Friday, July 6, 2007

Dimanakah Engkau Engku dan Ki Kini Berada?



Oleh : Budi Kurniawan (Penulis dan Alumnus FISIP Unlam, tinggal di Jakarta: E-mail : budibanjar@yahoo.com)

Seorang anak duduk bersila. Peci, baju koko dan sarung menutup erat tubuh mungilnya. Wajahnya berpaling, menatap lautan maha luas, perahu layar dan matahari yang sedang turun dan sebentar lagi akan lindap di ujung horizon. Keagungan Tuhan dengan keluasan pengetahuan membuat anak kecil itu terkagum-kagum.

Anak kecil dalam lukisan yang menggambarkan betapa maha luasnya alam diciptakan Tuhan itu ditorehkan Engku Muhammad Sjafei, pendiri Institut Kayutanam (INS Kayutanam), sebuah sekolah di Sumatera Barat. Sjafei mendirikan sekolah itu pada 31 Oktober 1926. Sekolah ini menerima murid dari berbagai etnis dan menyiapkan mereka menjadi insan yang cerdas, nasionalis, jujur dan berakhlak mulia.

Dalam mengembangkan sekolahnya, Muhammad Sjafei banyak belajar dari alam. Alam takambang mmenjadi guru, begitu orang Minang biasa menyebut berbagai pelajaran yang diberikan alam kepada manusia. Berbagai tamsil –seperti layaknya orang Minangkabau— dan medium lainnya ia gunakan. Ia misalnya melukiskan seekor laba-laba yang sedang memintal benang menjadi sarang untuk menggambarkan bahwa pekerjaan betapa pun kecilnya, jika dilakukan dengan tekun pasti akan menghasilkan sesuatu yang berguna. “Sehari selembar benang, lama-lama. . .” begitu salah satu bunyi tulisan Sjafei yang hingga kini masih terpampang di pinggir sebuah ruangan di INS Kayutanam.

Bagi Engku Sjafei, sekolah berfungsi mengasah kecerdasan dan akal budi murid, bukan membentuk manusia yang lain dari dirinya. Akhlak mulia lah yang dibentuk. Bukan sekadar murid yang memiliki keahlian. Nilai-nilai moral dan akhlak mulia sepertinya menjadi ciri khas sekolah-sekolah di masa silam. “Jangan minta mangga berbuah durian. Tapi minta dan jadikanlah setiap pohon menghasilkan buah yang manis,” demikian amsal yang disampaikan Sjafei.

Engku Sjafei mendirikan INS Kayutaman berangkat dari keinginannya untuk menerapkan model pendidikan yang memenuhi syarat untuk mengangkat derajat bangsa. Sjafei muda ingin bangsanya mampu mengejar berbagai ketertinggalan dari negara lain dan dari kelemahan jiwa akibat terlalu lama dijajah dan manja karena kekayaan alam.

Awalnya ide pendirian INS Kayutaman berawal dari Marah Sutan, bapak angkat Engku Muhammad Sjafei. Sepulang dari pendidikan di Belanda dan atas dorongan ibu angkatnya, Chalidjah, Sjafei mengawali sekolah ini hingga akhir hayatnya pada 1968.

INS yang kala itu merupakan singkatan dari Indonesich Nederlandsche School ini dimulai dengan dua orang murid dan fasilitas sangat sederhana. Murid duduk di lantai bermejakan tong minyak tanah. Semua kala itu berlangsung dalam tataran yang sangat sederhana.

Sebelum berkembang pesat, ketika perang kemerdekaan meletus seluruh kampus dibumihanguskan. Setelah itu dibangun kembali. Dari tahun 1926 sampai 1945, sebelum mengalami berbagai musibah, INS telah menghasilkan anak didik yang kemudian menjadi tokoh-tokoh yang cukup dikenal masyarakat, seperti Hasnan Habib, AA Navis, Mara Karma, Syurkani, Kaharuddin Nasution, Mahyudin Algamar, Bustanul Arifin Adam dan lainnya.

Implementasi konsep pendidikan Sjafei dipresentasi dengan mengembangkan komponen vital peserta didik, yaitu otak, kalbu dan raga agar seimbang sesuai kodrat masing-masing. Setiap siswa diberi kesempatan untuk menjadi dirinya sendiri sesuai dengan potensinya,
***
Engku Muhammad Sjafei pernah mengadakan pertemuan dengan Ki Hajar Dewantara, tokoh pendidikan dari Yogyakarta. Pertemuan yang berlangsung di tahun 1930-an itu menghasilkan kesepakatan untuk mengembangkan model pendidikan masing-masing dan saling memberi dan mengisi nilai-nilai yang diajarkan di masing-masing sekolah.

Bagi Engku Sjafei, Ki Hajar sesungguhnya bukan orang asing. Ki Hajar yang bernama asli Raden Mas Suwardi Suryaningrat dilahirkan pada 2 Mei 1889 di Yogyakarta. Ia berasal dari lingkungan keluarga kraton Yogyakarta. Setelah menamatkan ELS Sekolah Dasar Belanda), ia meneruskan pelajarannya ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera). Namun karena sakit, sekolah di STOVIA itu tidak selesai.

Ki Hajar kemudian banyak menulis untuk berbagai surat kabar seperti Sedyotomo, Midden Java, De Express dan Utusan Hindia. Ki Hajar termasuk penulis handal. Tulisan-tulisannya penuh semangat patriotik yang bisa membakar semangat anti penjajahan kepada semua pembacanya.

Selain menjadi wartawan muda Ki Hajar juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Pada tahun 1908 dia aktif di Budi Utomo dan mendapat tugas di seksi propaganda.

Perkenalannya dengan Dr Danudirdja Setyabudhi (Douwes Dekker), dr Cipto Mangunkusumo dan Abdul Muis melahirkan gagasan baru untuk mendirikan Indische Partij, partai politik pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia. Partai yang berdiri pada tahun 1912 ini memiliki keyakinan bahwa nasib masa depan penduduk Indonesia terletak di tangan mereka sendiri, karena itu kolonialisme harus dihapuskan. Tapi pemerintah kolonial Belanda menolak status badan hukum partai ini.

Mereka bertiga kemudian membentuk Komite Bumiputera, sebuah organisasi tandingan dari komite yang dibentuk oleh Pemerintah Belanda. Bersamaan dengan itu, RM Suwardi kemudian membuat sebuah tulisan berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) yang menyindir ketumpulan perasaan Belanda ketika menyuruh rakyat Indonesia untuk ikut merayakan pembebasan Belanda dari kekuasaan Perancis.

Tulisan yang dimuat dalam koran de Express milik Douwes Dekker ini dianggap menghina oleh Pemerintah Belanda sehingga keluar keputusan hukuman untuk mengasingkan RM Suwardi ke Pulau Bangka. Usaha pembelaan yang dilakukan Douwes Dekker dan Cipto Mangunkusumo tidak membawa hasil, bahkan mereka berdua terkena hukuman pengasingan juga.

Karena menganggap pengasingan di pulau terpencil tidak membawa manfaat banyak, mereka bertiga meminta kepada Pemerintah Belanda untuk diasingkan ke negeri Belanda. Pada masa inilah kemudian RM Suwardi banyak mendalami masalah pendidikan dan pengajaran di Belanda hingga mendapat sertifikasi di bidang ini.

Setelah pulang dari pengasingan, RM Suwardi bersama rekan-rekan seperjuangan mendirikan Nationaal Onderwijs Instituut atau Perguruan Nasional Taman Siswa pada tanggal 3 Juli 1922. Perguruan itu bercorak nasional dan berusaha menanamkan rasa kebangsaan dalam jiwa anak didik.

Pernyataan asas dari Taman Siswa berisi tujuh pasal yang memperlihatkan bagaimana pendidikan itu diberikan, yaitu untuk menyiapkan rasa kebebasan dan tanggung jawab, agar anak-anak berkembang merdeka dan menjadi serasi, terikat erat kepada milik budaya sendiri sehingga terhindar dari pengaruh yang tidak baik dan tekanan dalam hubungan kolonial, seperti rasa rendah diri, ketakutan, keseganan dan peniruan yang membuta.

Selain itu anak-anak dididik menjadi putra tanah air yang setia dan bersemangat, untuk menanamkan rasa pengabdian kepada bangsa dan negara. Dalam pendidikan ini nilai rohani lebih tinggi dari nilai jasmani. Pada tahun 1930 asas-asas ini dijadikan konsepsi aliran budaya, terutama berhubungan dengan polemik budaya dengan Pujangga Baru.

***
Sayangnya dalam waktu lama, pemerintah rupanya tak banyak menengok kedua sekolah yang bernilai sejarah dan legendaris ini. Konsep pembelajaran, kurikulum yang disusun dan diterapkan, muatan pelajaran dan seterusnya kini kian jauh dari nilai-nilai yang sesungguhnya sudah pernah ada dan dikembangkan di dua sekolah legendaris itu.

Istilah-istilah baru yang muncul, instrumen perundang-undangan, anggaran yang melimpah dibanding bidang lain di dunia pendidikan saat ini seolah berbanding terbalik dengan apa yang sudah dilakukan Engku Sjafei dan Ki Hajar Dewantara.

Pendidikan yang berkualitas baik kini hanya milik kelompok orang berpunya. Sementara kaum miskin hanya mendapat –itupun dengan taruhan keringat dan air mata tiada tara—pendidikan yang jauh dari kualitas baik. Menjadi utopia rasanya ketika membandingkan biaya sekolah yang menjulang setinggi langit sementara tangan si miskin tak akan pernah mampu meraihnya.

Guru yang dimasa silam menjadi tonggak penentu kualitas pendidikan kini hanya menjadi sasaran “kebaikan” para pengambil kebijakan. Sulit rasanya melihat niat tulus para pengambil kebijakan itu untuk memperbaiki nasib guru. Yang ada kini malah adalah kian banyaknya tuntutan dari berbagai instrumen perundangan terhadap kualitas guru.

Bagaimana guru mensiasati hidup yang kian pahit dari waktu ke waktu, sepertinya jauh dari pikiran para pengambil kebijakan. Memang kini dengan anggaran pendidikan yang relatif melimpah dibanding bidang lain, banyak janji terucap untuk meningkatkan kesejahteraan para guru. Tapi dalam soal janji, bukankah negeri ini penuh dengan para tukang janji yang belum tentu memenuhinya. Lalu dimanakah engkau Engku dan Ki kini berada?

1 comment:

Anonymous said...

wa buku hampaya jadi??