Wednesday, July 23, 2008

Api dalam Sawit





Oleh : Budi Kurniawan (Wartawan dan Aktivis Journalist and Writer Forum of Borneo. Tinggal di Jakarta. Blog: budidayak.blogspot.com)

Di pinggiran jalan Trans Kalimantan yang membelah kabupaten-kabupaten di Kalimantan Tengah dan sebagian Kalimantan Selatan kini membentang luas perkebunan sawit. Sebagian diantaranya masih dalam bentuk pohon-pohon kecil dalam bungkus plastik hitam yang siap ditanam di lahan yang lebih luas. Semua ini sungguh kontras ketika hutan rimba masih meraja memenuhi tanah Kalimantan.

Seiring dengan napsu pemerintah yang mendewakan angka pertumbuhan ekonomi sebagai gambaran keberhasilan pembangunan, lalu menapikkan kualitas manusia dan kehidupannya, sawit kini menjelma menjadi salah satu sektor yang “penting” untuk mendatangkan investor dari berbagai penjuru dunia. Logika bahwa investor datang membawa pundi-pundi uang, lalu menanamkannya di Indonesia, memberi berkah dan kebaikan pada penduduk lokal berupa pekerjaan dan penghasilan, dan pendapatan daerah yang kemudian melimpah menjadi pilihan. Soal bagaimana lingkungan porak-poranda, hutan yang beralih fungsi, rusaknya tatanan sosial dan budaya, dan berada di tubir jurangnya kearifan lokal menjadi hal yang tak pernah dihitung. Benda dan uang menjelma menjadi “Tuhan” baru yang diyakini bisa menentukan dan membeli apapun.
Padahal dampak negatif terhadap lingkungan menjadi bertambah serius karena dalam prakteknya pembangunan perkebunan kelapa sawit tidak hanya terjadi pada kawasan hutan konversi, melainkan juga dibangun pada kawasan hutan produksi, hutan lindung, dan bahkan di kawasan konservasi yang memiliki ekosistem yang unik dan mempunyai nilai keanekaragaman hayati yang tinggi (Manurung, 2000; Potter and Lee, 1998).
Tengoklah kini di wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan terdapat 1,8 juta hektare program sawit dan 6 juta hektare untuk pengembangan biofuel; di Kalimantan Tengah saat ini ada 334 izin perkebunan kelapa sawit yang telah dikeluarkan dengan luas areal yang dicadangkan mencapai 4,2 juta hektare. Dari jumlah itu, yang beroperasi baru 130 izin dengan luas areal 600 ribu hektare dan sisanya sebanyak 204 izin belum operasional; Data Departemen Kehutanan sampai bulan Desember 2006 menunjukkan adanya pencadangan pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan di Kalimantan seluas 4,3 juta hektar: dan dari luas lahan yang dikonversi itu lahan yang terealisasi menjadi perkebunan seluas 373.303 hektar. Sementara luas lahan yang belum termanfaatkan seluas 3,9 juta hektar.
Secara nasional hingga tahun 2006, luas perkebunan kelapa sawit telah mencapai 6.04 juta ha dengan laju tanam rata-rata dalam waktu 5 tahun (1999-2004) mencapai 400,100 ha per tahun (Sawit Watch, 2006). Produksi CPO Indonesia mencapai 16,17 juta ton dibandingkan Malaysia yang hanya 15,88 juta ton (Investor Daily, 01/02/2007). Struktur produksi bisnis minyak sawit dikuasai dan berasal dari 27 group besar mengendalikan sekitar 600 anak perusahaan perkebunan kelapa sawit yang tersebar di 19 propinsi dimana kelapa sawit dikembangkan dengan distribusi 50% milik swasta, 33% petani kecil penghasil buah, dan 17% BUMN (Deptan, 2006). Dari segi investasi, hampir 45% perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah milik investor dari Malaysia.
Seiring dengan ekspansi sawit yang tumbuh cepat itu, konflik terjadi. Hampir di semua daerah di Kalimantan Tengah dan Selatan yang dimasuki para investor sawit –bahkan masih rencana pun—konflik lahan terjadi. Sampai tahun 2006, terdapat 140 kasus yang melibatkan 353 komunitas di wilayah perkebunan kelapa sawit yang melibatkan sesama masyarakat lokal atau dengan pendatang.
Sawit Watch mencatat, sekitar 70 persen dari 500 kasus perselisihan perkebunan sawit besar swasta dengan warga di Indonesia bersumber dari sengketa tanah. Di Kalimantan Tengah, misalnya, ada sekitar 20 kasus sengketa yang dilaporkan. Konflik ini terjadi karena kesalahan sejak awal proses perizinan yang tak melibatkan warga sehingga terjadi tumpang tindih lahan. Ini terjadi karena perizinan lebih banyak melibatkan pemerintah pusat di Jakarta, pemerintah daerah, elit lokal, dan para investor. Sementara masyarakat yang sejak nenek moyangnya tinggal dan hidup di lahan yang diberin izin justru ditinggalkan. Proses ini seperti mengulangi kesalahan fatal pemerintah Orde Baru ketika bermimpi menjadikan Kalimantan Tengah sebagai lumbung padi nasional di luar Jawa dengan Proyek Lahan Gambut (PLG) Sejuta Hektare yang gagal dan menyengsarakan hingga kini. Ketika itu Soeharto dan menteri-menterinya hanya membagi hutan Kalteng bak puzzle dari Jakarta dan menjadikannya sebagai bagian dari PLG, tanpa melihat bahwa di tanah yang mereka bagi itu hidup orang Dayak dengan seluruh potensi alam dan kearifan lokal yang mereka miliki. Konflik lahan kala itu dihadapi dengan senjata dan intimidasi. Hal yang kini tak jauh berbeda dengan lahan rakyat yang menjadi perkebunan sawit.
Seharusnya pengalaman buruk PLG bisa menjadi cermin bening bagi pemerintah lokal untuk melindungi segenap tumpah darah masyarakatnya dari kepentingan yang hanya mendewakan uang dan materi. Pemerintah lokal juga wajib melindungi tetap tumbuh dan berkembangnya kearifan lokal warganya. Bukan justru bertindak sebaliknya.
Betul pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah telah bertindak tegas dengan mencabut 11 izin perkebunan kelapa sawit –sementara di Kalsel hal ini tak dilakukan oleh pemerintah daerahnya. Mereka ternyata tidak serius menanamkan modalnya dan hanya mengincar kayu di lahan yang mereka bersihkan melalui izin pemanfaatan kayu (IPK) –modus ini juga dilakukan Orba dalam PLG.

Tetapi tindakan itu ada baiknya dilakukan terus menerus dan tidak hanya dititikberatkan pada soal keseriusan investor dan pemanfaatan IPK semata yang dianggap membuat iklim investasi semrawut. Yang tak kalah penting adalah melindungi masyarakat lokal dari serbuan sawit dengan lebih memilih pengembangan perkebunan yang secara psikologis, budaya, dan terbukti mampu menghidupi masyarakat tanpa benturan konflik. Jika itu tak dilakukan, percayalah sesungguhnya ada api dalam sawit...

8 comments:

Anonymous said...

What a great moment of reading blogs.

Anonymous said...

It enables us to express our feelings and opinions.

Anonymous said...

Thanks to the blog owner. What a blog! nice idea.

Anonymous said...

Gomen kudasai.

Anonymous said...

Great writing! Goverment officers should have read this important article and should not keep their eyes blind to the voice of the people they serve.Bravo Perjuangan!

Desy said...

akhirnya kutemukan juga blog tetanggaku yang satu ini. ingat lah ikau dengangku bang? aku nyeut arangku bihin muhammad ayu, hahahaha.... (I'm 100% woman, no doubt). aku melai jakarta tuh bang, dengan uma ku en abang asan. iki melai ukan paman melai bekasi. tawam i lo? sorry kalo bahasa dayaknya ada yang salah, maklum lama gak pulang kampung. narai kabar mu bang? melaikueh kau wayah tuh?

Anonymous said...

Bagus sekali tulisannya.
Terimakasih atas tulisannya. Kita semua berharap agar masyarakat adat kita bisa didengar suaranya sekarang. Bukan hanya diberi janji-janji palsu.

Salam kenal,

Budi Kurniawan said...

Terimakasih Bung Berang. Mari berjuang bersama menghadapi semua kelaliman!