Wednesday, April 25, 2007
Membaca Chairil Anwar di Zaman yang Busuk
Oleh : Budi Kurniawan (Alumni FISIP Unlam, Banjarmasin, wartawan sebuah majalah berita mingguan dan peminat sastra, tinggal di Jakarta. Email: budibanjar@yahoo.com)
Pada 28 April ini, 58 tahun sudah penyair besar Chairil Anwar berpulang. Chairil tak membawa semua yang ada dalam dirinya ke alam baka. Peninggalannya yang paling berharga ia tinggalkan: genre baru berpapar dengan metode “to the point”. Kalimat dan kata yang semula mendayu, puitis dan penuh nilai tinggi bahasa, menjadi tertunduk di depan keperkasaan kata dan kalimat yang diproduksi Chairil Anwar. Masa berindah-indah seperti dalam banyak puisi Amir Hamzah, bangsawan Langkat yang tewas dipancung kalangan yang menyebut dirinya pro kemerdekaan dan anti Belanda, serta menuding Hamzah sebagai antek penjajah, menjadi jauh berbeda kala Chairil muncul.
Chairil memang berbeda dengan para sastrawan yang sezaman dan lebih senior darinya. Chairil konsisten dengan perjuangan dan hati nuraninya yang hanya menggeluti kesusastraan. Sastrawan lain menekuni sastra sebagai “sambilan”. Mohamad Yamin misalnya merangkap sebagai pengacara. Abdul Muis yang menulis Salah Asuhan misalnya menjadi jurnalis dan politikus, Sutan Takdir Alisyahbana sebagai pegawai Balai Pustaka. Armijn Pane menjadi guru di sela aktivitas seninya. Demikian pula dengan HB Jassin.
Chairil betul-betul menggantungkan hidupnya dari honor menulis sajak yang dimuat surat kabar dan hasil terjemahan. Hidupnya sangat kekurangan. Chairil murni hidup sebagai seniman. Seniman yang tak hanya berhenti pada pikiran, tapi juga dalam sikap dan prilaku yang bebas, bahkan sangat bebas. Chairil bohemian, tak punya rumah, dan bisa tidur dimana saja. Bisa di pelataran peron Stasiun Senen, pasar, gubuk pelacur atau di rumah kawan-kawannya yang lain.
Sobron Aidit, sastrawan yang kini menjadi eksil di Belanda dan Prancis, kenyang betul dengan prilaku bohemian Chairil ini. “Pada tengah malam atau malah menjelang pagi, ia tiba-tiba saja mengetuk pintu. Dan dengan lidahnya yang sulit menyebut huruf R itu, ia memanggil-manggil. Bron…Bron…” cerita Sobron.
Lalu terpaksalah adik Ketua CC PKI DN Aidit itu membukakan pintu. Kalau sudah di dalam rumah, Chairil bisa ngobrol berjam-jam, atau malah langsung tidur.
Di rumah yang didatangi Chairil jangan harap makanan aman. Chairil bisa dengan sangat lahap memakan makanan yang ada. Semuanya bisa ludes dalam sekejap –termasuk makanan yang mentah sekalipun. Amarzan Loebis, redaktur senior Majalah TEMPO yang juga sastrawan Lekra, punya kisah soal ini.
Satu hari Chairil yang lapar datang bertamu ke rumah HB Jassin. Jassin menyambutnya seperti biasa, akrab dan hangat. Chairil juga bicara seperti biasa: tentang sastra dan pertanyaan kapan puisi yang ditulisnya diterbitkan Jassin, juga tentang honor tentunya.
Karena kesibukannya, Jassin pun meninggalkan Chairil sendirian. “Ril, kalau kau lapar ambil saja makanan yang ada di meja,” kata Jassin.
Chairil yang sudah sangat kelaparan langsung menuju dapur. Matanya melihat setumpuk sate di meja. Tanpa pikir panjang dan ragun sedikitpun Chairil langsung meraih sate-sate itu dan memakannya. Usai perutnya kenyang, Chairil pun pamitan pada Jassin dan istrinya.
“Sudah makan Ril?” tanya Jassin.
“Sudah.”
“Kau makan makanan yang dimana?”
“Yang di meja.” Eh, ternyata setumpuk sate yang diludeskan Chairil masih mentah adanya!!
Sebagai bohemian sejati, Chairil sering sakit. Sakitnya dari malaria hingga sipilis. Satu ketika kala malarianya datang menyerang, Chairil membangunkan Sobron yang sedang lelap di kamar yang mereka tiduri bersama. “Bron..Bron..bangun. Enggak kuat aku dengan malaria ini. Ini harus dilawan. Aku harus berkeringat,” kata Chairil seperti yang dituturkan Sobron.
Sobron yang masih terserang kantuk tak kuasa melawan permintaan Chairil. Ia pun bangun. “Mau kemana kita Ril?” tanya Sobron.
“Ayo, kita jalan ke Gambir. Biar keringatan,” jawab Chairil.
Maka segeralah dua orang itu berjalan kaki menuju Stasiun Gambir dari Gondangdia Dalam, tempat kos Sobron yang juga sempat dihuni Murad Aidit, abangnya.
Tapi belum lama jalan kaki itu mereka lakoni, ujan deras turun dengan dewasanya. Keduanya basah kuyup. Tapi Chairil tetap memaksa untuk terus berjalan menuju Gambir.
Setelah menembus hujan itu, kedua sahabat karib ini pun tiba di Gambir. Chairil langsung memesan kopi pada tukang warung yang banyak berjualan di sekitar Gambir. Sobron pun demikian. Keduanya asyik ngobrol sambil ngopi.
Tapi itu tak lama. Berselang beberapa menit, Chairil sudah tergolek lelap dalam sebuah becak yang sedang parkir di sekitar stasiun. Dan ketika pagi menjelang Chairil sudah sembuh dari malaria yang semalam menghantam tubuhnya. Ia segera mengajak Sobron pulang. Eh, giliran pulang yang sakit malah Sobron!!
***
Ketika Republik Indonesia baru dilahirkan, banyak pelukis ambil bagian. Gerbong-gerbong kereta dan tembok-tembok ditulisi kata "Merdeka atau mati!". Kata-kata itu diambil dari penutup pidato Bung Karno 'Lahirnya Pancasila' pada 1 Juni 1945.
Saat itulah, Affandi, pelukis beraliran ekpresionis mendapat tugas membuat poster. Ide poster yang menggambarkan orang yang memutuskan rantai yang membelenggu kedua tangan itu datang dari Bung Karno. Yang dijadikan model adalah pelukis Dullah.
Ketika lukisan sudah selesai, para seniman ini kebingungan mencantumkan kata-kata apa yang tepat untuk menggambarkan pesan di balik lukisan itu. Di tengah kebingunan itu penyair Chairil Anwar muncul. Soedjojono menanyakan kepada Chairil kalimat apa yang pas untuk dicantumkan di lukisan itu. Dengan enteng Chairil ngomong: "Bung, Ayo Bung!"
Dan selesailah poster bersejarah itu. Sekelompok pelukis siang malam memperbanyaknya dan dikirim ke daerah-daerah. Semua pelukis heran, dari mana kah Chairil memungut kata-kata itu? Usut punya usut, kata itu ternyata adalah kata-kata yang biasa diucapkan oleh pelacur-pelacur di Jakarta yang menawarkan “dagangannya” pada zaman itu.
***
Chairil lahir pada 26 Juli 1922, anak kedua dari keluarga Pamong Praja yang cukup terpandang di Medan, Sumatera Utara. Chairil dibesarkan di tengah keluarga Minangkabau yang ekonominya mapan dan taat pada agama Islam. Sejak kecil Chairil sangat dimanjakan, segala kebutuhannya terpenuhi. Mulai makanan, mainan dan pakaian yang semuanya berkualitas bagus.
Setelah menamatkan sekolah HIS (SD sekarang) dan SMP (tidak tamat) di Medan, Chairil kemudian merantau ke Jakarta. Ia belajar lewat buku, majalah-majalah kebudayaan dalam bahasa Belanda, Inggris dan Melayu. Chairil memang haus ilmu, dan tanpa sungkan sering merobek halaman buku yang dibutuhkannya dari toko buku atau buku milik para sahabatnya, secara diam-diam.
Menurut catatan HB Jassin, selama hayatnya (27 tahun), Chairil telah menghasilkan 94 buah karya yang terdiri atas sajak asli, prosa asli, sajak terjemahan, sajak saduran dan prosa terjemahan. Dari jumlah karya kreatifnya itu, beberapa sastrawan menilai, Chairil termasuk penyair yang kurang produktif. Ia memang tergolong miskin dengan karya (Horison, April 1985).
Penilaian ini perlu ditinjau kembali, sebab orang lupa Chairil meninggal dunia pada umur yang relatif muda. Secara psikologis, produktivitas seseorang umumnya dimulai umur 30 sampai umur 40 tahun. Justru kematangan jiwa penyair ini sudah mencuat sebelum umur 30 tahun, dengan sajak-sajaknya yang tidak tertandingi oleh sastrawan Indonesia lainnya sampai kini.
Kalau saja Chairil diberikan umur panjang, tidak mustahil ia akan sangat produktif berkarya.
Sajak-sajak Chairil bisa dijadikan siraman air sejuk di padang gersang, bisa juga menjadi pedang di medan perang. Ia adalah penyair komplit karena tema-tema yang diangkatnya sangat kompleks.
Sajak-sajaknya mengandung daya vitalitas yang tinggi seperti tampak dalam puisi ''Aku'', sebuah sajak yang keras, berani serta bersemangat. Puisi lain yang juga menyiratkan hal yang sama karya Chairil adalah ''Kerawang-Bekasi'' dan ''Persetujuan dengan Bung Karno''.
Karya-karyanya ini mampu menggelorakan semangat hidup untuk menentang ketidakadilan, ibarat pedang di medan perang. Chairil juga sangat romantis. Lihatlah puisinya yang berjudul ''Cintaku Jauh di Pulau'' dan ''Senja di Pelabuhan Kecil.'' Tidak cukup individualis dan romantis, Chairil juga sangat religius seperti tampak dalam puisi ''Betapatirajawane'', ''Isa'', dan ''Doa''. Walaupun demikian, ada saja orang yang menghubungkan Chairil sebagai seorang anarkhis dan egois dengan sajak ''Aku''-nya. Sebuah kalimat, “Pada cermin aku enggan berbagi” pun dianggap sebagian orang menggambarkan Chairil yang egois.
***
Setelah Chairil meninggal pada 28 April 1949, beberapa sajaknya dituduh sebagai hasil jiplakan. HB Jassin, ''sang penjaga gawang'' kesusastraan Indonesia, cukup luwes menilai tuduhan plagiat itu. Ia menyebutkan, plagiat yang dilakukan Chairil seluruhnya lewat saduran dan terjemahan. ''Terjemahan yang dilakukannya pun hampir seluruhnya terjemahan bebas yang mendekati penciptaan kembali sajak itu menurut Chairil,'' tulis Jassin dalam bukunya ''Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45'' (1978).
Kalau kita mau jujur, siapa sih yang sebenarnya tidak pernah meniru di dunia ini? Dalam masalah Chairil, dia telah melakukan terjemahan kreatif dari sajak ''The Young Dead Soldier'' karya Archilbal Macleish menjadi sajak ''Kerawang Bekasi''. Sajak ini melukiskan prajurit-prajurit yang mati muda dalam pertempuran. Menurut sastrawan Ajip Rosidi (1988), baris pertama dan kedua yaitu ''kami yang kini terbaring antara Kerawang Bekasi/ tidak bisa teriak ''merdeka'' dan angkat senjata lagi'' merupakan karya asli Chairil yang tidak ditemukan pada sajak sumbernya. Demikian juga bait terakhir sajak tersebut yaitu, ''Kenang, kenanglah kami/ Teruskan, teruskan jiwa kami/ Menjaga Bung Karno/ Menjaga Bung Hatta/ Menjaga Bung Sjahrir'' merupakan kalimat orisinal milik Chairil.
Awal pemunculan puisi-puisinya pada tahun 1942, juga Chairil tidak luput dari caci maki dan cemohan oleh penyair-penyair terdahulu. Tetapi ia tidak memperhatikannya. Dan dalam suatu pidato yang diucapkannya di depan Angkatan Baru pusat Kebudayaan tahun 1943, Chairil berkata, ''Pujangga muda akan datang. Pemeriksa yang cermat, pengupas, pengikis sampai ke saripati sesuatu. Segalanya, sampai ke tangannya dan merasai gores bedahan pisaunya yang berkilat.'' Demikian tanggapan Chairil atas kritik pedas yang ditujukan pada karya-karyanya. Ia pun kemudian berkata, ''Tiap seniman harus seorang perintis jalan. Seniman ialah tanda dari hidup yang melepas bebas.''
***
Di balik kebebasan –kadang bertindak seenaknya seperti cerita-cerita kocak di atas—saya menduga Chairil memang bahagia dengan apa yang dilakukannya. Kala ia tumbuh menjadi penyair yang fenomenal dengan kata-kata yang sangat bersemangat namun tetap indah itu, zaman belum lah sebusuk sekarang. Korupsi belumlah memaharaja, kolusi dan nepotisme pun belum demikian parah.
Hubungan personal diantara seniman, penguasa, politisi dan seterusnya masih sangat rapat. Semua orang boleh berbeda pendapat dan ideologi, tapi saling curiga dan tuduh-menuduh seperti sekarang belumlah parah. Dan Chairil dengan caranya sendiri turut mewarnai zaman itu. Sikapnya yang bebas mencerminkan zamannya yang juga bebas tanpa banyak syak wasangka.
Chairil misalnya bisa bergaul akrab dengan siapa saja, dari Perdana Menteri Sutan Sjahrir yang masih terhitung kerabat dekatnya, Presiden Soekarno yang ia ajak “bergenggam tangan erat” dalam salah satu puisinya, pelacur di pinggiran rel kereta di Stasiun Senen, hingga seniman dengan latar dan afiliasi politik yang kadang sangat tajam: antara Lekra yang akrab dengan PKI dan kalangan Manikebu di seberang sisi yang lain.
Hidup luntang lantung, mirip gembel, keluyuran malam hari di remang-remang Jakarta merupakan dunia keseharian Chairil. Tidur di terminal dan bergaul dengan abang becak serta para pemulung sembari tetap menulis sajak.
Chairil tak melulu terlibat dengan soal kesenian, ia juga terlibat langsung di tengah kancah revolusi. Beberapa puisinya tentang perjuangan kemerdekaan lahir dari pengalamannya yang langsung berada di kancah pertempuran. Ini tentu sangat berbeda dengan para seniman atau mereka yang sudah merasa dirinya menjadi seniman, yang melahirkan karya hanya karena proses kontemplasi psikologis dan bukan pengalaman nyata. Sehingga karya yang dilahirkan pun menggantung tinggi di langit khayal, tak berjejak di bumi nyata.
Namun karena kebebasan dan kesederhanaannya (kemiskinan), Chairil menjadi seniman yang tak berpunya. Seperti yang ditulis Majalah Sarinah (Edisi 12-25 Mei 1986), warisan terakhir Chairil untuk anak dan istrinya hanyalah satu ons gula merah, sepasang sepatu dan kaus kaki hitam, selembar uang rupiahan serta satu map sajak yang bakal dibukukannya, masih dalam tulisan tangan.
Di tengah bulan tempat sebuah tanggal yang mencatat berpulangnya Chairil, tak ada salah rasanya untuk bercermin pada semua jejak langkah seniman besar ini. Kesederhanaan, bersahaja, terbuka, jauh dari syak wasangka, tetap bersemangat di kala hidup susah, egalitarian kepada siapa saja, mungkin hanya sebagian dari inspirasi bernas yang ditinggalkan Chairil bagi bangsa yang kini sedang berada dalam zaman yang busuk, zaman yang mengerdilkan hidup dan kehidupan ini.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment