Wednesday, May 21, 2008

Harapan Retak Murad Aidit


Oleh Budi Kurniawan (Penulis Buku Menolak Menyerah Menyingkap Tabir Keluarga Aidit. Kini sedang menyelesaikan buku Pemikiran Politik DN Aidit 1950-1965)

…Apakah hukum duniawi akan membiarkan perbuatan ini berlalu dengan demikian saja. Saya kira rakyat Indonesia akan mengutuk perbuatan serupa ini…Harapan agar Indonesia akan dapat mengalami masa depan yang lebih cerah di tahun-tahun mendatang…

Sembilan tahun silam Murad Aidit menulis surat terbuka kepada Presiden BJ Habibie. Dalam suratnya Murad meminta sang Presiden merehabilitasi nama baik Dipa Nusantara Aidit. Di mata Murad, apa yang sudah dilakukan Soeharto terhadap Abang kandungnya yang menjabat Ketua Politbiro Centra Committe Partai Komunis Indonesia (PKI), Wakil Ketua MPR/DPR, penerima Bintang Mahaputra Indonesia, dan salah satu Menteri Koordinator terakhir Bung Karno, itu tak masuk akal. Tanpa diadili Aidit ditembak mati. Murad menduga penembakan itu disengaja untuk mengaburkan apa yang sesungguhnya terjadi dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G 30 S). Dugaan yang hingga kini tak jua kunjung berjawab.

Walau surat terbuka itu tak pernah berbalas, Murad tak pernah berhenti mengirimkannya kepada setiap Presiden yang silih berganti berkuasa seusai Soeharto dan Orde Baru yang ia bangun tumbang. Harapan akan proses hukum yang adil dan terbuka terhadap DN Aidit dan rakyat banyak yang telah disakiti dan dibunuh penguasa atas alasan tak pasti tetap ia semaikan.

Dalam sebuah pembicaraan di sela hujan yang mendewasa di rumahnya yang sederhana di Depok, Jawa Barat, kepadaku harapan itu kembali Murad sampaikan. “Sayangnya, kini kita hidup di alam yang mendewakan materi. Mereka yang berkuasa memiliki segalanya. Sedang kita berada di pinggiran sejarah dan hanya bisa sekadar melihat dan berharap. Tetapi jangan pernah hilang harapan, karena mereka yang berpunya dan berkuasa menyenangi ketika kita kehilangan harapan,” katanya.

Harapan itulah yang membuat Murad Aidit bertahan hidup. Kegetiran hidup ia alami bertubi-tubi setelah pulang dari Moskow ke Indonesia. Murad yang dilahirkan pada 21 Agustus 1927 itu berada di Moskow setelah mendapatkan tawaran kuliah di Patrice Lumumba University. Di universitas ini Murad belajar ekonomi. Ia juga belajar bahasa Rusia, Inggris, Jerman, dan Belanda.

Selesai pendidikan enam tahun dengan mengantongi ijazah sebagai sarjana ekonomi, Murad kembali ke Indonesia pada Agustus 1965 dan ditempatkan di Kementerian Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan (PP dan K) golongan F/II. Karena seorang veteran, golongannya akan dinaikkan menjadi F/III, setara dengan pejabat tinggi.

Namun setelah peristiwa G 30 S meletus, Murad ditangkap tentara di rumahnya di Depok. Ia dibawa ke Bogor dan kemudian dipindahkan ke penjara di Bandung. Di sepanjang perjalanan ketika dipindahkan itu, Murad hampir saja kehilangan nyawanya.

Di sebuah jembatan pada malam yang kelam, mobil yang membawanya berhenti. Tentara menawarinya untuk turun jika ingin buang air kecil. Naluri Murad menyatakan tawaran itu hanyalah pembuka jalan menuju kematian. Jika ia turun, Murad memastikan nyawanya akan melayang. Betapa tidak, malam yang kelam dan sepi, dan sebuah sungai di bawah jembatan yang mengalir deras dipastikan akan membuatnya tewas. Tentara tinggal memberondongkan senapan ke arah Murad. Atau cukup dengan memaksanya melompat ke haribaan sungai deras itu. Murad menolak tawaran itu. Mobil pun melaju menuju Bandung.

Hanya sebulan Murad ditahan di Bandung. Ia terjaring "Operasi Kalong" dan kembali dimasukkan ke tahanan di Salemba, Jakarta. Istrinya yang masih menyusui bayinya juga dibuang ke penjara di Plantungan. Dari Salemba Murad diberangkatkan ke Pulau Buru bersama ratusan tahanan lainnya. Lebih 10 tahun Murad berada di Unit XV pada
barak khusus yang disebut "Barak Isolasi". Selanjutnya ia dipindahkan ke Unit V. Di Pulau Buru inilah Murad Aidit bertemu dengan Abangnya Basri Aidit yang menghuni Unit lain.

Seperti yang terjadi dengan tahanan lainnya, Murad juga mengalami kekerasan. Beras hasil pertanian yang mereka kerjakan tak bisa dinikmati sendiri dengan mudah. Tentara hanya memberi jatah 2 ons sehari untuk makan. Murad berkisah ia dan kawan-kawan harus mencuri beras hasil keringat sendiri hingga bisa makan dengan “layak”.
***
Sebelum ke Moskow, Murad putra Abdullah Aidit, pendiri Nurul Islam di Belitung yang merupakan orang pertama –bersama dokter Suryo—mengibarkan bendera merah putih di Madrasah yang dipimpinnya, bersekolah di Dai Ichi Chu-Gakko (Sekolah Menengah Pertama). Ibrahim Isa yang bersekolah di tempat yang sama, berkisah tentang keberanian Murad menghadapi amukan seorang guru yang memberinya “semangat” (sebutan untuk tamparan seorang guru pada muridnya di zaman Jepang) pada satu pagi. Murad tidak terima pada tindakan guru yang hendak menempelengnya itu. ditempeleng begitu saja. Ia mengelak dan mengelak.

Murad kemudian melanjutkan belajar di MULO Jakarta, persis setahun setelah tentara Jepang mendarat. Bersama DN Aidit, Murad menjual koran sebagai cara menyambung hidup. Ketika perang berkecamuk, Penolong Korban Perang (PKP) memulangkan Murad ke Belitung, tanah kelahirannya.

Namun karena di Belitung Jepang sudah berkuasa dan banyak rakyat sudah menjadi romusha, sang Ayah memilih mengirimkan Murad kembali ke Jakarta naik kapal laut. Angin yang buas membawa kapal yang seharusnya menuju Jakarta itu ke Pekalongan, Jawa Tengah. Murad harus naik kereta api untuk kembali ke Jakarta, tujuan semula.

Sambil bersekolah Murad masuk Angkatan Pemuda Indonesia
(API) dan aktif di Menteng 31, markas kalangan muda progresif kala itu. Di sini ia bertemu Sukarni, Chaerul Saleh, Hanafi, dan Wikana. Di kamar kostnya di Gondangdia, Murad sering menampung penyair Chairil Anwar yang bohemian itu.

Murad masuk Laskar Rakyat Jakarta yang bermarkas di Karawang bersama teman-temannya dari Pesindo. Di Karawang Murad bergabung dengan Adam Malik. Adam Malik ketika menjadi Wakil Presiden lah yang turut “berperan” dalam pembebasan Murad pada tahun 1978.

Penyakit TBC yang diderita Murad membuatnya mengurangi berbagai aktifitas. Ia dirawat di Rumah Sakit Cisarua, Bogor, selama bertahun-tahun. Menjelang Pemilu 1955 Murad yang mendapat status veteran perang itu kembali ke Belitung. Dengan bendera PKI, ia terpilih menjadi anggota DPRD Kabupaten Belitung sekaligus DPRD Sumatera Selatan.
***
Seusai bebas dari Pulau Buru, Murad hidup sebagai eks tahanan politik –KTP Murad dibubuhi singkatan ET (Eks Tapol). Berbagai pekerjaan tak bisa dilakukannya. Tangan gerejalah yang turut menyelamatkan hidup Murad. Gereja Katolik menggunakan jasa Murad yang pada tahun 1996 naik haji itu untuk menerjemahkan buku-buku berbahasa Inggris, Rusia, dan Belanda, ke dalam bahasa Indinesia. Dari hasil menerjemahkan inilah Murad bisa menghidupi keluarga dan membesarkan anak-anaknya. “Saya bahagia di usia senja ini masih sempat menyaksikan putra bungsu saya menikah. Terharu rasanya,” kata Murad ketika saya mengunjunginya seusai sakit dan sempat dirawat di RS Fatmawati, Jakarta Selatan, tahun lalu.

Kebahagiaan Murad mungkin akan lengkap jika penguasa yang selalu disuratinya itu membalas harapan-harapannya. Harapan yang hingga Murad berpulang pada Sabtu, 29 Maret 2008, masih juga retak...

2 comments:

Untitled Ever After said...
This comment has been removed by the author.
Untitled Ever After said...

May I gived a comment,pliz?!
Sorry y klo beda persepsi,,,, sorry bgt..!! Gw cm agak krg setuju dgn pemikiran bahwa let say org, klo yg berada d pinggiran sejarah dan bhw kt cuma bisa sekadar melihat atau berharap.
Menurut gw, pola pemikiran sprt itu g jauh beda dgn pola pemikiran radikal, ky going to revolution. mksdnya loe "menentang" or "mengkritisi". Thats it!
Mnrt gw, smkin bnyk org yg berpikir, bhw kt hidup dlm suatu "kurungan or terkurung" dan hrs melawan...klo mnrt gw, justru akan melahirkan generasi pesimistis brktnya, yg akan menentang, mengkritik, menghantam, Tanpa berjalan u/ melakukan perbaikan, dan menghslkan sesuatu... dunia baru g disusun dr kata2 tp dgn realisasi. realisasi dr siapa?g hrs saling nunggu. realisasi dr semua org yg merasa memiliki,menjadi bagian dan hidup dalam lingkungan itu. pengharapan tanpa implementasi bkn apa2.
"... Kalau kita berusaha lebih baik, segala sesuatu di sekitar kita akan ikut menjadi lebih baik."
"..... sebelum mimpi bisa terwujud, Jiwa Dunia menguji segala sesuatu yang telah kita pelajari sepanjang jalan. Bukan karena dia jahat, melainkan agar selain mewujudkan impian-impian kita, kita juga menguasai pelajaran-pelajaran yang kita peroleh dalam proses mewujudkan impian itu. Dan di titik inilah kebanyakan orang biasanya menyerah. seperti biasa kita katakan dalam bahasa padang pasir, di titik inilah orang biasanya mati kehausan, padahal dia sudah melihat pohon-pohon kurma di kejauhan."(kutipan dr:T.A-P.C)

Merci :)