Sunday, April 29, 2007
Kesetiaan...
Setia pada diri
Setia pada janji
Susuri jalan
Punguti mimpi
Menyusunnya di langit
Hingga kelam dimangsa terang...
Thursday, April 26, 2007
Private Call Number
Pagi ini, Jumat (27/4), telepon genggamku yang sudah butut itu berdering. Aku melihat di layar telepon, tertulis private call number. Biasanya aku tak akan mengangkat telepon jika di layarnya muncul tulisan semacam itu. Karena kupikir buat apa orang menelepon jika identitasnya disembunyikan. Kalau sudah begitu, pasti ada maksud tertentu di balik penyembunyian identitas itu. Kalau sudah sembunyi-sembunyi bisa jadi niat di balik itu buruk semata.
Tapi aku coba mengangkat telepon itu. Dan sebuah suara yang tegas terdengar. “Bung Budi, dimana saya bisa mendapatkan buku Bung. Buku “Menolak Menyerah, Menyingkap Tabir Keluarga Aidit” itu,” kata si penelepon.
Aku yang sering ditelepon berbagai orang sejak menulis buku tentang keluarga DN Aidit, ketua CC PKI, berpikir ulang untuk menjawab pertanyaan dari si penelepon tadi. Aku curiga ini telepon dari orang “pro” atau orang “kontra”? Tapi kupikir sudahlah, pro dan kontra kan kadang tidak perlu ada, dan kadang tidak banyak bermakna selain menambah lebar jurang perbedaan akibat sejarah masa silam nan penuh rekayasa.
Aku pun menjelaskan pada si penelepon. Buku pertama yang kutulis bersama Yani Andryansjah itu sudah habis di toko-toko buku. Kalau mau, aku bilang, coba kontak penerbitnya di Yogyakarta saja. Si penelepon menanggapi dan bercerita dia menyenangi buku “Melawan dengan Restoran” yang kutulis bersama Bang Sobron Aidit dan kini sedang beredar itu. Si penelepon bilang di masa lalu ia punya sangat banyak koleksi buku yang karena berbahaya terpaksa ia bakar. “Masa itu masa yang menyeramkan Bung. Saya terpaksa membakar semua buku koleksi saya,” katanya.
Mendengar itu aku terdiam sejenak. Lalu kubilang pada si penelepon, “saya turut sedih bung”. Tetapi ia hanya bilang, “nggak apa-apa Bung”. Aku pun mencoba bertanya pada si penelepon, “Bung dimana”.
“Saya di Jakarta.”
“Bisa ketemu kapan-kapan Bung.”
“Ah tidak usahlah Bung.”
“Saya boleh mendapatkan nomor telepon Bung? Karena di telepon genggam saya nomor Bung tidak muncul.”
“Tidak usahlah Bung. Kapan-kapan saya akan telepon Bung lagi. Terimakasih ya Bung.”
“Ok. Sampai ketemu dan tetap semangat ya Bung.”
Lalu si penelepon misterius itu pun menutup teleponnya. Aku pun bergegas menuju kantor yang pimpinannya kemarin mengabarkan padaku dan kawan-kawan bahwa gaji bulan ini belum bisa dibayar…
“Melawan dengan Restoran”
Dunia perlawanan sering dipenuhi jargon heroik dan metode njelimet. Berbagai teori --juga kisah-- mengenai dunia perlawanan selalu dibumbui beragam hal. Dari cara pengumpulan massa, bagaimana mengorganisirnya, hingga tujuan yang hendak dituju tercapai. Dunia perlawanan juga melahirkan beragam ikon. Baik yang ngepop, maupun yang membuat kening berkerut.
Buku ini sepenuhnya tak membuat kita sulit mencerna kisah dan aroma perlawanan yang ada di dalamnya. Buku yang berasal dari wawancara dan pendalaman dengan Sobron Aidit, adik kandung Ketua CC Partai Komunis Indonesia (PKI) Dipa Nusantara Aidit, lebih banyak menceritakan tentang perlawanan dengan medium sederhana: restoran dan makanan.
Dari restoran yang hingga kini masih berdiri dan beraktivitas di Paris, Prancis, “kaum klayaban” melawan rezim Orde Baru pimpinan Soeharto. Di restoran ini juga banyak aktor perlawanan berkumpul. Tak hanya itu, restoran bernama Restoran Indonesia ini juga menjadi tempat para pelarian politik muda yang dikejar-kejar Orba berteduh. Budiman Sudjatmiko, Yeni Rosa Damayanti, dan Sri Bintang Pamungkas, turut merasakan amannya berteduh di restoran ini.
Kisah yang dituturkan dalam buku yang ditulis Sobron Aidit dan Budi Kurniawan secara ringan dan runtut dalam buku ini setidaknya bisa memberi inspirasi kepada kita bahwa melawan ternyata bisa dilakukan tanpa harus mengibarkan panji-panji kekerasan. Dengan makanan dan restoran pun perlawanan –juga penyadaran—bisa dilakukan.
Sobron's Fate Highlights Nation's Tragedy
By Aboeprijadi Santoso, Contributor The Jakarta Post, Amsterdam, publish February 16, 2007
Living in exile is a life "born out of blood, pain, sadness, anger and spirit", wrote Simon Sobron Aidit, 72, the exiled Indonesian poet who died on Feb. 10 in Paris. His utmost wish, he told Radio Netherlands two years ago, was that all victims of 1965-66 be fully rehabilitated. "They should be recognized as human beings," he said.
To many who knew Sobron in the 1960s, he was a famous poet, one of the best writers in the anthology Ketemu di Djalan (Meeting on the street). To others who met him in his later years in Europe, he was known and loved as a warm, friendly personality among Indonesian exiles in Paris and Amsterdam. And to Internet readers in recent years -- many of them from the younger generation -- he was known as Oom (uncle) Sobron, whose stories they enjoyed very much.
But to Soeharto's New Order government, Sobron Aidit was just a blacklisted name, a taboo. And for that reason alone, he, like hundreds of others who were allegedly involved in the 1965 coup attempt, was banned from his country. Born June 2, 1934, in Belitung, South Sumatra, Sobron, a language teacher, was sent by the Indonesian-Chinese Friendship Institute in the mid-'60s to Beijing (then Peking) to teach at the Academy of Foreign Languages.
On the fateful days following Sept. 30, 1965, like most Indonesians, he had but one question troubling his mind: what happened in Jakarta? "All we knew was that the political atmosphere was heightened. Didn't Bung Karno describe the situation as jor-joran revolusi (a fury of revolutionary calls)?"
Suddenly he recalled what his brother, D.N. Aidit, the chairman of the Indonesian Communist Party (PKI), had said when visiting Beijing only a month earlier. Bang (brother) Amat, as Sobron affectionately called him, had warned: "Be alert, something will happen that will shake our country, so please don't go home!" "That's all we knew," Sobron told his story 40 years later in
September 2005.
When a Cuban delegation later came to Beijing and conveyed Fidel Castro's message that D.N. Aidit had died, few among his friends believed it, but Sobron did. For him, it was also an omen. Late 1965, the bloodbath at home began. For Sobron and others like him, life radically changed afterwards.
He loved quoting Gus Dur's word klayaban (wandering) to describe his life, but quickly qualified it: not wandering around at will, but being forced to do so. Banned from one's own homeland is very painful, he said. We got old abroad, some even died because of the bitterness.
Sobron's Internet writings -- he wrote stories every day -- bear traces of such feelings. His sentiments may be understandable. At the same time, he had -- and wrote with -- a great sense of humor, sought friends and was open to the public, including his former adversaries.
In the view of Asahan Aidit, his younger brother, Sobron was "a literary diplomat". The spirit of revenge runs throughout his post-1965 writings, but he hid it or expressed it eloquently. His years in China was an unproductive period, but changes in Indonesia since 1998 and the emergence of the Internet liberated Sobron. He went home regularly and wrote more. Yet, neither his use of Indonesian (combined with the Jakarta dialect) nor the literary value of his works was really high, said noted writers Ajip Rosidi and even Asahan.
However, Sobron succeeded in turning himself into "a fabric of stories", producing an enormous amount of light and relaxed narratives that were easy to understand and entertaining. He did not write to argue, but to tell about his grandchildren, friends, food and other things of everyday life.
Once he related an anecdote he had with a barber in Indonesia. Having heard his name, the barber
told him that he was a killer of communists in the '60s. As the barber said that, the blade was poised to shave Sobron's stubble. Both smiled. Sobron "survived" and left the barber with another smile. Nurturing relationship through simple stories of everyday life may be the way he chose to humanize himself -- after all, he was too aware of how the 1965-66 victims were treated, that he wanted them to be recognized as human beings.
He argued that, as long as the decree banning leftist ideologies continued to exist, victims of the '60s could be, as he put it,"di-Munir-kan" -- that is, killed like the mysteriously poisoned human rights fighter Munir. Sobron went through a spiritual upheaval. Brought up in a pious Muslim family, he seemed less and less interested in religious rituals as he moved to Jakarta.
He was close to his eldest brother D.N. Aidit but, according to Asahan, Sobron had serious difficulties with Bang Amat's insistence that "politics is the commander" -- a style the Indonesian political left tried to impose in the '60s. Later, during his years of exiled in Europe, he turned to Christianity.
"Sobron cannot be a 'true ecommunist'," Asahan said, "just as he could not be a `truly religious' man. He remained himself. The only thing he could turn himself into was becoming a true writer -- which he did." It was this quality, his industriousness in creating stories, that attracted many
and demonstrated the significance of the Internet for marginalized groups like the exiles.
At a 2002 Washington conference, to which he was invited but could not attend, he praised mailing lists like John McDougall's Apakabar as a free arena. Soon he acquired a website and the Internet became his new "homeland".
Last week he fell unconscious while en route to the Internet cafe to post his stories -- and died the next day. His remains are scheduled to be cremated at the Pere Lachaise Cemetery in Paris, and his ashes will be placed in his wife's grave in Beijing and in his mother's grave in Belitung.
The tragedy of the mid-1960s has left deep impacts on Sobron's life, career and spirit. It has affected thousands of other "Sobrons" similarly, both in the past and in the present. The tragedy is a great challenge this nation -- which Sobron loved so much -- must face and resove. The writer is a journalist with Radio Netherlands.
Living in exile is a life "born out of blood, pain, sadness, anger and spirit", wrote Simon Sobron Aidit, 72, the exiled Indonesian poet who died on Feb. 10 in Paris. His utmost wish, he told Radio Netherlands two years ago, was that all victims of 1965-66 be fully rehabilitated. "They should be recognized as human beings," he said.
To many who knew Sobron in the 1960s, he was a famous poet, one of the best writers in the anthology Ketemu di Djalan (Meeting on the street). To others who met him in his later years in Europe, he was known and loved as a warm, friendly personality among Indonesian exiles in Paris and Amsterdam. And to Internet readers in recent years -- many of them from the younger generation -- he was known as Oom (uncle) Sobron, whose stories they enjoyed very much.
But to Soeharto's New Order government, Sobron Aidit was just a blacklisted name, a taboo. And for that reason alone, he, like hundreds of others who were allegedly involved in the 1965 coup attempt, was banned from his country. Born June 2, 1934, in Belitung, South Sumatra, Sobron, a language teacher, was sent by the Indonesian-Chinese Friendship Institute in the mid-'60s to Beijing (then Peking) to teach at the Academy of Foreign Languages.
On the fateful days following Sept. 30, 1965, like most Indonesians, he had but one question troubling his mind: what happened in Jakarta? "All we knew was that the political atmosphere was heightened. Didn't Bung Karno describe the situation as jor-joran revolusi (a fury of revolutionary calls)?"
Suddenly he recalled what his brother, D.N. Aidit, the chairman of the Indonesian Communist Party (PKI), had said when visiting Beijing only a month earlier. Bang (brother) Amat, as Sobron affectionately called him, had warned: "Be alert, something will happen that will shake our country, so please don't go home!" "That's all we knew," Sobron told his story 40 years later in
September 2005.
When a Cuban delegation later came to Beijing and conveyed Fidel Castro's message that D.N. Aidit had died, few among his friends believed it, but Sobron did. For him, it was also an omen. Late 1965, the bloodbath at home began. For Sobron and others like him, life radically changed afterwards.
He loved quoting Gus Dur's word klayaban (wandering) to describe his life, but quickly qualified it: not wandering around at will, but being forced to do so. Banned from one's own homeland is very painful, he said. We got old abroad, some even died because of the bitterness.
Sobron's Internet writings -- he wrote stories every day -- bear traces of such feelings. His sentiments may be understandable. At the same time, he had -- and wrote with -- a great sense of humor, sought friends and was open to the public, including his former adversaries.
In the view of Asahan Aidit, his younger brother, Sobron was "a literary diplomat". The spirit of revenge runs throughout his post-1965 writings, but he hid it or expressed it eloquently. His years in China was an unproductive period, but changes in Indonesia since 1998 and the emergence of the Internet liberated Sobron. He went home regularly and wrote more. Yet, neither his use of Indonesian (combined with the Jakarta dialect) nor the literary value of his works was really high, said noted writers Ajip Rosidi and even Asahan.
However, Sobron succeeded in turning himself into "a fabric of stories", producing an enormous amount of light and relaxed narratives that were easy to understand and entertaining. He did not write to argue, but to tell about his grandchildren, friends, food and other things of everyday life.
Once he related an anecdote he had with a barber in Indonesia. Having heard his name, the barber
told him that he was a killer of communists in the '60s. As the barber said that, the blade was poised to shave Sobron's stubble. Both smiled. Sobron "survived" and left the barber with another smile. Nurturing relationship through simple stories of everyday life may be the way he chose to humanize himself -- after all, he was too aware of how the 1965-66 victims were treated, that he wanted them to be recognized as human beings.
He argued that, as long as the decree banning leftist ideologies continued to exist, victims of the '60s could be, as he put it,"di-Munir-kan" -- that is, killed like the mysteriously poisoned human rights fighter Munir. Sobron went through a spiritual upheaval. Brought up in a pious Muslim family, he seemed less and less interested in religious rituals as he moved to Jakarta.
He was close to his eldest brother D.N. Aidit but, according to Asahan, Sobron had serious difficulties with Bang Amat's insistence that "politics is the commander" -- a style the Indonesian political left tried to impose in the '60s. Later, during his years of exiled in Europe, he turned to Christianity.
"Sobron cannot be a 'true ecommunist'," Asahan said, "just as he could not be a `truly religious' man. He remained himself. The only thing he could turn himself into was becoming a true writer -- which he did." It was this quality, his industriousness in creating stories, that attracted many
and demonstrated the significance of the Internet for marginalized groups like the exiles.
At a 2002 Washington conference, to which he was invited but could not attend, he praised mailing lists like John McDougall's Apakabar as a free arena. Soon he acquired a website and the Internet became his new "homeland".
Last week he fell unconscious while en route to the Internet cafe to post his stories -- and died the next day. His remains are scheduled to be cremated at the Pere Lachaise Cemetery in Paris, and his ashes will be placed in his wife's grave in Beijing and in his mother's grave in Belitung.
The tragedy of the mid-1960s has left deep impacts on Sobron's life, career and spirit. It has affected thousands of other "Sobrons" similarly, both in the past and in the present. The tragedy is a great challenge this nation -- which Sobron loved so much -- must face and resove. The writer is a journalist with Radio Netherlands.
Sobron Aidit dan Makna Sebuah Nama
Oleh Budi Kurniawan
Wartawan; Penulis Buku Menolak Menyerah, Menyingkap Tabir Keluarga Aidit (Tulisan ini dimuat Harian KOMPAS pada 25 Februari 2007)
"kau dan aku
hanya percaya dan setia
maka kita berdua bisa begitu"
Dering telepon tiada henti memecah malam yang beku di Friendship Hotel, pinggiran Beijing. Agak tergesa, lelaki 28 tahun itu meninggalkan buku-buku Indologie yang tekun ia baca. Pelan ia mengangkat gagang telepon. Lima menit pembicaraan berlangsung. Lalu semuanya jatuh dalam muram. Seketika ruang yang disediakan pemerintah Tiongkok untuk para ahli itu jatuh dalam suram.
Seorang teman yang baru pulang dari Havana, Kuba, membuat Sobron Aidit tercenung. Indologie (ilmu tentang keindonesiaan) yang disiapkan untuk mahasiswa tingkat tiga dan empat di Institut Bahasa Asing (IBA) Beijing, ia biarkan berserakan.
Keindahan Istana Musim Panas di sebelah hotel lenyap seketika. Kawan yang baru bertemu Fidel Castro itu mengabarkan bahwa abangnya, Dipa Nusantara (DN) Aidit, telah tewas terbunuh. Melalui sang kawan, pemimpin revolusi Kuba itu menyampaikan dukacita yang mendalam.
Sobron menahan marah, kehilangan, juga sedih. Baginya Bang Amat—demikian panggilan sayang Sobron pada abangnya itu—bukan sekadar abang. Ia tahu betul, DN Aidit sangat memerhatikan kehidupannya. Malam kian larut dan beku pada November 1966 itu.
Di antara kebekuan itu, Sobron teringat sebuah peristiwa bersama DN Aidit yang sangat berkesan baginya. Di suatu senja yang temaram, Bang Amat memanggil Sobron ke kantornya di Kramat Raya 81 (Kantor Pusat Partai Komunis Indonesia).
Bang Amat meminta Sobron menimbang-nimbang pencantuman nama Aidit di belakang namanya. Dia khawatir hal itu akan menjadi persoalan di kemudian hari, sebab nama itu akan berkonotasi PKI karena ketuanya bernama sama.
Mendengar permintaan itu, Sobron terdiam. Ia sadar apa yang dimaksudkan abangnya itu. Abangnya ingin ia terus berkembang dan tetap eksis dengan bakat budaya yang
ia miliki, tanpa harus terganggu dengan persoalan politik yang ingar-bingar dan
melelahkan itu.
Apalagi ketika itu Sobron dikenal khalayak sebagai sastrawan yang tulisannya menyebar di banyak media: Zenith, Sastra, Kisah, Republik, Harian Rakjat, Sunday Courier, dan Bintang Timur.
Di sepanjang jalan sebelum tiba di Kramat 81, Sobron mengira Bang Amat keberatan
ia menggunakan nama belakangnya. Padahal, nama Sobron Aidit sudah dipakainya jauh sebelum Bang Amat menjadi anggota petinggi PKI. Ia sudah memakai nama itu sejak 1948. Sedangkan Bang Amat baru menjadi ketua partai pada tahun 1951. Sobron tetap kukuh menggunakan nama Aidit di belakang namanya.
Ketika senja yang temaram ditelan malam, kepada Bang Amat, Sobron menolak permintaan Bang Amat untuk mengubah namanya. Apa pun alasannya. Dengan jujur pula Sobron menceritakan pikiran-pikiran salahnya di sepanjang jalan sebelum bertemu Bang Amat.
Sambil meminta maaf, Sobron memeluk Bang Amat. Bang Amat membalas pelukan itu dengan sangat erat. Air mata Sobron mengalir deras di sela peluk yang erat itu.
Bang Amat berbisik pada Sobron: "Baik, sangat baik, aku selalu percaya kepadamu, kau sangat jujur. Aku senang akanmu. Kau harus tahu lagi bahwa aku menaruh kepercayaan kepadamu. Sangat dan sangat. Ingat itu! Pegang eratlah kepercayaanku kepadamu. Aku sangat ingin melihatmu jadi orang. Jadi sastrawan yang baik. Kalau sanggup, menjadilah kebanggaan rakyat! Kalau tidak sanggup, jadilah sastrawan yang jujur dan memihak rakyat! Tapi selalulah jangan menipu, menyiksa, dan menindas rakyat. Kita ini adalah bagian rakyat yang luas. Tanpa kita, rakyat yang luas itu takkan apa-apa. Tapi kita tanpa mereka yang luas itu bukanlah apa-apa. Tak ada artinya."
Menjelang malam, sesudah dua kali makan di kantor itu, keduanya berpisah. Bagi Sobron, sekali inilah ia merasa paling lama berbicara dari hati ke hati dengan Bang Amat. Ia kian mengerti siapa sebenarnya abangnya itu. Begitu juga dengan Bang Amat, ia kian mengerti siapa adiknya yang ia katakan sangat dipercaya itu.
Kepercayaan yang pekat seperti yang ditulis Sobron dalam sebuah puisinya enam tahun lalu. Kau dan aku/hanya percaya dan setia/maka kita berdua bisa begitu.
Walau bersaudara dan menggunakan nama belakang yang sama, Sobron Aidit sungguh erbeda dengan DN Aidit. DN Aidit sangat fasih dalam soal politik. Sobron justru tak menyukai politik. Sobron lebih memilih bergerak di ranah budaya dan sastra.
Sobron membuktikan orientasinya itu dalam rentang waktu yang panjang. Sobron menulis berbagai karya sastra kala berusia 13 tahun. Cerpennya, Buaja dan Dukunnja, mendapatkan penghargaan dari majalah Kisah pada 1955-1956. Basimah, cerpennya yang lain, pada 1961 mendapat penghargaan dari Harian Rakjat.
Selain menulis karya-karya sastra, Sobron juga menjadi guru dan dosen. Bahkan, pada tahun 1963, Sobron dikirim pemerintah ketika itu menjadi dosen tamu di Beijing.
Soal pilihannya yang berbeda dengan sang abang ini, berkali-kali disampaikan Sobron kepadaku. Ketika diundang hadir dalam pertemuan dengan kawan-kawannya di sebuah rumah yang asri di kawasan Cibubur; pada peringatan ulang tahunnya yang ke-70 di Blok M; ketika peluncuran dua bukunya di Gedung Juang di Menteng, November tahun lalu, Sobron menegaskan penolakannya pada dunia politik. Politik, kata Sobron, bukan bidangnya. Tolong biarkan saya untuk terus berjuang melalui tulisan dan karya sastra, katanya kepadaku.
Komitmennya pada sesuatu, saya kira, menjadi satu hal yang membuat Sobron tegar
menghadapi segala dera dan coba. Ketika terempas oleh pusaran politik yang buram
di China; mengungsi ke Perancis dan lalu membuka restoran di Paris; menjadi "kaum kelayaban" dan orang terbuang yang hanya boleh datang, tetapi tak boleh pulang ke tanah airnya; Sobron menunjukkan ketegarannya.
Sobron memang keras hati pada sesuatu yang dianggapnya benar. Tetapi, dia juga
selalu ingin bersahabat dengan siapa pun, tak peduli warna kulit dan ideologi.
Semua komitmen, jalan panjang, dan kenangan Sobron Aidit terhadap segala hal
mencapai akhirnya pada pagi hari, 10 Februari 2007. Di usianya yang ke-73—lahir
pada 2 Juni 1934 di Belitung—Sobron berpulang setelah terjatuh di sebuah stasiun
kereta api bawah tanah di Perancis. Dia sempat dirawat di rumah sakit. Namun, Sang Khalik rupanya punya skenario lain. Selamat jalan sahabat yang terbuang...
Wednesday, April 25, 2007
Pesawat TNI AU = Bus Kota
Ini adalah pengalaman saya naik pesawat Boeing 737 milik TNI Angkatan Udara dari Makassar ke Jakarta. Bandara Sultan Hasanuddin dan agen penjualan tiket yang dikuasai para calo, membuat calon penumpang pesawat ke jurusan mana pun kesulitan mendapatkan tiket. Parahnya di bandara sudah menunggu para calo berambut cepak yang menawarkan tiket dan layanan setara pesawat komersial. Kadang mereka menyatakan pesawat yang akan digunakan para calon penumpang adalah yang dipakai Wakil Presiden Jusuf Kalla. Karena itu fasilitasnya pun sama dengan pesawat komersial lainnya.
Tapi apa lacur, walau sudah membayar uang sebesar Rp900.000 (untuk perjalanan Makassar-Jakarta), calon penumpang tidak dijamin bisa naik pesawat. Karena untuk naik pesawat harus kuat-kuatan backing. Begitu penumpang yang mendesak harus sampai di Jakarta dalam waktu dekat, makin mahal harga yang harus dibayar dan harus makin kuat backing yang dimiliki. Kalau itu tidak dimiliki, niscaya tidak bisa naik pesawat dan terlantar di bandara.
Saya yang ketika itu baru tiba dari Pulau Selayar dan harus ke Jakarta pada hari yang sama terpaksa menggunakan pesawat TNI AU ini. Setelah berdesak-desakan, saya dan seorang teman bisa naik pesawat. Eh, sampai di atas pesawat, semua janji dari sang calo berambut cepak itu sekadar indah kabar dari rupa. Penumpang berjubel kaya ikan sarden. Penumpang terpaksa berdiri. Sebagian duduk di lantai. Saya takjub sambil berpikir ini justru menarik buat difoto dan dikisahkan.
Di dalam pesawat saya duduk di bawah. Sambil menggeserkan pantat memberi ruang buat seorang ibu tua. Saya berbincang dengan seorang penumpang yang naik pesawat dari Timika ke Surabaya. Dia bilang dia membayar Rp1,3 juta untuk naik pesawat. Hal yang sama juga diceritakan banyak penumpang. Intinya mereka terpaksa naik pesawat milik tentara ini karena sulit mendapat tiket. Dan yang tidak mereka duga adalah di dalam pesawat mereka --juga saya-- bertumpukkan bak sarden. Sementara para perwira TNI AU mendapatkan tempat duduk yang nyaman. Tetapi para prajurit rendahan juga bernasib sama dengan para penumpang lainnya.
Soal keselamatan penerbangan, kenyamanan penumpang, pelanggaran peraturan, dan sebagainya menjadi nomor kesekian rupanya. Saya menduga, bisa jadi inilah cara para tentara mencari uang. Uang itu dibagi-bagi lagi kepada para atasan dan pihak lainnya. Ini memang negeri para penipu!!!
Melawan dengan Restoran
Jakarta – Sobron Aidit memang telah meninggal dunia pada 10 Februari
2007. Namun semangatnya dan perlawanannya masih hidup. Paling tidak,
hal itu terasa pada salah satu karyanya Melawan dengan Restoran.
Buku yang ditulis bersama Budi Kurniawan ini berkisah tentang
perjuangan Sobron dan kaum pelarian G-30-S di Prancis.
Adik mantan Ketua Centra Committee Partai Komunis Indonesia (PKI)
ini merupakan salah satu dari sekian banyak kaum klayaban setelah
peristiwa 30 September 1965 meletus di tanah air. Sobron tertahan
dan tinggal selama 18 tahun di Tiongkok (RRC) dan 20 tahun di Paris.
Sebagai manusia Sobron adalah ayah yang bertanggung jawab. Dia tidak
pernah mengikat anak-anaknya dalam mengembangkan sayap. Menurut
penuturan anaknya, Wita, setelah pensiun Sobron jutru tidak patah
semangat seperti pensiunan pada umumnya.
"Meski kesehatan Ayah menurun, semangat kerjanya tidak pernah
menurun. Ayah rajin sekali menulis, dan tidak pernah kehabisan
cerita," kata Wita dan Nita dalam sambutannya yang dikirim via e-
mail dan dibacakan Budi Kurniawan dalam peluncuran buku Melawan
dengan Restoran di Goethe Institute, Jakarta, Jumat (30/3) malam.
Peluncuran dan diskusi buku yang sekaligus memperingati 40 hari
meninggalnya Sobron Aidit ini juga menghadirkan Lisabona Rahman
(peneliti sastra eksil), Amarzan Loebis (redaktur senior Majalah
TEMPO, mantan Wakil Pemimpin Redaksi GATRA, dan mantan tahanan
politik di Pulau Buru), dan moderator M Fadjroel Rahman (aktivis
yang pernah dipenjara Orde Baru). Turut hadir dalam peringatan dan
peluncuran buku antara lain Martin Aleida, Ir Djoko (alumni Sovyet),
aktivis, mahasiswa dan wartawan dari berbagai media.
Pada Sabtu (31/3), di Prancis juga digelar acara yang sama. Acara
dihadiri orang-orang Indonesia yang hampir semuanya adalah kalangan
eksil. "Kami disini juga sedang memperingati 40 hari meninggalnya
ayah," kata Nita.
Tidak Menyebarkan Dendam
Budi mengenal seorang Sobron ketika masih bekerja di salah satu
media massa di Jakarta. "Waktu itu saya ditugaskan oleh redaktur
untuk `mengejar' orang-orang kiri. Setelah mengenal lebih jauh,
ternyata kehidupan dan perjuangan mereka patut diangkat. Sampai saat
ini pun belum ada buku yang membahas kehidupan keluarga Aidit
setelah peristiwa 1965," ujarnya di hadapan peserta diskusi.
Wartawan tua yang lama bersahabat dengan Sobron, Amarzan Loebis,
mengenal adik DN Aidit itu sebagai sosok humanis. "Sobron tidak
pernah mengeluh dan menyebarkan dendam kepada orang lain. Itu yang
tidak dimiliki oleh orang lain," kata Amarzan.
Dalam pandangan Amarzan, Sobron merupakan orang yang serba bisa
dalam segala hal. Terbukti dalam masa pelarian di Paris, Sobron
membuka dan mengelola restoran Indonesia dari nol. Kemampuannya
memasak membuktikan Sobron serba bisa.
Lisabona yang pernah meneliti karya sastra kaum pada 2005,
berpendapat, karya Sobron tidak seperti karya sastra
umumnya. "Berkesan biasa saja. Di samping gaya bahasanya yang halus,
semangat orang kiri tidak terkandung dalam karyanya."
Peluncuran buku terbitan Media Kita dan Penerbit Koekoesan ini
diselingi pemutaran film berjudul Klayaban. Film ini terinspirasi
dan bercerita tentang Sobron dan orang-orang Indonesia di Eropa yang
tidak bisa pulang ke tanah air setelah Peristiwa 30 september 1965.
Membaca Chairil Anwar di Zaman yang Busuk
Oleh : Budi Kurniawan (Alumni FISIP Unlam, Banjarmasin, wartawan sebuah majalah berita mingguan dan peminat sastra, tinggal di Jakarta. Email: budibanjar@yahoo.com)
Pada 28 April ini, 58 tahun sudah penyair besar Chairil Anwar berpulang. Chairil tak membawa semua yang ada dalam dirinya ke alam baka. Peninggalannya yang paling berharga ia tinggalkan: genre baru berpapar dengan metode “to the point”. Kalimat dan kata yang semula mendayu, puitis dan penuh nilai tinggi bahasa, menjadi tertunduk di depan keperkasaan kata dan kalimat yang diproduksi Chairil Anwar. Masa berindah-indah seperti dalam banyak puisi Amir Hamzah, bangsawan Langkat yang tewas dipancung kalangan yang menyebut dirinya pro kemerdekaan dan anti Belanda, serta menuding Hamzah sebagai antek penjajah, menjadi jauh berbeda kala Chairil muncul.
Chairil memang berbeda dengan para sastrawan yang sezaman dan lebih senior darinya. Chairil konsisten dengan perjuangan dan hati nuraninya yang hanya menggeluti kesusastraan. Sastrawan lain menekuni sastra sebagai “sambilan”. Mohamad Yamin misalnya merangkap sebagai pengacara. Abdul Muis yang menulis Salah Asuhan misalnya menjadi jurnalis dan politikus, Sutan Takdir Alisyahbana sebagai pegawai Balai Pustaka. Armijn Pane menjadi guru di sela aktivitas seninya. Demikian pula dengan HB Jassin.
Chairil betul-betul menggantungkan hidupnya dari honor menulis sajak yang dimuat surat kabar dan hasil terjemahan. Hidupnya sangat kekurangan. Chairil murni hidup sebagai seniman. Seniman yang tak hanya berhenti pada pikiran, tapi juga dalam sikap dan prilaku yang bebas, bahkan sangat bebas. Chairil bohemian, tak punya rumah, dan bisa tidur dimana saja. Bisa di pelataran peron Stasiun Senen, pasar, gubuk pelacur atau di rumah kawan-kawannya yang lain.
Sobron Aidit, sastrawan yang kini menjadi eksil di Belanda dan Prancis, kenyang betul dengan prilaku bohemian Chairil ini. “Pada tengah malam atau malah menjelang pagi, ia tiba-tiba saja mengetuk pintu. Dan dengan lidahnya yang sulit menyebut huruf R itu, ia memanggil-manggil. Bron…Bron…” cerita Sobron.
Lalu terpaksalah adik Ketua CC PKI DN Aidit itu membukakan pintu. Kalau sudah di dalam rumah, Chairil bisa ngobrol berjam-jam, atau malah langsung tidur.
Di rumah yang didatangi Chairil jangan harap makanan aman. Chairil bisa dengan sangat lahap memakan makanan yang ada. Semuanya bisa ludes dalam sekejap –termasuk makanan yang mentah sekalipun. Amarzan Loebis, redaktur senior Majalah TEMPO yang juga sastrawan Lekra, punya kisah soal ini.
Satu hari Chairil yang lapar datang bertamu ke rumah HB Jassin. Jassin menyambutnya seperti biasa, akrab dan hangat. Chairil juga bicara seperti biasa: tentang sastra dan pertanyaan kapan puisi yang ditulisnya diterbitkan Jassin, juga tentang honor tentunya.
Karena kesibukannya, Jassin pun meninggalkan Chairil sendirian. “Ril, kalau kau lapar ambil saja makanan yang ada di meja,” kata Jassin.
Chairil yang sudah sangat kelaparan langsung menuju dapur. Matanya melihat setumpuk sate di meja. Tanpa pikir panjang dan ragun sedikitpun Chairil langsung meraih sate-sate itu dan memakannya. Usai perutnya kenyang, Chairil pun pamitan pada Jassin dan istrinya.
“Sudah makan Ril?” tanya Jassin.
“Sudah.”
“Kau makan makanan yang dimana?”
“Yang di meja.” Eh, ternyata setumpuk sate yang diludeskan Chairil masih mentah adanya!!
Sebagai bohemian sejati, Chairil sering sakit. Sakitnya dari malaria hingga sipilis. Satu ketika kala malarianya datang menyerang, Chairil membangunkan Sobron yang sedang lelap di kamar yang mereka tiduri bersama. “Bron..Bron..bangun. Enggak kuat aku dengan malaria ini. Ini harus dilawan. Aku harus berkeringat,” kata Chairil seperti yang dituturkan Sobron.
Sobron yang masih terserang kantuk tak kuasa melawan permintaan Chairil. Ia pun bangun. “Mau kemana kita Ril?” tanya Sobron.
“Ayo, kita jalan ke Gambir. Biar keringatan,” jawab Chairil.
Maka segeralah dua orang itu berjalan kaki menuju Stasiun Gambir dari Gondangdia Dalam, tempat kos Sobron yang juga sempat dihuni Murad Aidit, abangnya.
Tapi belum lama jalan kaki itu mereka lakoni, ujan deras turun dengan dewasanya. Keduanya basah kuyup. Tapi Chairil tetap memaksa untuk terus berjalan menuju Gambir.
Setelah menembus hujan itu, kedua sahabat karib ini pun tiba di Gambir. Chairil langsung memesan kopi pada tukang warung yang banyak berjualan di sekitar Gambir. Sobron pun demikian. Keduanya asyik ngobrol sambil ngopi.
Tapi itu tak lama. Berselang beberapa menit, Chairil sudah tergolek lelap dalam sebuah becak yang sedang parkir di sekitar stasiun. Dan ketika pagi menjelang Chairil sudah sembuh dari malaria yang semalam menghantam tubuhnya. Ia segera mengajak Sobron pulang. Eh, giliran pulang yang sakit malah Sobron!!
***
Ketika Republik Indonesia baru dilahirkan, banyak pelukis ambil bagian. Gerbong-gerbong kereta dan tembok-tembok ditulisi kata "Merdeka atau mati!". Kata-kata itu diambil dari penutup pidato Bung Karno 'Lahirnya Pancasila' pada 1 Juni 1945.
Saat itulah, Affandi, pelukis beraliran ekpresionis mendapat tugas membuat poster. Ide poster yang menggambarkan orang yang memutuskan rantai yang membelenggu kedua tangan itu datang dari Bung Karno. Yang dijadikan model adalah pelukis Dullah.
Ketika lukisan sudah selesai, para seniman ini kebingungan mencantumkan kata-kata apa yang tepat untuk menggambarkan pesan di balik lukisan itu. Di tengah kebingunan itu penyair Chairil Anwar muncul. Soedjojono menanyakan kepada Chairil kalimat apa yang pas untuk dicantumkan di lukisan itu. Dengan enteng Chairil ngomong: "Bung, Ayo Bung!"
Dan selesailah poster bersejarah itu. Sekelompok pelukis siang malam memperbanyaknya dan dikirim ke daerah-daerah. Semua pelukis heran, dari mana kah Chairil memungut kata-kata itu? Usut punya usut, kata itu ternyata adalah kata-kata yang biasa diucapkan oleh pelacur-pelacur di Jakarta yang menawarkan “dagangannya” pada zaman itu.
***
Chairil lahir pada 26 Juli 1922, anak kedua dari keluarga Pamong Praja yang cukup terpandang di Medan, Sumatera Utara. Chairil dibesarkan di tengah keluarga Minangkabau yang ekonominya mapan dan taat pada agama Islam. Sejak kecil Chairil sangat dimanjakan, segala kebutuhannya terpenuhi. Mulai makanan, mainan dan pakaian yang semuanya berkualitas bagus.
Setelah menamatkan sekolah HIS (SD sekarang) dan SMP (tidak tamat) di Medan, Chairil kemudian merantau ke Jakarta. Ia belajar lewat buku, majalah-majalah kebudayaan dalam bahasa Belanda, Inggris dan Melayu. Chairil memang haus ilmu, dan tanpa sungkan sering merobek halaman buku yang dibutuhkannya dari toko buku atau buku milik para sahabatnya, secara diam-diam.
Menurut catatan HB Jassin, selama hayatnya (27 tahun), Chairil telah menghasilkan 94 buah karya yang terdiri atas sajak asli, prosa asli, sajak terjemahan, sajak saduran dan prosa terjemahan. Dari jumlah karya kreatifnya itu, beberapa sastrawan menilai, Chairil termasuk penyair yang kurang produktif. Ia memang tergolong miskin dengan karya (Horison, April 1985).
Penilaian ini perlu ditinjau kembali, sebab orang lupa Chairil meninggal dunia pada umur yang relatif muda. Secara psikologis, produktivitas seseorang umumnya dimulai umur 30 sampai umur 40 tahun. Justru kematangan jiwa penyair ini sudah mencuat sebelum umur 30 tahun, dengan sajak-sajaknya yang tidak tertandingi oleh sastrawan Indonesia lainnya sampai kini.
Kalau saja Chairil diberikan umur panjang, tidak mustahil ia akan sangat produktif berkarya.
Sajak-sajak Chairil bisa dijadikan siraman air sejuk di padang gersang, bisa juga menjadi pedang di medan perang. Ia adalah penyair komplit karena tema-tema yang diangkatnya sangat kompleks.
Sajak-sajaknya mengandung daya vitalitas yang tinggi seperti tampak dalam puisi ''Aku'', sebuah sajak yang keras, berani serta bersemangat. Puisi lain yang juga menyiratkan hal yang sama karya Chairil adalah ''Kerawang-Bekasi'' dan ''Persetujuan dengan Bung Karno''.
Karya-karyanya ini mampu menggelorakan semangat hidup untuk menentang ketidakadilan, ibarat pedang di medan perang. Chairil juga sangat romantis. Lihatlah puisinya yang berjudul ''Cintaku Jauh di Pulau'' dan ''Senja di Pelabuhan Kecil.'' Tidak cukup individualis dan romantis, Chairil juga sangat religius seperti tampak dalam puisi ''Betapatirajawane'', ''Isa'', dan ''Doa''. Walaupun demikian, ada saja orang yang menghubungkan Chairil sebagai seorang anarkhis dan egois dengan sajak ''Aku''-nya. Sebuah kalimat, “Pada cermin aku enggan berbagi” pun dianggap sebagian orang menggambarkan Chairil yang egois.
***
Setelah Chairil meninggal pada 28 April 1949, beberapa sajaknya dituduh sebagai hasil jiplakan. HB Jassin, ''sang penjaga gawang'' kesusastraan Indonesia, cukup luwes menilai tuduhan plagiat itu. Ia menyebutkan, plagiat yang dilakukan Chairil seluruhnya lewat saduran dan terjemahan. ''Terjemahan yang dilakukannya pun hampir seluruhnya terjemahan bebas yang mendekati penciptaan kembali sajak itu menurut Chairil,'' tulis Jassin dalam bukunya ''Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45'' (1978).
Kalau kita mau jujur, siapa sih yang sebenarnya tidak pernah meniru di dunia ini? Dalam masalah Chairil, dia telah melakukan terjemahan kreatif dari sajak ''The Young Dead Soldier'' karya Archilbal Macleish menjadi sajak ''Kerawang Bekasi''. Sajak ini melukiskan prajurit-prajurit yang mati muda dalam pertempuran. Menurut sastrawan Ajip Rosidi (1988), baris pertama dan kedua yaitu ''kami yang kini terbaring antara Kerawang Bekasi/ tidak bisa teriak ''merdeka'' dan angkat senjata lagi'' merupakan karya asli Chairil yang tidak ditemukan pada sajak sumbernya. Demikian juga bait terakhir sajak tersebut yaitu, ''Kenang, kenanglah kami/ Teruskan, teruskan jiwa kami/ Menjaga Bung Karno/ Menjaga Bung Hatta/ Menjaga Bung Sjahrir'' merupakan kalimat orisinal milik Chairil.
Awal pemunculan puisi-puisinya pada tahun 1942, juga Chairil tidak luput dari caci maki dan cemohan oleh penyair-penyair terdahulu. Tetapi ia tidak memperhatikannya. Dan dalam suatu pidato yang diucapkannya di depan Angkatan Baru pusat Kebudayaan tahun 1943, Chairil berkata, ''Pujangga muda akan datang. Pemeriksa yang cermat, pengupas, pengikis sampai ke saripati sesuatu. Segalanya, sampai ke tangannya dan merasai gores bedahan pisaunya yang berkilat.'' Demikian tanggapan Chairil atas kritik pedas yang ditujukan pada karya-karyanya. Ia pun kemudian berkata, ''Tiap seniman harus seorang perintis jalan. Seniman ialah tanda dari hidup yang melepas bebas.''
***
Di balik kebebasan –kadang bertindak seenaknya seperti cerita-cerita kocak di atas—saya menduga Chairil memang bahagia dengan apa yang dilakukannya. Kala ia tumbuh menjadi penyair yang fenomenal dengan kata-kata yang sangat bersemangat namun tetap indah itu, zaman belum lah sebusuk sekarang. Korupsi belumlah memaharaja, kolusi dan nepotisme pun belum demikian parah.
Hubungan personal diantara seniman, penguasa, politisi dan seterusnya masih sangat rapat. Semua orang boleh berbeda pendapat dan ideologi, tapi saling curiga dan tuduh-menuduh seperti sekarang belumlah parah. Dan Chairil dengan caranya sendiri turut mewarnai zaman itu. Sikapnya yang bebas mencerminkan zamannya yang juga bebas tanpa banyak syak wasangka.
Chairil misalnya bisa bergaul akrab dengan siapa saja, dari Perdana Menteri Sutan Sjahrir yang masih terhitung kerabat dekatnya, Presiden Soekarno yang ia ajak “bergenggam tangan erat” dalam salah satu puisinya, pelacur di pinggiran rel kereta di Stasiun Senen, hingga seniman dengan latar dan afiliasi politik yang kadang sangat tajam: antara Lekra yang akrab dengan PKI dan kalangan Manikebu di seberang sisi yang lain.
Hidup luntang lantung, mirip gembel, keluyuran malam hari di remang-remang Jakarta merupakan dunia keseharian Chairil. Tidur di terminal dan bergaul dengan abang becak serta para pemulung sembari tetap menulis sajak.
Chairil tak melulu terlibat dengan soal kesenian, ia juga terlibat langsung di tengah kancah revolusi. Beberapa puisinya tentang perjuangan kemerdekaan lahir dari pengalamannya yang langsung berada di kancah pertempuran. Ini tentu sangat berbeda dengan para seniman atau mereka yang sudah merasa dirinya menjadi seniman, yang melahirkan karya hanya karena proses kontemplasi psikologis dan bukan pengalaman nyata. Sehingga karya yang dilahirkan pun menggantung tinggi di langit khayal, tak berjejak di bumi nyata.
Namun karena kebebasan dan kesederhanaannya (kemiskinan), Chairil menjadi seniman yang tak berpunya. Seperti yang ditulis Majalah Sarinah (Edisi 12-25 Mei 1986), warisan terakhir Chairil untuk anak dan istrinya hanyalah satu ons gula merah, sepasang sepatu dan kaus kaki hitam, selembar uang rupiahan serta satu map sajak yang bakal dibukukannya, masih dalam tulisan tangan.
Di tengah bulan tempat sebuah tanggal yang mencatat berpulangnya Chairil, tak ada salah rasanya untuk bercermin pada semua jejak langkah seniman besar ini. Kesederhanaan, bersahaja, terbuka, jauh dari syak wasangka, tetap bersemangat di kala hidup susah, egalitarian kepada siapa saja, mungkin hanya sebagian dari inspirasi bernas yang ditinggalkan Chairil bagi bangsa yang kini sedang berada dalam zaman yang busuk, zaman yang mengerdilkan hidup dan kehidupan ini.
Subscribe to:
Posts (Atom)