Monday, December 15, 2008

Damang Masih Dipandang Sebelah Mata

Berita di Harian Sinar Kalimantan, Sabtu 2 Desember 2008

PALANGKA RAYA - Posisi Damang/Kepala Adat selama ini masih dianggap sebelah mata dalam setiap pengambilan keputusan. Kondisi ini sangat memprihatinkan mengingat lembaga Kedemangan merupakan institusi tertua di tengah masyarakat Indonesia yang menjujung tinggi nilai-nilai budaya.

“Damang harus memiliki posisi tawar dan memiliki kesamaan persepsi,” kata Setia Budhi, Direktur Eksekutif Centre for Reseach and Development Studies ( CRDS) kepada Sinar Kalimantan di Palangka Raya, kemarin.

Menurut dia, di berbagai daerah di Kalimantan, posisi Damang sering terjepit ketika harus berhadapan dengan investor yang didukung pemerintah daerah.
Di daerah rawan konflik kepemilikan tanah, posisi Damang selalu berada di pihak yang kalah karena tekanan penguasa dan pemodal besar. Dengan pertimbangan tersebut CRDS berupaya memberikan bimbingan dan pedampingan kepada Damang Kepala Adat yang wilayah kerjanya rawan gesekan kepentingan investor.

Damang Kepala Adat, kata Setia Budhi, harus di bekali pengetahuan seiring dengan perkembangan jaman. Seperti meningkatnya konflik tanah menyusul masuknya investor ke daerah ini. “Selama ini hak-hak Damang banyak terabaikan.” katanya.

Direktur Program CRDS, Budi Kurniawan menyatakan pihaknya siap mengadakan pendampingan bila para Damang/Kepala Adat terlibat konflik dengan investor menyangkut kepemilikan tanah di daerahnya. Saat ini CRDS memfokuskan pendampingan pada masyarakat adat di Daerah Aliran Sungai (DAS). “CRDS memiliki komitmen tinggi terhadap kearifan lokal,” kata Budi Kurniawan.

Dalam rangka memberdayakan posisi Damang CRDS menyelenggarakan pelatihan dasar-dasar HAM bagi Damang di daerah konflik di wilayah Kalteng dan Kalsel. Pelatihan dilaksanakan di Hotel Batu Suli Palangka Raya, mulai Senin (1/12) hingga Jum’at
(5/12). bgz/SK

Tuesday, December 9, 2008

Ketika Mereka Menghakimi Dayak


Oleh : Budi Kurniawan

Bertahun-tahun kerusuhan antar etnis
Dayak-Madura di Sampit, Kotawaringin Timur, Kalimantan
Tengah, telah berlalu. Tragedi paling berdarah di bumi
Kalimantan ini menyebabkan 90.000 orang Madura
terpaksa mengungsi pulang ke kampung halamannya.
Seperti puluhan orang Dayak lainnya di Sampit,
sebagian dari orang Madura itu tewas.

Konflik etnis ini tak sekadar menyentakkan. Tetapi
juga memunculkan kembali diskursus dan kontoversi
terhadap orang Dayak yang selama pemerintahan Belanda
di Indonesia sebagai suku terasing, tidak beradab,
barbarian, kanibal, dan biasa mengayau (memotong
kepala musuh dalam peperangan) ke permukaan.
Stigmanisasi Belanda ini “berhasil” menyesatkan
pandangan suku-suku lain di Nusantara terhadap orang
Dayak. Hingga kini misalnya anak-anak di Pulau Jawa
yang lahir pada era 1970-an percaya bahwa orang Dayak
itu berekor, haus darah, dan dilingkupi kehidupan
black magic yang pekat.

Penyesatan persepsi inilah yang dilakukan Michael
Theophile Hubert (MTH) Perelaer (1831-1901) dalam buku
yang ditulisnya dan diterjemahkan oleh Helius
Sjamsuddin ini. Perelaer yang pernah ambil bagian
dalam Perang Banjarmasin (1859) sebagai opsir Belanda
dan diangkat sebagai Civiel Gezaghebber (pejabat
sipil) di daerah Groote en Kleine Dajak --kini
Kalimantan Tengah-- (1860) ini di hampir seluruh
bagian buku yang ditulisnya menggambarkan dengan
sangat mumpuni keindahan rimba raya Borneo beserta
sungai-sungai yang bersih dan berarus deras mengalir.
Tentu sebelum ganasnya gergaji dan raung bulldozer
milik kaum kapitalis dari kota meluluh-lantakkan wajah
dan perut bumi.

Melalui kacamata empat serdadu Pemerintah Kolonial
Belanda (dua Swiss, satu Belgia, dan satu Indo beribu
Nias) yang minggat dari benteng Kuala Kapuas,
melakukan perjalanan selama 70 hari menembus belantara
Borneo dari utara ke Selatan melalui segala
marabahaya, dan tidak mau lagi menjalankan tugas
kemiliteran (desersi) karena merasa ditipu oleh
Pemerintah Belanda yang memberi janji penghasilan
melimpah saat mereka ditugaskan, Perelaer juga
berkisah tentang kebudayaan, mitos, jipen (denda
adat), perkawinan, persaudaraan dan kekerabatan, dan
ketajaman mandau Dayak Punan memenggal kepala
musuh-musuhnya.

Namun yang paling banyak dikisahkah Perelear adalah
hal yang terakhir. Di mata Perelear, kayau menjadi
bukti barbarianisme tumbuh, berkembang, dan menjadi
mesin pembunuh yang sangat efektif di kalangan orang
Dayak pada abad ke-19. Hampir di semua bab novelnya
(19 Bab), Perelear menggambarkan bagaimana kayau
berlangsung. Sayangnya Perelear lupa (?) –mungkin
karena buku ini bersifat novel-- menjelaskan mengapa
kayau hidup, berkembang, dan juga menjadi sarana
perlawanan terhadap kekuasaan kolonial selain menjadi
medium penaklukan dan lambang keperkasaan.

Namun tidak sekali ini saja penulis-penulis Belanda
–juga orang asing lainnya—menggambarkan dengan sangat
tidak sempurna dan cenderung mendiskreditkan orang
Dayak dan kayau-nya.

Buku berbahasa Prancis yang ditulis Jean-Yves Domalain
(1971) yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh
Len Ortzen berjudul Panjamon: I was a Headhunter
(Morrow, New York, 1973) pun demikian. Sebuah buku
yang berkisah tentang kayau terakhir (mungkin). Buku
ini lebih banyak memuat fantasi sang petualang (turis)
Domalain. Karena itu tidaklah mengherankan Library of
Congress (AS) membuat subjek buku ini sebagai
Borneo- Description and Travel yang secara tak
langsung menunjukkan kualitas buku ini tak lebih dari
sekadar iklan untuk turis yang keranjingan bepergian
ke tempat-tempat “eksotik”, liar, primitif, dan
menyeramkan. Terutama dalam menantang marabahaya
kayau.

Sama halnya dengan buku Wyn Sargent, My Life with the
Headhunters yang diterbitkan Garden City, New York,
Doubleday, 1974. Seorang Dayak Ngaju perantauan
menceritakan, Gubernur Kalteng WA Gara pernah terpaksa
mengusir Wyn Sargent, wartawan petualang asal Virginia
ini, karena menulis di koran dan tabloid di Amerika,
dan memberi wawancara bahwa dia tinggal di betang
(rumah panjang tempat beberapa keluarga Dayak tinggal
bersama denga guyub) bersama para pengayau dan
melakukan sex orgy setiap malam.

Dalam bukunya Sargent menceritakan hengkang dari
Borneo, ibu seorang putera (waktu itu berusia 11
tahun) kembali berpetualang ke Lembah Baliem, Papua
Barat. Di sini dia mengaku kawin dengan kepala suku
Bahorok atau O'Bahorok. Sargent kembali membuat
sensasi dengan gambar-gambar pesta perkawinan yang
sebenarnya cuma pesta biasa di kalangan
orang-orang Bahorok selesai musim tanam. Sargent
mengklaim gambar-gambar itu sebagai pesta
perkawinannya dengang sang kepala suku. Sargent
kembali membumbui kisahnya dengan sex orgy seperti
yang dilakukannya di Borneo. Dengan cara demikian
Sargent melengkapi fantasi keprimitifan Borneo dan
Papua bagi para pembaca buku-buku berbahasa Inggris di
Amerika dan Eropa.

Penguasa kolonial dan turis menggunakan ketidaktahuan
–bisa jadi karena kesengajaannya—berkisah dan
melebih-lebihkan kenyataan yang ada agar orang
membayangkan Borneo –juga Papua-- sebagai tempat
primitive. Kayau di tangan mereka dibumbui dengan
cerita-cerita lisan yang menggambarkannya sebagai kegiatan
perorangan yg meneror komunitas
lokal maupun seberang sana. Mereka tak pernah berkisah
alasan di balik propaganda kayau sebagai medium
perang psikologis, pertahanan, dan reaksi terhadap
sesuatu yang sudah berlangsung kelewat batas.

Prof Andrew P Vayda dalam bukunya War in Ecological
Perspective: Persistence, Change, and Adaptive
Processes in Three Oceanian Societies (1976)
mengungkapkan bagaimana upaya propaganda menjadi alat
pertahanan komunitas maupun tribal nation setempat
untuk mengamankan wilayahnya dari para pengganggu
keseimbangan hidup dan kearifan lokal yang sudah
berlangsung dan terpelihara sekian lama.

Perelear mungkin lupa bahwa orang Dayak bisa juga
menjadi lebih beradab dengan saling berdamai dan
menghentikan pertikaian yang berlangsung ratusan tahun
melalui sebuah rapat besar yang dihadiri oleh para
utusan dari 400 kelompok Suku Dayak di seluruh
Kalimantan di Desa Tumbang Anoi, Kahayan Hulu Utara,
Kalimantan Tengah, pada 22 Mei -24 Juli 1894.

Pertikaian yang berlumuran adat kebiasaan lama yang
sudah terlanjur membudaya, berurat berakar warisan
negatif dalam bentuk asang-maasang (perang suku),
bunu-habunu (saling membunuh), kayau-mangayau (saling
penggal kepala), dan jipen-hajipen (saling mendenda),
berganti menjadi suasana yang penuh getaran semangat
pembaharuan dan persaudaraan yang pekat akibat Pakat
Tumbang Anoi itu.

Lalu jika kayau terjadi dalam konflik etnis di Sampit
silam, tentu penyebabnya adalah sesuatu yang
maha luar biasa. Hanya sesuatu yang maha dahsyatlah
yang bisa membangkitkan reaksi orang Dayak dalam
bentuk mangayau musuhnya itu hidup kembali.
Ketidakadilan dan pemihakan kekuasaan yang
meminggirkan hak-hak orang Dayak lah yang sesungguhnya
menjadi penyebabnya. Kayau dalam bentuk modern
(korupsi, diskriminasi, penjarahan kekayaan rimba raya
Borneo dan seterusnya) justru lebih berbahaya dari
kayau yang sudah lindap pasca Pakat Tumbang Anoi 1894.

Friday, December 5, 2008

Senja Kala di Tanah Dayak


Genosida budaya berlangsung sistematis. Kapitalis besar tak hanya merampas tanah. Tapi juga membunuh segalanya. Lembaga Kedamangan dan keberlangsungan adat terancam. Perlawanan harus dilakukan.

Oleh : Budi Kurniawan

Pada suatu masa, hiduplah seekor monyet dan kura-kura –orang Dayak di Kalimantan Tengah menyebut dua binatang ini, bakei dan kelep. Untuk bertahan hidup keduanya sepakat menanam pisang. Karena bisa memanjat dengan mudah, hanya monyet yang bisa menikmati kala pisang yang berbiji yang ditanam itu berbuah.

Melihat prilaku buruk monyet, kura-kura protes. “Bakei nenga aku bua pisang te (Monyet, berikanlah aku buah pisang itu),” kata kura-kura dalam bahasa Kapuas –banyak orang menyebutnya sebagai bahasa Kahayan.

Monyet di puncak pohon pisang bergeming. Ia asyik terus menikmati manisnya buah pisah yang ditanamnya bersama kura-kura. “Mangat bua tuh kelep (buah pisang ini enak sekali),” kata monyet.

“Mun dia bua, upak a barangai (kalau tidak bisa buahnya, kulitnya juga boleh),” kata kura-kura.
“Upak a gin mangat (kulitnya pun enak.”
“Mun dia tau upak ah, bawak a barangai (kalau tidak bisa kulitnya, bijinya juga boleh).”

Permintaan kura-kura tak berjawab. Kura-kura yang jengkel kemudian menyusun siasat. Ia memiringkan tubuhnya dan mengarahkan sisi rumahnya di bawah pohon pisang. Sementara monyet yang keasyikan menikmati buah pisang tak menyadari bahaya yang menanti di bawah. Saat ingin mengambil kembali buah pisang, tangannya tak sampai. Keseimbangan tubuhnya pun goyah. Tak ayal, tubuh monyet pun jatuh deras menimpa sisi rumah kura-kura yang tajam. Darah pun berhamburan. Monyet pun tewas.

Kisah yang hingga kini sudah jarang terdengar di antara komunitas Dayak di Kalimantan Tengah diceritakan Damang Kecamatan Timpah, Kabupaten Kapuas, Punding W Daron, dalam Pelatihan Dasar-Dasar Hak Asasi Manusia untuk Damang Kepala Adat Kalteng dan Kalsel yang berlangsung di Palangka Raya pada 1-5 Desember 2008. Pelatihan yang digagas Center for Research Development Studies, Banjarmasin, ini diikuti para Damang dan Kepala Adat dari lima daerah aliran sungai berbeda di Kalselteng.

“Apa yang jadi pesan dari kisah ini. Nasib kura-kura sama dengan orang Dayak. Orang Dayak yang tertipu berkali-kali baru bisa memperoleh haknya setelah berjuang dengan sangat keras,” kata Punding W Daron.

Ya, budaya Dayak di seluruh Kalimantan sesungguhnya sedang berada di ujung senjakala. Derasnya globalisasi menghantam eksistensi Dayak beserta seluruh bagian adatnya. Masyarakat adat terancam. Ancaman ini juga datang dari derasnya suku bangsa lain yang datang ke tanah Dayak dan tidak mengindahkan –juga menghormati—semua budaya yang telah hidup dan berakar.

Dalam sebuah perjalanan ke Palangkaraya, ibukota Provinsi Kalteng, saya mendengar sayup-sayup sampai musik dengan gending Jawa mengudara di sela acara sebuah pernikahan. Tak hanya itu, bahasa Ngaju yang sudah ratusan tahun hidup pun diganti bahasa Banjar yang disebarkan dengan sangat ekspansif oleh para penuturnya.

Persoalan kian pelik ketika kapitalisasi perkebunan sawit merajalela. Di pinggiran jalan trans Kalimantan kini membentang luas perkebunan sawit. Semua ini sungguh kontras ketika hutan rimba masih meraja memenuhi tanah Kalimantan.

Penguasa rupanya mendewakan angka pertumbuhan ekonomi sebagai gambaran keberhasilan pembangunan, lalu menapikkan manusia dan hak adat. Sawit menjelma menjadi sektor penting mendatangkan investor. Logika investor datang membawa pundi-pundi uang, menanamkannya, memberi berkah, kebaikan, dan pendapatan diyakini para penguasa. Soal bagaimana lingkungan porak-poranda, hutan yang beralih fungsi, rusaknya tatanan sosial dan budaya, dan berada di tubir jurangnya kearifan lokal menjadi hal yang tak pernah dihitung. Benda dan uang menjelma menjadi “Tuhan” baru yang diyakini bisa menentukan dan membeli apapun.

Kini di wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan terdapat 1,8 juta hektare program sawit dan enam juta hektare untuk pengembangan biofuel; di Kalimantan Tengah saat ini ada 334 izin perkebunan kelapa sawit yang telah dikeluarkan dengan luas areal yang dicadangkan mencapai 4,2 juta hektare. Dari jumlah itu, yang beroperasi baru 130 izin dengan luas areal 600 ribu hektare dan sisanya sebanyak 204 izin belum operasional. Data Departemen Kehutanan hingga Desember 2006 ada pencadangan pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan di Kalimantan seluas 4,3 juta hektare. Dari luas itu yang terealisasi menjadi perkebunan 373.303 hektare dan yang belum termanfaatkan 3,9 juta hektare.

Secara nasional hingga tahun 2006, luas perkebunan kelapa sawit telah mencapai 6.04 juta hektare dengan laju tanam rata-rata dalam waktu lima tahun (1999-2004) mencapai 400,100 ha per tahun (Sawit Watch, 2006). Produksi CPO Indonesia mencapai 16,17 juta ton dibandingkan Malaysia yang hanya 15,88 juta ton (Investor Daily, 01/02/2007). Struktur produksi bisnis minyak sawit dikuasai dan berasal dari 27 grup besar mengendalikan sekitar 600 anak perusahaan yang tersebar di 19 provinsi dan dikembangkan dengan distribusi 50% milik swasta, 33% petani kecil penghasil buah, dan 17% BUMN (Deptan, 2006). Dari segi investasi, hampir 45% berasal dari Malaysia.

Ekspansi besar-besaran ini akhirnya bermuara pada konflik perusahaan versus masyarakat adat, hukum positif versus hukum adat, dan genosida budaya. Hampir di semua daerah yang dimasuki para investor konflik lahan terjadi. Sampai tahun 2006, terdapat 140 kasus yang melibatkan 353 komunitas di wilayah perkebunan yang melibatkan sesama masyarakat lokal atau dengan pendatang.

Sawit Watch mencatat, sekitar 70% dari 500 kasus perselisihan perkebunan besar swasta dan warga bersumber dari sengketa tanah. Di Kalimantan Tengah, ada sekitar 20 kasus sengketa yang dilaporkan. Konflik ini terjadi karena kesalahan sejak awal proses perizinan yang tak melibatkan warga sehingga terjadi tumpang tindih lahan. Ketika persoalan terjadi, para penegak hukum menafikkan hukum adat. Mereka lebih memilih menegakkan hukum positif. Padahal adat ada jauh sebelum republik ini berdiri.

Proses ini seperti mengulangi kesalahan fatal Orde Baru dengan Proyek Lahan Gambut (PLG) Sejuta Hektare yang gagal dan menyengsarakan hingga kini. Soeharto dan menteri-menterinya membagi hutan Kalteng bak puzzle dari Jakarta, tanpa melihat di tanah yang mereka bagi itu hidup orang Dayak dengan seluruh potensi alam dan kearifan lokal yang mereka miliki. Konflik lahan kala itu dihadapi dengan senjata dan intimidasi.

Menarik apa yang dikatakan Darius Dubut, seorang Doktor yang bergerak dalam diam di pedalaman membela orang-orang Dayak, tentang betapa besarnya “api” dalam sawit. “Uluh Dayak bara tatu hiang a bihin, belum bara himba, upun kayu, metu dan sebagainya. Itah maimbul parei hong tana haru tau amun jadi balaku dengan liau. Himba lepah, sawit dumah, itah dia tau hindai babalian balaku izin dengan liau? Itah dia tau hindai manyambulut burung. Itah tau matei lepah (Orang Dayak sejak nenek moyang dulu, hidup dari hutan, kayu, binatang dan sebagainya. Kita menanam padi di ladang baru bisa dilakukan setelah menggelar upacara meminta izin pada roh. Ketika hutan hilang, dawit datang, kita tak lagi bisa menggelar upacara dan memuja alam. Kita tak bisa lagi menjebak burung di pohon. Kita akan binasa,” kata Darius. Senjakala sepertinya akan tiba di tanah Dayak.

Saturday, November 22, 2008

Salah Satu Edisi Koranku


Ini salah satu edisi koranku, Sinar Kalimantan

Friday, November 21, 2008

Monday, October 20, 2008

“In Memoriam” Pers Mahasiswa


Oleh: Budi Kurniawan (Aktivis Pers Mahasiswa Unlam 1990-1996.
E-mail: budibanjar@yahoo.com)

Dalam sebuah kesempatan, salah satu pendiri Harian KOMPAS Jakob Oetama menggambarkan dengan cerdas apa sesungguhnya peran pers yang paling mendasar dalam kehidupan umat manusia. Pers, kata Jakob, adalah cerminan zamannya. Ketika zaman berlangsung busuk, pers pun menampakkan semua kebusukan itu dengan sangat kasat mata. Demikian pula sebaliknya.

Karena itu ketika di hari-hari ini lembaran koran, tayangan televisi, dan acara radio diputar ulang, dengan jelas semua yang terjadi di era ketika semua produk jurnalistik itu dibuat menjadi berwujud. Wujudnya bisa berupa kisah sukses, kegagalan, prestasi gemilang, kesemrawutan hidup, kekuasaan yang lalim dan otoriter, kedzaliman satu kelompok terhadap kelompok yang lain, atau prilaku pengelola lembaga jurnalistik itu sendiri –dari yang pro dan menjilat kekuasaan hingga mereka yang memilih melawan.

Kadang tak perlu menengok jauh ke belakang pada rekam jejak pers sebagai cerminan zamannya. Ketika zaman sedang berlangsung dan pers itu tumbuh di dalamnya, cerminan itu pun bisa bening terlihat. Ketika kini misalnya media yang menjadikan gosip dibalut genre hiburan laku keras dimamah, itulah cerminan sebagian masyarakat yang sedang “sakit” dan suka menggunjingkan berbagai persoalan, dari soal dapur hingga ukuran payudara.

Logika pasar yang tercermin pada tinggi rendahnya rating menjadi “Tuhan” baru bagi media semacam ini. Soal ia menjadi cerminan zaman yang penuh gosip, itu tak jadi hitungan. Semuanya berpulang pada rating. Seorang rekan yang bekerja di sebuah televisi swasta mengeluhkan hal itu ketika berbincang di sebuah senja yang baru saja turun di antara belantara beton di Jakarta.

Tetapi industri sudah mengubah segalanya. Kini sudah tak ada lagi pers perjuangan seperti ketika Djok Mentaya melawan kesewenang-wenangan pemilik hotel yang menyebabkan tempurung lututnya pecah dan harus dijahit kawat baja. Atau ketika Pemimpin Redaksi Indonesia Raya, Mochtar Lubis mengepalkan perlawanan pada prilaku korupsi yang menggurita dan membuat orang malu menjadi orang Indonesia. Orang harus memilih: mengabdi, bertekuk lutut, atau menyiasati pasar. Kepentingan dan keberlangsungan napas bisnis turut menjadi pertimbangan. Apalagi pengalaman mengajarkan konsep, penyajian, dan kualitas media tak selamanya linier dengan kesuksesan bisnis.

Jika hal ini terjadi pada pers umum, hal ini mungkin masih bisa ditolerir adanya. Karena logika industri untuk menjadikan persnya sebagai mesin uang, itu bukanlah pilihan yang haram adanya. Tinggal pembaca yang memiliki hak otonom sangat luas pada pilihannya masing-masing itulah yang menentukan akan memilih (membeli) media macam apa sebagai bahan bacaannya.

Tetapi yang membuat miris adalah ketika pers mahasiswa –dulu disebut sebagai pers alternatif karena keberaniannya memberitakan sesuatu yang tidak berani diberitakan pers umum karena ancaman breidel dan kekuasaan yang lalim—justru tak lagi memiliki idealisme. Pers mahasiswa di Universitas Lambung Mangkurat (Unlam) misalnya memilih dibiayai oleh rektoratnya. Ujungnya tak ada “catatan kaki” yang mereka bisa lakukan terhadap dewa pemberi dana semacam itu. Yang ada adalah jilat-menjilat dan menampilkan semuanya seolah baik-baik saja dan tak ada persoalan sama sekali di kampusnya. Alasan bahwa pers mahasiswa semacam itu hanya menjadi medium komunikasi civitas akademika dan bukan mengorek berbagai “borok” yang ada menjadi dalil utama. Lalu apa yang diharapkan pada pers mahasiswa semacam itu? Dan kecerdasan apa yang didapatkan mahasiswa yang membaca pers semacam itu.

Padahal dalam berbagai teks disebut bahwa mahasiswa adalah agen perubahan. Melalui medium pers yang idealis, kontruktif, dan berani, mahasiswa harusnya kian menjejakkan kakinya sebagai agen perubahan. Inilah yang dulu digenggam erat oleh para aktivis pers mahasiswa ketika kekuasaan Orba sedang kuat-kuatnya.

Pada tataran lokal, hal ini diwakili oleh Djok Mentaya, HG Rusdi Effendi AR, Anang Adenansi, Rusli Desa dan kawan-kawan melalui Bulletin KAMI, Mimbar Mahasiswa, dan penerbitan lainnya. Pada tataran nasional ada Ismid Hadad dan kawan-kawan. Usai era 1960-an, ketika era 1970-an tiba, pers mahasiswa tak berubah. Idealisme yang kental tercermin pada berita dan tulisan yang mereka usung. Ini terus berlangsung hingga periode 1980-an, ketika kekuasaan Orde Baru sudah menemukan track-nya. Penentangan pada kehidupan kampus “dinormalisasikan” yang muncul pada era itu juga terus berlangsung melalui medium pers mahasiswa.

Idealisme ini juga dijaga penuh oleh kalangan aktivis pers mahasiswa di Universitas Lambung Mangkurat pada era 1990-an. Ketika itu selain pers mahasiswa tumbuh subur di seluruh fakultas (Warta Sylva/Fakultas Kehutanan, Suluh Pendidikan/FKIP, Yustisia/Fakultas Hukum, Economica/Fakultas Ekonomi, Ritter/Fakultas Teknik, INTR-O/FISIP, Minapuri/Perikanan), para aktivisnya pun bersuara keras pada berbagai kelaliman yang terjadi. Dari kelaliman lokal yang dilakukan fakultas masing-masing dan rektorat, hingga kelaliman yang dilakukan pemerintah Jakarta terhadap rakyat jelata dan mahasiswa.

Dengan bentuk semacam itu, pers mahasiswa Unlam –dan di kampus-kampus lainnya—benar-benar berani menempuh risiko. Bayangkan saja ketika Orde Baru dengan kaki tiga pendukung kekuasaannya (militer, bisnis, dan Golkar) sedang berada di puncak kekuasaannya, sebuah tabloid mahasiswa yang diterbitkan oleh Lembaga Pers Mahasiswa FISIP Unlam menulis Laporan Utama berjudul “Menggugat Fungsi Sepatu Lars”. Laporan ini selain dipenuhi wawancara juga dilengkapi dengan kajian teori tentang bahayanya militerisme. Sebuah laporan yang dikemudian hari terbukti kebenarannya.

Keberanian para aktivis pers mahasiswa Unlam era itu kini berbanding terbalik dengan keadaan sekarang. Kini sebuah tabloid mahasiswa kembali hadir –setelah mati lebih dari 10 tahun—dengan konsep yang jauh dari nilai-nilai idealisme dan kebenaran. Baik secara filosofis aupun faktual. Mereka mengabdi pada kepentingan kekuasaan kampus. Mereka membayar semua biaya terbit yang diberikan kampus dengan menjual murah idealisme, menghina dan, mengkhianati sejarah panjang perlawanan pers mahasiswa.

Thursday, October 16, 2008

Kayuh Peluh


berkilau ditimpa cahaya berjuta
keluh melenguh
menjunjung langit borneo runtuh

kayuh lengan melepuh
melukis senyum di antara peluh
menantang hingga hulu nan jauh

Monday, October 13, 2008

Partai Politik di Suatu Masa



Oleh : Budi Kurniawan (Alumnus FISIP Unlam, Banjarmasin, Tinggal di Jakarta. E-mail: budibanjar@yahoo.com)

Jauh sebelum partai-partai politik tumbuh bak jamur di musim hujan seperti saat ini, orang yang berani mendirikan partai politik hanya bisa dihitung dengan jari. Itu pun harus menghadapi marabahaya. Orde Baru dengan segala kekuasaannya yang memaharaja siap menggebuk. Dalam bahasa yang jauh dari ukuran santun, Soeharto di hadapan para petai menyatakan akan menggebuk siapapun orang dan pihak yang akan menggantikannya. Soeharto rupanya menganggap dirinya tak akan pernah bisa digantikan oleh siapa pun, kecuali oleh orang yang benar-benar dikehendakinya.

Namun keberanian kadang datang tanpa memperhitungkan sanksi apapun. Sejarah mencatat dua partai politik lahir di zaman Orde Baru yang serba “teratur” itu. Soeharto dan Orba tak pernah memberi ruang sedikit pun pada demokrasi yang subtansif. Mereka lebih bersikap ramah pada demokrasi yang prosedural. Soal bagaimana mutu demokrasi, apakah ia buruk dan tidak memberi manfaat bagi rakyat, itu tak jadi soal. Yang penting secara prosedur –ada lembaga perwakilan, pemerintah, dan hukum—demokrasi berjalan.

Kalaupun ada yang melawan di sela lahirnya dua partai politik itu, hanyalah Megawati Soekarnoputri yang didepak oleh Soerjadi dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Keberanian Mega bisa jadi tak datang tiba-tiba ketika itu. Namun situasi lah yang membuatnya tumbuh menjadi ikon perjuangan melawan stabilitas yang dibangun Orde Baru. Keberanian yang disambut oleh banyak pihak itu berujung pada tumbuhnya budaya perlawanan melalui parlemen dan demonstrasi jalanan. Sejarah kemudian mencatat, perubahan yang datang bak angin itu tak bisa lagi ditahan. Orba pun runtuh. Lalu tatanan politik –juga tatanan hidup berbangsa dan bernegara—pun berubah. Sayangnya, harapan pada Mega dan partainya itu pun lindap seketika, saat semuanya tak seindah pikiran dan bayangan. Bagi banyak pihak, Mega bukanlah sosok yang memuaskan dan bisa menyelesaikan persoalan bangsa. Begitu juga dengan partai yang dipimpinnya.

Kini orang dengan leluasa mendirikan partai politik. Sejak reformasi bergulir pada 1998, jumlah partai politik peserta pemilu pun tumbuh variatif. Dari 20-an partai menjadi 30-an partai politik. Partai yang lahir itu pun tak semuanya bisa berkembang. Ideologi yang tak jelas dan basis dukungan massa yang kecil menjadi salah satu penyebabnya. Partai-partai politik itu rupanya lupa pada teori periklanan yang mengharuskan satu “barang jualan” harus memiliki spesifikasi dan pasar yang jelas jika ingin laku. Partai-partai politik yang ada saat ini pada dasarnya tak memiliki identifikasi yang jelas tentang dirinya sendiri dan massa pendukungnya.

Yang terjadi kemudian adalah partai-partai politik bak mangga yang dikarbit. Berbentuk bagus tapi rasanya jauh dari manis. Tampilan luarnya indah, dalamnya kopong. Ini menyebabkan para pemilih tak tertarik. Jika ada yang tertarik pastilah mereka bagian dari masyarakat yang lebih mengedepankan tampilan luar. Mereka inilah yang tertipu dan kecewa berkali-kali saat pemilihan umum digelar.

Tak hanya partai-partai politik karbitan yang muncul akibat pengembangan demokrasi prosedural ini. Para kandidat anggota lembaga-lembaga perwakilan (Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat di pusat dan daerah, dan Majelis Permusyawaratan Rakyat) juga tak jauh beda. Mereka kadang datang dari latar belakang yang tak jelas dan tak punya rekam jejak panjang di dataran politik. Mereka juga tak punya spesialisasi yang jelas. Tumpang tindih latar belakang juga sering kali terjadi. Pedagang, broker, preman, raja kecil, dan raja besar akhirnya menjadi politisi.

Hal yang sama juga terjadi pada kandidat perempuan yang akan menjadi anggota lembaga-lembaga pewakilan. Kuota 30 persen bagi calon anggota legislatif perempuan yang ditentukan Undang-Undang hanya berhenti pada tingkat memenuhi prosedur demokrasi. Karena itu ketika diusut-usut, banyak diantara calon-calon perempuan itu memiliki hubungan keluarga dengan para petinggi masing-masing partai peserta pemilu. Atau mereka datang dari kalangan istri-istri mantan pejabat.

Namun karena tergiur oleh segala kemewahan ketika sukses menjadi anggota parlemen, kekurangan-kekurangan semacam ini rupanya tak dianggap serius. Harga mahal yang harus dibayar seseorang jika ingin menjadi anggota parlemen pun tak jadi soal. Padahal sudah jadi rahasia umum, ketika seseorang mencalonkan diri menjadi anggota parlemen, ia wajib menyetor sejumlah dana pada para petinggi partai dan organisasi yang mengusungnya.

Karena itu hanya sebagian dari partai-partai politik peserta pemilu 2009 ini yang memiliki latar sejarah, ideologi, dan kandidat yang mumpuni. Hanya partai-partai seperti inilah yang mampu menghadapi masa kampanye yang panjang dan menghabiskan dana besar itu. Selebihnya terserah Anda untuk menggolongkan dan memilihnya.

Jalan Bersimpang Polisi Kita


Oleh: Budi Kurniawan (Wartawan)

Tangannya melambai. Pengendara sepeda motor berhenti di sebuah pinggiran jalan di kawasan Mampang, Jakarta Selatan, siang itu. Dialog singkat terjadi antara seorang polisi dengan pengendara motor itu. Lalu beberapa lembar uang pun berpindah tangan.
Apa yang terjadi di Mampang, bukanlah hal baru kala melihat mitra (?) Kapolisian Negara Republik Indonesia (polisi) dan masyarakat. Karena dari sudut mana pun kita berupaya memotret tampilan polisi di Indonesia, hasilnya tidak pernah memberi kepuasan, baik sebagai objek pengabdian institusi Polri maupun selaku target pelayanan (anggota Polri).

Namun untuk mewujudkan polisi yang ideal –dalam melayani dan melindungi masyarakat--, maka upaya membangun Polri sesungguhnya tidak sekadar menjadi tanggungjawab pemerintah, tetapi juga masyarakat yang menjadi mitra institusi ini. Ekspektasi yang tinggi terhadap institusi dan anggota Polri tidak akan bermakna apa-apa, jika hal-hal yang mendasar yang menyangkut mereka tidak ditangani secara professional dan bebas dari berbagai kepentingan politik –juga ekonomi.

Jika membaca upaya pemerintah dan masyarakat membangun Polri menjadi professional, bersih, dan berwibawa, kita perlu merujuk kepada proses penyempurnaan (perubahan) instrumen perundang-undangan yang melandasi eksistensi Polri.

Di antaranya, Perubahan Kedua UUD 1945 (Pasal 30 Ayat 4 dan 5), Undang-Undang 13/1960 tentang Kepolisian Negara, UU 28/1997 tentang Kepolisian Negara RI, dan Instruksi Presiden Nomor 2/1999 tentang Langkah Kebijakan dalam Rangka Pemisahan Polri dari ABRI. Keppres Nomor 89/2000 tentang Kedudukan Polri (di dalamnya dinyatakan Polri berkedudukan langsung di bawah Presiden), TAP MPR No VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri, TAP MPR No VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri, serta UU 2/ 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Sayangnya penyempurnaan dan perubahan pada aspek hokum yang bertujuan untuk membentuk polisi yang baik itu berhadapan dengan imej masyarakat yang didominasi buruk sangka, stereotip negatif, introverse individual dan kelompok terhadap polisi. Karena itu, apapun yang dilakukan –termasuk penyempurnaan instrumen perundang-undangan- di mata masyarakat polisi selalu ditempatkan pada posisi yang buruk.

Masyarakat rupanya lupa bahwa posisi buruk dan ekspektasi yang tinggi yang mereka berikan pada polisi sesungguhnya berbanding terbalik dengan kondisi riil polisi itu sendiri. Dari sisi rasio polisi-warga masyarakat di Indonesia (1:1.200) sesungguhnya menunjukkan ketidakseimbangan antara pelayanan dan sumber daya yang dimiliki polisi. Apalagi jika dibandingkan dengan negara lain (Brunei Darussalam 1:200, Hong Kong 1:220, Singapura 1:250, Malaysia 1:400, Jepang 1:400, Filipina 1:500, Thailand 1:550, Korea Selatan 1:563, Vietnam 1:650, Kamboja dan India 1:700, dan China 1:750. Padahal menurut PBB, rasio polisi:warga masyarakat yang ideal adalah 1:500.

Bukan hanya rasio polisi-Buruknya rasio polisi-masyarakat yang tak menggembirakan. Kualitas kesejahteraan anggota Polri pun jauh dari tingkat kesejahteraan polisi di negara-negara lain. Gaji polisi di Indonesia pangkat terendah, nol tahun pengalaman kerja, berbeda jauh sekali jika dibandingkan dengan gaji karyawan Bank di Indonesia (golongan terendah). Gaji yang diterima polisi berpangkat terendah dan nol tahun pengalaman kerja sebesar 26% dari gaji karyawan bank di Indonesia golongan terendah.

Karena itu PBB menempatkan kesejahteraan angota Polri adalah yang terendah di Asia. Gaji polisi pangkat terendah dan nol tahun pengalaman kerja dibandingkan dengan karyawan bank golongan terendah di negara masing-masing adalah 26%. Sedangkan gaji polisi Vietnam 35%, Thailand 58,1%, Malaysia 95,9%, Singapura 109%, Jepang 113,2% dan Hong Kong 182,7%.

Parahnya Peraturan Pemerintah Nomor 12/2007 tentang Peraturan Gaji Anggota Polri pun tidak banyak menjawab dan memberi perbaikan kesejahteraan bagi polisi. Karena itu, tak ada jalan lain membuat polisi lebih sejahtera, pemerintah wajib selalu mengkaji ulang dan mengubah kebijakannya berdasarkan perubahan indikator kebutuhan hidup. Jika tidak maka, polisi di Mampang akan selalu melambaikan tangan dan menerima uang yang diberikan sang pengendara motor.

Wednesday, September 24, 2008

Tumbang Samba...


Ini adalah Tumbang Samba, tempat tanah lahir beta...dibuai dibesarkan bunda:) Desa ini menjadi pertemuan antara dua sungai (Katingan dan Samba). Desa yang dulu berpenduduk sangat bersahaja ini kini tergerus zaman. Prilaku mengagungkan materi kini merusak banyak tatanan budaya luhur yang diwariskan nenek moyang dari zaman silam. Desa ini merupakan pintu masuk ke pedalaman Sungai Katingan dan Sungai Samba.

Thursday, September 18, 2008

Raksasa yang Membinasa



Dalam selang waktu yang tak lama, silih bergenti pemilik modal raksasa mengirimkan truk-truk raksasa untuk membuka lahan raksasa yang bak raksasa membuat kami, Dayak Ngaju binasa. Foto ini saya ambil ketika berada di muara Sungai Katingan (Pagatan Hulu, Kecamatan Katingan Kuala, Katingan)

Kau Lumatkan Hutanku, Banjir Lumatkan Aku




Selama 10 hari (sejak pertama Ramadhan tiba) aku, keluargaku, dan segenap rakyat biasa di Kabupaten Katingan direndam banjir. Banjir datang sebanyak tiga kali dalam jeda yang sangat singkat. Banjir pertama datang bersamaan dengan kedatangan bulan Ramadhan. Segenap warga yang beragama Islam, menjalankan puasa di sela banjir yang menimpa.

Air sempat turun sebentar, warga pun segera membersihkan rumah dan toko-toko tempat berjualan. Setelah semuanya bersih dan rapi, air naik lagi. Kerepotan pun berlangsung lagi. Banjir yang kedua ini berlangsung beberapa hari dan cukup tinggi. Ibuku, adik ayahku, dan seorang keponakanku tidur di atas loteng berdempetan dengan barang-barang yang berhasil diselamatkan sebelumnya.

Sementara aku tidur di tempat menjemur pakaian yang letaknya agak tinggi di bagian belakang rumah di atas dapur. Ketika mengungsi di tempat jemuran, aku mengirimkan sms ke kawan-kawan wartawan. Antara lain ke Anto (Kompas), Bang Yadie (Mata Banua), Bang Yanto (Sinar Kalimantan), Alfi (Radar Sampit), Ka Ida (Banjarmasin Post), Bang Ifan (RCTI), dan kawan-kawan yang lain. Mereka sangat respon. Aku dikabari seorang temen dari Jakarta, bahwa pernyataan-pernyataanku turun di berbagai surat kabar. Aku bersyukur, paling tidak dunia tahu apa yang sedang terjadi dengan tanah lahirku.

Kepada kawan-kawan itu kusampaikan, banjir semacam ini terjadi akibat hancurnya hutan di daerah tangkapan air di hulu sungai Katingan dan sungai Samba. Ketika hujan terjadi di hulu, air pun mengalir deras ke hilir, karena sudah tak ada lagi hutan yang mampu menahan keganasan mereka. Semua memang sudah habis...

Dalam beberapa hari air surut. Tapi setelah warga membersihkan rumah dan menata dagangannya lagi, air kembali naik dengan tinggi air yang mampu menenggelamkan dada. Banjir inilah yang berlangsung relatif lama. Orang tak bisa berbuat apa-apa.

Sementara aku mendengar dari seorang kawan yang berada di Palangkaraya yang sedang membaca koran lokal disana, Camat Katingan Tengah, Drs Ganti, menyatakan banjir tak berdampak apa-apa bagi warga. Lalu Rentas, salah satu kepala dinas di Pemkab Katingan menyatakan ia masih belum mendapat laporan dari Camat bahwa Tumbang Samba, kampung halamanku, dan desa-desa di sepanjang sungai Katingan terendam banjir. Aku hanya mampu mengelus dada mendengar itu...Rupanya bukan hanya para pemilik HPH yang telah merampas hutan-hutan kami orang Dayak Ngaju, dan membuat banjir melumatkan kami, tetapi para birokrat itu juga telah menipu dirinya, menipu kami...Amarahku terasa hampir menyentuh langit...

Monday, September 15, 2008

Dua Sisi Mata Uang?



Dalam sebuah perjalanan Banjarmasin-Banjarbaru, aku berhenti untuk mengisi perut di sebuah warung di Gambut, yang terkenal dengan nasi itiknya yang enak. Di sini aku tak hanya menemukan nasi itik, tapi juga ada "selebaran" minta dukungan dari seorang "artis"lokal yang sedang mengadu nasib dengan sms di sebuah kontes dangdut di sebuah televisi swasta di Jakarta.

Sementara di warung itu --dan di sebuah warung cukup besar di Km 30 Jalan Trans Kalimantan menuju Sampit dan Tumbang Samba-- juga terpampang wajah ulama yang punya pengikut banyak di Kalimantan Selatan. Ini dua sisi mata uang sikap dan sifat? Entahlah....

Jangan Bicara Soal Keadilan





Ketika Ayahku tercinta meninggal dunia pada 19 Agustus 2008, aku segera pulang dari Jakarta, tempatku numpang "nyari makan". Namanya orang pedalaman --aku lahir di Tumbang Samba, sebuah desa di pedalaman Kabupaten Katingan (hasil pemekaran dari Kabupaten Kotawaringin Timur)-- aku panik untuk pulang. Tiket ke Palangkaraya baru bisa didapatkan sehari setelah Ayahku meninggal. Terpaksa lah aku kompromi pada keadaan. Aku pulang pada 20 Agustus ke Palangkaraya.

Dari Palangkaraya aku naik sepeda motor menuju kampung halaman. Perjalanan ke kampung dari Palangka membutuhkan waktu lebih dari 4 jam dengan melalui medan yang cukup berat --terutama dari Km 30 arah Sampit menuju Tumbang Samba. Di sepanjang jalan membentang lahan yang kini mulai ditanami sawit oleh orang-orang lokal berduit dan orang luar yang kaya raya. Sebagian lagi lahan kering bekas penambangan emas besar-besaran pada tahun 1980-an. Udara terasa sangat panas. Ditambah dengan kondisi jalan yang sulit untuk dikatakan bagus.

Perjalanan ke Samba jika jalannya bagus tak perlu waktu hingga 2 jam. Karena jaraknya tak sampai 100 Km. Tapi itulah, Katingan, katanya kaya raya, tapi untuk membangun jalan saja mereka tak mampu.

Sementara di Kasongan, ibukota Kabupaten, aku menyaksikan rumah bupatinya bak istana. Gedung pemerintahannya mentereng. Sementara rakyat di pedalaman tetap saja menderita. Mereka tak punya pekerjaan. Menambang tradisional terpaksa dilakukan. Padahal merusak lingkungan. Membangun rumah dari kayu tak lagi bisa dilakukan, karena telunjuk kekuasaan menganggap mereka pelaku illegal logging. Sementara di hulu Sungai Katingan dan Sungai Samba, perusahaan besar pemegang izin dari Jakarta, melenggang seenaknya, dan membabat hutan sambil tertawa girang.

Wednesday, July 23, 2008

Api dalam Sawit





Oleh : Budi Kurniawan (Wartawan dan Aktivis Journalist and Writer Forum of Borneo. Tinggal di Jakarta. Blog: budidayak.blogspot.com)

Di pinggiran jalan Trans Kalimantan yang membelah kabupaten-kabupaten di Kalimantan Tengah dan sebagian Kalimantan Selatan kini membentang luas perkebunan sawit. Sebagian diantaranya masih dalam bentuk pohon-pohon kecil dalam bungkus plastik hitam yang siap ditanam di lahan yang lebih luas. Semua ini sungguh kontras ketika hutan rimba masih meraja memenuhi tanah Kalimantan.

Seiring dengan napsu pemerintah yang mendewakan angka pertumbuhan ekonomi sebagai gambaran keberhasilan pembangunan, lalu menapikkan kualitas manusia dan kehidupannya, sawit kini menjelma menjadi salah satu sektor yang “penting” untuk mendatangkan investor dari berbagai penjuru dunia. Logika bahwa investor datang membawa pundi-pundi uang, lalu menanamkannya di Indonesia, memberi berkah dan kebaikan pada penduduk lokal berupa pekerjaan dan penghasilan, dan pendapatan daerah yang kemudian melimpah menjadi pilihan. Soal bagaimana lingkungan porak-poranda, hutan yang beralih fungsi, rusaknya tatanan sosial dan budaya, dan berada di tubir jurangnya kearifan lokal menjadi hal yang tak pernah dihitung. Benda dan uang menjelma menjadi “Tuhan” baru yang diyakini bisa menentukan dan membeli apapun.
Padahal dampak negatif terhadap lingkungan menjadi bertambah serius karena dalam prakteknya pembangunan perkebunan kelapa sawit tidak hanya terjadi pada kawasan hutan konversi, melainkan juga dibangun pada kawasan hutan produksi, hutan lindung, dan bahkan di kawasan konservasi yang memiliki ekosistem yang unik dan mempunyai nilai keanekaragaman hayati yang tinggi (Manurung, 2000; Potter and Lee, 1998).
Tengoklah kini di wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan terdapat 1,8 juta hektare program sawit dan 6 juta hektare untuk pengembangan biofuel; di Kalimantan Tengah saat ini ada 334 izin perkebunan kelapa sawit yang telah dikeluarkan dengan luas areal yang dicadangkan mencapai 4,2 juta hektare. Dari jumlah itu, yang beroperasi baru 130 izin dengan luas areal 600 ribu hektare dan sisanya sebanyak 204 izin belum operasional; Data Departemen Kehutanan sampai bulan Desember 2006 menunjukkan adanya pencadangan pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan di Kalimantan seluas 4,3 juta hektar: dan dari luas lahan yang dikonversi itu lahan yang terealisasi menjadi perkebunan seluas 373.303 hektar. Sementara luas lahan yang belum termanfaatkan seluas 3,9 juta hektar.
Secara nasional hingga tahun 2006, luas perkebunan kelapa sawit telah mencapai 6.04 juta ha dengan laju tanam rata-rata dalam waktu 5 tahun (1999-2004) mencapai 400,100 ha per tahun (Sawit Watch, 2006). Produksi CPO Indonesia mencapai 16,17 juta ton dibandingkan Malaysia yang hanya 15,88 juta ton (Investor Daily, 01/02/2007). Struktur produksi bisnis minyak sawit dikuasai dan berasal dari 27 group besar mengendalikan sekitar 600 anak perusahaan perkebunan kelapa sawit yang tersebar di 19 propinsi dimana kelapa sawit dikembangkan dengan distribusi 50% milik swasta, 33% petani kecil penghasil buah, dan 17% BUMN (Deptan, 2006). Dari segi investasi, hampir 45% perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah milik investor dari Malaysia.
Seiring dengan ekspansi sawit yang tumbuh cepat itu, konflik terjadi. Hampir di semua daerah di Kalimantan Tengah dan Selatan yang dimasuki para investor sawit –bahkan masih rencana pun—konflik lahan terjadi. Sampai tahun 2006, terdapat 140 kasus yang melibatkan 353 komunitas di wilayah perkebunan kelapa sawit yang melibatkan sesama masyarakat lokal atau dengan pendatang.
Sawit Watch mencatat, sekitar 70 persen dari 500 kasus perselisihan perkebunan sawit besar swasta dengan warga di Indonesia bersumber dari sengketa tanah. Di Kalimantan Tengah, misalnya, ada sekitar 20 kasus sengketa yang dilaporkan. Konflik ini terjadi karena kesalahan sejak awal proses perizinan yang tak melibatkan warga sehingga terjadi tumpang tindih lahan. Ini terjadi karena perizinan lebih banyak melibatkan pemerintah pusat di Jakarta, pemerintah daerah, elit lokal, dan para investor. Sementara masyarakat yang sejak nenek moyangnya tinggal dan hidup di lahan yang diberin izin justru ditinggalkan. Proses ini seperti mengulangi kesalahan fatal pemerintah Orde Baru ketika bermimpi menjadikan Kalimantan Tengah sebagai lumbung padi nasional di luar Jawa dengan Proyek Lahan Gambut (PLG) Sejuta Hektare yang gagal dan menyengsarakan hingga kini. Ketika itu Soeharto dan menteri-menterinya hanya membagi hutan Kalteng bak puzzle dari Jakarta dan menjadikannya sebagai bagian dari PLG, tanpa melihat bahwa di tanah yang mereka bagi itu hidup orang Dayak dengan seluruh potensi alam dan kearifan lokal yang mereka miliki. Konflik lahan kala itu dihadapi dengan senjata dan intimidasi. Hal yang kini tak jauh berbeda dengan lahan rakyat yang menjadi perkebunan sawit.
Seharusnya pengalaman buruk PLG bisa menjadi cermin bening bagi pemerintah lokal untuk melindungi segenap tumpah darah masyarakatnya dari kepentingan yang hanya mendewakan uang dan materi. Pemerintah lokal juga wajib melindungi tetap tumbuh dan berkembangnya kearifan lokal warganya. Bukan justru bertindak sebaliknya.
Betul pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah telah bertindak tegas dengan mencabut 11 izin perkebunan kelapa sawit –sementara di Kalsel hal ini tak dilakukan oleh pemerintah daerahnya. Mereka ternyata tidak serius menanamkan modalnya dan hanya mengincar kayu di lahan yang mereka bersihkan melalui izin pemanfaatan kayu (IPK) –modus ini juga dilakukan Orba dalam PLG.

Tetapi tindakan itu ada baiknya dilakukan terus menerus dan tidak hanya dititikberatkan pada soal keseriusan investor dan pemanfaatan IPK semata yang dianggap membuat iklim investasi semrawut. Yang tak kalah penting adalah melindungi masyarakat lokal dari serbuan sawit dengan lebih memilih pengembangan perkebunan yang secara psikologis, budaya, dan terbukti mampu menghidupi masyarakat tanpa benturan konflik. Jika itu tak dilakukan, percayalah sesungguhnya ada api dalam sawit...

Monday, June 30, 2008

Melangkah


Perempuan Dayak Ngaju ini melangkah gontai dengan "luntung" di pundaknya. Dia hanya bisa pergi ke ladang dan menatap kehancuran yang kian meraja di sekitarnya. Dan mereka yang berkuasa, membagi tanah lahirnya dengan pisau "kebijakan" yang tak pernah bijak.

Friday, June 27, 2008

Adaro?


Oleh : Budi Kurniawan (Aktivis Journalist and Writer Forum of Borneo. E-mail: budibanjar@yahoo.com)

Sedianya Initial Public Offering (IPO) PT Adaro Energy akan berlangsung pada 24-27 Juni 2008 ini. Namun penawaran saham perdana dengan nilai emisi yang ditargetkan sebesar Rp12,3 triliun dan akan menjadi rekor baru hasil IPO terbesar di pasar modal Indonesia itu dipastikan batal dilakukan. Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) belum bisa memutuskan apakan akah memberikan pernyataan efektif terhadap Adaro atau tidak. Bapepam-LK memutuskan untuk terus mengkaji semua dokumen yang berhubungan dengan rencana IPO PT Adaro Energy.

Pengkajian ini sesungguhnya adalah hal yang wajar dilakukan pra IPO. Karena jika pada pra IPO persoalan-persoalan membelit, informasi yang diberikan dalam prospektus berkabut, dan kemungkinan adanya transfer pricing atau insider trading, maka bukan hanya otoritas pasar modal yang akan mendapat masalah, tetapi juga para investor baik yang spekulan maupun yang berinvestasi dengan spektrum jangka panjang akan dirugikan.

Semua ini akan berujung pada kian bopengnya wajah pasar modal Indonesia di mata pasar modal dunia, dan sulitnya mengharapkan pergerakan pasar modal yang akan berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi dan ekspansi para pemodal besar di lantai bursa. Hal ini penulis temui ketika menelusuri sebuah praktik insider trading di lantai bursa untuk sebuah rubrik ekonomi di sebuah majalah berita mingguan di Jakarta. Yang hasilnya sungguh mengejutkan karena ternyata pelaku pasar modal punya segudang cara untuk mengelabui dan meniti buih berbagai instrumen perundang-undangan untuk keuntungan dirinya sendiri tanpa berpikir semua langkahnya berdampak buruk bagi perekonomian nasional.

Apalagi hingga kini di pasar modal Indonesia, hanya ada beberapa saham yang menjadi blue chips (Telkom, Aneka Tambang, Indosat, dan Sampoerna). Selain saham-saham ini, saham yang lain tak lebih dari sekadar penggembira di pasar modal.

Memang saham Adaro belum tentu akan menjadi blue chips di lantai bursa. Tetapi jika melihat performance perusahaan ini, hal itu tak mustahil terjadi. Selain porsi saham yang akan dilepas perusahaan ini melalui IPO yang mencapai 35%, Adaro juga adalah perusahaan coal mine terbesar kedua di Indonesia setelah Kaltim Prima Coal yang usahanya terintegrasi dari unit usaha strategis pertambangan dan perdagangan batu bara, jasa penambangan, infrastruktur dan logistik batu bara.

Adaro Energy melalui anak perusahaannya Adaro Indonesia, juga merupakan produsen tambang batu bara tunggal terbuka terbesar di belahan dunia bagian selatan. Operasional pertambangan Adaro Energy merupakan pertambangan batubara terbuka (surface open-cut mining) dari wilayah pertambangannya yang berlokasi di Kalimantan Selatan, yang hak pengelolaannya berlangsung hingga tahun 2022. Cadangan proven reserve di wilayah pertambangan Adaro Energy melalui anak perusahaannya diperkirakan sebesar 876 juta ton, dengan resource diperkirakan sebesar 2.803 juta ton.

Total luas seluruh wilayah pertambangan Adaro Energy saat ini adalah seluas kurang lebih 34.940 hektar dengan kapasitas produksi Adaro saat ini mencapai 40 juta ton per tahun dan mereka berencana untuk meningkatkan kapasitas produksinya hingga mencapai 80 juta ton dalam jangka waktu lima tahun ke depan.

Namun semua prospek cerah itu untuk sementara harus terhenti. Karena semenjak Adaro Energy akan melakukan IPO, gugatan dari berbagai pihak bermunculan, seperti masih adanya sengketa kepemilikan saham Adaro Indonesia dengan Deutsche Bank dan Beckett Pte Ltd. Kalangan politisi di Senayan pun mencoba menjegal IPO itu dengan mengajukan hak angket –walaupun gagal. Kalangan politisi sangat beralasan untuk mengajukan hak angket. Karena jika transfer pricing terjadi, maka pendapatan Negara dari pajak yang dikenakan pada laba Adaro jumlahnya akan sangat kecil –hal ini dibantah Adaro.

Itu yang terjadi pada makro ekonomi dan sudut pandang Jakarta. Lalu apa dampak penundaan IPO yang menjadi hot issue di pasar modal itu bagi kita di Kalsel yang menjadi sebagian besar lokasi aktifitas penambangan yang dilakukan Adaro Energy melalui anak perusahaannya Adaro Indonesia?

Dengan hak pengelolaan hingga tahun 2022, aktifitas Adaro pastilah berdampak luar biasa bagi masyarakat Kalsel baik yang berada di sekitar lokasi penambangan maupun tidak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Berbagai konflik antara masyarakat dan Adaro terjadi berulang-ulang dengan pola yang tak jauh berbeda. Koran ini dan Walhi Kalsel misalnya mencatat persoalan masyarakat versus Adaro itu terjadi pada soal ganti rugi lahan; limbah dan debu batu bara yang mengganggu kesehatan, tidak diberikannya lapangan pekerjaan bagi warga –jika pun ada, itu hanya sekadar pekerjaan “ecek-ecek””--; rusaknya tatanan sosial, ekonomi tradisional masyarakat, dan perubahan pada pendewaan materi; dan reklamasi.

Parahnya otoritas daerah tak banyak melihat semua itu sebagai ancaman bagi keberlangsungan hidup di masa datang. Mereka lebih sering terlibat dalam polemik soal besar kecilnya “sumbangan” Adaro pada pendapatan daerah. Dan pada umumnya mereka terkesan puas dengan “budi baik” dan program corporate social respinsibility (CSR) Adaro.

Mungkin masih ada harapan jika IPO berlangsung sehingga kepemilikan publik terhadap saham Adaro menjadi lebih besar dan berdampak pada transparansi pengelolaan dan produksi kebijakan yang berdampak pada kemaslahatan khalayak Kalsel. Tapi jika tidak bagaimana?

Wednesday, June 11, 2008

Tiwah...



Tiwah is a rare traditional ritual of Dayak tribe in Borneo to send the soul of dead person to heaven. In Dayak Ngaju belief, the death is a commencement of a long journey to the Lewu Tatu (Heaven). The soul of the dead stays around one's living area until the family performs this ritual. The substance of this ritual is the respect to ancestor and elder person. This is also a very long exotic ritual, rich with natural wisdom. To know more about this ceremony and other Dayak culture, please do not hesitate to send message to my email: budibanjar@gmail.com or see budidayak.blogspot.com and my mobile phone +628164532082

Monday, June 9, 2008

Jalan Kekerasan dan Mephistopheles Bung Hatta


Oleh : Budi Kurniawan (Alumnus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unlam, tinggal di Jakarta. E-mail: budibanjar@yahoo.com)

Informasi Komando Laskar Islam menyerang Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Monumen Nasional hari itu dengan cepat beredar. Awalnya orang Jakarta tak menduga insiden penyerangan itu bisa terjadi, karena selain peringatan kelahiran Pancasila pada 1 Juni 2008 marak dilaksanakan, juga pada hari itu aksi massa masih bergerak di sekitar penentangan terhadap tindakan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak.

Pasca penyerangan itu kontroversi pun terjadi. Masing-masing kalangan mengungkapkan alasan, penyebab, dan bagaimana insiden itu bisa terjadi. Serta merta suasana di seluruh Indonesia pun memanas. Masing-masing pihak saling menuding dan menyerang. Ujungnya –apapun alasan dan penyebabnya— kembali muka Indonesia tercoreng. Perbedaan sepertinya sudah tak ada tempat lagi di negeri yang sesungguhnya dibangun atas dasar keberagaman ini. Jargon Bhinneka Tunggal Ika kembali ke titik nadir. Bhinneka kah yang meminggirkan Ika, atau sebaliknya Ika telah menindas sang Bhinneka?

Mencermati sepak terjang sebagian elemen Islam selama delapan tahun terakhir ini seperti melegitimasi telah dipilihnya jalan kekerasan untuk “menegakkan” dan “melawan” kelaliman –paling tidak dalam persepsi mereka sendiri. Ini bisa jadi benar di satu sisi. Reaksi dan dipilihnya jalan kekerasan disebabkan lemahnya penegakan hukum yang dilakukan pemerintah sebagai otoritas kekuasaan. Pemerintah dianggap tidak berani menegakkan aturan dan keputusan yang sudah mereka ambil. Hal ini misalnya terjadi –dan kembali mencuat pasca Insiden Monas-- pada keputusan melarang aliran Ahmadiyah berada di muka bumi negeri ini. Tetapi yang jadi pertanyaan kemudian adalah apakah jika pemerintah bertindak tegas, lalu jalan kekerasan yang diambil oleh sebagian elemen Islam itu serta-merta hilang? Bukankah selama delapan tahun ini kekerasan seperti menjadi hal yang biasa berlangsung? Dan itu tak melulu hanya berhubungan dengan soal agama. Bahkan kekerasan itu juga berlangsung di area abu-abu lainnya.

Memang tak bisa dipungkiri, kekerasan tak hanya dilakukan oleh elemen Islam. Tetapi di tengah keyakinan bahwa Islam sesungguhnya adalah rahmat bagi sekalian alam, sorotan publik pada kekerasan yang dilakukan sebagian elemen Islam itu menjadi lebih keras. Karena tindakan kekerasan itu bisa jadi akan melegitimasi bahwa Islam adalah ketakutan, teror, tidak bisa menerima keberagaman, dan hanya melihat kebenaran dari sisinya sendiri. Parahnya lagi, Islam yang melalui jalan panjang sejarah dan kebudayaan di Indonesia menjadi mayoritas itu memiliki tanggung jawab lebih besar dari minoritas lainnya. Mayoritas sesungguhnya menjadi pelindung bagi minoritas. Bukan sebaliknya, justru menjadi ancaman bagi minoritas. Jika menjadi ancaman, jelas lah ia tak lagi menjadi rahmat bagi sekalian alam.

Kekerasan yang kini terjadi menjadikan kita lupa pada sejarah panjang Islam di masa silam yang menjadi peneduh dan pelindung bagi umat manusia. Kita misalnya di masa silam –mudah-mudahan saat ini pun demikian—percaya bahwa Islam berkembang tanpa ayunan pedang, penuh welas asih pada minoritas, dan tak pernah memaksakan orang lain yang berbeda pikiran dan keyakinan untuk mengikuti kehendak Islam.

Kita lupa pada kebesaran hati para tokoh Islam yang mengakomodir aspirasi minoritas saat membentuk negara ini. Karena kebesaran hati dan menjadikan Islam sebagai pengayom minoritas lah para pendiri bangsa ini dengan lapang hati “mengubah” Piagam Jakarta. Karena itu pula para pendiri bangsa di masa silam tak pernah membeda-bedakan tokoh minoritas untuk turut mengelola negeri ini.

Kita tidak mau menoleh pada kebesaran hati para tokoh masa silam mengelola dan menghadapi perbedaan. Ketika politik hingar dan panji-panji partai menjulang tinggi, para tokoh masa silam biasa berbeda pikiran dan langkah politik, tetapi kekerasan tak menjadi pilihan. Baru ketika pihak-pihak tertentu pasca 1965 memilih kekerasan sebagai penyelesaian pertarungan politik lah kita seolah terbiasa dengan berbagai kekerasan.

Mungkin ada baiknya kita berpaling sejenak pada apa yang dikatakan Bung Hatta ketika “bertengkar” sengit dengan Bung Karno di ujung masa kekuasaannya. Bung Hatta membandingkan Bung Karno dengan Mephistopheles di hikayat Goethe’s Faust dalam Demokrasi Kita (1960:20). Apabila Mephistopheles berkata bahwa dia adalah ein Teiljener Krafte die stets das Gute schaff (satu bagian dari suatu tenaga yang selalu menghendaki yang buruk dan selalu menghasilkan yang baik), maka Soekarno adalah kebalikan dari gambaran itu. Tujuannya selalu baik, tetapi langkah-langkah yang diambilnya kerapkali menjauhkannya dia (Bung Karno) dari tujuannya itu. Apakah Front Pembela Islam yang ada dalam Komando Laskar Islam yang terlibat Insiden Monas itu mau menjadi Mephistopheles, atau justru sebaliknya?

Jakarta: Demonstrasi Tumpang Tindih


Oleh Budi Kurniawan (Warga Jakarta)

Perjalanan sejarah menjadikan Jakarta sebagai pusat segalanya bagi Bangsa dan Negara Indonesia. Jakarta menjadi magnet dan legitimasi utama bagi apa dan siapa pun yang ingin meraih kisah sukses. Para politisi tak akan menjadi siapa-siapa jika tidak hadir dan ikut bertarung di Jakarta. Hal yang sama juga terjadi pada segala macam jenis profesi dan kepentingan lainnya. Kalimat yang diproduksi Orde Baru dalam sebuah film propagandanya, “Jakarta harus kita kuasai,” menjadi relevan untuk menyatakan bahwa untuk “menguasai” Indonesia maka Jakarta lah yang harus dikuasai pertama kali.

Karena posisi dan nilai strategisnya itu, dalam setiap pergolakan dan dinamika, Jakarta menjadi sasaran utama. Beragam isu diproduksi dan diolah sedemikian rupa untuk memengaruhi dan mengembangkan opini publik. Setiap kali pemerintah mengeluarkan kebijakan yang sering tidak bijak, berbagai kepentingan di Jakarta langsung bereaksi. Jakarta menjadi tolok ukur dan barometer untuk setiap pergerakan yang kemudian kadang diikuti oleh gerakan yang sama di berbagai daerah.

Dalam soal perkelahian di Cilandak Town Square, Jakarta Selatan (4/6); penentangan terhadap kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM); reaksi terhadap penyerangan Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) oleh Komando Laskar Islam –di dalamnya terdapat elemen Front Pembela Islam (FPI)--; demonstrasi pasca penyerangan polisi ke kampus Universitas Nasional (Unas); dan penentangan Bantuan Langsung Tunai (BLT); dan tindakan meredam aksi mahasiswa dengan pemberian beasiswa oleh pemerintah; menunjukkan fenomena bahwa posisi Jakarta masih sangat menentukan dan diikuti oleh elemen pergerakan di daerah.

Sayangnya otoritas Jakarta sepertinya tidak bisa memahami posisi strategis itu. Otoritas Jakarta terkesan tidak mampu mengelola, menjaga, dan mengarahkan reaksi itu ke arah yang positif dan konstruktif.

Ketika massa Komando Laskar Islam menyerang Aliansi Kebangsaan yang baru akan menggelar aksi di Monumen Nasional untuk memperingati kelahiran Pancasila pada 1 Juni 2008 misalnya, otoritas Jakarta tak banyak berbuat. Polisi bahkan terkesan tak bereaksi positif terhadap aksi brutal itu. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pun demikian. Yang terjadi justru otoritas di Jakarta saling lempar tanggung jawab, terutama dalam soal tuntutan pembubaran FPI.

Sebagian otoritas menyatakan pembubaran itu bukan tanggung jawabnya. Tetapi menjadi tanggung jawab otoritas yang lain. Ini menjadi semacam benang kusut yang membuat bingung bagaimana cara menguraikannya. Padahal penyerangan dan aksi brutal dilakukan oleh elemen ini sudah berkali-kali terjadi di Jakarta. Dan selalu saja tidak ada penegakan hukum yang tegas dan konstruktif. Bukankah penegakan hukum terhadap berbagai pelanggaran yang membuat khalayak banyak ketakutan dan tidak aman diperlukan untuk memberi efek jera, sehingga di kemudian hari hal yang sama tidak terjadi lagi.

Di tengah kondisi demikian, otoritas Jakarta seperti tak berdaya dan membiarkan semua pelanggaran hukum itu terjadi semena-mena. Dan karena tak ada sanksi yang jelas, pelanggaran hukum itu akhirnya terjadi berulang-ulang. Entahlah dengan Habieb Riziq dijadikan tersangka? Apakah dengan itu penegakan hukum memang sudah berjalan?

Sudah saatnya, otoritas Jakarta menjadikan dirinya berwibawa, berpengaruh, dan disegani. Karena mereka berada di jantung Republik tempat semua institusi dan kepentingan berada, maka seharusnya otoritas Jakarta tampil ke depan dan menjadikan Jakarta tempat yang aman bagi semua. Demonstrasi yang berlangsung tumpang-tindih dalam waktu yang juga hampir bersamaan, hanya salah satu cobaan bagi otoritas Jakarta. Tetapi otoritas Jakarta harus menguasai Jakarta!

Wednesday, May 21, 2008

Harapan Retak Murad Aidit


Oleh Budi Kurniawan (Penulis Buku Menolak Menyerah Menyingkap Tabir Keluarga Aidit. Kini sedang menyelesaikan buku Pemikiran Politik DN Aidit 1950-1965)

…Apakah hukum duniawi akan membiarkan perbuatan ini berlalu dengan demikian saja. Saya kira rakyat Indonesia akan mengutuk perbuatan serupa ini…Harapan agar Indonesia akan dapat mengalami masa depan yang lebih cerah di tahun-tahun mendatang…

Sembilan tahun silam Murad Aidit menulis surat terbuka kepada Presiden BJ Habibie. Dalam suratnya Murad meminta sang Presiden merehabilitasi nama baik Dipa Nusantara Aidit. Di mata Murad, apa yang sudah dilakukan Soeharto terhadap Abang kandungnya yang menjabat Ketua Politbiro Centra Committe Partai Komunis Indonesia (PKI), Wakil Ketua MPR/DPR, penerima Bintang Mahaputra Indonesia, dan salah satu Menteri Koordinator terakhir Bung Karno, itu tak masuk akal. Tanpa diadili Aidit ditembak mati. Murad menduga penembakan itu disengaja untuk mengaburkan apa yang sesungguhnya terjadi dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G 30 S). Dugaan yang hingga kini tak jua kunjung berjawab.

Walau surat terbuka itu tak pernah berbalas, Murad tak pernah berhenti mengirimkannya kepada setiap Presiden yang silih berganti berkuasa seusai Soeharto dan Orde Baru yang ia bangun tumbang. Harapan akan proses hukum yang adil dan terbuka terhadap DN Aidit dan rakyat banyak yang telah disakiti dan dibunuh penguasa atas alasan tak pasti tetap ia semaikan.

Dalam sebuah pembicaraan di sela hujan yang mendewasa di rumahnya yang sederhana di Depok, Jawa Barat, kepadaku harapan itu kembali Murad sampaikan. “Sayangnya, kini kita hidup di alam yang mendewakan materi. Mereka yang berkuasa memiliki segalanya. Sedang kita berada di pinggiran sejarah dan hanya bisa sekadar melihat dan berharap. Tetapi jangan pernah hilang harapan, karena mereka yang berpunya dan berkuasa menyenangi ketika kita kehilangan harapan,” katanya.

Harapan itulah yang membuat Murad Aidit bertahan hidup. Kegetiran hidup ia alami bertubi-tubi setelah pulang dari Moskow ke Indonesia. Murad yang dilahirkan pada 21 Agustus 1927 itu berada di Moskow setelah mendapatkan tawaran kuliah di Patrice Lumumba University. Di universitas ini Murad belajar ekonomi. Ia juga belajar bahasa Rusia, Inggris, Jerman, dan Belanda.

Selesai pendidikan enam tahun dengan mengantongi ijazah sebagai sarjana ekonomi, Murad kembali ke Indonesia pada Agustus 1965 dan ditempatkan di Kementerian Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan (PP dan K) golongan F/II. Karena seorang veteran, golongannya akan dinaikkan menjadi F/III, setara dengan pejabat tinggi.

Namun setelah peristiwa G 30 S meletus, Murad ditangkap tentara di rumahnya di Depok. Ia dibawa ke Bogor dan kemudian dipindahkan ke penjara di Bandung. Di sepanjang perjalanan ketika dipindahkan itu, Murad hampir saja kehilangan nyawanya.

Di sebuah jembatan pada malam yang kelam, mobil yang membawanya berhenti. Tentara menawarinya untuk turun jika ingin buang air kecil. Naluri Murad menyatakan tawaran itu hanyalah pembuka jalan menuju kematian. Jika ia turun, Murad memastikan nyawanya akan melayang. Betapa tidak, malam yang kelam dan sepi, dan sebuah sungai di bawah jembatan yang mengalir deras dipastikan akan membuatnya tewas. Tentara tinggal memberondongkan senapan ke arah Murad. Atau cukup dengan memaksanya melompat ke haribaan sungai deras itu. Murad menolak tawaran itu. Mobil pun melaju menuju Bandung.

Hanya sebulan Murad ditahan di Bandung. Ia terjaring "Operasi Kalong" dan kembali dimasukkan ke tahanan di Salemba, Jakarta. Istrinya yang masih menyusui bayinya juga dibuang ke penjara di Plantungan. Dari Salemba Murad diberangkatkan ke Pulau Buru bersama ratusan tahanan lainnya. Lebih 10 tahun Murad berada di Unit XV pada
barak khusus yang disebut "Barak Isolasi". Selanjutnya ia dipindahkan ke Unit V. Di Pulau Buru inilah Murad Aidit bertemu dengan Abangnya Basri Aidit yang menghuni Unit lain.

Seperti yang terjadi dengan tahanan lainnya, Murad juga mengalami kekerasan. Beras hasil pertanian yang mereka kerjakan tak bisa dinikmati sendiri dengan mudah. Tentara hanya memberi jatah 2 ons sehari untuk makan. Murad berkisah ia dan kawan-kawan harus mencuri beras hasil keringat sendiri hingga bisa makan dengan “layak”.
***
Sebelum ke Moskow, Murad putra Abdullah Aidit, pendiri Nurul Islam di Belitung yang merupakan orang pertama –bersama dokter Suryo—mengibarkan bendera merah putih di Madrasah yang dipimpinnya, bersekolah di Dai Ichi Chu-Gakko (Sekolah Menengah Pertama). Ibrahim Isa yang bersekolah di tempat yang sama, berkisah tentang keberanian Murad menghadapi amukan seorang guru yang memberinya “semangat” (sebutan untuk tamparan seorang guru pada muridnya di zaman Jepang) pada satu pagi. Murad tidak terima pada tindakan guru yang hendak menempelengnya itu. ditempeleng begitu saja. Ia mengelak dan mengelak.

Murad kemudian melanjutkan belajar di MULO Jakarta, persis setahun setelah tentara Jepang mendarat. Bersama DN Aidit, Murad menjual koran sebagai cara menyambung hidup. Ketika perang berkecamuk, Penolong Korban Perang (PKP) memulangkan Murad ke Belitung, tanah kelahirannya.

Namun karena di Belitung Jepang sudah berkuasa dan banyak rakyat sudah menjadi romusha, sang Ayah memilih mengirimkan Murad kembali ke Jakarta naik kapal laut. Angin yang buas membawa kapal yang seharusnya menuju Jakarta itu ke Pekalongan, Jawa Tengah. Murad harus naik kereta api untuk kembali ke Jakarta, tujuan semula.

Sambil bersekolah Murad masuk Angkatan Pemuda Indonesia
(API) dan aktif di Menteng 31, markas kalangan muda progresif kala itu. Di sini ia bertemu Sukarni, Chaerul Saleh, Hanafi, dan Wikana. Di kamar kostnya di Gondangdia, Murad sering menampung penyair Chairil Anwar yang bohemian itu.

Murad masuk Laskar Rakyat Jakarta yang bermarkas di Karawang bersama teman-temannya dari Pesindo. Di Karawang Murad bergabung dengan Adam Malik. Adam Malik ketika menjadi Wakil Presiden lah yang turut “berperan” dalam pembebasan Murad pada tahun 1978.

Penyakit TBC yang diderita Murad membuatnya mengurangi berbagai aktifitas. Ia dirawat di Rumah Sakit Cisarua, Bogor, selama bertahun-tahun. Menjelang Pemilu 1955 Murad yang mendapat status veteran perang itu kembali ke Belitung. Dengan bendera PKI, ia terpilih menjadi anggota DPRD Kabupaten Belitung sekaligus DPRD Sumatera Selatan.
***
Seusai bebas dari Pulau Buru, Murad hidup sebagai eks tahanan politik –KTP Murad dibubuhi singkatan ET (Eks Tapol). Berbagai pekerjaan tak bisa dilakukannya. Tangan gerejalah yang turut menyelamatkan hidup Murad. Gereja Katolik menggunakan jasa Murad yang pada tahun 1996 naik haji itu untuk menerjemahkan buku-buku berbahasa Inggris, Rusia, dan Belanda, ke dalam bahasa Indinesia. Dari hasil menerjemahkan inilah Murad bisa menghidupi keluarga dan membesarkan anak-anaknya. “Saya bahagia di usia senja ini masih sempat menyaksikan putra bungsu saya menikah. Terharu rasanya,” kata Murad ketika saya mengunjunginya seusai sakit dan sempat dirawat di RS Fatmawati, Jakarta Selatan, tahun lalu.

Kebahagiaan Murad mungkin akan lengkap jika penguasa yang selalu disuratinya itu membalas harapan-harapannya. Harapan yang hingga Murad berpulang pada Sabtu, 29 Maret 2008, masih juga retak...

Anang Ardiansyah, Sanja Kuning, dan Budaya Luruh


Oleh : Budi Kurniawan (Aktivis Journalist and Writer Forum of Borneo. E-mail: budibanjar@yahoo.com). Foto: Budi Kurniawan


Bamula angin manyapu banyu
Manghiringi padang banta


Malam itu Anang Ardiansyah, pencipta dan penyanyi ratusan lagu-lagu Banjar itu bak raja tiada tanding. Duduk takzim di tengah panggung, bertumpu pada sebuah tongkat di tangan kanan, sesekali mengepalkan tangan dan menahtakannya di langit, lalu air matanya berderaian. Kadang matanya menerawang menembus batas, ruang, dan waktu yang bergerak di Balairung Sari, Taman Budaya Kalsel, Rabu (9/4). Tangannya bergerak mengikuti birama lagu-lagu Banjar yang diciptakannya dan dinyanyikan anak-anak muda yang terpaut jauh usia dengannya.

Usia yang terpaut jauh itu tak membuat kharisma Anang Ardiansyah berkurang sedikitpun. Kala menyanyikan lagu “Sanja Kuning”, pensiunan tentara berpangkat Letnan Kolonel itu menghunjamkan kharisma terdalam dalam dirinya. Dengan napas yang tak lagi sepanjang dulu ketika usianya masih muda, “Sanja Kuning” seperti menuju suasana magisnya yang tertinggi. Dalam getaran suara Anang Ardiansyah, “Sanja Kuning” mengalun, mendayu, dan hadir di depan mata. Karena “Sanja Kuning” dan penampilan Anang Ardiansyah di senja usianya, membuat hadirin yang memenuhi ruang pengap dan bau asap rokok itu menderaikan airmata.

“Sanja Kuning” malam itu membuat politik pencitraan yang secara tak sengaja beredar lindap seketika. Rupanya seni memang punya cara sendiri untuk menghindari –juga melawan—kekuasaan.

“Sanja Kuning” yang penuh pesona dengan warna indah memenuhi kaki langit yang sekaligus “berbahaya” membuat Abah si Galuh memanggil anaknya yang tergesa memetik kambang waluh seperti mempertegas memori dan keyakinan bersama masyarakat Banjar di masa silam akan “Sanja Kuning”, senja yang harus dihindari.

Ya, Anang Ardiansyah sesungguhnya bukan sekadar pencipta lagu Banjar yang bergerak dalam mainstream picik. Mainstream yang menganggap lagu Banjar hanya sama dengan lagu yang menggunakan bahasa Banjar, tanpa punya kaitan dan kajian psikologis, budaya, keyakinan, gambaran, pengalaman, dan memori bersama. Kajian yang sesungguhnya rumit dan memerlukan keluasan pengetahuan pencipta lagu itu, justru di tangan Anang Ardiansyah bisa menjadi sangat cair.

Karena itu seluruh lagu yang diciptakan Anang tak pernah lepas dari akar Kebanjaran yang ada dari soal larangan yang diambil urang, kakamban habang yang jadi ingatan, tradisi bausung dan kambang guyang di ujung galung dalam perkawinan, hikayat Raja Banjar nang baislam panambayan, syair nelayan di bibir pantai yang menunggu hari baganti musim, doa yang jadi sangu batulak merantau, keinginan menggantikan amal dan pahala kedua orangtua yang terpanggang panas manggantang di tangah sungai, hingga kota Banjarmasin yang panas bau sandawa.

Memang bersamaan –juga belakangan—dengan Anang Ardiansyah banyak juga pencipta “lagu Banjar” yang lahir. Hanya saja “rasa lagu”-nya sungguh berbeda. Bahkan walau pun “bahan” untuk menciptakan lagunya sama, tetap saja sentuhan dan aroma psikologisnya berbeda.

Dalam sebuah wawancara dengan Anang Ardiansyah ketika bekerja pada koran ini, soal rasa yang berbeda itu pernah saya tanyakan. Saya baru mengerti ternyata hampir semua lagu yang diciptakan dan dinyanyikannya itu bermula dari kisah nyata (disaksikan dan dialami langsung). “Paris Barantai” yang tersohor itu misalnya, Anang Ardiansyah ciptakan setelah bergaul dan menyaksikan dengan para nelayan keturunan Bugis di sebuah pinggiran pantai di Kotabaru. Para nelayan ini biasanya menyenandungkan kidung pujian keselamatan sebelum pergi melaut. Di tangan Anang Ardiansyah kidung itu digubah sedemikian rupa sehingga jadilah “Paris Barantai” yang cengkok di awal, di tengah, dan di akhir lagu sungguh memesona.

Lagu “Halin” pun demikian. Ada semacam pengalaman pribadi dalam lagu yang juga mendayu ini. Pengalaman pribadi dan kesaksian langsung Anang rupanya klop dengan kenangan bersama para pendengar dan penikmat lagu yang ia ciptakan. Tersambungnya hal itulah yang membuat Anang dan lagunya menjadi berbeda dengan lagu-lagu Banjar lainnya.

Hal inilah yang mungkin berbeda dengan seniman yang menggeluti kesenian bersyair Banjar lainnya. Mamanda, Balamut, Bawayang, dan Madihin misalnya, yang tak pelak digerus zaman. Kesenian jenis ini seolah datang dari masa silam yang notabene memiliki latar dan pengalaman berbeda dengan kekinian. Penyesuian diri dengan dengan pasar (kapitalisme?) pun tak banyak berjalan. Parahnya mereka yang berkuasa dan menentukan tak banyak berpaling dan peduli dengan hal itu.

Bisa jadi pilihan setia pada tradisi, pelestarian, dan kesetiaan pada pakem menjadi dasar pilihan untuk menjaga jarak –bahkan melawan—perubahan selera dan zaman. Kesetiaan kadang berisiko membuat orang dan pemikirannya harus rela berada di pinggiran. Namun kesetiaan bisa juga menjadi berkah yang tak terduga. Tinggal kapan imbalan pada kesetiaan itu tiba.

Anang Ardiansyah adalah salah satu potret kesetiaan yang kemudian menuai hasilnya. Anang-Anang yang lain hingga kini masih bertarung dan dihadapkan pada pilihan: setia, digilas zaman, atau “berkompromi” pada keadaan dan luruh budaya. “Sanja Kuning” bisa jadi merupakan peringatan penuh simbolik dari Anang Ardiansyah pada khalayak agar tatanaman budaya jangan layu; agar alang berkesenian bulik ka sarang kesetiaan; agar jukung tiung kebudayaan dikayuh melaju bersamaan dengan zaman; agar para Abah nang berkuasa mangiau “galuh” nang mamutik kambang waluh ketika malarak sanja, hingga tidak tertimpa bencana.

Maantar alang tarabang
Handak bulik ka sarangnya

Monday, April 7, 2008

Sosok Tangguh itu Berpulang


Murad Aidit, adik mendiang Ketua CC PKI Dipa Nusantara Aidit, meninggal dalam usia 81 tahun di Depok, Jawa Barat, Sabtu (29/3) pukul 4.45 WIB. Obituari tokoh yang kurang populer ini dikirim Ibarruri binti DN Aidit ke mailing list Wahana-News.

"Telah meninggalkan kita dengan tenang Oom kami yang tercinta, Murad Aidit. Pemakamannya akan dilakukan hari ini juga," tulis Ibarruri yang mencantumkan namanya sebagai I.sudharsono.

Mailing list atau ruang diskusi maya ini juga diikuti Asahan Aidit, satu-satunya adik Adit yang masih hidup. Sesudah itu, muncul sederet ucapan bela sungkawa. Joesoef Isak dari penerbit Hasta Mitra menulis, "Selamat Jalan kawanku satu cel. Kepada yang dia tinggalkan, tabah dan terus melanjutkan kerja yang belum selesai."

Seorang kolega mendiang Murad lainnya lantas mengenang kebersamaannya selama 1961-1965 sebagai mahasiswa di Uni Soviet. Katanya, Murad tekun belajar, tangguh berorganisasi dan setia pada cita-cita mulia. "Patut kita warisi demi melanjutkan usaha mewujudkan cita-cita yang terbengkalai itu," tulisnya.

Saya pernah sekali mewawancarai Murad sewaktu adiknya, Sobron Aidit, meninggal dalam usia 72 tahun di Paris, 10 Februari 2007. "Lha iya, dia adik saya, malah meninggal duluan," kata Murad saat itu.

Sobron meninggal setelah terjatuh di stasiun kereta bawah tanah di Paris. Sekira dua bulan sebelumnya, Sobron pergi ke Jakarta untuk peluncuran buku bersama-sama Murad. Kedua bersaudara ini sering ditemani Poppy binti Murad. Sekira bulan Maret 2007, Murad jatuh sakit dan dirawat di RS Fatmawati, Jakarta.

Endang Darsa, 66, bekas sopir pribadi DN Aidit sebelum pecah Gerakan 30 September 1960 tapi juga 'sempat' dipenjara tujuh tahun (1965-1972), turut membesuk Murad. Endang Darsa bekerja untuk Aidit tahun 1963-1964 ketika Ibarruri belum dikirim belajar ke Rusia.

Ibarruri terhalang pulang setelah pecah Gerakan 30 September. Sedangkan Murad, hanya 100 hari sepulang dari Rusia ditangkap, lalu dikirim ke Pulau Buru untuk 10 tahun. Ia tak tahu alasan penangkapannya kecuali menduga karena di belakang namanya ada kata Aidit.(Surya/Yuli Ahmada)

Friday, April 4, 2008

Duka Untuk Bang Murad Aidit

Dering telpon genggamku yang mati berhari-hari karena sinyal tak menyentuh pedalaman yang kujejaki dan jelajah menjerit tiada henti.
Sebuah suara lembut nan bersahaja mengabarkan duka:
"Mas Budi, Pak Murad meninggal tiga hari lalu."
Ah, pisau tajam yang kukhawatirkan itu datang juga. Bang Murad berpulang pada Sabtu, pekan lalu di rumahnya yang asri di Depok, Jawa Barat.
Aku terhenyak.
Dukaku memenuhi langit pagi yang lahir di pedalaman Borneo.

Selamat Jalan Bang.
Bebaskan dirimu dari duka yang dibuat penguasa...
Bertemulah dengan Tuhan yang tak pernah membeda-bedakan dan menyakiti umatnya...
Tuhan yang tak mau berbuat seperti mereka-mereka yang telah menistakanmu..

Banjarmasin, 5 April 2008
Budi Kurniawan,

Friday, February 15, 2008

Tiwah at Far of Katingan


Tiwah is a ritual send soul to heaven. In Ngaju believe, Tiwah very important, cause every human was died must be going to soul. And than the family must be make some ritual. If not, the life can dangerously.
At 22 th March, Tiwah will be in Tumbang Labaning, far Katingan Hulu, Katingan Regency. If u want see that, u can send some email to budibanjar@yahoo.com, or can call me on +628164532082. Maybe i can help u. I m waiting in Katingan.

Best Regard,

Budi

Tiwah di Pedalaman Katingan


Dalam kepercayaan Kaharingan --Orde Baru "memaksa" agama yang dianut oleh sebagian besar orang Dayak ini masuk dalam agama Hindu dengan sebutan Hindu Kaharingan-- kematian adalah awal sebuah perjalanan panjang ke Lewu Tatau (Sorga). Roh mereka yang mati masih berada di sekitar wilayah semasa hidupnya. Untuk mengirimkan roh itu ke Lewu Tatau, orang Dayak wajib menggelar upacara Tiwah. Tiwah yang memiliki substansi penghormatan pada para leluhur dan perjalanan di surga ini akan digelar pada 22 Maret 2008 di Desa Tumbang Labaning, Katingan Hulu, Kabupaten Katingan. Pada bulan Mei dan Juni, Tiwah juga akan digelar di Manuhing, Kahayan, Kalimantan Tengah. Sebuah ritual eksotik dan kaya pesan kearifan ini menanti Anda.

Monday, February 4, 2008

Isi Rimba di Tepian Sungai


Kebijakan terhadap "illegal logging" ternyata pandang bulu. Jika si kecil menebang pohon untuk sekadar hidup, penguasa langsung murka. Tetapi di tepian Sungai Katingan, Katingan, Kalimantan Tengah, isi rimba berserakan. Dengan kantong tebal dan sebaran uang merata yang mengalir kemana-mana, mereka aman. Kekuasaan memang selalu buta dan ramah pada mereka yang berpunya.

Katingan, Januari 2007

Punah Dihantam Kapitalisme


Di masa silam, banyak penghuni pinggiran Sungai Katingan, Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah, bergantung hidup pada pembuatan dan penjualan "Jukung Patai" (perahu kecil). "Jukung Patai" ini semula berbahan kayu besi yang diolah sedemikian rupa --dibakar bagian tengah kayu, dibentuk menjadi perahu kecil. Namun sejak penguasa melarang kayu besi ditebang --walau hanya untuk menyambung hidup-- penduduk kesulitan mencari kayu untuk di hutan, dan kini hanya menggunakan kayu dengan bahan yang tak bisa tahan lama. Tapi itulah, penduduk dengan kearifan lokal selalu tergusur ketika kekuasaan mengambil kebijakan yang tidak bijak.

Pinggiran Katingan, Akhir Januari 2007

Friday, January 11, 2008

Mengenang Djok Mentaya di Zaman yang Berubah (13 Januari 1994-13 Januari 2008)



Oleh : Budi Kurniawan (Aktivis Journalist and Writer Forum of Borneo dan bersama HM Thamrin Junus menulis buku “DJOK, Penakluk dari Sungai MENTAYA”. E-mail: budibanjar@yahoo.com)


“Hoofd, amun bisa jangan turun ka kantor dulu. Di sini HI lagi mahamuk. Inya mambawa lading (Ketua, kalau bisa jangan berangkat ke kantor dulu. Di sini HI sedang mengamuk. Dia membawa pisau).”

Hal itu disampaikan Wakil Pemimpin Umum Banjarmasin Post HG Rusdi Effendi AR pada 1 September 1977. Rusdi yang kini menjabat Pemimpin Umum Banjarmasin Post mengingatkan hal itu kepada atasannya, HJ Djok Mentaya, melalui telepon ketika melihat segerombolan orang dengan marah dan bersenjata tajam mendatangi kantor Banjarmasin Post di Jalan Pasar Baru 222, Banjarmasin.

Pada awalnya Djok mengindahkan peringatan itu. Tetapi tak berselang lama, Djok mengangkat telepon dan menghubungi Rusdi. “Di, HI masih di situ kah? Kaya apa amun aku ka kantor ja? (Di, HI masih di kantor? Bagaimana kalau saya ke kantor saja?).”

“Tasarah Hoofd aja. HI masih di sini. Inya tarus maangkat dan maarah akan ladingnya. (Terserah Ketua saja. HI mash di sini. Dia terus mengacung-acungkan pisaunya),” jawab Rusdi ragu.

Sekitar pukul 09.30 WITA pada Kamis, 1 September 1977, itu Djok sudah berada di depan kantor Banjarmasin Post, koran yang dia dirikan dan kelola bersama kawan-kawan mantan aktivis gerakan mahasiswa Angkatan 1966 itu. Begitu Djok tiba, HI yang sebelumnya sudah mengamuk itu menyambut Djok dengan sebilah pisau terhunus. HI tak sendiri, ia ditemani tiga orang lainnya yang juga mencabut pisau.

Djok berusaha lari menghindari kejaran kawanan itu. Tetapi malang, dia tergelincir dan jatuh di depan kantor Harian Utama, salah satu koran cukup besar pada era 1970-an di Banjarmasin. Ketika itulah tiga mata pisau ditudingkan ke arah Djok. HI membentak Djok dan memerintahkan ayah tiga anak ini meminta ampun. “Ya, saya minta ampun,” kata Djok kepada Sjachran R dari Majalah TEMPO pada awal September 1977.

Saat meminta ampun dan terdesak akibat tudingan pisau itulah, beberapa wartawan Harian Utama yang sedang berada di kantor muncul membantu Djok yang kala itu berusia 38 tahun. HI dan kawan-kawan pun langsung kabur. Para wartawan Harian Utama langsung memapah dan melarikan Djok ke rumah sakit.

Ternyata ketika Djok tergelincir saat berusaha menghindari HI dan kawan-kawan dia jatuh deras betul. Setelah tiba di Rumah Sakit Umum Ulin Banjarmasin, Djok diperiksa Bagyo S Winoto, seorang dokter bedah yang cukup ternama di Kalimantan Selatan kala itu. Pemeriksaan menemukan tempurung lutut kiri Djok pecah, kakinya patah, dan salah satu urat kakinya putus. “Kalau tak segera dioperasi bisa cacat seumur hidup. Timpang atau lumpuh,” kata dr Bagyo tentang tempurung lutut Djok yang pecah.

Pada Jumat (2/9) siang sekitar pukul 12.00 WITA dokter berhasil mengoperasi lutut kiri Djok yang cedera. Pada malam hari setelah Djok sadar dari pembiusan ketika operasi berlangsung, dia merasakan nyeri dan ngilu luar biasa pada tempurung lututnya yang sudah dijahit dengan kawat anti karat. Sakit yang luar biasa itu menyebabkan Djok tak bisa tidur. Baru pada malam ketiga setelah insiden itu rasa sakit berangsur-angsur berkurang.

Pasca operasi Djok harus diopname selama sebulan. Dan sesudah sembuh, Djok harus banyak beristirahat. Djok hanya boleh berjalan dengan dua tongkat penopang. Enam bulan kemudian tongkat itu mungkin boleh dibuang setelah kepingan tempurung lutut yang pecah bertaut kembali. Kawat-kawat yang digunakan menautkan tempurung lutut itu dicabut melalui pembedahan ulang.

Peristiwa percobaan pembunuhan tak hanya membuat Banjarmasin gempar. Di seluruh penjuru Kalsel dan Kalteng peristiwa itu menjadi buah bibir. Reaksi keras pun berdatangan, dari mahasiswa, politis lokal dan nasional, aparat keamanan dan penegak hukum, persatuan wartawan lokal dan nasional, dan pejabat Kalsel dan Kalteng. Semua mengutuk peristiwa percobaan pembunuhan itu. Pelaku pun ditangkap dan diproses di pengadilan.

***
Tak sekali dua Djok menghadapi rintangan. Ketika mulai membangun “Banjarmasin Post” misalnya dia menghadapi rintangan yang datang dari rekan sejawatnya saat bersama-sama turut menumbangkan Orde Lama yang kemudian memunculkan Orde Baru. Sayangnya kekuasaan yang cenderung korup juga berlaku pada Orde Baru. Orba menjelma menjadi rezim otoriter yang mengatur seluruh napas hidup khalayak. Djok kecewa.

Namun ia tetap melawan segala kelaliman dengan caranya sendiri, misalnya dengan menolak tawaran untuk menjadi anggota parlemen –baik di tingkat lokal maupun nasional—dan lebih memilih mengurus –juga membesarkan—Banjarmasin Post. Sebuah keputusan yang kini sulit dicari tandingannya ketika semua orang berlomba-lomba dan kadang dengan menghalalkan segala cara untuk menjadi anggota parlemen lokal dan nasional yang dilengkapi segala macam kemewahan duniawi. Djok bersikap tegas seperti motto "Demi Keadilan, Kebenaran, dan Demokrasi” pada Banjarmasin Post yang ia lahirkan dan besarkan.

Djok harus pintar meniti buih menghadapi berbagai rintangan yang datang. “Kalau tidak terus berkonsultasi dengan psikiater, saya sudah sakit saraf. Tulis begini, dipanggil si ini. Tulis begitu, dipanggil si itu. Yah, harus rajin minta maaf,” kata Djok kepada George Junus Aditjondro dari TEMPO pada awal September 1977. George kini dikenal sebagai aktivis anti korupsi dan rajin membongkar kekayaan mantan Presiden Soeharto. Kini George mengajar di sebuah perguruan tinggi di Australia setelah “pindah” dari Universitas Kristen Satywa Wacana, Salatiga, Jawa Tengah.

Namun jalan hidup rupanya tak selalu lempang. Hal itu juga berlaku pada diri Djok Menyata (Lahir di Sampit, Kalteng, 19 Juli 1939-Wafat di Jakarta 13 Januari 1994). Djok yang menurut Lies Pandan Wangi, putrinya, saat masih dalam kandungan sang ibu mimpi sedang mengasuh bulan itu –pertanda sang anak akan menjadi orang besar-- dikenal sebagai sosok penentang dominasi kapital besar media itu akhirnya mengalami ironi.

Hanya setahun setelah dia berpulang, Banjarmasin Post yang ia bangun dengan darah dan air mata itu tak lagi menjadi miliknya. Tak ada yang salah sesungguhnya dalam hal ini. Karena perubahan tak bisa diindahkan. Ia bisa menjadi macan yang memakan anaknya. Tetapi juga bisa menjadi macan yang dengan telaten menjaga dan membimbing anaknya hingga perkasa menghadapi perubahan.