Wednesday, April 25, 2007

Melawan dengan Restoran



Jakarta – Sobron Aidit memang telah meninggal dunia pada 10 Februari
2007. Namun semangatnya dan perlawanannya masih hidup. Paling tidak,
hal itu terasa pada salah satu karyanya Melawan dengan Restoran.
Buku yang ditulis bersama Budi Kurniawan ini berkisah tentang
perjuangan Sobron dan kaum pelarian G-30-S di Prancis.

Adik mantan Ketua Centra Committee Partai Komunis Indonesia (PKI)
ini merupakan salah satu dari sekian banyak kaum klayaban setelah
peristiwa 30 September 1965 meletus di tanah air. Sobron tertahan
dan tinggal selama 18 tahun di Tiongkok (RRC) dan 20 tahun di Paris.

Sebagai manusia Sobron adalah ayah yang bertanggung jawab. Dia tidak
pernah mengikat anak-anaknya dalam mengembangkan sayap. Menurut
penuturan anaknya, Wita, setelah pensiun Sobron jutru tidak patah
semangat seperti pensiunan pada umumnya.

"Meski kesehatan Ayah menurun, semangat kerjanya tidak pernah
menurun. Ayah rajin sekali menulis, dan tidak pernah kehabisan
cerita," kata Wita dan Nita dalam sambutannya yang dikirim via e-
mail dan dibacakan Budi Kurniawan dalam peluncuran buku Melawan
dengan Restoran di Goethe Institute, Jakarta, Jumat (30/3) malam.

Peluncuran dan diskusi buku yang sekaligus memperingati 40 hari
meninggalnya Sobron Aidit ini juga menghadirkan Lisabona Rahman
(peneliti sastra eksil), Amarzan Loebis (redaktur senior Majalah
TEMPO, mantan Wakil Pemimpin Redaksi GATRA, dan mantan tahanan
politik di Pulau Buru), dan moderator M Fadjroel Rahman (aktivis
yang pernah dipenjara Orde Baru). Turut hadir dalam peringatan dan
peluncuran buku antara lain Martin Aleida, Ir Djoko (alumni Sovyet),
aktivis, mahasiswa dan wartawan dari berbagai media.

Pada Sabtu (31/3), di Prancis juga digelar acara yang sama. Acara
dihadiri orang-orang Indonesia yang hampir semuanya adalah kalangan
eksil. "Kami disini juga sedang memperingati 40 hari meninggalnya
ayah," kata Nita.

Tidak Menyebarkan Dendam

Budi mengenal seorang Sobron ketika masih bekerja di salah satu
media massa di Jakarta. "Waktu itu saya ditugaskan oleh redaktur
untuk `mengejar' orang-orang kiri. Setelah mengenal lebih jauh,
ternyata kehidupan dan perjuangan mereka patut diangkat. Sampai saat
ini pun belum ada buku yang membahas kehidupan keluarga Aidit
setelah peristiwa 1965," ujarnya di hadapan peserta diskusi.

Wartawan tua yang lama bersahabat dengan Sobron, Amarzan Loebis,
mengenal adik DN Aidit itu sebagai sosok humanis. "Sobron tidak
pernah mengeluh dan menyebarkan dendam kepada orang lain. Itu yang
tidak dimiliki oleh orang lain," kata Amarzan.

Dalam pandangan Amarzan, Sobron merupakan orang yang serba bisa
dalam segala hal. Terbukti dalam masa pelarian di Paris, Sobron
membuka dan mengelola restoran Indonesia dari nol. Kemampuannya
memasak membuktikan Sobron serba bisa.

Lisabona yang pernah meneliti karya sastra kaum pada 2005,
berpendapat, karya Sobron tidak seperti karya sastra
umumnya. "Berkesan biasa saja. Di samping gaya bahasanya yang halus,
semangat orang kiri tidak terkandung dalam karyanya."

Peluncuran buku terbitan Media Kita dan Penerbit Koekoesan ini
diselingi pemutaran film berjudul Klayaban. Film ini terinspirasi
dan bercerita tentang Sobron dan orang-orang Indonesia di Eropa yang
tidak bisa pulang ke tanah air setelah Peristiwa 30 september 1965.

1 comment:

Anonymous said...

Akh bahagianya jika saya seperti anda, Budi Kurniawan, bisa lebih dekat bercengkrama dengan beliau, sosok yang tulisannya takkan pernah mati ditelan tulisan2 muda...

Tabik,

-Anie-