Monday, May 28, 2007

Dari Gairah Kebangsaan Hingga Nyanyi Sunyi

Jawa Pos - Minggu, 20 Mei 2007,

Gairah Kebangsaan dalam Menu Masakan

Judul Buku : Melawan dengan Restoran
Penulis : Sobron Aidit & Budi Kurniawan
Penerbit : Mediakita, Jakarta
Cetakan : I, 2007
Tebal : 154 halaman

Mengenang sosok Sobron Aidit seamsal menengadah pandang pada sebuah layang-layang yang sedang tegak tinggi tali. Jauh, tapi terasa begitu dekat. Tinggi, tapi terasa terbang rendah. Adik mantan ketua Centra Commite Partai Komunis Indonesia (PKI), D.N. Aidit itu adalah salah seorang dari sekian banyak "orang-orang terbuang" pasca tragedi 30 September 1965. Sejak 1964, Sobron Aidit bekerja sebagai pengajar Sastra dan Bahasa Indonesia di Institut Bahasa Asing Beijing. Selain itu ia juga menjadi wartawan di Peking Review.

Tak berselang lama setelah Sobron berdomisili di Beijing, tersiar kabar perihal tewasnya Bang Amat (begitu Sobron memanggil kakaknya, D.N. Aidit) setelah dibunuh tentara di Boyolali, Jawa Tengah. Karena sedang berada di Beijing, Sobron dan keluarga serta ratusan orang Indonesia lainnya, selamat dari pembantaian rezim Orba. Mereka terpaksa bermukim di Tiongkok sambil terus berharap bisa pulang ke tanah air. Namun, harapan itu serupa pungguk merindukan bulan, pemerintahan Orde Baru terus-menerus memupuk dendam kusumat pada kaum kiri. Akhirnya, Sobron Aidit harus "menggelandang" di negeri orang. Delapan belas tahun di Tiongkok, 21 tahun di Paris.

Meskipun jauh, hampir setiap hari tulisan-tulisan Sobron (puisi, cerpen, kolom, esai, dan catatan-catatan perjalanan) dapat dijumpai di berbagai mailing list (grup diskusi di internet). Ia berdiskusi, berpolemik bahkan tidak jarang berdebat sengit dengan kawan-kawan penulis muda tanah air. Sobron memang pecandu diskusi, meski usianya sudah renta. Ia tak pernah abai pada kritik dan tanggapan kawan-kawan sesama anggota mailing list terhadap tulisan-tulisannya. Selalu dibalas, dan balasan itu jauh lebih panjang dari esainya yang tengah jadi pusat perhatian. Dalam sehari, tak kurang dari tiga sampai empat tulisan ia kirimkan ke sejumlah mailing list. Rata-rata panjang tulisan itu lebih dari delapan halaman dengan format 1,5 spasi. Sebuah gambaran tentang energi kreatif yang tiada pernah sumbing meski usia Sobron sudah berkepala tujuh.

Dapat dibayangkan betapa sabar dan tekunnya ia duduk berlama-lama di depan komputer. Beberapa hari sebelum Sobron Aidit meninggal dunia pada 10 Februari 2007, seperti diceritakan salah seorang anaknya, dia terpeleset dan jatuh di sebuah stasiun bawah tanah di Paris saat mencari layanan internet. Lagi-lagi untuk urusan berkomunikasi dengan kawan-kawan mudanya di dunia maya, di Indonesia. Sobron sepertinya "tidak di sana", sebab ia sungguh "dekat di sini", di negerinya sendiri, di Indonesia yang selalu disinggahinya, meski hanya lewat internet.

Buku Melawan dengan Restoran yang ditulis Sobron bersama Budi Kurniawan ini adalah salah satu buah dari stamina kepengarangan Sobron yang tiada pernah surut itu. Berbeda dengan buku-buku yang sudah terbit sebelumnya, kali ini Sobron tampil dengan bahasa tutur yang bersahaja, kalimat-kalimatnya dibumbui senda gurau khas kaum eksil. Berkisah perihal suka duka ketika Sobron Cs tertatih-tatih mendirikan restoran Indonesia di Paris. Sobron, Umar Said, J.J. Kusni, Ibbaruri (putera D.N. Aidit) dan kawan-kawan sesama eksil saling bahu-membahu, hingga akhirnya restoran Indonesia pertama pun tegak berdiri di Rue de Vaugirard, jantung kota Paris (1982).

Apa yang hendak dicari Sobron? Selain untuk bertahan hidup, restoran itu saksi bahwa kaum eksil tak sungguh-sungguh merasa terasing dari tanah air mereka, Indonesia. Di restoran itu mereka berjuang, melawan hasrat rindu ingin pulang ke tanah kelahiran. Mereka sajikan aneka masakan khas Indonesia (aasi rawon, gudeg Jogja, rendang Padang dan lain-lain) seolah-olah tidak sedang berada di negeri orang.

Banyak aral melintang menghadang Sobron setelah mendirikan restoran itu. KBRI Perancis bahkan mengeluarkan maklumat larangan berkunjung ke restoran milik orang-orang kiri itu. Tapi, banyak pula yang tidak patuh pada larangan tak masuk akal itu. Masak makan di restoran saja dilarang?

Pertentangan ideologis masa lalu telah membuat hidup Sobron Aidit selalu di bawah tekanan dan ancaman, bahkan dalam urusan restoran yang tujuannya hanya untuk menyediakan lapangan kerja bagi kaum eksil pun dihubung-kaitkan dengan persoalan ideologi. Tapi, begitulah Sobron Aidit! Bila memang lewat restoran itu ia berpeluang melawan, ia tak bakal sia-siakan peluang itu. Sobron akan terus melawan, meski hanya lewat restoran. Nasib dan peruntungan kaum eksil yang terkatung-katung selama berbilang tahun di negeri orang harus diperjuangkan. Lewat menu makanan, Sobron mengibarkan semangat keindonesiaan di restoran yang kemudian menjadi tempat berkumpul yang mengasikkan bagi para pejabat tanah air bila berkunjung ke Prancis. Tak kurang-kurang, mantan presiden Gus Dur berkali-kali singgah di sana.

Kini, Sobron Aidit sudah tiada. Tapi, restoran Indonesia yang berdiri kokoh di jantung kota Paris tetap saja menjadi "posko perlawanan" orang-orang buangan. Begitu pula dengan buku setebal 154 halaman yang (amat disayangkan) penggarapan sampul dan perwajahan isinya tidak maksimal dan buru-buru ini, hendak menikamkan jejak tekstual perlawanan Sobron Aidit lewat restoran, lewat menu rendang Padang yang sudah dimodifikasi sesuai selera orang Paris, lewat obrolan-obrolan nostalgik tentang tanah tumpah darah yang selalu dirindukannya. Terlepas dari anutan ideologi di masa silam, bagaimana pun, Sobron telah menyalakan gairah kebangsaan yang tiada kunjung padam. Maka, Sobron Aidit perlu dicatat, dibukukan, dibaca, dihargai… (*)

DAMHURI MUHAMMAD
Cerpenis, bermukim di Jakarta


Tak Ada Nanyi Sunyi di Sini
(Dimuat Harian Pikiran Rakyat, Sabtu 26 Mei 2007)

Penghayatan adalah simpul terpenting keberhasilan sebuah karya. Catatan harian Anne Frank dianggap sebagai prosa terbesar yang dihasilkan Perang Dunia II berkat penghayatan yang dalam dari gadis cilik tersebut, yang sedang bersembunyi dari pengejaran fasis Nazi Jerman.

Dengan bahasa yang sederhana, gadis itu merekam kecemasan, juga harapan, selama bersembunyi di sebuah gudang di Amsterdam, sampai akhirnya pasukan Nazi memergokinya. Prosa dalam bentuk catatan-catatan harian yang ditulis Anne Frank itu menjadi personifikasi dari mereka yang menderita di bawah telapak kaki kaum fasis pada masa itu.

Demikian juga dengan Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, catatan-catatan Pramoedya Ananta Toer selama dalam pembuangan di Buru, telah menjadi wakil terbaik dari perasaan mereka yang menjadi korban. Catatan Pram itu merupakan karya paling menonjol dari seluruh prosa yang pernah ditulis sehubungan dengan kekejaman politik tiada tara di tahun 1965.

Catatan Anne Frank dan Pram mencapai puncak keberhasilan berkat kedalaman penghayatan mereka atas peristiwa yang menimpa nasib manusia. Catatan-catatan tersebut memang bersifat pribadi, namun mencerminkan apa yang sedang dialami oleh banyak orang dalam satu kurun waktu.

Kedalaman penghayatan, kesungguhan jiwa, itulah kuncinya. Yang melawan arus besar ini hanya akan menemukan nasib terkucilkan. Itulah yang dialami Idrus melalui ceritanya Surabaya yang telah memilih sinisme dalam melukiskan perjuangan rakyat tahun 1945 untuk mengusir penjajahan. Walau begitu, harus diakui bahwa dengan pendekatannya itu Idrus masih menunjukkan keunggulan dalam mempertahankan kekuatan literernya.

Timbul pertanyaan ketika membaca Melawan dengan Restoran karya Sobron Aidit (dengan editor Budi Kurniawan). Apakah sebuah bencana kemanusiaan dengan korban ratusan ribu mati terbunuh dan ratusan ribu lagi dipenjarakan dan dizalimi sebagai akibat dari pertikaian politik tahun 1965, bisa ditulis dengan enteng, tanpa membangkitkan kecemasan bahwa telah terjadi pelupaan terhadap penderitaan korban dan kebengisan pengguasa?

Sesungguhnya yang dialami Sobron fenomenal. Kesengsaraan yang tiada bertepi. Empat puluh tahun terasing dari negerinya sendiri, karena tak bisa pulang dari Beijing di mana dia mengajar bahasa Indonesia, tersebab sebuah rezim militer yang antikomunis sedang marak menyusun pemerintahan di Jakarta, setelah gagalnya Gerakan 30 September tahun 1965. Belasan tahun dia terbuang di Tiongkok dan ikut tergilas Revolusi Kebudayaan yang dilancarkan Mao Tse Tung. Istri tersayangnya meninggal di sana. Kemudian dia melepaskan diri, lari dari negara itu, dan terdampar di Prancis.

Di jantung demokrasi Barat ini, hidupnya memang lebih baik. Dapat bantuan dari pemerintah. Akan tetapi, demi harga diri, tak rela disebut sebagai benalu, Sobron dan beberapa teman senasib mendirikan “Restaurant Indonesia” di wilayah yang cukup strategis untuk bisnis makanan-minuman di Paris. Di dalam buku ini dikisahkan tentang pahit getir ketika membangun restoran tersebut. Yang kalau bukan karena semangat orang yang terbuang, kemungkinan takkan berhasil. Sukacita ketika restoran itu mulai bernapas juga terlukis. Tergambar pula bagaimana restoran itu menjadi pusat pertemuan atau persembunyian, bagi mereka yang berada di luar Indonesia, yang ingin melihat runtuhnya rezim Soeharto. Banyak orang Indonesia yang bebas merdeka singgah di situ. "Gur Dur sejak sebelum jadi presiden, kala sudah presiden, dan saat tidak lagi jadi presiden pun selalu mampir ke resto bila sedang berada di Paris," tulis Sobron.

Uang Nobel Ramos Horta

Ramos Horta pun sering ke situ. Malah dia menyisihkan sedikit dari uang Hadiah Nobel yang dia terima untuk memperkuat daya hidup restoran orang-orang terbuang tersebut. Yang tak diharapkan juga pernah muncul di situ, yaitu seorang tokoh seni rupa Lekra, yang berbalik menjadi kolaborator Orde Baru.

Dia sengaja ke situ untuk memata-matai Sobron (baca buku Sobron yang lain, Kisah Intel dan Sebuah Warung). Masih mujur di negeri jauh itu, sang pendurhaka tidak sempat meninggalkan jejak kejahatannya. Tidak sebagaimana informan Belanda yang bekerja untuk Nazi, yang menunjukkan persembunyian Anne Frank, dan selebihnya dunia pun tahu apa yang terjadi pada gadis kecil itu.…

Sobron memang fenomena. Selain D.N. Aidit, abangnya yang dibunuh militer di daerah Boyolali menjelang akhir 1965, sebagian besar dari keluarganya dibuat merana oleh satu rezim. Dua anaknya yang tak berdosa ikut terbuang bersamanya. Dan yang lebih dramatis lagi, namun sayang tak menggugah Sobron untuk menukik dan menulis sepenuh penghayatan yang berjiwa, tentang bagaimana dia menyerahkan pertahanannya yang terakhir, imannya (yang diwarisinya dari ayahnya, Haji Abdullah Aidit) sebagai seorang Islam, dengan merebahkan diri pada komunitas Kristen (hlm. 111).

Tak bisa dimungkiri, dengan buku ini Sobron memang telah memberikan sumbangan penting pada penulisan sejarah politik Indonesia. Namun, penulis resensi ini siap menerima risiko merasa dipersalahkan untuk mengatakan, sayang Melawan dengan Restoran hanya menampilkan kenyataan di permukaan. Mereka yang mencari roh berkat penjiwaan yang dalam, akan tersesat di buku ini. Buku yang tidak berhasil melepaskan citranya yang tak lebih dari sekadar armchair travelogue, di mana getaran jiwa tak menemukan lubuknya, hambar….***

MARTIN ALEIDA
Sastrawan, tinggal di Jakarta.

Thursday, May 24, 2007

Selamat Jalan Bung



Dalam sebuah perjalanan ke Pulau Belitung, Provinsi Bangka Belitung, aku bertemu dengannya. Bung Zahari Mendim namanya. Dari dia mengalir deras kisah, derita, juga nestapa. Dia batal dilantik menjadi Camat di salah satu daerah di Belitung. Karena dalam sebuah obrolan di warung kopi Bung Zahari menyatakan kekagumannya pada anak Belitung bernama DN Aidit yang bisa menjadi orang besar di Jakarta dan punya pengaruh politik luas dan kuat.

Keesokan harinya setelah obrolan itu, Bung Zahari batal dilantik jadi Camat. Dia tidak menduga di warung kopi itu ada seorang intel negara yang membawa cerita soal kekaguman yang sebenarnya sangat sederhana itu ke atasannya. Laporan itu pun berkembang luas dan berakhir dengan pemenjaraan Bung Zahari dalam waktu yang cukup panjang. Semua proses hingga pemenjaraan tidak berdasarkan prosedur yang adil, terbuka, dan transparan.

Tadi malam, sebuah kabar disampaikan seseorang kepadaku: Bung Zahari Mendim berpulang. Aku menduga Bung Zahari membawa semua cerita dukanya –mudah-mudahan juga cerita riang—ke alam sana. Selamat jalan Bung.

Monday, May 21, 2007

Terbanglah...



Terbanglah tinggi
Lelah rebahlah
Terbanglah jauh
Robohkan keluh

Dalam doa sederhana
Menjadi sesuatu
Di sela gerimis yang beranjak dewasa
Kuteriakkan namamu
Kupanggil terangmu di jalanku

Kini tak lagi hanya tentang cinta
Kini tentang tinggi yang merendah
Tentang berdehem di sela tawa
Tentang jiwa yang merendah di sela pongah
yang kau tahtakan di atas kepalaku

(Kaki Anak Schwaner, 2007)

Monday, May 14, 2007

Air Mata Telah Tumpah (Refleksi Sembilan Tahun Reformasi)


Oleh : Budi Kurniawan (Penulis, tinggal di Jakarta. Email: budibanjar@yahoo.com)

Pada 21 Mei 2007 ini sudah sembilan tahun Indonesia bebas dari diktator Orde Baru, Soeharto. Napas kebebasan yang dulu terasa sesak, kini hilang sudah. Orang bisa dengan mudah berekspresi tanpa ketakutan. Politik bergerak bebas. Partai politik yang di masa Orba berkuasa dibatasi, kini tak lagi. Partai-partai politik silih berganti lahir.

Keterbukaan juga terjadi dalam berbagai proses pengambilan keputusan. Presiden dan pemegang kekuasaan tak lagi gampang memutuskan sesuatu. Publik baik secara langsung maupun tidak, terlibat dalam keputusan-keputusan politik. Pengawasan publik melalui media massa juga berlangsung bebas dan dalam tensi tinggi.

Tetapi semua hal itu seperti berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di bidang ekonomi. Desain ekonomi yang mengintegrasikan Indonesia ke pasar bebas tak mampu menghasilkan banyak hal yang berdampak baik bagi rakyat kebanyakan.

Idealnya, ruang politik yang terbuka akan memberikan kesempatan bagi kelompok-kelompok yang selama ini termarjinalkan untuk mendesakkan kepentingannya. Namun, asumsi semacam itu terbukti keliru. Fakta memperlihatkan konversi ekonomi politik yang terjadi umumnya tidak berada pada posisi yang berpihak pada kelompok marjinal. Sebaliknya, kelompok yang memiliki hubungan dan berparadigma Orde Baru yang awalnya diperkirakan dipukul telak oleh reformasi, terbukti tetap memegang kendali atas jalannya kekuasaan politik.

Gelombang reformasi ternyata tidak cukup kuat menyapu bersih kelompok-kelompok eks dan neo Orde Baru. Bahkan, kelompok ini mampu bermetamorfosis dan beradaptasi dengan logika reformasi. Melalui penguasaan mereka di berbagai lembaga pers, partai politik, mendesakkan orang-orangnya terlibat dalam pemilu dan parlemen, kelompok ini jadi resisten, berpengaruh, dan diperhitungkan. Penguasaan terhadap sumber-sumber ekonomi menjadikan mereka menentukan di berbagai sisi hidup setelah reformasi bergulir.

Bentuk-bentuk perubahan kelembagaan politik setelah Soeharto tumbang, yang tampaknya memberi tanda bagi titik awal mengantarkan Indonesia ke gerbang demokrasi, ternyata bergerak ke arah lain. Hingga hari ini lembaga-lembaga demokrasi hasil reformasi tetap kebal dari kepentingan masyarakat marjinal, sekalipun telah tersedia ruang artikulasi yang relatif lebih terbuka.

Kelahiran berbagai lembaga demokrasi juga tidak serta merta diiringi dengan munculnya praktik politik yang lebih beradab. Politik uang disegala lini bermunculan. Uang menjelma menjadi “Tuhan” baru yang disembah dan dipuja. Uang bisa mewujudkan apa pun, termasuk memutar balikkan fakta. Kebenaran menjadi bias, tergantung di pihak mana uang berada.

Eksploitasi simbol-simbol identitas melalui jalur etnis dan agama, kekerasan dan premanisme, nasionalisme dan etnosentrisme picik, menjadi makanan hari-hari. Bau busuk korupsi menyebar rata di seluruh negeri. Dan koruptor tak punya rasa takut sedikitpun. Karena “sapu” anti korupsi nya pun tak jauh kotor dengan mereka yang akan disapu. Kredo ketika orang terbiasa berada di tempat sampah, orang tak lagi merasa terganggu dengan bau busuk sampah, karena yang bersangkutan sudah menjadi sampah itu sendiri, menunjukkan kebenarannya.
***
Di ranah hukum, reformasi bergerak satire. Amandemen UUD 1945 yang terjadi empat kali telah mengubah sendi-sendi hukum Indonesia. Pembentukan Mahkamah Konstitusi memang telah memberikan ruang bagi warga negara menguji peraturan yang merugikan hak konstitusional mereka. Legislasi juga menghasilkan ratusan undang-undang baru. Pembentukan Komisi Yudisial juga memberikan ruang bagi pengawasan hakim. Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai hasil reformasi juga berhasil menangkap para koruptor. Ratifikasi berbagai perjanjian internasional juga telah menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara yang paling banyak meratifikasi instrumen hak asasi manusia.

Namun, pada sisi lain, pemberantasan korupsi antiklimaks. Para koruptor yang ditangkap dan dijebloskanya ke penjara adalah mereka-mereka yang sudah tak memiliki base politik dan ekonomi. Jika para koruptornya berasal dari kalangan yang tidak didukung dan terlibat dalam partai politik yang kuat dan berpengaruh, niscaya mereka akan ditangkap dan dijebloskan ke bui. Begitu juga dengan mereka yang tidak memiliki basis ekonomi.

Atau mereka yang ditangkap adalah orang-orang yang mengganggu partai politik tertentu untuk menguasai basis ekonomi yang akan digunakan untuk keperluan perhelatan politik seperti pemilu 2009. Dalam kasus reshuffle kabinet yang dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beberapa waktu lalu menunjukkan hal ini dengan tegas.

Penegakan hukum dalam praktiknya hanya untuk kepentingan elite politik dan golongan tertentu. Repotnya, kondisi demikian diperparah dengan intervensi kekuasaan dan politik ke wilayah hukum.
***
Di alam reformasi, sektor keamanan terlihat bergerak. Pemisahan Polri dari TNI membuat mereka menjadi penegak hukum yang relatif independen. Penghapusan Dwifungsi ABRI telah membuat tentara “netral” dalam politik dan tak lagi memiliki kursi gratisan di parlemen. Militer pun kini pelan-pelan meninggalkan dunia bisnis. Sipil pun terlihat sudah bisa “bersaing” dengan militer.

Namun semua itu hanya berlangsung di permukaan. Tentara tetap saja menjadi “the untouchables”. Tak banyak kasus yang melibatkan tentara selesai dengan objektif, transparan, dan adil. Kasus pelanggaran HAM di Timor Leste, Kerusuhan Mei 1998, Trisakti, Semanggi I dan II, pembunuhan aktivis HAM Munir, Peristiwa Tanjung Priok 1984, Talangsari 1989 misalnya, hingga kini masih gelap gulita.

Pada tataran diskursus tentara memang telah memberikan respon positif terhadap kritik dan tuntutan reformasi yang mengarah lebih keras kepadanya, ketimbang pada institusi lain. Misalnya, dengan menyatakan mengubah paradigma, peran, fungsi, dan tugas mereka. Namun secara substansial, sebenarnya tidak ada yang berubah.

Kini sudah sembilan tahun reformasi menyapa kita. Tapi tak jua kita menjawabnya dengan kerja yang jelas dan tegas. Semua seolah lupa dengan apa yang terjadi pada Peristiwa Mei 1998. Padahal dari darah para mahasiswa dan air mata yang tumpah itulah kita kini berada dalam alam yang berbeda. Alam yang membuat kita bisa bernafas lebih lega ketimbang sebelumnya. Orang kini tergoda untuk membandingkan ketika Orba berkuasa dengan menyanjung prestasi ekonomi penuh dusta. Orang lupa prestasi Orba itu diraih di atas derita, darah, dan air mata rakyatnya. Orang lupa prestasi ekonomi Orba dilakukan dengan perselingkuhan, tipa-tipu disana-sini. Dan ketika krisis ekonomi tiba, semua dusta ekonomi dan prestasi itu roboh bak rumah kartu. Yang menderita akibat itu bukan sekadar Orba dan antek-anteknya. Juga rakyat jelata yang tak berdosa dan tahu menahu itu.

Parahnya kita seolah bertekuk lutut di hadapan lupa. Bagaimana melawan penindasan lainnya, jika kepada lupa saja kita tak kuasa melawannya?

Thursday, May 10, 2007

Matahari Bertahta di Atas Ubun-Ubun Sang Guru


Oleh : Budi Kurniawan (Penulis, tinggal di Jakarta. E-mail: budibanjar@yahoo.com)


Setiap Mei tiba, selalu saja orang bicara tentang guru. Tuntutan dan kritik –bahkan hujatan—dihunjamkan ke dada para guru. Guru yang punya nilai strategis dan filosofis dalam tatanan sosial dituntut sempurna. Memberi teladan, mengajarkan segala kebaikan, seolah hanya menjadi tugas guru. Sementara “pendidikan” yang sesungguhnya punya pengaruh besar pada hidup justru bukan datang dari guru dan di sekolah-sekolah. Pelajaran berharga justru ada di luar ruang sekolah dan pagar rumah.

Ketika guru mengajarkan tentang akhlak mulia di sekolah pada murid-muridnya, di luar justru kebusukan merajalela. Dan kebusukan justru punya metode dan jaringan yang sangat efektif bergerak ketimbang ajaran-ajaran kebaikan dari sang guru. Ketika guru mengajarkan tentang cinta tanah air, di luar pagar sekolah elit dan para tokoh justru berbuat sebaliknya. Mereka saling hantam tanpa etika.

Contoh-contoh buruk kadang lebih efektif mempengaruhi prilaku dan pikiran banyak orang. Betapa tidak, ketika misalnya kita bicara tentang “jangan mengambil hak orang lain”, yang terjadi di sekitar justru korupsi meraja. Parahnya pelakunya kadang orang-orang “beragama”. Aneh juga rasanya melihat para koruptor yang sedang disidik aparat hukum, justru mengumbar berita bahwa ia akan menjalankan umrah ke tanah suci. Bahkan ada koruptor yang ditangkap sesuai pulang dari tanah suci.

Gempuran contoh dan prilaku buruk terus saja menghantam tiada henti. Di hari-hari ini tak pernah berhenti contoh buruk itu berlangsung. Dan guru yang mengajarkan teladan baik itu seperti berteriak di padang gurun, tak terdengar dan panas tetap saja menyengat.

Beban psikologis dan pertempuran tiada henti yang melibatkan guru ini kian berat jika melihat prilaku otoritas pendidikan. Otoritas pendidikan hanya bisa mengubah-ubah paradigma pada peran guru, mengutak-atik kurikulum, dan menuntut kesempurnaan guru dengan memasang segala macam prasyarat.

Tengok saja perubahan kurikulum yang berlangsung berulang-ulang di negeri ini. Perubahan kurikulum berlangsung sampai empat kali, yaitu pada tahun 1968, 1975, 1984, dan 2004. pada kurikulum 2004 pun kontroversi muncul. Silang pendapat antara apakah kurikulum diserahkan sepenuhnya pada sekolah masing-masing untuk menyusun dan menerapkannya, dan kurikulum yang terpusat pada kebijakan pemerintah.

Ini ditambah lagi dengan ketidakpercayaan para pengelola sekolah yang lebih memilih menyusun sendiri kurikulumnya dengan berkiblat pada kurikulum dan metode belajar mengajar di luar negeri. Di sekolah-sekolah internasional di Jakarta hal ini terjadi. Sekolah asing menerapkan kurikulum sendiri dan meminta biaya besar bagi anak-anak yang belajar di sekolah itu. Orangtua yang kebetulan kaya dan cerdas tentu memilih sekolah semacam ini.

Mereka yakin anaknya bisa belajar dan dibekali kemampuan lebih untuk bersaing di berbagai bursa kerja di kemudian hari. Sebuah keyakinan yang tidak bisa disalahkan juga. Ketidakpercayaan pada pemerintah dan lembaga pendidikan lokal bisa jadi adalah pendorong utama keyakinan itu. Tapi bagaimana dengan rakyat kebanyakan. Jika logikanya adalah pendidikan bermutu hanya bisa dinikmati orang kaya, bisa jadi kredo satir “orang miskin dilarang sekolah” ada benarnya.

Selain kurikulum yang berubah-ubah dan menunjukkan ketidak konsistenan dan ketidak percayaan diri otoritas pendidikan dalam menyusun kebijakan, tuntutan berlebihan pada para guru juga adalah ironi yang lain.

Ketika bekerja di sebuah majalah pendidikan di Jakarta, saya mendapat data bahwa hingga kini jumlah guru SD di Indonesia adalah 1.256.246 orang, SMP 490.307 orang, dan SMA 283.034 orang. Dari sekian banyak guru itu, tidak semuanya dianggap layak mengajar. Kelayakan ini berdasarkan latarbelakang pendidikan masing-masing guru. Artinya ada guru yang mengajarkan pelajaran yang tidak sesuai dengan displin ilmu yang ia pelajari dan gelar sarjana yang ia miliki.

Berdasarkan indikator itu sebanyak 46,1% (guru SD), 53,9% (SMP), dan 66,2% (SMA) dianggap layak mengajar dengan kwalifikasi akademik lulusan S1 dan D IV. Kelayakan kompetensi ini mencakup pedagogik, kepribadian, professional, dan kompetensi sosial. Sementara yang tidak layak karena kualifikasi akademik tidak terpenuhi dan guru tersebut lulusan di bawah S1 atau D IV.

Alternatif yang diterapkan bagi para guru yang dianggap tidak layak adalah disekolahkan dengan perhitungan kredit terhadap kemampuan dan pengalaman kerja yang telah didapat, dan uji kompetensi. Uji ini dirancang Departemen Pendidikan Nasional sekaligus untuk memetakan kemampuan dan kelemahan masing-masing guru.

Belum lagi soal gaji guru yang jauh dari layak. Guru umumnya digaji sesuai dengan jenjanng kepangkatan masing-masing oleh pemerintah, tanpa melihat beban kerja dan kebutuhan hidup yang harus mereka penuhi. Jika melihat beban kerja dan tugasnya, guru harusnya digaji lebih dari para pegawai pemerintah lainnya.

Coba tengok bagaimana Amerika menghargai para guru mereka. Di Amerika gaji guru terendah pada tahun 2002-2003 adalah US$2,414, dan gaji tertinggi US$55,683. Para guru di Amerika selain mendapatkan gaji juga mendapatkan asuransi, kesehatan, pensiun, dan liburan. Sementara di Inggris skala gaji guru 34,983 poundsterling minimum, dan maksimum 53,115 pounsterling. Skala gaji kepala sekolah di Inggris 39,525 poundsterling minimum dan maksimum 104,628. Di Inggris gaji tergantung dengan posisi guru, pengalaman, lokasi mengajar, dan juga kebijakan sekolah tempat ia mengajar.

Guru di Inggris dan Amerika bisa jadi bukan perbandingan yang sepadan dengan di Indonesia. Tapi paling tidak dengan melihat perlakuan, perhatian, dan pemenuhan kebutuhan guru oleh mereka, terlihat jelas guru memang menjadi faktor penting bangsa. Tak seperti di sini, matahari nan terik sudah bertahta di atas kepala para guru, sementara otoritas pendidikan tetap tak tahu diri, menuntut guru dengan segala macam kebijakan. Jangan pernah membayangkan guru di pedalaman mampu menenteng laptop dan hidup riang di era internet, jika kebutuhan fisiologis dan deraan kebejatan masih meraja di sekitar kita.

Monday, May 7, 2007

Jangan Bicara Tentang Pendidikan dan Ide Besar Itu



Sudahlah. Jangan bicara soal pendidikan dan mereka yang berpunya yang meraih penghargaan atas nama bangsa. Inilah sebagian kondisi sekolah-sekolah kita, tempat generasi penerus dan pemilik sah negeri ini menyulam cita-cita. Tapi semuanya robek sudah. Cita-cita masih saja membubung tinggi, dan para petinggi berbicara berbusa-busa dengan bahasa yang tak mudah dipahami. Tak banyak sebenarnya yang diminta. Kembalilah menjadi pelayan bagi anak negeri yang menyulam cita-citanya di sekolah tua yang kini entah berbentuk apa.

Lumpur Lapindo 5 Bulan Lalu


Ini adalah kondisi di sekitar pusat semburan lumpur panas Lapindo --beberapa media yang konon punya hubungan "dekat" dengan PT Lapindo Brantas Inc lebih memilih menyebutnya sebagai "Lumpur Panas" atau "Lumpur Sidoarjo". Sebutan ini punya makna sangat politis. Dengan tidak mencantumkan nama Lapindo sebagai awal dari malapetaka lingkungan dan kemanusiaan ini untuk menyebut "identitas" lumpur, sesungguhnya telah terjadi eufimisme, apologi, dan pemihakan pada pemilik modal dan menyingkirkan rakyat jelata yang tak tahu salah apa, lalu tertimpa bencana yang tak jelas kapan berakhirnya.

Sunday, May 6, 2007

Ken Arok, Pilkada, dan Narkoba (Tulisan ini dimuat di Harian Banjarmasin Post pada Senin, 7 Mei 2007)



Oleh: Budi Kurniawan

Ketika nurani dan logika hilang, ungkapan Freidrich Nietzhe bahwa ‘Tuhan’ telah mati, bisa jadi benar secara faktual. Tapi kebenaran filosofis juga Tuhan, tak bisa mati. Begitu juga dengan nurani. Dibungkus dengan apa pun --juga oleh sesuatu yang tampak luar benar, namun di dalamnya busuk tiada tara-- nurani tak bisa dibohongi.

Dalam konteks sederhana, pemegang kekuasaan yang cenderung korup selalu melakukan apa pun untuk melegitimasi diri dan perannya. Pengalaman di negeri ini menunjukkan bukti yang tak perlu rumit dibuktikan dengan segala macam teori untuk menunjukkan kecenderungan dan prilaku buruk ini.

Tengok ke belakang, bagaimama Ken Arok, preman yang kemudian menjadi raja setelah dengan tipu dayanya membunuh Tunggal Ametung lalu merebut Ken Dedes, memerintahkan cerdik pandai kerajaan menulis ‘dongeng’ tentang kedigjayaan dirinya yang sepenuhnya bohong belaka. Tengok pula sejarah versi pemenang dalam setiap konflik. Pemenang yang kemudian berkuasa menggunakan sejarawan menulis kisah baik tentang dirinya dengan imbalan kekuasaan dan jabatan. Dalam hal ini kebenaran dan nurani menjadi nomor kesekian dalam diri orang bayaran dan sewaan ini.

Di era kekinian, pemegang kekuasaan melansir data dan statistik tentang ‘keberhasilannya’. Mereka melansir pembangunan dengan memaparkan peningkatan SDM, kontribusi PDRB, pendapatan perkapita, IPM, kesehatan, pendidikan, daya beli, jumlah rumah tangga miskin, penghargaan yang diterima pemerintah kabupaten dan investasi. Klaim yang sesungguhnya sangat terbuka untuk diberi ‘catatan kaki’.

Sayangnya, catatan kaki itu dianggap sebagai kritik yang diberikan tanpa data dan penuh prasangka. Cara menanggapi kritik yang berbelok-belok dan ujungnya menyimpulkan bahwa kritik terhadap pemegang kekuasaan diberikan tanpa data dan prasangka, tanpa melihat dengan jernih subtansi yang membuat kritik itu disampaikan, justru memperbanyak ‘catatan kaki’ baru. Bukankah ketika rupa buruk, bukan cerminnya yang kemudian dibelah.

Fenomena ini sesungguhnya memberi pesan, jangan mengklaim semua pertumbuhan dan keberhasilan yang sangat kecil itu sebagai sebuah prestasi luar biasa. Bisa jadi semua itu terjadi karena tindakan kawula. Lalu apa yang dilakukan pemegang kekuasaan selain menjalankan pemerintahan apa adanya. Menjadi birokrat yang lebih banyak bagaimana prosedur menjalankan pemerintahan dilakukan, ketimbang berimprovisasi untuk menyejahterakan rakyatnya.

Khawatir dan kampanye

Fenomena menjelang pilkada di daerah mana pun selalu menunjukkan kekhawatiran pada pemegang kekuasaan. Kekuasaan yang tergenggam memang bak ekstasi. Memberi kenikmatan yang mencandukan. Kekuasaan menjadi sangat susah untuk dilepaskan. Walau kenyataan misalnya membuktikan, kegagalan terutama secara moral jelas-jelas terpampang di hadapan mata.

Rakyat yang cerdas tidak akan melihat calon pemimpinnya dalam kacamata sempit, seperti melihat sukunya apa, atau partainya apa. Kadar moral dan prilaku sang pemimpin dan calon pemimpin pasti menjadi bagian yang paling dipertimbangkan rakyat ketika akan memilih pemimpinnya. Sangat tidak masuk akal jika rakyat memilih seorang pemimpin, yang misalnya terlibat narkoba atau mengorupsi APBD yang notabene berasal dari keringat rakyatnya sendiri.

Selain tak perlu khawatir, pemegang kekuasaan yang bersih sesungguhnya tidak perlu berkampanye. Jika ia baik-baik saja memimpin selama lima tahun masa jabatannya, maka waktu lima tahun itulah masa kampanye yang paling efektif dan objektif bagi dirinya. Rakyat bisa menilai apa saja yang sudah dilakukan pemegang kekuasaan selama lima tahun memimpin. Jika baik-baik saja, lepas dari pelanggaran moral dan kebenaran, niscaya rakyat akan memilihnya kembali. Karena, rakyat pasti menginginkan sang pemimpin melanjutkan masa jabatannya agar meneruskan semua pekerjaannya yang telah menyejahterakan rakyat.

Sebaliknya jika dalam masa lima tahun itu sang pemimpin tidak berbuat banyak, niscaya rakyat akan berpikir ulang untuk memilih dirinya. Siapa yang mau mempertaruhkan dan menyerahkan masa depannya selama lima tahun ke depan kepada pemimpin yang tak banyak bekerja untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.

Tesis ini sudah dibuktikan dengan sangat jelas pada fenomena terpilihnya kembali Fadel Muhammad sebagai gubernur Gorontalo untuk kedua kalinya dengan perolehan suara sangat fantastis: di atas 80%. Fadel tak banyak berkampanye. Ia juga tak khawatir. Tapi semua langkah yang dilakukannya selama lima tahun bagi rakyatnya, membuat rakyat mempercayakan lagi dirinya jadi gubernur.

Ketika kewenangan dan kekuasaan banyak dialihkan pada daerah, rakyat sesungguhnya memerlukan pemimpin yang punya jaringan luas ke luar. Jaringan luas yang dimiliki sang pemimpin bisa ia gunakan untuk menyejahterakan rakyatnya. Pemimpin jago kandang saat ini sudah bukan eranya. Pemimpin yang bak katak dalam tempurung juga sudah ketinggalan zaman.

Fakta bahwa pemimpin yang punya jaringan luas di luar daerahnya berpenampilan berbeda dengan pemimpin jago kandang, di hari-hari ini sangat jelas terlihat. Untuk sekadar memberi contoh, Fadel yang pernah jadi ‘orang besar’ di Jakarta, misalnya, mampu mempengaruhi kawannya pengusaha untuk turut menamamkan modal di Gorontalo. Teras Narang yang punya jaringan sangat luas di Jakarta, berhasil mengundang banyak investor ke daerahnya. Kalteng saat ini sungguh berbeda. Terasa betul gemuruh keinginan untuk maju dan meninggalkan semua ketertinggalan di masa silam membahana di Kalteng saat ini.

e-mail: budibanjar@yahoo.com

Tuesday, May 1, 2007

Mengajar Diantara Hempasan Ombak dan Palang Sekolah





Oleh : Budi Kurniawan

(Ini adalah kisah seorang guru yang mengabdi di sebuah pulau terpencil di gugusan Pulau Selayar, Sulawesi Selatan. Tulisan ini dimuat di sebuah majalah pendidikan terbitan Jakarta)


Malam baru saja bertahta di daratan Pulau Bahuluang. Di pulau yang berada di sebelah selatan Pulau Selayar, Sulawesi Selatan itu gelap meraja. Hanya cahaya dari lampu petromak dan lampu minyak yang terlihat berkelap-kelip. Sebagian besar pulau itu hening dalam diam.

Angin barat yang sedang berhembus kencang menyebabkan laut bergelora malam itu. Badai datang menyergap gelap. Tapi semua itu tak menyurutkan niat Hj Nur Dewi untuk berlayar. Malam itu, Kepala Sekolah Dasar Negeri Bahuluang ini mencarter sebuah perahu kecil untuk menuju Desa Appatanah, sebuah desa di ujung utara Pulau Selayar yang menjadi tetangga Pulau Bahuluang.

Dengan satu tangan mengempit hasil ujian anak-anak didiknya, dan tangan yang lainnya berpegangan di pinggiran perahu, bersama seorang penduduk Bahuluang, Hj Nur Dewi bergerak meinggalkan bibir pantai Dusun Bahuluang, Desa Appatanah, Kecamatan Bontosikuyu, Kabupaten Selayar.

Baru beberapa meter perahu berlayar, ombak besar dan angin kencang langsung menerpa. Namun kencan angin dan besarnya ombak itu tak dipedulikan Dewi. Tekadnya bulat. Ia harus mengantarkan hasil ujian itu ke Bontosikuyu, ibukota kecamatan. Apalagi tenggat waktu yang diberikan Dinas Pendidikan Selayar akan jatuh pada esok hari. Sehingga jika ia tak berlayar malam itu, pastilah tenggat waktu itu akan terlanggar. “Nekad saja. Ini sudah tugas,” kata Nur Dewi kepadaku yang menemuinya di Pulau Bahuluang beberapa waktu lalu.

Menentang badai dan ombak besar saat mengantar hasil ujian nasional menjadi rutinitas Nur Dewi. Karena memang, setiap ujian nasional selesai digelar waktunya selalu bersamaan dengan datangnya cuaca buruk di sekitar Bahuluang. “Tapi mau bagaimana lagi. Jadualnya memang sudah begitu,” ujar Nur Dewi.

Tapi tak hanya cuaca buruk yang harus dihadapi Nur Dewi di tempat tugasnya. Sikap para orangtua di Bahuluang yang relatif masih kurang menghargai pendidikan adalah persoalan lain yang harus ia hadapi. Padahal, kata Nur Dewi, pendidikan sangat dibutuhkan warga Bahuluang untuk memperbaiki harkat hidup mereka.

Karena sikap negatif terhadap pendidikan itu, Sunusi, seorang Tuan Tanah yang mengaku tanahnya dipakai untuk lokasi rehab SDN Bahuluang, pernah memarahi Nur Dewi dan memintanya untuk memberi ganti rugi tanah itu. Dewi dengan tegas menolak. Karena selain, soal ganti rugi tanah itu bukan urusannya, ia juga pernah mendengar bahwa di masa lalu tanah itu sudah dihibahkan. Mungkin karena tergiur gemerincing rupiah, sang Tuan Tanah kemudian menuntut ganti rugi.

Dewi pernah memberi pengertian pada sang Tuan Tanah. Tapi Tuan Tanah itu bergeming. Ia malah mengambil tindakan keras dengan memalangi sekolah dan kelas-kelas tempat Dewi menjadi kepala sekolah. Akibatnya proses belajar mengajar pun terganggu. Kini, murid-murid SDN Bahuluang yang seluruhnya berjumlah 47 orang itu harus menderita. Mereka terpaksa belajar berhimpitan dan berbagi ruangan. Satu ruangan digunakan untuk kantor merangkap ruang kelas I dan II; satu ruang untuk kelas III dan IV; dan satu ruangan lagi untuk kelas V dan VI. Papan tulis di masing-masing ruangan pun harus dibagi dua.

Keadaan ini, menurut Siti Syanawiyah, salah satu guru di SDN Bahuluang, sangat mengganggu. Ia dan Noorkati, rekannya yang lain, harus berbagi konsentrasi mengajar dua kelas di satu ruangan. Apalagi, kata Noorkati, guru yang aktif mengajar di SDN Bahuluang selain Nur Dewi hanya mereka berdua.

Mungkin karena perlawanan keras yang diberikan Nur Dewi, sikap keras Tuan Tanah itu sedikit berkurang. Kayu-kayu yang dipalangkan di sekolah dilepaskan. Tapi dua daun pintu kelas masih terpalang. “Ini sikap yang sebenarnya sudah keterlaluan,” kata Herlina, guru SDN Bahuluang yang pernah bermasalah dengan sang Tuan Tanah.

Walau daun pintu kelas masih terpalang, Nur Dewi dan rekan-rekannya terus mengajar. “Mungkin suatu saat sikap yang tidak menghargai pendidikan ini akan hilang jika mereka memahami betapa pendidikan sangat penting untuk anak-anak mereka,” kata Nur Dewi.

Menurut Kepala Seksi Sarana SD/TK Bidang Dikdas Dinas Pendidikan Kabupaten Selayar Fs Daeng Madlassa SPd, apa yang dialami Nur Dewi dan kawan-kawan itu banyak terjadi di Sulawesi Selatan. Para pemilik tanah sering merasa mereka tidak menerima ganti rugi. Padahal uang biasanya sudah diberikan kepada orangtua mereka yang menghibahkan tanah itu kepada sekolah. Tapi ketika orangtua mereka meninggal, mereka meminta lagi sejumlah uang. Karena menurut mereka yang bersepakat dulunya itu adalah orangtua mereka.

MULAI DARI BAERAH

Hj Nur Dewi AM Pd adalah orang asli Selayar. Ia lahir 47 lalu pada 16 Juli 1959 di kampung Baerah, sebuah tempat di sebelah timur Kota Benteng. Dewi, begitu perempuan bersahaja ini biasa disapa adalah anak ketiga dari enam bersaudara dari pasangan Pa’ Gu dan Sarimanah. Pa’ Gu, ayahnya meninggal pada 11 November 2003. Ibunya kini berusia 70-an tahun.

Sedangkan Baho Dini, suami Dewi yang memberinya empat anak, Andi Nordin (28), Andi Noryani (23), Mahdalena (17) dan Ellisa Ervina (15) meninggal pada 30 September 2003. Noordin, anak pertama Dewi tak menyelesaika sekolahnya di SMA. Noryani, putri keduanya kini sudah menikah dan memiliki satu putra. Mahdalena, baru saja menyelesaikan sekolahnya di sebuah SMK di Jakarta. Ellisa kini masih duduk di bangku SMP.

Sebelum bertugas dan menjadi kepala sekolah di Bahuluang selama tiga tahun ini, Dewi memulai karirnya sebagai guru di Baerah, kampung halamannya. Menjadi guru adalah cita-cita Dewi sejak kecil. Ia tak seperti anak kebanyakan yang bisa mengganti-ganti cita-citanya. Dewi pertama kali tertarik menjadi guru karena jatuh hati pada cara mengajar Pak Paragauk, seorang gurunya kala SD. Pak Paragauk, guru Dewi di SD, membimbing dan mengajar murid-muridnya dengan sangat bagus. “Dia mengajarnya sangat bagus. Dia juga penyanyi yang bagus,” kata Dewi tentang guru SD-nya itu.

Karena cara mengajar diselingi nyanyian-nyanyian gembira yang dikumandangkan Paragauk, Dewi kecil dan kawan-kawannya selalu belajar dengan riang. Saat pulang sekolah, Dewi dan kawan-kawannya berbondong-bondong menghampiri Paragauk dan mengajaknya jalan bersama menuju rumah.

Pada malam hari, Paragauk mengajak Dewi dan murid-muridnya yang lain ke rumah. Di rumahnya Paragauk mengajar berbagai hal, dari sejarah, IPA, Ilmu Bumi hingga Matematika. “Dia mengajarnya seperti mendongeng. Apalagi kalau mengajar sejarah, semua peristiwa seolah hadir di depan mata. Sangat mengesankan,” kata Dewi mengenang gurunya itu.

Selain Paragauk yang cerdas, keakraban dan perlakuan masyarakat Baerah yang sangat baik kepada para guru makin menebalkan niat Dewi untuk jadi guru. Di mata Dewi, guru adalah profesi yang sangat mulia. “Karena gurulah orang bisa cerdas. Guru mengajar dan mencerdaskan anak-anak. Dari yang tidak tahu dan buta sama sekali, tidak mengenal huruf, angka dan nomor-nomor sehingga mereka jadi bisa,” kata Dewi.

Selain menganggap menjadi guru adalah pekerjaan mulia, niat Dewi menjadi guru juga didorong oleh nenek-neneknya. Beberapa neneknya dikenal sebagai guru di kampung Baerah.
“Cita-cita menjadi guru itu terus saya simpan dan ingin saya wujudkan,” ujar Dewi.

Setamat SD pada tahun 1971, Dewi kemudian melanjutkan ke Sekolah Kepandaian Putri Negeri (SKPN)) Benteng. Ia lulus pada 1974. Setelah itu Dewi melanjutkan ke Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Muhammadiyah di Benteng) dan lulus pada tahun 1977. Pada tahun 2002 Nur Dewi lulus kuliah penyetaraan di Universitas Terbuka Makassar.

Berbekal ijazah SPG yang digengamnya, Dewi mulai mengajar di SDN Baerah. Ia tak digaji tetap. Semuanya dilakukannya dengan sukarela. Selama dua tahun ia mengajar disitu. Pada 1979 Dewi diangkat menjadi pegawai negeri dan ditugaskan mengajar di SDN Inpres Tombangangeah.

Dewi semula mengajar di kelas IV. Kemudian turun ke kelas I dan kelas II. Di kelas I dan II, Nur Dewi mengajari anak-anak membaca, mengenal huruf dan berhitung sambil bermain dan bernyanyi. “Di sini waktu itu belum ada Taman Kanak-Kanak, jadi anak-anak di kelas I dan II umumnya masih belum mengenal huruf dan belum bisa membaca. Ini agak sulit. Untuk itu agar mereka senang saat belajar, saya menyelipkan hiburan diantara pelajaran,” kata Dewi.

Setelah setahun mengajar, Dewi menikah dengan Baho Dini, teman satu desanya. “Suami saya orang yang sangat baik. Dia mengerti dan membimbing saya,” kata Dewi tentang almarhum suaminya itu.

17 TAHUN

Walau betah di Tombangangeah, pada Agustus 1986 Dewi dipindahkan ke SDN Appatanah, Kecamatan Bontosikuyu. Appatanah adalah desa di ujung selatan Pulau Selayar. Luas desanya, menurut Ansaruddin, kepala desa Appatanah –masyarakat setempat menyebutnya Pak Desa—adalah 50 Km2. Desa Appatanah berbatasan dengan Desa Loa di sebelah utara. Di sebelah timur, selatan dan barat, desa ini berbatasan dengan laut.

Desa Appatanah yang berpenduduk sekitar 690 jiwa dan bermatapencaharian sebagai nelayan ini membawahi tiga dusun yaitu Kanawe, Bunging dan Bahuluang. Bahuluang adalah pulau tersendiri yang berada di sebelah barat Appatanah. Penduduk pulau Bahuluang sekitar 289 jiwa.

Suku-suku yang mendiami Appatanah antara lain Bajo, Bugis, Bugis Makassar, dan Suku Selayar sendiri. Mereka menggunakan bahasa yang berbeda satu sama lain, yaitu Bahasa Bajo, Makassar, Selayar dan Bugis.

Beragamnya bahasa ini menyulitkan Nur Dewi kala pertama kali mengajar di Appatanah. Sebagian besar warga desa ini menggunakan bahasa Bajo. Dewi sama sekali tidak bisa berbahasa Bajo. “Ini menyulitkan,” kata Dewi.

Tapi dengan tekad yang kuat, Dewi belajar bahasa Bajo kepada penduduk Appatanah. Selama tiga bulan awal ia di Appatanah, ia mulai bisa sedikit-sedikit menggunakan bahasa Bajo. Dewi pun senang. Ia kini bisa mengajar dengan menggunakan bahasa ibu masyarakat setempat.
Di SDN Appatanah, Dewi pertama kali mengajar di kelas V. Hingga dua tahun ia mengajar di kelas ini. Tahun-tahun selanjutnya Dewi pindah mengajar di kelas I.

Sepanjang tugasnya di Appatanah duka yang paling berkesan bagi Dewi adalah sulitnya mendapatkan air minum dan masih belum adanya jalan darat dari ibukota kabupaten menuju desa. Hutan di sekitar Appatanah masih sangat lebat dan cukup menyeramkan.

Pada tahun 1992, kata Dewi, untuk sampai ke Appatanah atau menuju Benteng, ia harus berjalan kaki sejauh 10 Km dan baru menemukan kendaraan. Dengan kendaraan itu barulah Dewi bisa mencapai Benteng. Hal yang sama juga terjadi jika ia pulang dari Benteng ke Appatanah. “Pulang ke rumah di Benteng pun baru bisa dilakukan tiga bulan sekali dan ketika liburan saja,” kata Dewi.

UMPAN TELEVISI

Kesulitan soal bahasa bisa dihadapi Dewi. Tapi kesulitan berikutnya tiba. Masyarakat Appatanah berbeda sekali dengan di Tombangangeah. Pada tahun 1986 masyarakatnya belum mengerti sama sekali pada pendidikan. Pada musim nener –musim ketika anak-anak ikan banyak ditemukan di laut—para orangtua di Appatanah biasa membawa anak-anaknya ke laut.

Jika sudah begitu, Dewi dan para guru lainnya terpaksa mengalah. “Waktu itu anak mereka yang sekolah dibawa begitu saja. Nggak perlu sekolah. Saya dan kawan-kawan terpaksa mengalah,” kata Dewi.

Keadaan demikian terus berlangsung. Tapi, pikir Dewi, kebiasaan mengalahkan kepentingan pendidikan anak dengan mata pencaharian ini harus dihentikan. Karena, bagaimana mungkin anak-anak Appatanah bisa mendapatkan pengetahuan, baca, tulis dan berhitung, jika orangtua mereka lebih mementingkan mata pencaharian dibanding pendidikan. Sayangnya, anak-anak pun lebih senang diajak ke laut daripada sekolah.

Untuk mengatasi itu, Dewi berinisiatif mengubah cara mengajarnya. Jika biasanya ia mengajar di sekolah, pada hari-hari tertentu Dewi memanggil murid-muridnya ke rumah. Untungnya mereka mau datang. “Memang harus menggunakan cara yang jeli,” kata Dewi yang mengidolakan para ulama seperti AA Qym dan KH Arifin Ilham ini.

Agar belajar di rumah itu menarik perhatian Dewi menyediakan televisi ukuran 17 inchi untuk murid-muridnya. Kala itu di Appatanah televisi masih sangat jarang. Dewi menyisihkan gajinya dan berpatungan dengan guru-guru yang lain untuk membeli televisi -itu.

Televisi itu dijadikan “umpan” bagi murid-murid yang datang ke rumah Dewi. Murid-murid diperbolehkan nonton dulu beberapa saat, lalu kemudian belajar. Yang tidak mau belajar tidak diperbolehkan menonton televisi.

Pelajaran di rumah dengan televisi ini beragam dari Matematika, IPA hingga IPS ini berlangsung hingga tujuh tahun. Namun yang menjadi fokus Dewi adalah pelajaran bahasa Indonesia. Ini menjadi penting dan strategis, karena dengan menguasai bahasa Indonesia, artinya komunikasi Dewi dan anak-anak bisa berjalan lancar. Dan berujung pada lancarnya aktifitas belajar mengajar di sekolah.

MENGABDI DI BAHULUANG

Setelah mengabdi selama 17 tahun di Appatanah, pada tahun 2003 Dewi dipindahkan ke SDN Bahuluang dan menjadi kepala sekolah disana. Dewi sendiri sedih harus meninggalkan Appatanah. Banyak kenangan sudah diurainya di desa yang penduduknya sangat bersahaja itu. Kehidupan penduduk yang masih serba kekurangan, kata Dewi, ternyata tidak membuat mereka menyerah menghadapi hidup. Mereka selalu optimistis. Dengan segala kekurangan yang ada, mereka berusaha menyekolahkan anak-anaknya, agar pintar dan tak bernasib sama dengan orang-orangtuanya.

Namun kesedihan itu tak berlangsung lama. Dewi harus menjalankan tugas barunya sebagai kepala sekolah di Bahuluang. Di Dusun Bahuluang ia menemukan suasana yang jauh berbeda dengan di Appatanah. Di dusun yang merupakan satu dari 20 desa di Kecamatan Bontosikuyu dan dihuni 289 jiwa ini tak ada listrik –di Appatanah masih ada listrik yang bersumber dari diesel milik warga yang bahan bakarnya dibeli secara patungan--, tak ada WC, dan akses menuju dan keluar pulau sangat sulit.

Bahuluang memang masuk dalam katagori desa terpencil. Untuk mencapai pulau ini satu-satunya sarana yang bisa digunakan adalah perahu kecil –biasa disebut Jolor oleh penduduk setempat. Perahu ini hanya berkapasitas 3-5 ton dengan mesin penggerak berkekuatan 30-an tenaga kuda. Dengan kekuatan mesin seperti itu, Appatanah-Bahuluang bisa ditempuh dalam waktu satu jam.

Tapi jarak tempuh itu bisa berubah-ubah, tergantung pada kondisi laut. Jika angin barat berhembus, ombak laut bisa mencapai tiga meter tingginya sehingga perjalanan Appatanah-Bahuluang bisa mencapai lebih dari satu jam. Para nelayan sering tidak melaut menghindari ganasnya laut.

Walaupun laut bersahabat, tidak setiap hari jolor melayari Bahuluang-Appatanah. Selain karena perahu khusus yang melayani penyeberangan tidak tersedia, para nelayan juga lebih memilih menangkap ikan daripada menyeberangkan orang. “Ini yang menyulitkan. Karena kalau ada urusan ke kecamatan, atau ibukota kabupaten, saya harus menunggu sampai ada kapal yang mau menyeberang. Begitu pula kalau saya membawa tugas yang harus dilaksanakan dari Benteng ke Bahuluang, saya tidak bisa langsung menyeberang. Harus menunggu sampai ada perahu yang mau kesana,” kata Nur Dewi.

Kadang Dewi sudah tiba di Appatanah mau menuju Bahuluang, tapi karena tidak ada perahu, ia terpaksa menginap berhari-hari di Appatanah. Kalau pun ada kapal yang akan pergi ke Bahuluang atau ke Appatanah, pelayaran tetap tidak bisa dilakukan dengan mudah. Pemilik perahu harus menunggu air pasang. Karena ketika air surut, jarak dari bibir pantai menuju perahu yang berada agak di tengah laut bisa mencapai 2-3 Km.

Ketika air pasang, nelayan harus sesegera mungkin melayarkan jolor miliknya. Karena pasang hanya berlangsung singkat, sekitar 2-3 jam. Pasang surutnya air kadang tidak bisa diduga. Kadang berlangsung pagi, kadang malam hari. Semua tergantung pada letak bulan.

Untuk sekali menyeberang, Dewi harus mengelurkan uang sebanyak Rp50.000-Rp100.000. Jika ingin cepat menyeberang, dan kebetulan tidak ada perahu, Dewi terpaksa mencarter. Sekali carter bisa menghabiskan uang lebih dari Rp150.000.

BERDEDIKASI

Di tengah kiprahnya di Bahuluang, Nur Dewi masih sempat mengikuti seleksi guru berdedikasi tingkat nasional yang diadakan Depdiknas Jakarta. Para guru yang mengikuti seleksi ini berasal dari seluruh Indonesia dan dipilih pada Agustus 2006. Setelah melalui beberapa tahapan seleksi, Nur Dewi dinyatakan Dinas Pendidikan Nasional Selayar sebagai wakil daerah yang akan dikirim ke Jakarta.

Untuk melengkapi syarat-syarat pemilihan, Nur Dewi menyertakan sebuah karangan mengenai sekolahnya. Karangan itu rupanya mengesankan dewan juri di Jakarta. Sebuah kabar gembira sampai padanya: Nur Dewi ditetapkan sebagai salah satu pemenang oleh dewan juri di Jakarta.

“Saya tidak pernah menduga akan menang dan terpilih. Perasaan saya waktu itu gembira sekali. Saya malah teriak-teriak. Senang. Saya belum pernah membayangkan dapat penghargaan. Saya merasa ngajar seperti biasa,” kata Nur Dewi yang pada tahun 2002 juga terpilih sebagai guru berprestasi untuk tingkat Kecamatan Bontosikuyu ini.

Nur Dewi pun berangkat ke Jakarta pada Agustus 2006 untuk menerima penghargaan. Ia bersama dengan para guru lain dari berbagai daerah di Indonesia berkumpul dan menginap di sebuah hotel di kawasan Jakarta Utara. Selain diundang Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo beramah-tamah, Nur Dewi dan para guru lainnya berkesempatan mengikuti upacara peringatan Hari Kemerdekaan RI ke-61 di Istana Merdeka. “Seperti mimpi rasanya. Bisa ke Istana dan berjabat-tangan dengan Presiden,” kata Nur Dewi. Dengan keteguhan hati dan prestasinya, Nur Dewi bak cahaya yang bersinar di gelapnya Pulau Bahuluang.

Budi Kurniawan