Oleh:
Budi Kurniawan (Pendiri dan mantan Pemimpin Umum Tabloid Mahasiswa INTR-O, tinggal di Jakarta. E-mail: budibanjar@yahoo.com)
Dalam sejarah pergerakan menumbangkan kekuasaan lalim dan korup, mahasiswa selalu turut serta. Tak lengkap rasanya jika bicara gerakan rakyat, mahasiswa tidak turut dibicarakan. Di belahan dunia lain di luar Indonesia, hal ini pun terjadi. Memang ada gerakan yang berhasil menumbangkan kekuasaan, tapi ada juga yang tersungkur. Tapi paling tidak mahasiswa selalu turut serta dalam hampir semua babakan sejarah pergerakan.
Di Indonesia pun mahasiswa punya peran besar. Mereka sering menjadi lokomotif perubahan untuk menjadi lebih baik. Sayangnya ketika kekuasaan yang mereka tentang tumbang, lalu melahirkan rezim baru, hampir semua substansi perjuangan yang dikibarkan mahasiswa hilang tak berbekas dan terbang entah kemana.
Beberapa mahasiswa yang menjadi ikon gerakan turut masuk dalam lingkaran kekuasaan. Seiring waktu mereka kemudian hidup gembira berlimpah kemewahan, kekuasaan. Tapi ada juga sebagian mahasiswa yang tetap menjaga jarak dengan kekuasaan dan memilih hidup sebagai orang biasa. Hidup normal kembali di tengah masyarakat setelah misi gerakan mereka tercapai.
Sejarah kontemporer Indonesia ketika gerakan mahasiswa Angkatan 1966 menumbangkan kekuasaan Bung Karno, menunjukkan dengan jelas fluktuasi gerakan mahasiswa dan pelakunya. Beberapa mantan aktivisnya --lokal dan nasional-- masuk dalam pusaran kekuasaan. Mereka memperoleh semua kemudahan dalam bentuk menjadi menteri, anggota parlemen dan pengusaha yang disokong habis-habisan oleh kekuasaan yang turut mereka bangun dan lahirkan. Beberapa aktivis lainnya memilih tetap terus kritis dan menggugat rezim yang mereka lahirkan dari luar. Namun nasib mereka umumnya tak terlalu bagus secara ekonomi dan politis. Dalam hal ini Soe Hok Gie menjadi salah satu ikonnya.
***
Gerakan mahasiswa Indonesia yang terjadi tak bisa dilepaskan dengan peran pers
mahasiswa ketika itu. Pers mahasiswa menjadi medium strategis untuk menyosialisasi gerakan. Berita yang diliput, ditulis, dicetak dalam bentuk sederhana dan diedarkan dengan cara yang sederhana pula, mampu menjadi energi luar biasa bagi kalangan mahasiswa pergerakan.
Ketika kekuasaan yang ditentang mahasiswa dan aktvis persnya tumbang, dalam konteks lokal beberapa tokoh pers mahasiswanya memilih untuk berada di luar kekuasaan. Mereka kemudian menerbitkan beberapa koran lokal seperti Banjarmasin Post (didirikan oleh Djok Mentaya, HG Rusdi Effendi AR cs), Media Masyarakat (Anang Adenansi cs),
Dinamika Berita --kini menjadi Kalimantan Post (didirikan Djohar Hamid) dan beberapa media lokal lainnya.
Walaupun pada awalnya menjaga jarak dengan kekuasaan Orde Baru, karena tekanan
yang sangat kuat beberapa tokoh pers ini terpaksa pasrah. Dalam sebuah pembicaraan dengan mantan aktivis 66 di Universitas Lambung Mangkurat (Unlam), seorang di antaranya berkisah tentang kuatnya tekanan Orba kepada mereka.
Karena berpikir panjang dan berbuat banyak untuk anak buah yang jumlahnya ratusan, mantan aktivis 66 itu terpaksa mengiyakan tekanan kuat kekuasaan melalui Menteri Penerangan Harmoko ketika itu.
Tindakan ini tentu punya nilai plus ketika dilihat pada strategi gerakan. Artinya, keterpaksaan itu dilakukan untuk kepentingan yang lebih luas, penuh perhitungan dan bermuara pada kepedulian terhadap anak buah beserta 'periuk nasi' yang mereka perjuangkan. Jadi tak ada yang salah untuk memilih strategi gerakan yang djalankan. Bertahan selangkah untuk melaju beberapa langkah, rasanya tidak salah.
Langkah strategis itu kini berbuah juga. Beberapa koran lokal yang didirikan
mantan aktivis mahasiswa hingga kini berkibar sukses. Walaupun masuknya beberapa investor luar ke dalam industri pers lokal tak bisa dikesampingkan.
***
Memasuki era 1990-an, pers mahasiswa tetap tumbuh subur. Atmosfir politik
ketika itu turut menghidupi pers mahasiswa. Mereka tumbuh menjadi pers alternatif, tempat berita yang tidak berani disentuh pers umum. Ketika itu orang hanya bisa mendapatkan berita yang kritis, berani, komprehensif dan menyentuh berbagai isu berbahaya, hanya ada di pers mahasiswa. Pers mahasiswa bergerak dengan cara klandestein dan underground.
Pengalaman penulis ketika bersama kawan-kawan di pers mahasiswa (Tabloid Mahasiswa INTR-O) pada era 1990-an menunjukkan, betapa mengasyikkannya menulis berita berbahaya. Dominasi tentara melalui Dwi Fungsi ABRI, kekuasaan sentralistik Orba dan lainnya bisa ditulis dengan sangat berani dan terbuka. Namun risiko seperti dipanggil dan 'diwanti-wanti' petinggi militer dan kepolisian lokal, juga birokrat Departemen Penerangan sering terjadi. Tapi karena idealisme yang terus menggelora, membuat semua 'wanti-wanti' itu dianggap angin lalu yang lindap begitu saja.
Tapi anehnya di kalangan mahasiswa sendiri, berita penuh idealisme lengkap dengan panji anti kekuasaan yang korup itu justru tidak populer. Yang populer malah berita yang ngepop, gaul, berbau seks dan misteri. Untuk menyiasati pasar demikian, aktivis pers mahasiswa di Tabloid Mahasiswa INTR-O memilih untuk meniti buih berita.
Sebagian berita tetap berbau idealisme dan perjuangan, tapi di sisi lain berita yang lebih ngepop tetap dikedepankan. Hasilnya pasar menerima itu. Hingga kini di usianya yang ke-13, INTR-O tetap bertahan dan menjadi satu-satunya tabloid mahasiswa yang terus berkiprah.
***
Di tengah kembalinya peran pers mahasiswa di Unlam, hal yang berbanding terbalik justru terjadi pada gerakan mahasiswanya. Gerakan mahasiswa Unlam kini seolah lindap begitu saja. Kalau pun ada, hanya dalam tataran yang tidak terlalu luas. Hanya ergerak pada isu lokal.
Ini bukan hal aneh. karena sudah menjadi fenomena fase gerakan mahasiswa. Pada era 1920-an, gerakan mahasiswa bergerak menentang kekuasaan penjajah. Isu yang mereka usung pun bergerak di dataran itu. Pada era 1940-an, gerakan mahasiswa tak jauh berbeda dengan sebelumnya. Mereka menentang penjajahan dan bermuara pada kemerdekaan Indonesia. Pada era 1960-an ketika kemerdekaan sudah diraih, mahasiswa bergerak menentang kekuasaan yang mereka lihat korup. Ketika kekuasaan tumbang, mereka turut mereguk berkah.
Memasuki era 1970-an, gerakan mahasiswa berada dalam lingkaran menentang kekuasaan dan dominasi modal asing. Di sela isu itu, beberapa kali gerakan mahasiswa bergerak pada tataran lokal kampus. Mereka mulai menentang prilaku kampus yang dianggap tidak adil. Mereka memprotes minimnya sarana, prasarana dan biaya kuliah yang tinggi.
Fenomena ini terus berlangsung hingga era 1980-an. Tapi beberapa elemen gerakan
juga mulai bergerak ke luar kampus. Mereka memprotes berbagai tindakan korup dan lalim penguasa pada rakyatnya. Penggusuran tanah pertanian untuk keperluan lapangan golf, perumahan mewah, waduk dan lain sebagainya adalah beberapa tindakan yang ditentang mahasiswa.
Memasuki era 1990-an, gerakan ini terus berlangsung di dataran yang sama. Akumulasi gerakan ini kemudian pecah pada 1998 ketika Soeharto, kekuasaan yang turut dilahirkan mahasiswa, tumbang. Sejarah kembali berulang. Reformasi yang dituntut mahasiswa ternyata tak banyak berbuah. Kekuasaan yang silih berganti kemudian justru kian menjauh dari idealisme gerakan yang dilahirkan mahasiswa.
Kekuasaan kembali cenderung korup. Mahasiswa kembali ditinggalkan kekuasaan. Beberapa elemen gerakan memilih kembali ke kampus, menjadi insan intelektual dan tak lagi terlibat pada perebutan kekuasaan dan hingar-bingar politik lainnya.
Pasca 1998, gerakan mahasiswa kembali meredup. Mahasiswa memilih bergerak di kampus sambil sesekali mengusung isu berdataran luas. Ini terjadi karena memang atmosfir yang berkembang di masyarakat tak lagi bisa menjadi lahan subur bagi pergerakan mahasiswa, seperti yang sudah-sudah terjadi. Reformasi yang diperjuangkan mahasiswa membuahkan keterbukaan di segala bidang. Semua orang kini menjadi berani. Orang yang semula 'maling', kini bisa meneriaki orang lain 'maling'. Semula berpihak pada kekuasaan korup, kini bisa meneriaki orang lain korup. Perilaku buruk Orba turut merembesi mahasiswa dengan berbagai kepentingan.
Kini ketika fase gerakan dan pers mahasiswa turun tensinya, kehadiran Tabloid
Mahasiswa INTR-O semoga saja bisa menjadi titik picu kembalinya kejayaan
mahasiswa yang pernah gilang-gemilang dan dicatat sejarah, bisa terulang.
Bahkan dalam konteks dan dataran yang lebih kuat dan luas. Walau gerakan dan
pers mahasiswa kini berada di ujung senja, semoga saja senja yang tercipta
bukan senja yang muram. Tapi senja yang indah penuh jingga dan merah, yang
tercipta.
Tuesday, November 27, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
2 comments:
Publish in local newspaper,please.
(Dewi Utari)
Terimakasih komentarnya ya..Pasti kudengarkan dan kulaksakanan:)
Salam hangat,
BK
Post a Comment