Monday, October 13, 2008
Partai Politik di Suatu Masa
Oleh : Budi Kurniawan (Alumnus FISIP Unlam, Banjarmasin, Tinggal di Jakarta. E-mail: budibanjar@yahoo.com)
Jauh sebelum partai-partai politik tumbuh bak jamur di musim hujan seperti saat ini, orang yang berani mendirikan partai politik hanya bisa dihitung dengan jari. Itu pun harus menghadapi marabahaya. Orde Baru dengan segala kekuasaannya yang memaharaja siap menggebuk. Dalam bahasa yang jauh dari ukuran santun, Soeharto di hadapan para petai menyatakan akan menggebuk siapapun orang dan pihak yang akan menggantikannya. Soeharto rupanya menganggap dirinya tak akan pernah bisa digantikan oleh siapa pun, kecuali oleh orang yang benar-benar dikehendakinya.
Namun keberanian kadang datang tanpa memperhitungkan sanksi apapun. Sejarah mencatat dua partai politik lahir di zaman Orde Baru yang serba “teratur” itu. Soeharto dan Orba tak pernah memberi ruang sedikit pun pada demokrasi yang subtansif. Mereka lebih bersikap ramah pada demokrasi yang prosedural. Soal bagaimana mutu demokrasi, apakah ia buruk dan tidak memberi manfaat bagi rakyat, itu tak jadi soal. Yang penting secara prosedur –ada lembaga perwakilan, pemerintah, dan hukum—demokrasi berjalan.
Kalaupun ada yang melawan di sela lahirnya dua partai politik itu, hanyalah Megawati Soekarnoputri yang didepak oleh Soerjadi dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Keberanian Mega bisa jadi tak datang tiba-tiba ketika itu. Namun situasi lah yang membuatnya tumbuh menjadi ikon perjuangan melawan stabilitas yang dibangun Orde Baru. Keberanian yang disambut oleh banyak pihak itu berujung pada tumbuhnya budaya perlawanan melalui parlemen dan demonstrasi jalanan. Sejarah kemudian mencatat, perubahan yang datang bak angin itu tak bisa lagi ditahan. Orba pun runtuh. Lalu tatanan politik –juga tatanan hidup berbangsa dan bernegara—pun berubah. Sayangnya, harapan pada Mega dan partainya itu pun lindap seketika, saat semuanya tak seindah pikiran dan bayangan. Bagi banyak pihak, Mega bukanlah sosok yang memuaskan dan bisa menyelesaikan persoalan bangsa. Begitu juga dengan partai yang dipimpinnya.
Kini orang dengan leluasa mendirikan partai politik. Sejak reformasi bergulir pada 1998, jumlah partai politik peserta pemilu pun tumbuh variatif. Dari 20-an partai menjadi 30-an partai politik. Partai yang lahir itu pun tak semuanya bisa berkembang. Ideologi yang tak jelas dan basis dukungan massa yang kecil menjadi salah satu penyebabnya. Partai-partai politik itu rupanya lupa pada teori periklanan yang mengharuskan satu “barang jualan” harus memiliki spesifikasi dan pasar yang jelas jika ingin laku. Partai-partai politik yang ada saat ini pada dasarnya tak memiliki identifikasi yang jelas tentang dirinya sendiri dan massa pendukungnya.
Yang terjadi kemudian adalah partai-partai politik bak mangga yang dikarbit. Berbentuk bagus tapi rasanya jauh dari manis. Tampilan luarnya indah, dalamnya kopong. Ini menyebabkan para pemilih tak tertarik. Jika ada yang tertarik pastilah mereka bagian dari masyarakat yang lebih mengedepankan tampilan luar. Mereka inilah yang tertipu dan kecewa berkali-kali saat pemilihan umum digelar.
Tak hanya partai-partai politik karbitan yang muncul akibat pengembangan demokrasi prosedural ini. Para kandidat anggota lembaga-lembaga perwakilan (Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat di pusat dan daerah, dan Majelis Permusyawaratan Rakyat) juga tak jauh beda. Mereka kadang datang dari latar belakang yang tak jelas dan tak punya rekam jejak panjang di dataran politik. Mereka juga tak punya spesialisasi yang jelas. Tumpang tindih latar belakang juga sering kali terjadi. Pedagang, broker, preman, raja kecil, dan raja besar akhirnya menjadi politisi.
Hal yang sama juga terjadi pada kandidat perempuan yang akan menjadi anggota lembaga-lembaga pewakilan. Kuota 30 persen bagi calon anggota legislatif perempuan yang ditentukan Undang-Undang hanya berhenti pada tingkat memenuhi prosedur demokrasi. Karena itu ketika diusut-usut, banyak diantara calon-calon perempuan itu memiliki hubungan keluarga dengan para petinggi masing-masing partai peserta pemilu. Atau mereka datang dari kalangan istri-istri mantan pejabat.
Namun karena tergiur oleh segala kemewahan ketika sukses menjadi anggota parlemen, kekurangan-kekurangan semacam ini rupanya tak dianggap serius. Harga mahal yang harus dibayar seseorang jika ingin menjadi anggota parlemen pun tak jadi soal. Padahal sudah jadi rahasia umum, ketika seseorang mencalonkan diri menjadi anggota parlemen, ia wajib menyetor sejumlah dana pada para petinggi partai dan organisasi yang mengusungnya.
Karena itu hanya sebagian dari partai-partai politik peserta pemilu 2009 ini yang memiliki latar sejarah, ideologi, dan kandidat yang mumpuni. Hanya partai-partai seperti inilah yang mampu menghadapi masa kampanye yang panjang dan menghabiskan dana besar itu. Selebihnya terserah Anda untuk menggolongkan dan memilihnya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment