Wednesday, September 24, 2008
Tumbang Samba...
Ini adalah Tumbang Samba, tempat tanah lahir beta...dibuai dibesarkan bunda:) Desa ini menjadi pertemuan antara dua sungai (Katingan dan Samba). Desa yang dulu berpenduduk sangat bersahaja ini kini tergerus zaman. Prilaku mengagungkan materi kini merusak banyak tatanan budaya luhur yang diwariskan nenek moyang dari zaman silam. Desa ini merupakan pintu masuk ke pedalaman Sungai Katingan dan Sungai Samba.
Thursday, September 18, 2008
Raksasa yang Membinasa
Kau Lumatkan Hutanku, Banjir Lumatkan Aku
Selama 10 hari (sejak pertama Ramadhan tiba) aku, keluargaku, dan segenap rakyat biasa di Kabupaten Katingan direndam banjir. Banjir datang sebanyak tiga kali dalam jeda yang sangat singkat. Banjir pertama datang bersamaan dengan kedatangan bulan Ramadhan. Segenap warga yang beragama Islam, menjalankan puasa di sela banjir yang menimpa.
Air sempat turun sebentar, warga pun segera membersihkan rumah dan toko-toko tempat berjualan. Setelah semuanya bersih dan rapi, air naik lagi. Kerepotan pun berlangsung lagi. Banjir yang kedua ini berlangsung beberapa hari dan cukup tinggi. Ibuku, adik ayahku, dan seorang keponakanku tidur di atas loteng berdempetan dengan barang-barang yang berhasil diselamatkan sebelumnya.
Sementara aku tidur di tempat menjemur pakaian yang letaknya agak tinggi di bagian belakang rumah di atas dapur. Ketika mengungsi di tempat jemuran, aku mengirimkan sms ke kawan-kawan wartawan. Antara lain ke Anto (Kompas), Bang Yadie (Mata Banua), Bang Yanto (Sinar Kalimantan), Alfi (Radar Sampit), Ka Ida (Banjarmasin Post), Bang Ifan (RCTI), dan kawan-kawan yang lain. Mereka sangat respon. Aku dikabari seorang temen dari Jakarta, bahwa pernyataan-pernyataanku turun di berbagai surat kabar. Aku bersyukur, paling tidak dunia tahu apa yang sedang terjadi dengan tanah lahirku.
Kepada kawan-kawan itu kusampaikan, banjir semacam ini terjadi akibat hancurnya hutan di daerah tangkapan air di hulu sungai Katingan dan sungai Samba. Ketika hujan terjadi di hulu, air pun mengalir deras ke hilir, karena sudah tak ada lagi hutan yang mampu menahan keganasan mereka. Semua memang sudah habis...
Dalam beberapa hari air surut. Tapi setelah warga membersihkan rumah dan menata dagangannya lagi, air kembali naik dengan tinggi air yang mampu menenggelamkan dada. Banjir inilah yang berlangsung relatif lama. Orang tak bisa berbuat apa-apa.
Sementara aku mendengar dari seorang kawan yang berada di Palangkaraya yang sedang membaca koran lokal disana, Camat Katingan Tengah, Drs Ganti, menyatakan banjir tak berdampak apa-apa bagi warga. Lalu Rentas, salah satu kepala dinas di Pemkab Katingan menyatakan ia masih belum mendapat laporan dari Camat bahwa Tumbang Samba, kampung halamanku, dan desa-desa di sepanjang sungai Katingan terendam banjir. Aku hanya mampu mengelus dada mendengar itu...Rupanya bukan hanya para pemilik HPH yang telah merampas hutan-hutan kami orang Dayak Ngaju, dan membuat banjir melumatkan kami, tetapi para birokrat itu juga telah menipu dirinya, menipu kami...Amarahku terasa hampir menyentuh langit...
Monday, September 15, 2008
Dua Sisi Mata Uang?
Dalam sebuah perjalanan Banjarmasin-Banjarbaru, aku berhenti untuk mengisi perut di sebuah warung di Gambut, yang terkenal dengan nasi itiknya yang enak. Di sini aku tak hanya menemukan nasi itik, tapi juga ada "selebaran" minta dukungan dari seorang "artis"lokal yang sedang mengadu nasib dengan sms di sebuah kontes dangdut di sebuah televisi swasta di Jakarta.
Sementara di warung itu --dan di sebuah warung cukup besar di Km 30 Jalan Trans Kalimantan menuju Sampit dan Tumbang Samba-- juga terpampang wajah ulama yang punya pengikut banyak di Kalimantan Selatan. Ini dua sisi mata uang sikap dan sifat? Entahlah....
Jangan Bicara Soal Keadilan
Ketika Ayahku tercinta meninggal dunia pada 19 Agustus 2008, aku segera pulang dari Jakarta, tempatku numpang "nyari makan". Namanya orang pedalaman --aku lahir di Tumbang Samba, sebuah desa di pedalaman Kabupaten Katingan (hasil pemekaran dari Kabupaten Kotawaringin Timur)-- aku panik untuk pulang. Tiket ke Palangkaraya baru bisa didapatkan sehari setelah Ayahku meninggal. Terpaksa lah aku kompromi pada keadaan. Aku pulang pada 20 Agustus ke Palangkaraya.
Dari Palangkaraya aku naik sepeda motor menuju kampung halaman. Perjalanan ke kampung dari Palangka membutuhkan waktu lebih dari 4 jam dengan melalui medan yang cukup berat --terutama dari Km 30 arah Sampit menuju Tumbang Samba. Di sepanjang jalan membentang lahan yang kini mulai ditanami sawit oleh orang-orang lokal berduit dan orang luar yang kaya raya. Sebagian lagi lahan kering bekas penambangan emas besar-besaran pada tahun 1980-an. Udara terasa sangat panas. Ditambah dengan kondisi jalan yang sulit untuk dikatakan bagus.
Perjalanan ke Samba jika jalannya bagus tak perlu waktu hingga 2 jam. Karena jaraknya tak sampai 100 Km. Tapi itulah, Katingan, katanya kaya raya, tapi untuk membangun jalan saja mereka tak mampu.
Sementara di Kasongan, ibukota Kabupaten, aku menyaksikan rumah bupatinya bak istana. Gedung pemerintahannya mentereng. Sementara rakyat di pedalaman tetap saja menderita. Mereka tak punya pekerjaan. Menambang tradisional terpaksa dilakukan. Padahal merusak lingkungan. Membangun rumah dari kayu tak lagi bisa dilakukan, karena telunjuk kekuasaan menganggap mereka pelaku illegal logging. Sementara di hulu Sungai Katingan dan Sungai Samba, perusahaan besar pemegang izin dari Jakarta, melenggang seenaknya, dan membabat hutan sambil tertawa girang.
Subscribe to:
Posts (Atom)