Monday, July 26, 2010

Surat dari Amerika (Bagian Kedua)



Sarah...

Oleh : Budi Kurniawan
(Wartawan, bekerja di Banjarmasin, tinggal di Jakarta.
E-mail: budibanjar@yahoo.com)

Dari sebuah rumah di sebuah komplek yang teduh di pinggiran Los Angeles, nada-nada berdentingan kala jemari kecil itu menari di atas papan-papan piano. Nada-nada itu membentuk lagu. Sederhana. Ada ragu saat jemari itu kebingungan harus menekan papan mana untuk melanjutkan lagu yang dimainkan. Di saat seperti itu, mata kecilnya yang indah memandang pada sang ibu yang sibuk mengiris tomat, bawang merah, dan cabe merah, mengaduknya dan mencampurkannya dengan remasan jeruk nipis segar, bertanya ke mana jari harus ditekankan agar lagu bisa terus berlanjut. Di dini hari yang dingin itu, sang ibu memberi arah. Tapi lagu tetap tak bisa mencapai tuntas paripurnanya.

“Mom, how can I play this song? My books leave in Ambon. U must bring it,” kata gadis kecil bermata hitam itu pada sang ibu.
“Ok, when holiday next year, we are going to Ambon again and bring your book and you can play that’s song. Right? Now, how can you say good night in Bahasa?”
“That’s simple Mom. Selamat malam,” jawab si gadis kecil sambil tertawa kecil.

Ada rasa yang berbeda kala mendengar kata ‘Selamat Malam’ keluar dari gadis kecil warga Amerika itu. Namun tak hanya kata sederhana itu yang bisa ia suarakan. Ia mahir berhitung dalam Bahasa Indonesia. Ia mengenal Ambon dengan sangat sempurna. Kian sempurna lagi ketika hampir sebulan ia berada di sana, bermain bersama anak-anak Ambon, menyaksikan dan menjadi bagian terapat dari keindahan alam dan kekhasan masyarakatnya.

Bagi Sarah, gadis kecil bermata indah itu, Ambon bukan sekadar tempat berlibur. Dari pulau dengan pantai, tanjung, dan gunung-gunung indah itulah leluhurnya berasal. Usi Endah, ibunya orang Ambon yang bermukim dan menjadi warga negara Amerika sejak tahun 1980. Sang ibu bekerja di Amerika dan menemukan jodohnya, lelaki asal Belanda yang menikahinya pada tahun 2000. Tak berapa lama, Sarah lahir dan kini berusia delapan tahun.

Ayah dan ibu Sarah tak sekadar bertemu, berjodoh, dan kini membesarkan putri tunggal mereka. Keduanya pribadi yang unik. Sang ibu termasuk orang cukup berada di Ambon. Hampir semua orang di sana mengenal baik leluhur dan orangtua Usi Endah. Keluarga mereka lah yang menjadi pionir masuknya bisnis perminyakan di Ambon. Keluarga besar ini juga berpendidikan. Sebagian besar di antara mereka tinggal di luar negeri. Selebihnya masih di Ambon.

Ayah Sarah tak kalah menariknya. Leluhurnya orang sangat terkenal di Buitenzborg atau Bogor di masa silam. Namanya terukir abadi dalam sejarah pembangunan Kebun Raya Bogor. Namanya setenar Rafless. Bedanya, ia orang Belanda. Ayah Sarah dan empat generasi sebelumnya lahir dan besar di Tanah Jawa. Mereka orang baik yang terpaksa meninggalkan Indonesia karena tanah air ini memproklamirkan kemerdekaannya dan mengusir semua orang Belanda pulang ke kampungnya tanpa bisa lagi membedakan apa pun.

Walau demikian, Sarah dan kedua orangtuanya tetap merasa menjadi orang Indonesia, bagaimanapun lusuh tidaknya wajah negeri ini. Perasaan semacam ini, kata Usi Endah dan beberapa warga Amerika keturunan Ambon di Los Angeles, wajib dipelihara. Caranya kadang sederhana: berkisah tentang Ambon dan masyarakatnya pada anak dan cucu masing-masing.

Salah satu kisah yang malam itu ramai mereka bincangkan adalah pertemuan dengan beberapa putra Ambon yang membela tim nasional sepak bola Belanda. Yang berkesan ketika mereka membicarakan bagaimana Kapten Timnas Belanda, Giovanni Van Bronckhorst bersama teman-temannya sesama keturunan Ambon pulang dan bertanding melawan kesebelasan lokal. Giovanni yang kedua orangtuanya berasal dari Ambon dan kawan-kawan mengalahkan Persatuan Sepak Bola Ambon (PSA) dengan skor 13-0.

Giovanni dan kawan-kawan memang punya akar sangat dalam dengan Ambon dan masyarakatnya. Menjelang final Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan melawan Spanyol misalnya, secara berantai beredar pesan pendek ke telepon genggam warga Ambon. Isinya: Tahuri babunyi di Murkele/Bringin tua berbunga bangga/Nusa ina Pulau Ibu meneteskan airmata/Ketika lima dan satu anak cucu alune dan wemale berlaga di Afrika Selatan membela Belanda/Gandong Ee…Jangan pisah tanpa garam/Mari dukung lima saudara laki-laki di Timnas Belanda/Karena Maluku cuma satu darah…

Yang dimaksud anak cucu Alune dan Wemale dalam pesan pendek itu adalah: Giovanni Van Bronckhorst, Gregory Van Der Wiel, Jhony Heitinga, Zemy de Zeuw, dan Nigel de Jong. Karena kedekatan emosional dan psikologis dengan para pemain Belanda ini, jadi jelas mengapa Ambon gaduh ketika tim yang mereka dukung itu kalah dari Spanyol.

Apalagi dulu Giovanni dan kawan-kawan rutin datang ke Ambon dengan biaya pribadi. Mereka juga membiayai promosi hingga penyelenggaraan pertandingan. Di sela pertandingan dan saat berada di rumah leluhurnya di Ambon, Giovani berbagi kisah tentang pengalamannya bermain sepak bola di daratan Eropa dalam bahasa Ambon yang sangat fasih. Sefasih saat Sarah mengucapkan kata ‘Selamat Malam’…

No comments: