyat. Inilah yang menjadi substansi persoalan sehingga terjadi konflik etnis di Sampit.

Tulisan sederhana ini ingin memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya terhadap tulisan Budi Kurniawan berjudul, Kayau yang Disesatkan (BPost, Selasa 14 Agustus 2007, Rubrik Opini).

Penyesatan persepsi dalam buku karangan MTH Perelaer berjudul Desersi: Menembus Rimba Raya Kalimantan tentang kayau atau mengayau memang terasa memperburuk imej suku Dayak. Dalam buku berjudul Borneo van Zuid naar Noord ditulis sebagian latar belakang novel ini adalah Perang Banjarmasin, ketika orang-orang Dayak, selain orang Banjar, mengangkat senjata melawan Belanda.

Satu hal yang barangkali penting dipahami menyangkut perannya sebagai salah seorang pelaku yang dilibatkan MTH Perealer dalam novel tersebut yaitu keyakinannya mengikuti jalan Kristus menjadi awal suatu pertobatan seorang tokoh yang sangat diperhitungkan Belanda. Penjajah tentu punya alasan khusus sehingga perlu mengangkatnya menjadi Temanggung Dayak. Secara tersirat Temanggung Ambo memiliki keinginan kuat menjadikan jalan Kristus sebagai pintu keluar dari salah satu kebiasaan buruk seperti mengayau, yang di zaman itu dipahami sebagai lambang keperkasaan dan penaklukan.

Kayau atau tetek uyat (bahasa Dayak Ngaju) hanya salah satu dari imaji populer tentang uluh Dayak. Selain narasi yang banyak bertutur tentang kehidupan komunal di rumah betang, lengkap kisah menenteng mandau, serta primitifisme sebagai simbol kemiskinan dan keterbelakangan.

Imaji atau stigma ini harus diakui sebagai bagian dari realitas masa lampau. Kenyataan pada hari ini bahwa komunitas Dayak tetap akrab dengan kehidupan pilu karena masih belum terlepas dari lingkaran setan kemiskinan maupun kebodohan. Semua ini terjadi akibat belum ada kebijakan publik yang lebih adil sehingga komunitas suku Dayak yang sebagian besar hidup di daerah pedalaman belum memperoleh keadilan atau kesempatan memadai untuk menikmati kemajuan pembangunan.

Ada kesan, ukuran kemajuan di Provinsi Kalteng dilihat dari kemegahan bangunan kantor-kantor pejabat publik, termasuk rumah-rumah, mobil-mobil mewah jabatan para pemangkunya. Padahal, sebagian kabupaten hanya memiliki jalan beraspal sepanjang puluhan kilometer saja. Itu pun jadi bubur di musim hujan.

Kemajuan peradaban belum diprioritaskan untuk sebanyak mungkin membangun gedung sekolah dan rumah-rumah guru yang memadai. Membangun sarana pelayanan kesehatan yang nyaman dan modern atau membangun rumah-rumah yang benar-benar murah hingga mampu dibeli sebagian besar masyarakat yang masih tinggal dibangunan kumuh dan tidak layak huni.

Ketidakadilan sosial, ekonomi dan hukum banyak dialami suku Dayak. Inilah yang menjadi pemicu konflik tahun 2001 di Sampit yang sama sekali tidak kita inginkan. Kerusuhan disertai aksi anarkis nyaris menyebar ke seluruh wilayah kabupaten di Kalteng. Peristiwa ini adalah tragedi paling komplit, karena selain memilukan, juga memalukan.

Di akhir tulisannya, Budi Kurniawan menyatakan tinggal kemudian bagaimana generasi muda Dayak berbuat mengubah dirinya secara sistematis menjadi suku yang disegani, bukan ditakuti. Pendapat ini benar dan cerdas karena orang Dayak akan lebih dihargai bila tidak lagi miskin dan bodoh. Lebih jauh mungkin perlu ditumbuhkan pemahaman bahwa keberhasilan pembangunan di Kalimantan Tengah, tidak lagi diukur dari bangunan megah gedung-gedung pemerintah kabupaten atau banyaknya orang Dayak yang berhasil menjadi pengusaha kaya atau sukses menjadi pejabat tinggi, namun ditambah parameter lain. Misalnya, dihitung semakin kecil jumlah orang Dayak yang miskin, kemerdekaan dari kebodohan dan semakin sedikit orang Dayak yang menjadi narapidana tindak pidana korupsi.

e-mail: binti_advocat@yahoo.co.

Jaksa Jemput Paksa Faisal

Jumat, 14-09-2007 02:43:09
MA Memenjarakannya 4 Bulan
(Berita ini ditulis wartawan Banjarmasin Post)

BANJARMASIN, BPOST - “Kenapa suami saya harus dijemput di kantor polisi? Kenapa tidak dijemput di rumah saja? Kenapa harus di sini,” teriak Ny Mona saat berada di ruang Direktorat Reskrim Polda Kalsel, Kamis (13/9) siang.

Mona protes keras karena aparat Kejaksaan Negeri Banjarmasin tiba-tiba menjemput suaminya, Muhammad Faisal, untuk dieksekusi terkait kasus pencemaran baik terhadap Sjachriel Darham tahun 2000 silam. Padahal, kemarin, tokoh sebuah partai politik itu sedang dimintai keterangan sebagai saksi oleh polisi dalam perkara lain yang diduga melibatkan istrinya.

Mona bertambah emosi saat salah seorang jaksa menyodorkan surat penahanan. Sambil menenteng dua buah handphone, Mona berusaha mempertanyakan tindakan aparat kejaksaan tersebut.

“Coba pikir, putusan (Mahkamah Agung) sudah dua setengah tahun lalu, kenapa baru sekarang dilaksanakan. Kenapa harus di kantor polisi suami saya dijemput? Ini tidak etis,” kata Mona lagi.

Mendengar hal itu, Kasipidum Kejari Banjarmasin, Bambang Marsana SH, berusaha menjelaskan bahwa pihaknya sudah tiga kali mengirim surat pemanggilan, namun tidak ditanggapi.

Rupanya jawaban itu belum juga memuaskan perasaan perempuan tersebut. Sambil meluapkan kekesalannya, Ny Mona keluar ruangan Dit Reskrim Polda. Ia tampak sibuk menghubungi seseorang melalui ponselnya.

Sementara, dalam waktu bersamaan, aparat kejaksaan tetap bersikeras menjemput paksa Faisal.

Setelah sekitar satu jam bersitegang, Faisal akhirnya bersedia keluar ruangan. Ia tampak menuruni tangga gedung Dit Reskrim dengan didampingi pengacaranya, Marudut Tampubolon SH. Sejurus kemudian, ia masuk ke mobil pribadinya, Patrol DA 1888 MU.

Mona yang semula tegar melihat suaminya dikawal petugas, belakangan terkulai lemas ketika ia hendak masuk mobil, mengikuti suaminya.

Namun itu semua tak menghalangi proses eksekusi. Pengusaha batu bara di Tanah Bumbu itu kemudian dibawa ke Lapas Teluk Dalam guna menjalani pidana, sebagaimana putusan MA yang diterima Kejari Banjarmasin beberapa hari lalu.

Diperoleh informasi, ketika sampai di Lapas Teluk Dalam, Faisal sempat menolak menandatangani surat penahanan karena beralasan tidak bersalah.

“Ia ngotot mengaku tidak bersalah. Meski demikian, kejaksaan tetap melakukan eksekusi penahanan,” kata seorang jaksa yang turut menjemput.

Dalam putusan Mahkamah Agung tersebut Faisal divonis empat bulan karena terbukti melakukan pencemaran nama baik terhadap mantan Gubernur Kalsel Sjachriel Darham.

Seperti diketahui, kasus ini bermula ketika ia diadukan Sjachriel Darham ke Polda Kalsel. Dalam tulisannya di sebuah media massa di Banjarmasi, pada 2000 silam, Faisal dinilai telah mencemarkan nama baik Sjachriel. Dalam sidang di tingkat PN, Faisal divonis bebas. Kasus tulisan “Duh Gus Dur Kecil” ini kemudian berlanjut sampai tingkat kasasi.

Setelah diproses, putusan MA keluar pada 1 September 2004. Namun berkas putusan itu baru diterima Kejari Banjarmasin dalam beberapa hari terakhir. mdn

Tidak Terima Dieksekusi Kejaksaan

* Faisal Minta Klarifikasi Polda
(Berita ini ditulis wartawan Banjarmasin Post)
Sabtu, 15-09-2007 09:13:30

BANJARMASIN, BPOST - Eksekusi penahanan yang dilakukan Kejaksaan Negeri Banjarmasin terhadap Muhammad Faisal di ruang Direktorat Reskrim Polda Kalsel, Kamis (14/9) berbuntut protes dari yang bersangkutan.

Melalui pengacaranya, Marudut Tampubolon, politisi salah satu partai itu mendapat putusan empat bulan kurungan atas kasus pencemaran nama baik pada mantan Gubernur Kalsel Sjachriel Darham, yakin tidak bersalah atas kasus tersebut.

Selain itu, proses eksekusi yang dilakukan kejaksaan kemarin terkesan tindakan personal tanpa kelengkapan administrasi hukum.

“Karena sebelum eksekusi dilakukan sudah ada permintaan bantuan ke Polda, tapi permintaan bantuan itu belum pernah dijawab Kapolda Brigjen Halba R Nugroho dengan mengeluarkan surat perintah untuk membantu kejaksaan menghadirkan klien kita (Faisal) untuk dilakukan eksekusi,” jelas Marudut Tampubolon, Jumat (14/9).

Karena hal itu, kata Marudut, Faisal tetap tidak bersedia menandatangani berita acara eksekusi, meskipun telah dimasukkan ke Lembaga Pemasyarakatan Teluk Dalam Banjarmasin.

Dikatakannya, pengajuan PK ini karena sebelum putusan kasasi itu dikeluarkan MA diduga banyak hal yang tidak dipertimbangkan MA. “Dan itu sudah kita kritisi melalui PK, kemudian melalui Pengadilan Negeri Banjarmasin, itu sudah diproses,” katanya.

Berdasar hal itu, lanjut Marudut, karena antara saksi korban dengan terpidana Faisal sudah ada komunikasi untuk kepentingan apa eksekusi dilakukan.

“Karena tugas kejaksaan itu kan mewakili masyarakat, dan kepentingan masyarakat sudah terpenuhi. Sehingga untuk kepentingan siapa ? dia (kejaksaan) melakukan eksekusi itu. Lagi pula ini juga bukan perkara yang sifatnya korupsi, berat, pelanggaran HAM. Tapi, kritik dari seorang aktivis terhadap penguasa,” kata Marudut.

Pihaknya mengajukan protes keras kepada kapolda dan meminta untuk memberikan klarifikasi, menyusul terjadinya eksekusi yang dilakukan aparat kejaksaan terhadap Faisal, di ruang Dit Reksrim Polda Kalsel tersebut.

Terpisah, Kasat I Direktorat Reskrim Polda Kalsel Ajun Komisaris Besar Polisi Suherman mengatakan, proses eksekusi yang dilakukan aparat kejaksaan terhadap Muhammad Faisal adalah hak institusi tersebut.

“Walaupun itu dilakukan di Mapolda. Karena secara yuridis, apabila sebuah institusi hendak melakukan penahanan secara paksa terhadap seseorang. Selagi masih di wilayah Indonesia, tidak ada batasan, dimana ia ditangkap,” kata Suherman.

Terkait adanya permintaan bantuan dari Kejaksaan Negeri Banjarmasin kepada Polda untuk menghadirkan Faisal untuk dilakukan eksekusi, namun belum sempat dikeluarkan surat penangkapan ketika eksekusi dilakukan, kata Suherman hal itu tidak masalah.

“Karena momennya tidak sempat, walaupun sebelumnya pihak kejaksaan sudah ada meminta bantuan kepada kita. Karena mereka tahu tahu bahwa Faisal ada di polda, otomatis mereka langsung menjemput Faisal tanpa harus menunggu kita membuat surat,” katanya. mdn

Bukan Sekadar Faisal

Berita Opini

Selasa, 18 September 2007

Oleh: Nasrullah *)


SAYA yakin, kedatangan kaum akademisi, mahasiswa, kalangan parpol, aktivis LSM maupun kalangan jurnalis yang menjenguk Faisal di tahanan, bukan sekadar solidaritas untuk Muhammad Faisal saja. Percayalah, kedatangan mereka untuk hal-hal yang lebih jauh. Anda jangan beranggapan, “Ko’ Faisal aja dibela”. Padahal saya sendiri, mungkin juga anda, boleh jadi tidak akan setegar Faisal yang harus berjuang di setiap persidangan membela diri dari dakwaan, hingga berujung sebuah keputusan bernama penjara.

Ada kekhawatiran kasus Faisal berpengaruh kepada para aktivis jurnalis, akan menyendatkan goresan pena untuk menulis, atau membuat kaku ujung jari untuk mengetukkannya di atas keyboard komputer maupun mesin tik. Inilah dunia penulis, antara pena dan penjara di masa sebelum reformasi jaraknya terlampau dekat. Kita terlanjur berharap banyak, ketika reformasi bergulir jarak pena dan penjara itu semakin jauh. Namun yang terjadi pada Faisal misalnya, saat bangsa Indonesia berbulan madu dalam reformasi, ternyata kebebasan mengekspresikan pendapat lewat tulisan ternyata tidak dimiliki oleh setiap orang. Lebih celaka lagi, terjadi di Kalimantan Selatan ini.

Kita mesti melihat pengalaman Faisal dalam hubungan antara penulis dan penguasa, setidaknya ada tiga kemungkinan pilihan tulisan yang akan disampaikan. Pertama, membenarkan, kebenaran versi penguasa. Bagi sang penulis apapun menjadi kebijakan penguasa akan selalu benar, pokoknya “semua baik-baik saja Pak”. Kedua, mempertanyakan kebenaran. Bagian ini, apa yang disampaikan penguasa, bukanlah sebuah kebenaran mutlak, jadi memberikan peluang untuk dipertanyakan. Ketiga, menyatakan kebenaran kepada penguasa, yakni kebenaran itu bukan hanya milik penguasa, melainkan penulis atau bahkan orang lain memiliki pandangan tentang kebenaran versi mereka sendiri.

Jika mengambil pilihan pertama, maka kita akan bermesraan dengan penguasa. Boleh jadi mendapatkan fasilitas enak, karena mendapatkan “proyek maambung” demi menyenangkan penguasa. Namun kita melupakan suara-suara rakyat, bahkan suara dari hati nurani kita sendiri tidak akan didengarkan. Pilihan kedua, kita akan menjadi pengawal kebijakan penguasa. Bukan untuk membenarkan, tapi menjadi navigator untuk melihat jalan mana semestinya ditempuh, barangkali perselisihan dengan penguasa akan terjadi. Pilihan ketiga, menjadi pilihan sulit bagi orang yang terbiasa berdekatan dan bermesraan dengan penguasa. Tapi pilihan ketiga, Anda menjadi juru bicara rakyat dan nurani Anda sendiri untuk menyatakan kebenaran-kebenaran yang terlindungi oleh gemerlapnya kekuasaan dan atas kebenaran tunggal dari penguasa.

Terhadap pilihan kedua dan ketiga ini, jika seorang penguasa atau pemimpin maupun pejabat mengerti akan hak berpendapat dalam kehidupan berdemokratisasi dan meniadakan sakralisasi kekuasaan. Maka ia menempuh jalan dialog, atau pena diladeni dengan pena juga, sehingga akan terbuka berbagai kemungkinan lebih luas untuk melihat kebenaran dari berbagai sudut pandang.

Saya yakin pilihan Faisal adalah kedua dan ketiga, jika Anda pembaca pernah menempuh pilihan-pilihan tersebut, saya yakin Anda akan mengetahui mengapa nabi bersabda “Jihad yang paling disukai di sisi Allah adalah perkataan yang benar diucapkan kepada imam (pemimpin) yang palsu/curang”. Sebab menyatakan kebenaran melalui tulisan sekalipun, bukanlah perkara mudah apalagi kebenaran anda tidak bisa diterima. Risikonya, kalau Anda tidak bisa dipanggil sang Penguasa, maka keluarga Anda akan mendapatkan getahnya. Jika keluarga Anda mempunyai hubungan struktural dengan penguasa tersebut, bersiap-siaplah karena Anda, maka hubungannya dengan penguasa akan terancam, barangkali ancaman penurunan jabatan. Sungguh pengalaman seperti ini turut saya rasakan.

Seorang penulis akan mampu mengekpresikan pikiran-pikirannya, apabila tidak ada ketakutan apakah tulisan itu salah, dicemooh orang, atau bahkan mendapat tekanan dari banyak. Seorang penulis yang tegar tak akan goyah dengan berbagai kecaman. Tapi menjadi pertanyaan, siapakah yang setegar itu? Apalagi dengan kejadian dialami Faisal, akan melayukan semangat para penulis menyuarakan kebenaran. Sungguh kita tidak berharap Faisal kebal hukum, jika ia memang salah. Justru ada perkara lain yang tidak bisa disepelekan, yakni kebebasan berpendapat lewat tulisan untuk menyuarakan kebenaran tersebut. Itulah yang sangat dikhawatirkan.

Saya yakin, bagi Faisal di dalam penjara tidak akan memenjarakan jiwanya, dia tahu penjara merupakan sekolah bagi para penulis untuk mempertajam nuraninya dan mengkilatkan ujung pena. Faisal tahu, banyak karya besar lahir dari dalam penjara, bukan dari hotel berbintang. Pramoedya Ananta Toer bahkan mengatakan, “karena kau terus menulis, namamu akan abadi hingga jauh, jauh dikemudian hari”. Maka jangan pernah sama sekali, minta pengurangan masa tahanan baginya, saya yakin Faisal tidak akan pernah berharap untuk itu. Kita menunggu saja, ia akan melahirkan karya-karya besar dari dalam tahanan.

Saya lantas berpikir, jika hal seperti ini terjadi kembali. Seorang Faisal saja yang cukup disegani dan mempunyai banyak teman dari berbagai kalangan, tidak terjamin kebebasan mengeluarkan pendapat apalagi orang seperti saya. Imbasnya bagi media massa juga merupakan pukulan, sebab mereka akan kehilangan para penulis yang memberikan kritik kepada pemerintah ataupun penguasa.

Maka kedatangan kaum akademisi, mahasiswa, kalangan parpol, aktivis LSM maupun kalangan jurnalis yang menjenguk Faisal di tahanan bukan sekadar demi Faisal belaka. Tapi karena kesedihan kita seperti dikatakan Budi Kurniawan mengancam hak berekspresi dan kebebasan pers. Semestinya lebih banyak pihak lagi turut menyesalkan kejadian ini, kalau saya pemimpin daerah Kalimantan Selatan, tentu akan turut berduka cita karena belenggu terhadap kebebasan untuk mengemukakan pendapat lewat tulisan di media massa belum sepenuhnya hilang. Sebagai pemimpin Kalsel, sayalah orang yang lebih dulu bersedih dan berteriak, namun sayangnya justru hal itu yang tak terdengar.***


*) Mahasiswa Pascasarjana Antropologi UGM

Aktivis Journalist and Writer Forum of Borneo

Malam Melawan Pembungkaman

Berita Utama Harian Radar Banjarmasin

Kamis, 20 September 2007

Aksi Aktivis untuk Muhammad Faisal

BANJARMASIN,- Aksi moral mendukung Ketua DPD Partai Nasional Bung Karno (PNBK) Kalsel Muhammad Faisal SE yang dipenjara selama 4 bulan, terus dilakukan berbagai pihak. Aksi penentangan atas pemenjaraan Faisal itu tadi malam digelar dengan hidmad di kawasan kampus Universitas Lambung Mangkurat (Unlam) Banjarmasin, dengan tajuk “Malam Melawan Pembungkaman”.

Acara yang dikemas dengan suasana teramat bersahaja di lapangan terbuka, dengan penerangan puluhan obor, itu dimulai dengan mengumandangkan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Sekitar 100 aktivis muda yang mengikuti acara tersebut serentak berdiri dan mengumandangkan lagu kebangsaan itu dengan penuh semangat.

Kemudian, acara dilanjutkan dengan pembacaan puisi oleh Budi Kurniawan (wartawan/penulis buku), dilanjutkan pembacaan puisi penyemangat oleh seniman Lazuardi Saragih. Berikutnya sejumlah aktivis menyampaikan orasi. Juga ada yang menyanyikan lagu yang liriknya antara lain berbunyi: Kepalkan tinjumu ke awan/Rapatkan barisanmu kawan/Hancurkan segala penindasan.

Intinya, acara ini menentang atas pemenjaraan Faisal yang dianggap sebagai tindakan sewenang-wenang dari pihak penguasa. Untuk itu, seratusan aktivis yang sebagian besar mahasisa Unlam itu kompak menyatakan perlawanan.

Di tengah acara yang “dikomandani” Taufik Arbain (dosen Unlam) dan Budi Kurniawan ini, dibagikan selebaran berisi pernyataan sikap dari Ketua Journalist and Writer Forum of Borneo, Setia Budhi, yang kini masih berada di Malaysia menyelesaikan pendidikan tingkat doctoral di Universitas Kebangsaan Malaysia. Juga ada penyataan Taufik Arbain dan Budi Kurniawan.

Menurut Setia Budhi, apa yang terjadi pada Faisal ini adalah pembungkaman terhadap ekspresi yang menunjukkan kemunduran luar biasa bagi demokrasi di Kalsel. “Pembungkaman semacam ini biasa terjadi di era Orde Baru. Tapi ketika suasana dan iklim politik lebih terbuka, pembungkaman justru terjadi di Kalsel. Ini ironi,” tegasnya.

Sedangkan Taufik Arbaik menegaskan, pemenjaraan ini bukan sekadar menyangkut pribadi Faisal. “Kasus ini bisa menjadi preseden buruk bagi kebebasan berpendapat dan membungkam tradisi intelektual,” ujarnya. (aha)

Thursday, September 20, 2007

Dukungan Moral buat Faisal

Berita Utama Harian Radar Banjarmasin (Kasus ini menunjukkan dengan sangat jelas kebebasan pers sedang dalam ancaman. Untuk para aktivis mari bereaksi)

Minggu, 16 September 2007

BANJARMASIN – Siang kemarin, sejumlah intelektual dan tokoh muda Kalsel serta puluhan aktivis kampus maupun LSM ramai-ramai mengunjungi Muhammad Faisal SE, Ketua DPD PNBK Kalsel, yang sejak Kamis lalu ditahan di LP Teluk Dalam Banjarmasin.

Para intelektual dan tokoh muda Kalsel yang kemarin mengunjungi Faisal di LP Teluk Dalam antara lain Taufik Arbain (dosen Unlam sekaligus aktivis), Muhammad MED (mantan anggota KPUD Kalsel yang kini aktif di Golkar), Yanuaris Frans (aktivis LSM sekaligus pengacara), Muaz (pengurus parpol/mantan anggota KPUD), Hairiadi Asa (aktivis media massa), Sukhrowardi (pengusaha muda/mantan aktivis LSM), Budi Kurniawan (wartawan/penulis buku), dan Desmond J Mahesa (pengacara). Dua nama yang disebut terakhir bahkan sengaja datang jauh-jauh dari Jakarta.

Kedatangan mereka dengan tujuan yang sama, yakni memberikan dukungan moral kepada Faisal agar tabah menjalani cobaan yang kebetulan waktunya bertepatan dengan bulan suci Ramadan ini. “Faisal itu tak bersalah, tapi nyatanya dipenjara. Jadi ini saya sebut musibah. Karena itu kita semua merasa perlu memberikan dukungan moral kepadanya,” kata Sukhrowardi.

Budi Kurniawan bahkan memandang kasus yang menimpa Faisal ini bisa menjadi preseden buruk bagi dunia jurnalistik dan kalangan aktivis. “Sikap kritis para aktivis yang kemudian diakomodir media massa, eh ternyata bisa membawa yang bersangkutan ke balik tembok penjara. Bayangkan, kalau sudah begini, siapa pula yang masih punya nyali untuk bersuara lantang mengkritisi ketidakberesan pembangunan atau jalannya pemerintahan misalnya,” ujarnya kepada Radar Banjarmasin.

Puluhan aktivis mahasiswa yang kemarin ikut mengunjungi Faisal, justru mengaku bingung dengan penegakan keadilan di negeri ini. “Bang Faisal itu kan mengingatkan tentang adanya ketidakberesan seorang pemimpin di Kalsel kala itu, dan ternyata apa yang diingatkan Bang Faisal itu benar, buktinya pemimpin itu dijatuhi hukuman penjara. Eh, kemudian Bang Faisal ikut dipenjara pula. Ini kan tidak adil. Hidup Bang Faisal,” teriak Ikhsan, salah satu aktivis mahasiswa, yang spontan disambut segenap pengunjung lainnya dengan ucapan sama, “Hidup Faisal!”

Faisal sendiri yang kemarin mengenakan baju koko putih plus kopiah putih tak henti-henti mengucapkan terima kasih. “Terima kasih atas dukungan kawan-kawan. Tapi yang harus diingat, meski sekarang saya dipenjara, saya tak pernah merasa bersalah,” ujarnya. (aha)