Oleh : Budi Kurniawan (Alumnus FISIP Unlam. Penulis buku, tinggal di Jakarta. E-mail: budibanjar@yahoo.com)
“Turunkan tangan kau Jenderal! Tak pantas kau menghormat pada mereka!”
“Umar, apa betul mereka yang dikubur di sini semua pahlawan?”
Permintaan memelas kepada patung Jenderal Sudirman yang berdiri kokoh membelah sebuah jalan protokol di Jakarta, dan pertanyaan pada Umar si tukang bajaj bersahaja, ini menjadi garis paling tebal dalam film Naga Bonar Jadi 2 yang dibintangi maestro Dedy Mizwar. Permintaan memelas dan pertanyaan ini menjadi ironi ketika menyaksikan hidup dan kehidupan yang berlangsung kini di negeri ini.
Para tokoh datang silih berganti. Sebagian dipuja lalu dijadikan dan menjadikan dirinya bak pahlawan. Sebagian lainnya lagi disinggirkan dan lindap menjadi pecundang. Politik yang kini kian terbuka juga kian memudahkan orang menjadi pahlawan. Berbagai medium di zaman mutakhir ini turut berperan besar menjadikan seseorang menjadi “somebody” dan “no body”.
Kekuasaan yang digenggam sebuah rezim pun memudahkan seseorang mendapat predikat pahlawan. Obral bintang jasa kepada seseorang yang sesungguhnya bukan siapa-siapa selalu menjadi pemandangan biasa kala peringatan kemerdekaan Indonesia berlangsung. Predikat pahlawan hanya diberikan kepada orang-orang besar dan berpunya. Sementara kaula yang berdarah-darah penuh nestapa dan berada di garis depan dihujani peluru tak pernah mendapatkan apa-apa. Pasca revolusi meraih kemerdekaan yang bergemuruh itu sirna, para kaula yang terlibat hanya menjadi figuran sejarah. Menyaksikan sejarah berlangsung dari pinggiran lapangan dan tempat yang terbuang.
Sejarah versi pemenang dan pemegang kekuasaan sesungguhnya tak pernah objektif. Negeri ini selalu meminggirkan kaum tertentu yang dianggap dan dipersepsikan sebagai lawan kekuasaan. Tak ada prasasti, tak ada bintang jasa, dan tak ada predikat apa pun pada mereka yang dipinggirkan, selain pecundang dan orang-orang yang merongrong kekuasaan.
Sejarah Indonesia modern misalnya menjadikan Kartosuwiryo, Tan Malaka, DN Aidit, Ibnu Hajar, Kahar Muzakkar, Daud Bereuh, dan seterusnya sebagai pecundang. Tak ada yang mau menengok dan membicarakan kenapa mereka melakukan langkah-langkah yang kemudian dicap sebagai separatisme dan subversif. Tak ada yang berbesar hati untuk melihat kiprah mereka ketika terlibat menyokong kemerdekaan. Yang ada adalah melihat mereka setelah melakukan sesuatu yang dianggap berseberangan dengan kekuasaan.
Padahal kata para ahli, sejarah adalah proses dialektika dari berbagai peristiwa. Dan untuk melihat dialektika itu tak boleh menggunakan kacamata kuda dengan mengesampingkan latar belakang tindakan. Kajian dan penulisan sejarah yang baik –bukan benar—adalah yang mencoba memaparkan segala sesuatunya dalam bingkai holistik dan komprehensif. Bukankah pahlawan di satu tempat bisa jadi adalah pecundang di tempat lain. Semuanya hanya dipisahkan oleh selimut tipis kekuasaan.
Pahlawan sesungguhnya adalah mereka yang berdiri terakhir dan melawan ketika yang lain tiarap menggigil ketakutan. The Last Man Standing, kata para bule. Apakah karena membenci Golkar lalu orang bisa menganggap AA Baramuli yang berselemak masalah itu namun berdiri tegak dan membela partainya ketika diserang badai reformasi lalu ia bukan pahlawan? Paling tidak pahlawan bagi kelompoknya. Apakah karena menganggap Ibnu Hajar separatis, lalu ia bukan pahlawan bagi para pemujanya yang menentang masuk dan berkuasanya para tentara yang berasal dari luar Kalsel yang berpendidikan tapi tidak punya jam terbang dan rekam jejak heroik di medan pertempuran? Apakah karena membenci kaum Komunis, lalu orang bisa dengan mudah melupakan betapa partai ini membuktikan kata dan janji dengan perbuatan nyata pada kaum proletar pendukungnya? Apakah Osama bin Ladin yang marah dengan prilaku Amerika bukan pahlawan bagi kelompok yang sepemikiran dengannnya? Apakah..Apakah..?
Pahlawan memang tak pernah lepas dari kontroversi dan standar ganda. Namun semua orang sesungguhnya ingin menjadi pahlawan. Yang membedakan hanya soal ruang, tempat, dan waktu. Seseorang yang berdarah-darah berjuang bagi keluarganya agar lepas dari deraan lapar, dahaga, dan hidup yang tak jua kunjung membaik, adalah pahlawan dalam konteks yang sederhana. Lalu seseorang yang bisa hidup bersama dalam keberagaman dan perbedaan tanpa menggangu orang lain, apakah bukan pahlawan? Begitu juga dengan seseorang yang mampu menggunakan dan mempraktikkan kata “kita” tanpa melihat orang dan kelompok lain sebagai “mereka”, “kalian”, dan “kamu”, bukan pahlawan?
Pahlawan itu bak kebenaran. Ia biasa ada dimana pun. Di tempat yang kadang tidak kita sukai. Ia biasa ada pada kapan pun. Di waktu yang kadang tidak kita senangi. Ia bisa ada pada kelompok dan orang tertentu yang kadang tidak kita puja. Tetapi ia tetap pahlawan. Ia tetaplah sebuah kebenaran. Pahlawan dan kebenaran baru bisa digenggam setelah ia teruji baik secara faktual maupun filosofis. Apa yang terlihat belum tentu sama dengan yang tak terlihat. Yang tersurat belum tentu mencerminkan yang tersirat.
Walau demikian pahlawan tetaplah pahlawan. Dalam sebuah gerakan pemikiran dan jalanan membela kebebasan berekspresi yang terancam di Kalsel misalnya, masih ada orang yang muncul bak pahlawan, lalu menistakan dan memfitnah orang lain untuk kepentingan dirinya. Atau memanfaatkan situasi untuk kepentingan dirinya sendiri.
Kebingungan akibat prilaku rezim, cara pandang yang sempit, membeda-bedakan orang, dan selalu menjadikan pahlawan dalam ruang yang dipenuhi gemilang kisah dan mitos, lalu meminggirkan para kaula sederhana dari babakan sejarah, bisa jadi menggerus nurani.
Jadi tangis Naga Bonar yang meminta “Jenderal Sudirman” untuk menurunkan tangannya dan tidak menghormat pada gerombolan mobil mewah yang dengan angkuh melintasi jalanan Jakarta yang macet, pertanyaannya pada Umar si tukang bajaj bersahaja, dan keraguannya mengangkat tangan menghormat pada kuburan di Kalibata, sama saja dengan keraguan kita kini. Ah, pahlawan...
Friday, November 9, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
3 comments:
nama saya miftah, umur 22,mahasiswa stmik indonesia banjarmasin.
saya ingin belajar menulis seperti anda.
ingin tau tentang Aktivis Journalist and Writer Forum of Borneo.
bisakah pian membantu ulun ?
terima kasih.
mimif07@gmail.com
Bung Miftah yang baik, terimakasih atas email dan komentarnya. Saya sekarang sedang ada di Banjarmasin. Jika ingin bertemu dan ngobrol --dan mudah-mudahan aku bisa membantu-- aku biasanya ada di kantin Kompa Unlam.
Ini nomor Hp ku 08164532082 atau 0888 1317013
Salam hangat,
Budi Kurniawan
Miftah, jika ada waktu mohon sms..mudah-mudahan aku bisa membantu.
Post a Comment