Monday, July 23, 2007

Kesaksian Kecil dari Pinggiran Sejarah

Data Buku

Judul Buku : Ibarruri Putri Alam, Roman Biografis Anak Sulung DN Aidit
Penulis : Ibarruri Aidit
Penerbit : Hasta Mitra Jakarta, 2006
Tebal Buku : xiv + 386


Oleh : Budi Kurniawan (Wartawan; Penulis Buku Menolak Menyerah, Menyingkap Tabir Keluarga Aidit dan bersama Sobron Aidit menulis buku Melawan dengan Restoran)


Sehari menjelang ulangtahunnya yang ke-16 pada 23 November 1965, salju sedang turun dengan derasnya. Dingin salju membekap erat. Dari balik jendela sebuah bangunan di utara Moskow, dengan hati remuk dan galau, seorang dara menyaksikan angin yang menderu memberaikan salju. Sang dara yang sedang menanti ucapan selamat ulangtahun dari orang-orang tercinta itu, awalnya sama sekali tak percaya pada berita penangkapan ayahnya yang berkembang cepat di Moskow. Berita yang dibacanya di koran-koran dan majalah di Rusia dianggapnya tak lebih dari sekadar bohong belaka. Hati dan pikirannya tak bisa menerima kebenaran berita-berita itu.

Tetapi kabar bahwa ayahnya tewas ditembak tentara di Boyolali, Jawa Tengah, pada 22 November 1965, kian kencang. Ketika hari-hari menegangkan dan simpang-siur itu terus berlalu berganti bulan dan tahun, keteguhan hatinya untuk tak mempercayai apa yang sedang terjadi di tanah air, goyah juga. Kabar bahwa nasib keluarga, ibu, dan adik-adiknya, kian tak jelas. Berita berikutnya mengabarkan kawan-kawannya tertangkap dan dibunuh. Demikian juga dengan eyang dan om-omnya.

Begitulah Ibarruri Puteri Alam, putri sulung Dipa Nusantara Aidit, memulai kisah dalam buku yang ditulisnya ini dengan getir. Iba, begitu ia biasa disapa, kehilangan sang ayah saat menuntut ilmu di Moskow. Sebagai anak petinggi Partai Komunis Indonesia (PKI), Iba mendapat kesempatan luas untuk belajar di Moskow. Hubungan mesra PKI dan Partai Komunis Uni Sovyet, juga membuat banyak anak muda Indonesia selain Iba dikirim belajar segala macam ilmu disana. Selain Iba, anak-anak dari Vietnam, Kuba, Burma, dan Korea juga belajar di Moskow.

Walau anak tokoh PKI, Iba tak mendapat perlakuan khusus. Iba melakukan segala hal sama dengan yang dilakukan anak-anak lainnya di sekolah. Perlakuan para guru dan instruktur terhadap anak-anak muda ini juga sama adanya. Mereka diwajibkan belajar dengan sangat keras dan mempraktikkan semua pelajaran yang didapat. Selain wajib mengikuti berbagai pelajaran, Iba yang kali pertama datang ke Moskow pada 7 Oktober 1958 itu juga harus belajar bahasa Rusia. Bahasa yang asing baginya. Dengan usaha keras, Iba berhasil melalui mengikuti semua proses belajar mengajar di Moskow.

Pada 22 Mei 1965, Iba bersama adiknya Ilya yang juga dikirim DN Aidit bersekolah di Moskow pulang berlibur ke Jakarta. Keduanya gembira. Karena selain bertemu dengan keluarga –juga Mbah yang mengasuh keduanya sejak kecil—Iba dan Ilya juga menjadi lebih mengetahui betapa indah dan bersahajanya Indonesia. Dalam sebuah perjalanan naik mobil dari Jakarta menuju Bali, mereka berdua misalnya takjub menyaksikan matahari terbit di sela pegunungan yang sinarnya membelai persawahan. Matahari yang jarang mereka lihat bersinar penuh di Moskow.

Dalam liburannya di Jakarta, Iba juga terlibat penuh dalam aktifitas Pemuda Rakyat, organisasi kepemudaan onderbouw PKI. Selain aktif berdiskusi dan berbagi pengalaman dengan kawan-kawannya di Pemuda Rakyat, Iba juga ikut dalam kegiatan yang kelihatannya remeh tapi penting adanya. Ia misalnya ikut memasak makanan bagi peserta Sidang Nasional Pemuda Rakyat di Gedung Pemuda, Jakarta. Iba juga terlibat dalam perayaan hari kemerdekaan Indonesia ke-20 pada 17 Agustus 1965 di Istana Merdeka dan di kantor CC PKI di Jalan Kramat Raya 81.
Pada peringatan kemerdekaan Indonesia ke-20 itulah untuk pertama kalinya Iba mendengar tentang akan adanya “teror putih” yang lebih dahsyat dari masa sebelumnya akan terjadi pada PKI dari ayahnya. Iba muda tak mengerti apa yang dimaksud sang ayah. Apalagi dia menyaksikan air muka orang di sekitarnya yang sedang mendengarkan pidato sang ayah tak menunjukkan ketakutan sedikitpun. Mereka bergembira dan larut dalam gelora semangat partai yang ketika itu sedang tinggi-tingginya.

“Mengapa ayahku berkata demikian? Apa yang ada di balik kata-kata itu, yang tentunya bukan sekadar feeling, atau sekadar canang, tentu ada dasarnya yang lebih konkret. Apakah ayahku sudah merasa ada kekuatan yang akan memukul PKI, atau sudah tahu bahwa partai yang dibangunnya salah jalan, atau salah bangun? Atau mengapa? Apakah juga beliau merasa semua sudah out of control? Sehingga jalan satu-satunya kita akan masuk jurang? Pertanyaan yang sampai sekarang tak bisa kujawab,” demikian tanya yang berkecamuk di kepala Iba tentang “teror putih” yang disampaikan ayahnya (hal 94).

Masa “magang” Iba di Indonesia berakhir ketika ia harus kembali ke Moskow untuk melanjutkan sekolahnya. Sebelum memutuskan kembali ke Moskow, Iba dan Ilya diminta DN Aidit bercerita kesan mereka selama tiga bulan berada di Indonesia. Dengan penuh semangat keduanya bercerita tentang demonstrasi yang mereka ikuti, tentang “turba” yang mereka jalankan, dan serunya perdebatan di antara anggota Pemuda Rakyat.

Dengan diplomatis dan arif DN Aidit meminta kedua anak perempuannya ini kembali meneruskan sekolah di Moskow. DN Aidit berpesan agar Iba dan Ilya tidak menjadi remo (revisionis modern). PKI ketika itu menganggap PKUS sudah tidak lagi menjadi partai Marxis. PKUS sudah “merevisi” dan mengkhianati Marxisme. Jika kedua anaknya menjadi remo, kata DN Aidit, ia tidak segan-segan menarik keduanya pulang. Dengan berat hati Iba dan Ilya memutuskan untuk kembali ke Moskow.

Beberapa hari sebelum kembali ke Moskow, Iba memandang ayahnya yang sedang makan sendirian di ruang makan di rumah mereka. DN Aidit hanya memandang kosong ke arah anaknya itu. DN Aidit tak mengeluarkan sepatah kata pun. “Tidak pernah beliau memandang aku dengan pandangan demikian,” tulis Iba dalam bukunya (hal 96-98).

Keheranan Iba bertambah ketika Abdullah Aidit, kakeknya memanggil ia dan Ilya. Dengan mata berlinangan Abdullah Aidit menyebut kedua cucunya sebagai andalan kame dan kambuan kame (dalam bahasa Belitung berarti kebanggaan dan andalan kami). Tidak pernah sebelumnya Iba menyaksikan kakeknya menangis.

Di mata Iba, kakeknya perkasa dan berani. Sang kakek misalnya berani berkelahi membela tukang becak yang dimaki penumpangnya. Itulah pertemuan terakhir Iba dan Ilya dengan ayah dan kakeknya. Setelah pertemuan penuh misteri dan linangan air mata itu, Iba dan Ilya tak pernah lagi bisa bertemu ayah dan kakeknya. Kedua orang tercinta ini –juga saudara yang lain-- “hilang” ditelan gemuruh perubahan politik pasca 30 September 1965.



Tergoda Murka

Membaca buku ini kita tak hanya dibawa ke sebuah penggalan pengalaman hidup seorang putri Ketua CC PKI DN Aidit. Di dalam buku ini juga tertoreh penggalan sejarah di sekitar Peristiwa 30 September 1965. Melalui penuturan Ibarruri kita bisa memahami betapa perbedaan orientasi poltik dan perjuangan di kalangan kaum komunis di Indonesia dan Sovyet pada 1960-an membuat banyak hal berubah, termasuk nasib putra-putri Indonesia yang bersekolah di Moskow.

Perubahan perlakuan Sovyet terhadap orang-orang Indonesia ini kian berubah ketika Peristiwa 30 September 1965 meledak. Pemerintah Sovyet melalui agen-agen rahasianya memata-matai semua aktifitas putra-putri Indonesia. Politik pecah belah juga diterapkan PKUS terhadap orang-orang Indonesia. Mereka misalnya menyokong salah satu kelompok yang dianggap setia pada Sovyet dan menjadi sempalan PKI.

Keadaan ini membuat Iba dan kawan-kawan gerah. Melalui proses panjang, mendebarkan, dan penuh pertentangan, mereka kemudian memutuskan meninggalkan Moskow dan bergabung dengan orang-orang Indonesia yang sudah agak lama berada di Tiongkok. Bergabungnya Iba dan kawan-kawannya ke Tiongkok ini menyulut murka PKUS. Apalagi haluan perjuangan dan ideologi yang dijalankan Partai Komunis Tiongkok (PKT) sangat bertolakbelakang dengan PKUS (hal 133-152).

Iba tiba di Tiongkok kala Revolusi Besar Kebudayaan Proletar (RBKP) memasuki fase terakhir. Walau demikian Iba juga turut dikirim ke pedesaan untuk hidup bersama orang-orang Indonesia dan kaum proletar lainnya. RBKP mewajibkan semua kalangan untuk hidup dan menjalankan aktifitas secara kolektif di berbagai lahan pertanian dan kampung.

Sayangnya, dalam buku ini Iba tergoda dan terjebak untuk “murka”. “Murka” memang sering ada dalam buku-buku yang ditulis oleh kalangan yang “kalah” dalam pertarungan politik. Iba misalnya “murka” pada perlakuan PKUS, pada sempalan PKI di Moskow, pada tindakan kejam dan barbarian militer di Indonesia, dan pada berbagai keadaan. Hal yang berbeda sangat terasa ketika Iba berbicara soal kehidupannya di Tiongkok (hal 152-222).

Dalam menyusun “murkanya” Iba kadang melompat-lompat. Sehingga jika kurang jeli mencerna apa yang dia tuturkan, maka pembaca akan “tersesat”, walau itu hanya sesaat.

Berbicara Sendiri

Pada beberapa bagian dalam buku ini Iba juga terjebak untuk “berbicara sendiri”. Dia misalnya terlalu asyik berbicara tentang filsafat, ajaran Buddha, Kristen, dan pernak-pernik di sekitar budaya Jawa. Keasyikan ini juga terbawa ketika Iba bicara tentang perlakuan buruk militer pada Sutanti, ibunya, dan para tahanan wanita yang menghuni penjara di Bukit Duri misalnya.

Iba kadang terlalu memaksa menggunakan analogi perang Bharatayuda dan nasib pahit para Pandawa yang dilindas Kurawa untuk menggambarkan keadaan kaum kiri, anggota PKI dan mereka yang di PKI-kan oleh militer dan Orde Baru.

Alangkah lebih arif kiranya, jika Iba menghindari nuansa “berbicara sendiri” ini dengan memaparkan keasyikannya ini pada bagian tersendiri, sehingga pembaca bisa lebih mudah mencerna apa yang ingin disampaikannya.

Dari Pinggir Lapangan

Jika pembaca berharap banyak mendapatkan paparan di sekitar sosok dan pemikiran ayah Ibarruri, DN Aidit, dalam buku ini, maka siap-siaplah untuk relatif kecewa. Mungkin karena lama terpisah dari sang ayah –Iba di Moskow dan sang ayah di Jakarta—dan usianya relatif muda (16 tahun) ketika Peristiwa 30 September 1965 meledak, Iba tak bisa bicara banyak tentang pemikiran dan langkah-langkah politik sang ayah.

Dalam buku ini Iba hanya sedikit berbicara soal garis dan langkah politik sang ayah. Iba misalnya hanya bercerita sedikit kala mendengar sang ayah berpidato pada 17 Agustus 1965 di kantor pusat CC PKI di Kramat Raya 81. Iba bak penonton di pinggir lapangan yang tak bisa berbuat banyak –karena halangan usia dan jarak yang jauh antara sang ayah dan dirinya—kecuali menyaksikan pertandingan politik yang sedang berlangsung di tengah lapangan.

Tetapi sebagai sebuah kesaksian –walau kecil adanya—buku ini layak dibaca. Karena dari penuturan Iba kita bisa belajar banyak tentang pergulatan hidup seorang anak Ketua CC PKI yang terbuang dan dipaksa keadaan melanglang buana ke berbagai belahan dunia, dari Moskow, Tiongkok, Burma –kini Myanmar--, hingga Perancis. Pelajaran yang seharusnya tidak diberangus begitu saja seperti dilakukan Kejaksaan Agung dan jajarannya di daerah terhadap buku pelajaran sejarah di sekolah-sekolah kita. Bukankah hanya dari sejarah yang memaparkan semua peristiwa secara terbuka, objektif, dan berimbang, kita bisa belajar menjadikan hidup bersama ini menjadi jauh lebih baik?

No comments: