Monday, June 9, 2008

Jakarta: Demonstrasi Tumpang Tindih


Oleh Budi Kurniawan (Warga Jakarta)

Perjalanan sejarah menjadikan Jakarta sebagai pusat segalanya bagi Bangsa dan Negara Indonesia. Jakarta menjadi magnet dan legitimasi utama bagi apa dan siapa pun yang ingin meraih kisah sukses. Para politisi tak akan menjadi siapa-siapa jika tidak hadir dan ikut bertarung di Jakarta. Hal yang sama juga terjadi pada segala macam jenis profesi dan kepentingan lainnya. Kalimat yang diproduksi Orde Baru dalam sebuah film propagandanya, “Jakarta harus kita kuasai,” menjadi relevan untuk menyatakan bahwa untuk “menguasai” Indonesia maka Jakarta lah yang harus dikuasai pertama kali.

Karena posisi dan nilai strategisnya itu, dalam setiap pergolakan dan dinamika, Jakarta menjadi sasaran utama. Beragam isu diproduksi dan diolah sedemikian rupa untuk memengaruhi dan mengembangkan opini publik. Setiap kali pemerintah mengeluarkan kebijakan yang sering tidak bijak, berbagai kepentingan di Jakarta langsung bereaksi. Jakarta menjadi tolok ukur dan barometer untuk setiap pergerakan yang kemudian kadang diikuti oleh gerakan yang sama di berbagai daerah.

Dalam soal perkelahian di Cilandak Town Square, Jakarta Selatan (4/6); penentangan terhadap kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM); reaksi terhadap penyerangan Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) oleh Komando Laskar Islam –di dalamnya terdapat elemen Front Pembela Islam (FPI)--; demonstrasi pasca penyerangan polisi ke kampus Universitas Nasional (Unas); dan penentangan Bantuan Langsung Tunai (BLT); dan tindakan meredam aksi mahasiswa dengan pemberian beasiswa oleh pemerintah; menunjukkan fenomena bahwa posisi Jakarta masih sangat menentukan dan diikuti oleh elemen pergerakan di daerah.

Sayangnya otoritas Jakarta sepertinya tidak bisa memahami posisi strategis itu. Otoritas Jakarta terkesan tidak mampu mengelola, menjaga, dan mengarahkan reaksi itu ke arah yang positif dan konstruktif.

Ketika massa Komando Laskar Islam menyerang Aliansi Kebangsaan yang baru akan menggelar aksi di Monumen Nasional untuk memperingati kelahiran Pancasila pada 1 Juni 2008 misalnya, otoritas Jakarta tak banyak berbuat. Polisi bahkan terkesan tak bereaksi positif terhadap aksi brutal itu. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pun demikian. Yang terjadi justru otoritas di Jakarta saling lempar tanggung jawab, terutama dalam soal tuntutan pembubaran FPI.

Sebagian otoritas menyatakan pembubaran itu bukan tanggung jawabnya. Tetapi menjadi tanggung jawab otoritas yang lain. Ini menjadi semacam benang kusut yang membuat bingung bagaimana cara menguraikannya. Padahal penyerangan dan aksi brutal dilakukan oleh elemen ini sudah berkali-kali terjadi di Jakarta. Dan selalu saja tidak ada penegakan hukum yang tegas dan konstruktif. Bukankah penegakan hukum terhadap berbagai pelanggaran yang membuat khalayak banyak ketakutan dan tidak aman diperlukan untuk memberi efek jera, sehingga di kemudian hari hal yang sama tidak terjadi lagi.

Di tengah kondisi demikian, otoritas Jakarta seperti tak berdaya dan membiarkan semua pelanggaran hukum itu terjadi semena-mena. Dan karena tak ada sanksi yang jelas, pelanggaran hukum itu akhirnya terjadi berulang-ulang. Entahlah dengan Habieb Riziq dijadikan tersangka? Apakah dengan itu penegakan hukum memang sudah berjalan?

Sudah saatnya, otoritas Jakarta menjadikan dirinya berwibawa, berpengaruh, dan disegani. Karena mereka berada di jantung Republik tempat semua institusi dan kepentingan berada, maka seharusnya otoritas Jakarta tampil ke depan dan menjadikan Jakarta tempat yang aman bagi semua. Demonstrasi yang berlangsung tumpang-tindih dalam waktu yang juga hampir bersamaan, hanya salah satu cobaan bagi otoritas Jakarta. Tetapi otoritas Jakarta harus menguasai Jakarta!

No comments: