Wednesday, May 21, 2008

Anang Ardiansyah, Sanja Kuning, dan Budaya Luruh


Oleh : Budi Kurniawan (Aktivis Journalist and Writer Forum of Borneo. E-mail: budibanjar@yahoo.com). Foto: Budi Kurniawan


Bamula angin manyapu banyu
Manghiringi padang banta


Malam itu Anang Ardiansyah, pencipta dan penyanyi ratusan lagu-lagu Banjar itu bak raja tiada tanding. Duduk takzim di tengah panggung, bertumpu pada sebuah tongkat di tangan kanan, sesekali mengepalkan tangan dan menahtakannya di langit, lalu air matanya berderaian. Kadang matanya menerawang menembus batas, ruang, dan waktu yang bergerak di Balairung Sari, Taman Budaya Kalsel, Rabu (9/4). Tangannya bergerak mengikuti birama lagu-lagu Banjar yang diciptakannya dan dinyanyikan anak-anak muda yang terpaut jauh usia dengannya.

Usia yang terpaut jauh itu tak membuat kharisma Anang Ardiansyah berkurang sedikitpun. Kala menyanyikan lagu “Sanja Kuning”, pensiunan tentara berpangkat Letnan Kolonel itu menghunjamkan kharisma terdalam dalam dirinya. Dengan napas yang tak lagi sepanjang dulu ketika usianya masih muda, “Sanja Kuning” seperti menuju suasana magisnya yang tertinggi. Dalam getaran suara Anang Ardiansyah, “Sanja Kuning” mengalun, mendayu, dan hadir di depan mata. Karena “Sanja Kuning” dan penampilan Anang Ardiansyah di senja usianya, membuat hadirin yang memenuhi ruang pengap dan bau asap rokok itu menderaikan airmata.

“Sanja Kuning” malam itu membuat politik pencitraan yang secara tak sengaja beredar lindap seketika. Rupanya seni memang punya cara sendiri untuk menghindari –juga melawan—kekuasaan.

“Sanja Kuning” yang penuh pesona dengan warna indah memenuhi kaki langit yang sekaligus “berbahaya” membuat Abah si Galuh memanggil anaknya yang tergesa memetik kambang waluh seperti mempertegas memori dan keyakinan bersama masyarakat Banjar di masa silam akan “Sanja Kuning”, senja yang harus dihindari.

Ya, Anang Ardiansyah sesungguhnya bukan sekadar pencipta lagu Banjar yang bergerak dalam mainstream picik. Mainstream yang menganggap lagu Banjar hanya sama dengan lagu yang menggunakan bahasa Banjar, tanpa punya kaitan dan kajian psikologis, budaya, keyakinan, gambaran, pengalaman, dan memori bersama. Kajian yang sesungguhnya rumit dan memerlukan keluasan pengetahuan pencipta lagu itu, justru di tangan Anang Ardiansyah bisa menjadi sangat cair.

Karena itu seluruh lagu yang diciptakan Anang tak pernah lepas dari akar Kebanjaran yang ada dari soal larangan yang diambil urang, kakamban habang yang jadi ingatan, tradisi bausung dan kambang guyang di ujung galung dalam perkawinan, hikayat Raja Banjar nang baislam panambayan, syair nelayan di bibir pantai yang menunggu hari baganti musim, doa yang jadi sangu batulak merantau, keinginan menggantikan amal dan pahala kedua orangtua yang terpanggang panas manggantang di tangah sungai, hingga kota Banjarmasin yang panas bau sandawa.

Memang bersamaan –juga belakangan—dengan Anang Ardiansyah banyak juga pencipta “lagu Banjar” yang lahir. Hanya saja “rasa lagu”-nya sungguh berbeda. Bahkan walau pun “bahan” untuk menciptakan lagunya sama, tetap saja sentuhan dan aroma psikologisnya berbeda.

Dalam sebuah wawancara dengan Anang Ardiansyah ketika bekerja pada koran ini, soal rasa yang berbeda itu pernah saya tanyakan. Saya baru mengerti ternyata hampir semua lagu yang diciptakan dan dinyanyikannya itu bermula dari kisah nyata (disaksikan dan dialami langsung). “Paris Barantai” yang tersohor itu misalnya, Anang Ardiansyah ciptakan setelah bergaul dan menyaksikan dengan para nelayan keturunan Bugis di sebuah pinggiran pantai di Kotabaru. Para nelayan ini biasanya menyenandungkan kidung pujian keselamatan sebelum pergi melaut. Di tangan Anang Ardiansyah kidung itu digubah sedemikian rupa sehingga jadilah “Paris Barantai” yang cengkok di awal, di tengah, dan di akhir lagu sungguh memesona.

Lagu “Halin” pun demikian. Ada semacam pengalaman pribadi dalam lagu yang juga mendayu ini. Pengalaman pribadi dan kesaksian langsung Anang rupanya klop dengan kenangan bersama para pendengar dan penikmat lagu yang ia ciptakan. Tersambungnya hal itulah yang membuat Anang dan lagunya menjadi berbeda dengan lagu-lagu Banjar lainnya.

Hal inilah yang mungkin berbeda dengan seniman yang menggeluti kesenian bersyair Banjar lainnya. Mamanda, Balamut, Bawayang, dan Madihin misalnya, yang tak pelak digerus zaman. Kesenian jenis ini seolah datang dari masa silam yang notabene memiliki latar dan pengalaman berbeda dengan kekinian. Penyesuian diri dengan dengan pasar (kapitalisme?) pun tak banyak berjalan. Parahnya mereka yang berkuasa dan menentukan tak banyak berpaling dan peduli dengan hal itu.

Bisa jadi pilihan setia pada tradisi, pelestarian, dan kesetiaan pada pakem menjadi dasar pilihan untuk menjaga jarak –bahkan melawan—perubahan selera dan zaman. Kesetiaan kadang berisiko membuat orang dan pemikirannya harus rela berada di pinggiran. Namun kesetiaan bisa juga menjadi berkah yang tak terduga. Tinggal kapan imbalan pada kesetiaan itu tiba.

Anang Ardiansyah adalah salah satu potret kesetiaan yang kemudian menuai hasilnya. Anang-Anang yang lain hingga kini masih bertarung dan dihadapkan pada pilihan: setia, digilas zaman, atau “berkompromi” pada keadaan dan luruh budaya. “Sanja Kuning” bisa jadi merupakan peringatan penuh simbolik dari Anang Ardiansyah pada khalayak agar tatanaman budaya jangan layu; agar alang berkesenian bulik ka sarang kesetiaan; agar jukung tiung kebudayaan dikayuh melaju bersamaan dengan zaman; agar para Abah nang berkuasa mangiau “galuh” nang mamutik kambang waluh ketika malarak sanja, hingga tidak tertimpa bencana.

Maantar alang tarabang
Handak bulik ka sarangnya

No comments: