Friday, June 29, 2007

Antara Nyi Ontosoroh, Ayano, dan Simpang Telawang



Oleh : Budi Kurniawan (Penulis, Alumni FISIP Unlam Banjarmasin, tinggal di Jakarta. E-mail: budibanjar@yahoo.com).



Ayano Toramatsu jauh-jauh datang ke Surabaya dari Nishinomiya, sebuah desa kecil di Provinsi Kobe, Jepang. Wartawan lepas di AFP Tokyo ini terkagum-kagum dengan semua kisah yang ditulis Pramoedya Ananta Toer dalam buku-bukunya. Ayano yang menghabiskan masa kuliahnya di Fakultas Sastra Jepang, Universitas Kobe, itu awalnya mendapatkan buku Pram tanpa sengaja. Ketika itu ia belajar bahasa Indonesia di Program Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (P-BIPA) di Universitas Indonesia (UI) pada tahun 1990, ia melihat banyak mahasiswa Indonesia yang secara sembunyi-sembunyi bicara tentang Pram dan karya-karyanya.

Ayano heran, apa yang menyebabkan para mahasiswa itu takut dan sampai harus sembunyi-sembunyi membicarakan sebuah karya sastra. Bagi Ayano ini adalah sebuah tanya besar. Apalagi ia mendengar karya-karya yang dibicarakan para mahasiswa itu dilarang beredar oleh pemerintah. Kekuatan dahsyat apa yang membuat semua itu?

Keheranan Ayano kian tebal, ketika ia pulang ke Jepang. Di sana ia mendapatkan novel-novel karya Pram yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang. Bagi Ayano, adalah suatu hal yang luar biasa ketika sebuah novel Indonesia diterjemahkan ke bahasa Jepang.

Namun semua keheranan itu terjawab ketika Ayano mulai membaca satu persatu novel karya Pramoedya. Dalam semua novel Pram, Ayano menemukan aroma perlawanan yang tebal dan tiada henti. Semua tokoh dalam novel Pram selalu bernasib pahit, tapi tiada henti melawan. Melawan dalam berbagai cara, dari sekadar bicara, hingga angkat senjata.

Kondisi Indonesia yang sangat represif di satu masa, bisa jadi membuat karya Pram terlarang. Namun, ketika mempelajari latar dan perjalanan hidup Pram, Ayano menyimpulkan pelarangan terhadap novel-novel itu bukan sekadar karena perlawanan yang diajarkannya. Tapi lebih karena latar Pram yang aktivis Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), sebuah organisasi kebudayaan yang secara ideologi akrab dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Di satu masa ketika panji-panji ideologi berkibaran menjulang tinggi dan saling bergesekan secara tajam, Lekra adalah salah satu organisasi yang menyerang organisasi lain yang dianggap berseberangan dengan mereka. Realisme sosialis yang dikumandangkan Lekra ketika itu berhadapan langsung dengan ideologi dan keyakinan lain. Dan Pram ketika itu menjadi bagian tak terpisahkan dari segala macam penyerangan itu.

Peran inilah yang bisa jadi membuat semua karya Pram terlarang. Namun, melalui banyak proses yang dramatis, naskah novel-novelnya berhasil diselundupkan dari Pulau Buru, tempat Pram ditahan selama lebih dari 10 tahun akibat keterlibatannya dalam Lekra, ke segala penjuru dunia, termasuk Jepang, tempat Ayano bermukim.

***
Karena kekaguman dan keheranan yang sebagian besar sudah terjawab itulah, pada 1997 Ayano melakukan perjalanan ke segala penjuru Surabaya. Ia ingin menapak tilasi semua daerah yang ada dalam tulisan Pram. Ia ingin mengetahui langsung dimana dan bagaimana kondisi tempat-tempat di Surabaya yang menjadi latar cerita Pram.

Dengan hanya berbekal novel-novel Pram, Ayano yang belum pernah sama sekali menjejakkan kaki di Surabaya mulai menyusuri semua sudut kota. Dalam perjalanannya ia misalnya berhasil menemukan sebuah rumah besar di kawasan Wonokromo yang di dalam Bumi Manusia sebagai rumah Nyai Ontosoroh, salah satu tokoh perempuan “perkasa” rekaan Pram.

Ayano juga menemukan sebuah pabrik di kawasan Wonocolo di Jalan Ahmad Yani. Pabrik ini ditulis Pram sebagai milik Herman Mellema dan Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia. Bentuk pabrik ini sangat mirip dengan deskripsi Pram. Bergaya Tiongkok, berpelataran luas dan terpelihara rapi.

Jalan Kranggan, bekas sekolah Hoogere Burger School (HBS) yang kini menjadi Kantor Pos Besar di Jalan Kebonrojo –sekitar 500 meter dari Tugu Pahlawan--, pabrik gula di Tulangan –sekitar 30 Km dari Surabaya ke arah Sidoarjo--, adalah beberapa tempat lain yang Ayano temukan.

Namun napak tilas yang dilakukannya justru membuyarkan imajinasi indahnya terhadap tempat-tempat di Surabaya yang ditulis Pram dalam novel-novelnya. Hampir semua tempat yang ditulis Pram kini sudah berubah wajud. Kadar sejarahnya kian tergerus zaman. Bangunan-bangunannya tak terpelihara, terbengakalai tak jelas juntrungannya.

Hal yang sama Ayano rasakan ketika tiba di Banjarmasin dan mengunjungi Pasar Telawang. Kawasan yang selalu menjadi pusat cerita tentang Jugun Ianfu di Indonesia ini tak menyisakan peninggalan sejarah sedikitpun. Semua terbengkalai dan kalah oleh kepentingan kapitalis. Pasar, rumah toko (ruko), dan permukiman penduduk berhimpitan tak jelas juntrungannya.

Kepada saya yang mendampinginya mencari korban-korban Jugun Ianfu di Jalan Telawang, Banjarmasin, (tempat penyekapan Ibu Mardiyem, salah seorang Jugun Ianfu di Yogyakarta yang gencar menuntut haknya) pada tahun 1998, Ayano menyampaikan kekecewaannya.

Asrama tentara Jepang yang dijadikan tempat penyekapan para perempuan Indonesia yang didatangkan dari berbagai daerah di Indonesia (Yogyakarta, Balikpapan, dan beberapa daerah di Pulau Sumatera) di Simpang Telawang sudah tak tersisa. Perkembangan kota yang tak jelas kemana arahnya membuat tempat –yang sebenarnya—bersejarah itu lindap.

Ayano mungkin tak mengetahui bahwa tak hanya peninggalan sejarah di Telawang yang sirna. Menyusuri Banjarmasin di hari-hari ini, kita tak bakal lagi menemukan peninggalan sejarah dalam bentuk apa pun. Bangunan tua tersingkir diganti pusat-pusat bisnis. Pemerintah Kota Banjarmasin bisa jadi tak pernah berpikir bahwa peninggalan sejarah sesungguhnya lebih bernilai ketimbang pusat-pusat bisnis yang dibangun dan gemerlapnya billboard di seluruh penjuru kota.

Pendewaan uang dan ekonomi yang jadi pilihan para pengelola kota sesungguhnya telah membunuh jutaan kenangan warga kota. Lihatlah betapa sungai-sungai yang di masa silam mengalir deras membelah dan menghubungkan kota dari berbagai penjuru kini mati, berganti dengan bangunan modern. Bangunan yang dibangun tanpa perhitungan. Sungai-sungai diuruk. Banjarmasin yang selalu dimasuki air pasang dan kering ketika pasang hilang, kini tergenang banjir dimana-mana. Air kebingungan mengalir karena tempat rendah kini terisi bangunan.

Yang mungkin Ayano tak tahu adalah begitulah selama ini kita memperlakukan segala hal yang nilai sejarah tinggi. Begitulah kita selama ini membunuh kenangan. Tak peduli!

No comments: