Friday, November 9, 2007

Doktor, Dayak Ngaju, dan Kekuasaan yang Jumawa


Oleh : Budi Kurniawan (Alumnus FISIP Unlam dan Aktivis Journalist and Writer Forum of Borneo. Tinggal di Jakarta. E-mail: budibanjar@yahoo.com)

Akhir Oktober 2007, menjadi lembaran sejarah baru bagi kajian hukum adat Dayak Ngaju. Dua putra Kalteng, H Suriansyah Murhaini SH MH dan Drs Eddy MPd yang mengkaji dan mengangkat hukum adat Dayak Ngaju melalui disertasi “Singer Bagi Masyarakat Dayak Ngaju di Tengah Perubahan Sosial di Kecamatan Katingan Tengah, Kabupaten Katingan” dan “Palaku Masyarakat Dayak dalam Perubahan Sosial di Kabupaten Gunung Mas” meraih gelar Doktor Ilmu Sosial dari Universitas Merdeka, Malang.

Dalam disertasi yang dipromotori Prof H Samsul Wahidin SH MS –dulu dosen Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat (Unlam) dan kini mengajar di berbagai perguruan tinggi di Malang dan Surabaya-- dan diuji secara terbuka oleh 12 Profesor dan Doktor dengan berbagai latar keilmuan itu, Suriansyah menyatakan walau mulai tergerus zaman akibat perubahan sosial, sebagai perangkat hukum pada masyarakat Dayak Ngaju, Singer (denda adat) hingga kini masih relevan dan berperan penting dalam menyeimbangkan dan melestarikan adat. Sengketa yang terjadi dalam masyarakat Dayak Ngaju sebaiknya diselesaikan dengan penegakan hukum adat berupa pemberian sanksi berupa Singer dengan jipen dalam jumlah tertentu. Sayangnya, peran Damang sebagai pemangku dan pemuka adat dalam penegakan Singer masih kurang maksimal.

Dalam paparannya Suriansyah Murhaini menyatakan, dari 15 jenis Singer Perkawinan yang terbagi dalam banyak pasal, kini tidak seluruhnya lagi berlaku dan memiliki kekuatan hukum. Hal ini disebabkan oleh adanya perubahan sikap dan pola pikir masyarakat yang bersifat irasional menjadi rasional; pembanding budaya yang menyebabkan budaya lama ditinggalkan; terjadinya pertukaran sosial budaya perseorangan dan kelompok; dan adanya penerapan aturan perudang-undangan oleh pemerintah yang memiliki kekuatan, sanksi, dan perangkat hukum yang lebih kuat.

Sementara Eddy dalam disertasinya menyatakan telah terjadi pergeseran dalam hal Palaku (mahar perkawinan) dalam masyarakat Dayak Ngaju. Berbagai simbol Palaku di masa silam seperti gong kini berubah menjadi emas, perhiasan, dan barang berharga lainnya.

Selain itu masyarakat Dayak Ngaju juga kini menjadi jauh lebih terbuka di tengah perubahan sosial, perkawinan tidak hanya bersifat endogami tapi juga eksogami. Ini menunjukkan fleksibilitas dan terbukanya masyarakat Dayak Ngaju terhadap perubahan sosial. Perkawinan eksogami menunjukkan masyarakat Dayak Ngaju telah terbuka dan mengenal sikap egalitarian. Proses permintaan dan pemberian Palaku kini menjadi sangat fleksibel, disesuaikan dengan kemampuan pihak yang akan melaksanakan perkawinan. Musyawarah mufakat menjadi faktor utama dalam permintaan dan pemberian Palaku.

Dua kajian ini menjadi tak sekadar kegiatan mengangkat batang terendam. Meminjam istilah DR JJ Kusni, putra Dayak yang kini mengajar di Universitas Sorbonne, Prancis, ia juga bukan sekadar menjadi ragi usang. Hukum adat Dayak Ngaju ternyata masih bisa mengisi ruang kosong hukum formal yang diproduksi pemerintah. Karena memang tak semua pelanggaran hukum bisa ditangani hukum formal, walau dari sisi legalitas dan otoritas ia lebih kuat dari hukum adat.

“Kekosongan” hukum formal misalnya bisa dilihat dalam penanganan illegal logging dan illegal mining yang dilakukan di tanah-tanah adat. Persekongkolan jahat dan perselingkuhan penegak hukum dengan pengusaha menjadikan sanksi tidak bisa berbuat apa-apa. Kalau pun ada yang diberi sanksi, ia tak lebih dari sekadar pelaksanaan konsep tebang pilih. Mereka yang terkena sanksi sering datang dari kalangan yang tidak lagi memiliki basis politik dan ekonomi. Sementara yang memiliki kedua hal itu bisa melenggang bebas.

Dalam konsep hukum adat Dayak Ngaju, perusakan lingkungan adalah sesuatu yang sangat diharamkan dan akan dikenakan Singer dengan jumlah jipen tertentu. Pelanggaran terhadap hal itu tak sekadar merusak alam, tetapi juga telah mengganggu keseimbangan alam mikrokosmos dan makrokosmos. Karena itu jika sesuatu terjadi terhadap alam, baik disengaja atau tidak, sejumlah upacara adat dan pembayaran denda adat (Singer) wajib dilakukan. Jika tidak, keseimbangan alam terganggu dan hubungan antara manusia dan alam akan terganggu.

Dayak Ngaju juga tak hanya menghukum manusia pelanggar hukum adat. Suku yang distigmakan barbarian oleh Kompeni dan pemerintah Hindia Belanda ini juga akan “menghukum” alam yang menyebabkan nyawa manusia melayang. Upacara mangayau kayu dan mangayau danum (air) menunjukkan dengan jelas hukuman yang harus ditanggung kayu dan alam yang menyebabkan kematian manusia. Kayau jenis ini bertujuan mengembalikan keseimbangan dan hubungan manusia-alam yang telah rusak.

Ini menunjukkan betapa hukum adat Dayak Ngaju menekankan sikap antara alam dan manusia untuk tidak saling mengganggu dan membinasakan. Hubungan alam-manusia wajib berlangsung dalam suasana damai, saling memberi dan menerima, dan menjaga kehidupan secara bersama-sama.

Manusia “membalas” tindakan dan “menghukum” alam dengan setimpal. Demikian pula sebalinya, alam pasti bereaksi terhadap prilaku buruk manusia terhadapnya. Karena itu jangan heran ketika banjir datang, puting beliung menghantam, gempa berderap, dan berbagai fenomena alam silih berganti hantam manusia. Manusia yang menebar permusuhan, dan alam membelinya dengan memberi balasan yang setimpal pula.

Tak hanya soal alam, hukum adat Dayak Ngaju juga memberi ruang sangat terhormat bagi kaum perempuan. Palaku yang sering memiliki nilai ekonomi tinggi menjadi salah satu gambaran betapa perempuan memiliki tempat tertinggi dan karenanya wajib dihargai. Tetapi karena fleksibiltasnya, maka nilai Palaku bisa ditentukan secara bersama-sama, berlandaskan azas musyawarah mufakat, tidak memberatkan, dan terbuka terhadap berbagai perubahan.

Sayangnya pemerintah yang jumawa dengan segala kekuasaan yang melekat padanya, justru memporak-porandakan hukum adat yang ada. Alat pemaksa dan legitimasi yang dimiliki pemerintah justru menyingkirkan hukum adat yang memiliki kekuatan psikologis dan melintasi batas ruang, waktu, dan formalitas.

Dalam kajian DR Abdurrahman SH MH misalnya, ia menemukan betapa hukum adat Dayak Ngaju yang mengatur perusakan alam kini hanya berlangsung dalam ruang sempit. Hanya efektif ketika perusakan alam terjadi di lahan milik sesama suku Dayak Ngaju. Tetapi jika perusakan itu dilakukan kapital besar terhadap lahan milik suku Dayak Ngaju, hukum adat itu menjadi singa ompong. Kalau pun perselisihan masuk dalam area hukum formal, kapitas besar selalu menang. Karena uang rupanya sudah mengkristal menjadi “Tuhan” baru bagi segenap orang.

Hal yang sama juga terjadi dalam soal Palaku. Dengan alasan modernitas, Palaku kini banyak ditinggalkan. Padahal Palaku tak sekadar menjadi salah satu syarat pernikahan, tetapi juga menjadi modal dasar bagi dua pasangan anak manusia membangun keluarga yang bahagia dan sejahtera.

Jadi sudah saatnya kekuasaan –juga kita—yang jumawa, belajar kembali pada kearifan lokal yang sejak lama menjadi bagian hidup para pendahulu. Mengutip Prof Samsul Wahidin dalam pidato yang menjadi bagian akhir uji disertasi di Malang awal Oktober 2007, pendekatan budaya kini menduduki tempat penting dalam menyelesaikan permasalahan sosial. Kearifan lokal menjadi keniscayaan di berbagai aspek kehidupan. Tidak saja dalam maknanya yang formal dalam arti birokrasi pemerintahan, namun lebih dari itu secara substansial juga memberikan makna lebih mendalam dan konkret kepada penyelesaian konflik secara arif, santun, dan cerdas. Pelajaran dan langkah yang kini mulai tertatih...

1 comment:

Anonymous said...

Bahalap tutu isi blogmu,le.Salut aku dengam tagal karajim mimbit Suku Dayak Ngaju mangat uluh katawan.Aku bara Tbg.Mirah, Tbg. Samba kea.email hung anthonynyahu75@yahoo.com, mudah2an itah tau hasupa tinai,hung blogmu atawa hasupa biti.laahaaap!lolokuiy!