Wednesday, July 28, 2010

Hanya Sehelai


Berbincang tentang bintang jatuh di kejauhan

Mengenangkan perjalanan para leluhur yang dikalahkan akal budi yang diselewengkan siasat terburuk seperti merentangkan setiap helai rambut di sepanjang jalan hingga tiba di tempat yang mereka sebut akhir tujuan perjalanan. Akhir itulah yang menjadi awal perjalanan setelah kehilangan segalanya termasuk juga harga diri yang murah semurah-murahnya hingga elang burung suci itu pun memalingkan mukanya ketika ayat-ayat dan doa-doa dinaikkan agar perjalanan benar-benar berakhir di tanah harapan. Tanah menyaksikan bintang-bintang berjatuhan lalu harapan diudarakan dan tak jua berjawab hingga hari berganti dan luka menjadi sarang darah nanah dan belatung berjatuhan menggantikan mantra-mantra yang tak lagi punya tempat berpijak kecuali menadahkan tempayan menampung semua airmata yang tak kuasa bertahan

Berbincang tentang terbit pelangi di balik bumi berujung

Di ujung pelangi itulah bongkahan emas menanti disetubuhi menjadikannya perhiasan berharga menghiasai paras hingga ujung jari yang retak diretakkan godam mereka yang mengirimkan berbungkus-bungkus airmata hingga menerbitkan tangis. Lunglai jiwa lunglai hati ketika menjadikan airmata bekal perjalanan menuju harapan kematian tapi tak jua kunjung berhenti atau menjenguk sesekali apalagi menyapa dengan tulus hati. Tak guna berharap pada pelangi ketika hanya tangis yang bisa dijadikan buah tangan yang garis-garisnya tak lagi beraturan membentuk kisah nasib perjodohan dan rejeki tapi hanya membentuk jalan menuju kematian yang datang diam-diam sambil menunggu kapan waktu tepat untuk berkunjung

Berbincang tentang jalan airmata yang menenggelamkan segala

Tulus hati tak pernah tiba ketika mesiu menundukkan perlawanan panah tombak parang sumpit bengkok membengkokkan hati jauh sasaran meleset melesatkan sejarah jauh ke pinggiran dan menjadikannya bunga tidur dan dongeng tak berkesudahan. Di tanah inilah kami berdiri menyanyikan kidung malam sambil merindukan lolong serigala beruang dan lesatan burung elang di angkasa yang berbalas hujan airmata membasahi kerontang tanah yang dulu mendekap dalam hangat mimpi. Berhelai-helai bulu burung elang berjatuhan tapi tak sehelai pun berhenti dalam dekap tangan semuanya bertebaran naik memenuhi langit kemudian menghilang padahal untuk sembuhkan semua luka ini hanya perlu sehelai. Elang menitikkan airmata melihat seluruh helai bulunya dihumbalangkan angin. Merenangi airmata tenggelam dalam kedalamannya menuju dasar terdalam mencari kuburan masing-masing linglung di pekuburan tak bernisan


(Quawpaw, Oklahoma, Juli 2010)




Monday, July 26, 2010

Surat dari Amerika (Bagian Kedua)



Sarah...

Oleh : Budi Kurniawan
(Wartawan, bekerja di Banjarmasin, tinggal di Jakarta.
E-mail: budibanjar@yahoo.com)

Dari sebuah rumah di sebuah komplek yang teduh di pinggiran Los Angeles, nada-nada berdentingan kala jemari kecil itu menari di atas papan-papan piano. Nada-nada itu membentuk lagu. Sederhana. Ada ragu saat jemari itu kebingungan harus menekan papan mana untuk melanjutkan lagu yang dimainkan. Di saat seperti itu, mata kecilnya yang indah memandang pada sang ibu yang sibuk mengiris tomat, bawang merah, dan cabe merah, mengaduknya dan mencampurkannya dengan remasan jeruk nipis segar, bertanya ke mana jari harus ditekankan agar lagu bisa terus berlanjut. Di dini hari yang dingin itu, sang ibu memberi arah. Tapi lagu tetap tak bisa mencapai tuntas paripurnanya.

“Mom, how can I play this song? My books leave in Ambon. U must bring it,” kata gadis kecil bermata hitam itu pada sang ibu.
“Ok, when holiday next year, we are going to Ambon again and bring your book and you can play that’s song. Right? Now, how can you say good night in Bahasa?”
“That’s simple Mom. Selamat malam,” jawab si gadis kecil sambil tertawa kecil.

Ada rasa yang berbeda kala mendengar kata ‘Selamat Malam’ keluar dari gadis kecil warga Amerika itu. Namun tak hanya kata sederhana itu yang bisa ia suarakan. Ia mahir berhitung dalam Bahasa Indonesia. Ia mengenal Ambon dengan sangat sempurna. Kian sempurna lagi ketika hampir sebulan ia berada di sana, bermain bersama anak-anak Ambon, menyaksikan dan menjadi bagian terapat dari keindahan alam dan kekhasan masyarakatnya.

Bagi Sarah, gadis kecil bermata indah itu, Ambon bukan sekadar tempat berlibur. Dari pulau dengan pantai, tanjung, dan gunung-gunung indah itulah leluhurnya berasal. Usi Endah, ibunya orang Ambon yang bermukim dan menjadi warga negara Amerika sejak tahun 1980. Sang ibu bekerja di Amerika dan menemukan jodohnya, lelaki asal Belanda yang menikahinya pada tahun 2000. Tak berapa lama, Sarah lahir dan kini berusia delapan tahun.

Ayah dan ibu Sarah tak sekadar bertemu, berjodoh, dan kini membesarkan putri tunggal mereka. Keduanya pribadi yang unik. Sang ibu termasuk orang cukup berada di Ambon. Hampir semua orang di sana mengenal baik leluhur dan orangtua Usi Endah. Keluarga mereka lah yang menjadi pionir masuknya bisnis perminyakan di Ambon. Keluarga besar ini juga berpendidikan. Sebagian besar di antara mereka tinggal di luar negeri. Selebihnya masih di Ambon.

Ayah Sarah tak kalah menariknya. Leluhurnya orang sangat terkenal di Buitenzborg atau Bogor di masa silam. Namanya terukir abadi dalam sejarah pembangunan Kebun Raya Bogor. Namanya setenar Rafless. Bedanya, ia orang Belanda. Ayah Sarah dan empat generasi sebelumnya lahir dan besar di Tanah Jawa. Mereka orang baik yang terpaksa meninggalkan Indonesia karena tanah air ini memproklamirkan kemerdekaannya dan mengusir semua orang Belanda pulang ke kampungnya tanpa bisa lagi membedakan apa pun.

Walau demikian, Sarah dan kedua orangtuanya tetap merasa menjadi orang Indonesia, bagaimanapun lusuh tidaknya wajah negeri ini. Perasaan semacam ini, kata Usi Endah dan beberapa warga Amerika keturunan Ambon di Los Angeles, wajib dipelihara. Caranya kadang sederhana: berkisah tentang Ambon dan masyarakatnya pada anak dan cucu masing-masing.

Salah satu kisah yang malam itu ramai mereka bincangkan adalah pertemuan dengan beberapa putra Ambon yang membela tim nasional sepak bola Belanda. Yang berkesan ketika mereka membicarakan bagaimana Kapten Timnas Belanda, Giovanni Van Bronckhorst bersama teman-temannya sesama keturunan Ambon pulang dan bertanding melawan kesebelasan lokal. Giovanni yang kedua orangtuanya berasal dari Ambon dan kawan-kawan mengalahkan Persatuan Sepak Bola Ambon (PSA) dengan skor 13-0.

Giovanni dan kawan-kawan memang punya akar sangat dalam dengan Ambon dan masyarakatnya. Menjelang final Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan melawan Spanyol misalnya, secara berantai beredar pesan pendek ke telepon genggam warga Ambon. Isinya: Tahuri babunyi di Murkele/Bringin tua berbunga bangga/Nusa ina Pulau Ibu meneteskan airmata/Ketika lima dan satu anak cucu alune dan wemale berlaga di Afrika Selatan membela Belanda/Gandong Ee…Jangan pisah tanpa garam/Mari dukung lima saudara laki-laki di Timnas Belanda/Karena Maluku cuma satu darah…

Yang dimaksud anak cucu Alune dan Wemale dalam pesan pendek itu adalah: Giovanni Van Bronckhorst, Gregory Van Der Wiel, Jhony Heitinga, Zemy de Zeuw, dan Nigel de Jong. Karena kedekatan emosional dan psikologis dengan para pemain Belanda ini, jadi jelas mengapa Ambon gaduh ketika tim yang mereka dukung itu kalah dari Spanyol.

Apalagi dulu Giovanni dan kawan-kawan rutin datang ke Ambon dengan biaya pribadi. Mereka juga membiayai promosi hingga penyelenggaraan pertandingan. Di sela pertandingan dan saat berada di rumah leluhurnya di Ambon, Giovani berbagi kisah tentang pengalamannya bermain sepak bola di daratan Eropa dalam bahasa Ambon yang sangat fasih. Sefasih saat Sarah mengucapkan kata ‘Selamat Malam’…

Surat dari Amerika –Bagian Pertama


Senyum di Korea
Cemberut di Amerika

Oleh : Budi Kurniawan (Wartawan, bekerja di Banjarmasin, tinggal di Jakarta. E-mail: budibanjar@yahoo.com)

“Diperlukan karyawan. Berpenampilan dan berwajah menarik. Tinggi badan minimal 160-170 Cm. Usia 20-25 tahun. Single. Punya kendaraan sendiri. Mudah menyesuaikan diri. Mampu bekerja dalam tim. Langsung interview. Yang diterima langsung mendapatkan penghasilan cukup besar. Bersedia ditempatkan di mana pun. Hanya yang memenuhi syarat yang bisa bergabung.” Iklan lowongan pekerjaan semacam ini di Indonesia jamak ditemukan di berbagai media cetak. Orang-orang yang berminat pada lowongan pekerjaan ini tentu harus berpikir panjang, apakah mereka memenuhi syarat-syarat itu. Karena jika tidak sesuai dengan persyaratan, impian untuk mendapatkan pekerjaan itu wajib dikubur dalam-dalam.

Sadar tidak sadar, persyaratan yang ditentukan empunya usaha ini selain memberi batasan yang sangat jelas tentang orang macam apa yang ia inginkan, juga telah menutup peluang bagi beberapa kalangan. Karena tentu saja tak semua orang berwajah dan berpenampilan menarik. Tak semua orang punya tinggi badan ideal, terutama dalam pandangan umum Indonesia: mereka yang bertungkai panjang, berbadan sintal dan dada berisi, berkulit putih, dan berhidung mancung lah yang menarik dan membuat pandangan mata diam abadi.

Karena persyaratan semacam ini pula –dan khalayak memang menginginkannya—di Indonesia hanya mereka yang menarik lah yang bisa ditemukan dalam sektor-sektor usaha, terutama pelayanan publik dan jasa, yang bisa mendapat pekerjaan. Jadinya, dari pramusaji, pegawai hotel, sales asuransi dan farmasi, hingga pramugari, tentulah mereka yang dinilai menarik, sehingga akan berdampak pada kemenangan persaingan usaha.

Namun, tak hanya orang Indonesia yang berpikiran demikian. Jika kita punya kesempatan bepergian ke luar negeri, maka di maskapai-maskapai penerbangan asing, terutama Asia, pramugari yang bekerja rata-rata mereka yang sesuai dan mewakili stigma serta imajinasi kemenarikan fisik itu. Di maskapai penerbangan seperti Korean Airlines misalnya, para pramugarinya selalu berusia muda, bertungkai panjang, langsing, berbibir tipis, berhidung mancung, dan bertubuh padat berisi. Para pramugari ini kian menarik dan membuat mata malas berkedip ketika senyum tak pernah berhenti mereka mekarkan dari bibir tipis nan ranum itu.

Sepanjang perjalanan Jakarta-Incheon, Korea Selatan, para pramugari ini dengan sangat ramah melayani para penumpang. Bahasa Inggris khas Asia yang mereka kemukakan kadang membuat orang tak paham apa yang dibicarakan. Tapi apalah arti semua itu, ketika keindahan yang dibingkai stigma kemenarikan khas Indonesia –atau Asia—itu ada di depan mata?

Semua itu berlanjut ketika perjalanan dari Incheon berganti maskapai penerbangan. Perusahaan penerbangan Jepang biasanya “menyajikan” pemandangan relatif sama dengan yang diberikan Korean Airlines. Para pramugari Jepang juga berwajah menarik dan ramah. Apa pun yang diminta para penumpang segera mereka penuhi. Komunikasi dengan bahasa Inggris yang kadang pelo itu juga tak banyak mengganggu.

Namun hal berbeda terjadi ketika perjalanan Narita-Washington DC berlangsung menggunakan pesawat milik maskapai penerbangan United Airlines. Di perusahaan milik Amerika ini, jarang –atau sama sekali tidak ada-- pramugari yang sesuai dengan stigma kemenarikan khas Indonesia dan Asia. Mereka rata-rata berusia relatif tua dengan senyum ramah yang langka. Para pramugari ini berkomunikasi strike (langsung), tanpa basa-basi, dan bicara seadanya.

Jika kita mencoba meminta sesuatu yang mereka anggap mengada-ada, maka pra pramugari ini tak sungkan-sungkan untuk berbicara tegas dan menolak permintaan itu. Seorang teman asal Maluku yang di kampungnya menjabat sebagai dosen bagi program S1 dan S2 di berbagai perguruan tinggi, baik Islam maupun Kristen misalnya, merasakan langsung semprotan ketegasan khas pramugari di maskapai penerbangan Amerika. Sang teman meminta makanan yang hanya bisa dimakan orang Islam.

“Kami tidak menyediakan khusus makanan yang Anda minta. Jika Anda masih berkeras memintanya, lebih baik Anda menggunakan penerbangan yang lain. Di sini makanan yang adanya hanya ini. Anda bisa memilihnya sesuai keinginan Anda. Jika makanan yang Anda minta tidak ada, kami tak mungkin membuatnya ada,” kata sang pramugari itu. Tak ada yang bisa dilakukan sang teman selain tersenyum kecut sambil terkaget-kaget dengan perkataan pramugari penerbangan Amerika itu. “Sudah tua, sangar lagi,” bisik sang teman itu.

Teman dari Maluku ini terheran-heran, mengapa penerbangan dengan menggunakan pesawat bagus dan canggih itu justru mempekerjakan pramugari berwajah dan berbodi tak menarik. Sang teman rupanya lupa, di Amerika semua orang punya hak terhadap pekerjaan apa pun sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki. Persyaratan-persyaratan seperti wajah dan tubuh menarik, bertinggi badan tertentu, dan sejenisnya, merupakan bentuk diskriminasi. Karena itu, di Amerika tak akan pernah ditemukan ada iklan lowongan pekerjaan seperti yang jamak di koran-koran di Indonesia.