Monday, October 20, 2008

“In Memoriam” Pers Mahasiswa


Oleh: Budi Kurniawan (Aktivis Pers Mahasiswa Unlam 1990-1996.
E-mail: budibanjar@yahoo.com)

Dalam sebuah kesempatan, salah satu pendiri Harian KOMPAS Jakob Oetama menggambarkan dengan cerdas apa sesungguhnya peran pers yang paling mendasar dalam kehidupan umat manusia. Pers, kata Jakob, adalah cerminan zamannya. Ketika zaman berlangsung busuk, pers pun menampakkan semua kebusukan itu dengan sangat kasat mata. Demikian pula sebaliknya.

Karena itu ketika di hari-hari ini lembaran koran, tayangan televisi, dan acara radio diputar ulang, dengan jelas semua yang terjadi di era ketika semua produk jurnalistik itu dibuat menjadi berwujud. Wujudnya bisa berupa kisah sukses, kegagalan, prestasi gemilang, kesemrawutan hidup, kekuasaan yang lalim dan otoriter, kedzaliman satu kelompok terhadap kelompok yang lain, atau prilaku pengelola lembaga jurnalistik itu sendiri –dari yang pro dan menjilat kekuasaan hingga mereka yang memilih melawan.

Kadang tak perlu menengok jauh ke belakang pada rekam jejak pers sebagai cerminan zamannya. Ketika zaman sedang berlangsung dan pers itu tumbuh di dalamnya, cerminan itu pun bisa bening terlihat. Ketika kini misalnya media yang menjadikan gosip dibalut genre hiburan laku keras dimamah, itulah cerminan sebagian masyarakat yang sedang “sakit” dan suka menggunjingkan berbagai persoalan, dari soal dapur hingga ukuran payudara.

Logika pasar yang tercermin pada tinggi rendahnya rating menjadi “Tuhan” baru bagi media semacam ini. Soal ia menjadi cerminan zaman yang penuh gosip, itu tak jadi hitungan. Semuanya berpulang pada rating. Seorang rekan yang bekerja di sebuah televisi swasta mengeluhkan hal itu ketika berbincang di sebuah senja yang baru saja turun di antara belantara beton di Jakarta.

Tetapi industri sudah mengubah segalanya. Kini sudah tak ada lagi pers perjuangan seperti ketika Djok Mentaya melawan kesewenang-wenangan pemilik hotel yang menyebabkan tempurung lututnya pecah dan harus dijahit kawat baja. Atau ketika Pemimpin Redaksi Indonesia Raya, Mochtar Lubis mengepalkan perlawanan pada prilaku korupsi yang menggurita dan membuat orang malu menjadi orang Indonesia. Orang harus memilih: mengabdi, bertekuk lutut, atau menyiasati pasar. Kepentingan dan keberlangsungan napas bisnis turut menjadi pertimbangan. Apalagi pengalaman mengajarkan konsep, penyajian, dan kualitas media tak selamanya linier dengan kesuksesan bisnis.

Jika hal ini terjadi pada pers umum, hal ini mungkin masih bisa ditolerir adanya. Karena logika industri untuk menjadikan persnya sebagai mesin uang, itu bukanlah pilihan yang haram adanya. Tinggal pembaca yang memiliki hak otonom sangat luas pada pilihannya masing-masing itulah yang menentukan akan memilih (membeli) media macam apa sebagai bahan bacaannya.

Tetapi yang membuat miris adalah ketika pers mahasiswa –dulu disebut sebagai pers alternatif karena keberaniannya memberitakan sesuatu yang tidak berani diberitakan pers umum karena ancaman breidel dan kekuasaan yang lalim—justru tak lagi memiliki idealisme. Pers mahasiswa di Universitas Lambung Mangkurat (Unlam) misalnya memilih dibiayai oleh rektoratnya. Ujungnya tak ada “catatan kaki” yang mereka bisa lakukan terhadap dewa pemberi dana semacam itu. Yang ada adalah jilat-menjilat dan menampilkan semuanya seolah baik-baik saja dan tak ada persoalan sama sekali di kampusnya. Alasan bahwa pers mahasiswa semacam itu hanya menjadi medium komunikasi civitas akademika dan bukan mengorek berbagai “borok” yang ada menjadi dalil utama. Lalu apa yang diharapkan pada pers mahasiswa semacam itu? Dan kecerdasan apa yang didapatkan mahasiswa yang membaca pers semacam itu.

Padahal dalam berbagai teks disebut bahwa mahasiswa adalah agen perubahan. Melalui medium pers yang idealis, kontruktif, dan berani, mahasiswa harusnya kian menjejakkan kakinya sebagai agen perubahan. Inilah yang dulu digenggam erat oleh para aktivis pers mahasiswa ketika kekuasaan Orba sedang kuat-kuatnya.

Pada tataran lokal, hal ini diwakili oleh Djok Mentaya, HG Rusdi Effendi AR, Anang Adenansi, Rusli Desa dan kawan-kawan melalui Bulletin KAMI, Mimbar Mahasiswa, dan penerbitan lainnya. Pada tataran nasional ada Ismid Hadad dan kawan-kawan. Usai era 1960-an, ketika era 1970-an tiba, pers mahasiswa tak berubah. Idealisme yang kental tercermin pada berita dan tulisan yang mereka usung. Ini terus berlangsung hingga periode 1980-an, ketika kekuasaan Orde Baru sudah menemukan track-nya. Penentangan pada kehidupan kampus “dinormalisasikan” yang muncul pada era itu juga terus berlangsung melalui medium pers mahasiswa.

Idealisme ini juga dijaga penuh oleh kalangan aktivis pers mahasiswa di Universitas Lambung Mangkurat pada era 1990-an. Ketika itu selain pers mahasiswa tumbuh subur di seluruh fakultas (Warta Sylva/Fakultas Kehutanan, Suluh Pendidikan/FKIP, Yustisia/Fakultas Hukum, Economica/Fakultas Ekonomi, Ritter/Fakultas Teknik, INTR-O/FISIP, Minapuri/Perikanan), para aktivisnya pun bersuara keras pada berbagai kelaliman yang terjadi. Dari kelaliman lokal yang dilakukan fakultas masing-masing dan rektorat, hingga kelaliman yang dilakukan pemerintah Jakarta terhadap rakyat jelata dan mahasiswa.

Dengan bentuk semacam itu, pers mahasiswa Unlam –dan di kampus-kampus lainnya—benar-benar berani menempuh risiko. Bayangkan saja ketika Orde Baru dengan kaki tiga pendukung kekuasaannya (militer, bisnis, dan Golkar) sedang berada di puncak kekuasaannya, sebuah tabloid mahasiswa yang diterbitkan oleh Lembaga Pers Mahasiswa FISIP Unlam menulis Laporan Utama berjudul “Menggugat Fungsi Sepatu Lars”. Laporan ini selain dipenuhi wawancara juga dilengkapi dengan kajian teori tentang bahayanya militerisme. Sebuah laporan yang dikemudian hari terbukti kebenarannya.

Keberanian para aktivis pers mahasiswa Unlam era itu kini berbanding terbalik dengan keadaan sekarang. Kini sebuah tabloid mahasiswa kembali hadir –setelah mati lebih dari 10 tahun—dengan konsep yang jauh dari nilai-nilai idealisme dan kebenaran. Baik secara filosofis aupun faktual. Mereka mengabdi pada kepentingan kekuasaan kampus. Mereka membayar semua biaya terbit yang diberikan kampus dengan menjual murah idealisme, menghina dan, mengkhianati sejarah panjang perlawanan pers mahasiswa.

1 comment:

yona_banjar said...

udah lama pengen berkunjung k halaman abang, cuman g pernah kesampaian. kindai beberapa edisi lalu hanya menyajikan hal yang baik2 saja tentang Unlam dan isinya, sementara mahasiswa kepanasan diruangan yang seharusnya sudah ber-AC, menghadapi kesulitan dengan sikap dosen yang menjadi raja, dan pimpinan universits dan fakultas yang mengatur jalannya BEM dan Organisasi kemahasiswaan dalam kampus.
tetap berjuang bang.