Friday, December 5, 2008

Senja Kala di Tanah Dayak


Genosida budaya berlangsung sistematis. Kapitalis besar tak hanya merampas tanah. Tapi juga membunuh segalanya. Lembaga Kedamangan dan keberlangsungan adat terancam. Perlawanan harus dilakukan.

Oleh : Budi Kurniawan

Pada suatu masa, hiduplah seekor monyet dan kura-kura –orang Dayak di Kalimantan Tengah menyebut dua binatang ini, bakei dan kelep. Untuk bertahan hidup keduanya sepakat menanam pisang. Karena bisa memanjat dengan mudah, hanya monyet yang bisa menikmati kala pisang yang berbiji yang ditanam itu berbuah.

Melihat prilaku buruk monyet, kura-kura protes. “Bakei nenga aku bua pisang te (Monyet, berikanlah aku buah pisang itu),” kata kura-kura dalam bahasa Kapuas –banyak orang menyebutnya sebagai bahasa Kahayan.

Monyet di puncak pohon pisang bergeming. Ia asyik terus menikmati manisnya buah pisah yang ditanamnya bersama kura-kura. “Mangat bua tuh kelep (buah pisang ini enak sekali),” kata monyet.

“Mun dia bua, upak a barangai (kalau tidak bisa buahnya, kulitnya juga boleh),” kata kura-kura.
“Upak a gin mangat (kulitnya pun enak.”
“Mun dia tau upak ah, bawak a barangai (kalau tidak bisa kulitnya, bijinya juga boleh).”

Permintaan kura-kura tak berjawab. Kura-kura yang jengkel kemudian menyusun siasat. Ia memiringkan tubuhnya dan mengarahkan sisi rumahnya di bawah pohon pisang. Sementara monyet yang keasyikan menikmati buah pisang tak menyadari bahaya yang menanti di bawah. Saat ingin mengambil kembali buah pisang, tangannya tak sampai. Keseimbangan tubuhnya pun goyah. Tak ayal, tubuh monyet pun jatuh deras menimpa sisi rumah kura-kura yang tajam. Darah pun berhamburan. Monyet pun tewas.

Kisah yang hingga kini sudah jarang terdengar di antara komunitas Dayak di Kalimantan Tengah diceritakan Damang Kecamatan Timpah, Kabupaten Kapuas, Punding W Daron, dalam Pelatihan Dasar-Dasar Hak Asasi Manusia untuk Damang Kepala Adat Kalteng dan Kalsel yang berlangsung di Palangka Raya pada 1-5 Desember 2008. Pelatihan yang digagas Center for Research Development Studies, Banjarmasin, ini diikuti para Damang dan Kepala Adat dari lima daerah aliran sungai berbeda di Kalselteng.

“Apa yang jadi pesan dari kisah ini. Nasib kura-kura sama dengan orang Dayak. Orang Dayak yang tertipu berkali-kali baru bisa memperoleh haknya setelah berjuang dengan sangat keras,” kata Punding W Daron.

Ya, budaya Dayak di seluruh Kalimantan sesungguhnya sedang berada di ujung senjakala. Derasnya globalisasi menghantam eksistensi Dayak beserta seluruh bagian adatnya. Masyarakat adat terancam. Ancaman ini juga datang dari derasnya suku bangsa lain yang datang ke tanah Dayak dan tidak mengindahkan –juga menghormati—semua budaya yang telah hidup dan berakar.

Dalam sebuah perjalanan ke Palangkaraya, ibukota Provinsi Kalteng, saya mendengar sayup-sayup sampai musik dengan gending Jawa mengudara di sela acara sebuah pernikahan. Tak hanya itu, bahasa Ngaju yang sudah ratusan tahun hidup pun diganti bahasa Banjar yang disebarkan dengan sangat ekspansif oleh para penuturnya.

Persoalan kian pelik ketika kapitalisasi perkebunan sawit merajalela. Di pinggiran jalan trans Kalimantan kini membentang luas perkebunan sawit. Semua ini sungguh kontras ketika hutan rimba masih meraja memenuhi tanah Kalimantan.

Penguasa rupanya mendewakan angka pertumbuhan ekonomi sebagai gambaran keberhasilan pembangunan, lalu menapikkan manusia dan hak adat. Sawit menjelma menjadi sektor penting mendatangkan investor. Logika investor datang membawa pundi-pundi uang, menanamkannya, memberi berkah, kebaikan, dan pendapatan diyakini para penguasa. Soal bagaimana lingkungan porak-poranda, hutan yang beralih fungsi, rusaknya tatanan sosial dan budaya, dan berada di tubir jurangnya kearifan lokal menjadi hal yang tak pernah dihitung. Benda dan uang menjelma menjadi “Tuhan” baru yang diyakini bisa menentukan dan membeli apapun.

Kini di wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan terdapat 1,8 juta hektare program sawit dan enam juta hektare untuk pengembangan biofuel; di Kalimantan Tengah saat ini ada 334 izin perkebunan kelapa sawit yang telah dikeluarkan dengan luas areal yang dicadangkan mencapai 4,2 juta hektare. Dari jumlah itu, yang beroperasi baru 130 izin dengan luas areal 600 ribu hektare dan sisanya sebanyak 204 izin belum operasional. Data Departemen Kehutanan hingga Desember 2006 ada pencadangan pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan di Kalimantan seluas 4,3 juta hektare. Dari luas itu yang terealisasi menjadi perkebunan 373.303 hektare dan yang belum termanfaatkan 3,9 juta hektare.

Secara nasional hingga tahun 2006, luas perkebunan kelapa sawit telah mencapai 6.04 juta hektare dengan laju tanam rata-rata dalam waktu lima tahun (1999-2004) mencapai 400,100 ha per tahun (Sawit Watch, 2006). Produksi CPO Indonesia mencapai 16,17 juta ton dibandingkan Malaysia yang hanya 15,88 juta ton (Investor Daily, 01/02/2007). Struktur produksi bisnis minyak sawit dikuasai dan berasal dari 27 grup besar mengendalikan sekitar 600 anak perusahaan yang tersebar di 19 provinsi dan dikembangkan dengan distribusi 50% milik swasta, 33% petani kecil penghasil buah, dan 17% BUMN (Deptan, 2006). Dari segi investasi, hampir 45% berasal dari Malaysia.

Ekspansi besar-besaran ini akhirnya bermuara pada konflik perusahaan versus masyarakat adat, hukum positif versus hukum adat, dan genosida budaya. Hampir di semua daerah yang dimasuki para investor konflik lahan terjadi. Sampai tahun 2006, terdapat 140 kasus yang melibatkan 353 komunitas di wilayah perkebunan yang melibatkan sesama masyarakat lokal atau dengan pendatang.

Sawit Watch mencatat, sekitar 70% dari 500 kasus perselisihan perkebunan besar swasta dan warga bersumber dari sengketa tanah. Di Kalimantan Tengah, ada sekitar 20 kasus sengketa yang dilaporkan. Konflik ini terjadi karena kesalahan sejak awal proses perizinan yang tak melibatkan warga sehingga terjadi tumpang tindih lahan. Ketika persoalan terjadi, para penegak hukum menafikkan hukum adat. Mereka lebih memilih menegakkan hukum positif. Padahal adat ada jauh sebelum republik ini berdiri.

Proses ini seperti mengulangi kesalahan fatal Orde Baru dengan Proyek Lahan Gambut (PLG) Sejuta Hektare yang gagal dan menyengsarakan hingga kini. Soeharto dan menteri-menterinya membagi hutan Kalteng bak puzzle dari Jakarta, tanpa melihat di tanah yang mereka bagi itu hidup orang Dayak dengan seluruh potensi alam dan kearifan lokal yang mereka miliki. Konflik lahan kala itu dihadapi dengan senjata dan intimidasi.

Menarik apa yang dikatakan Darius Dubut, seorang Doktor yang bergerak dalam diam di pedalaman membela orang-orang Dayak, tentang betapa besarnya “api” dalam sawit. “Uluh Dayak bara tatu hiang a bihin, belum bara himba, upun kayu, metu dan sebagainya. Itah maimbul parei hong tana haru tau amun jadi balaku dengan liau. Himba lepah, sawit dumah, itah dia tau hindai babalian balaku izin dengan liau? Itah dia tau hindai manyambulut burung. Itah tau matei lepah (Orang Dayak sejak nenek moyang dulu, hidup dari hutan, kayu, binatang dan sebagainya. Kita menanam padi di ladang baru bisa dilakukan setelah menggelar upacara meminta izin pada roh. Ketika hutan hilang, dawit datang, kita tak lagi bisa menggelar upacara dan memuja alam. Kita tak bisa lagi menjebak burung di pohon. Kita akan binasa,” kata Darius. Senjakala sepertinya akan tiba di tanah Dayak.

No comments: