Monday, May 14, 2007
Air Mata Telah Tumpah (Refleksi Sembilan Tahun Reformasi)
Oleh : Budi Kurniawan (Penulis, tinggal di Jakarta. Email: budibanjar@yahoo.com)
Pada 21 Mei 2007 ini sudah sembilan tahun Indonesia bebas dari diktator Orde Baru, Soeharto. Napas kebebasan yang dulu terasa sesak, kini hilang sudah. Orang bisa dengan mudah berekspresi tanpa ketakutan. Politik bergerak bebas. Partai politik yang di masa Orba berkuasa dibatasi, kini tak lagi. Partai-partai politik silih berganti lahir.
Keterbukaan juga terjadi dalam berbagai proses pengambilan keputusan. Presiden dan pemegang kekuasaan tak lagi gampang memutuskan sesuatu. Publik baik secara langsung maupun tidak, terlibat dalam keputusan-keputusan politik. Pengawasan publik melalui media massa juga berlangsung bebas dan dalam tensi tinggi.
Tetapi semua hal itu seperti berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di bidang ekonomi. Desain ekonomi yang mengintegrasikan Indonesia ke pasar bebas tak mampu menghasilkan banyak hal yang berdampak baik bagi rakyat kebanyakan.
Idealnya, ruang politik yang terbuka akan memberikan kesempatan bagi kelompok-kelompok yang selama ini termarjinalkan untuk mendesakkan kepentingannya. Namun, asumsi semacam itu terbukti keliru. Fakta memperlihatkan konversi ekonomi politik yang terjadi umumnya tidak berada pada posisi yang berpihak pada kelompok marjinal. Sebaliknya, kelompok yang memiliki hubungan dan berparadigma Orde Baru yang awalnya diperkirakan dipukul telak oleh reformasi, terbukti tetap memegang kendali atas jalannya kekuasaan politik.
Gelombang reformasi ternyata tidak cukup kuat menyapu bersih kelompok-kelompok eks dan neo Orde Baru. Bahkan, kelompok ini mampu bermetamorfosis dan beradaptasi dengan logika reformasi. Melalui penguasaan mereka di berbagai lembaga pers, partai politik, mendesakkan orang-orangnya terlibat dalam pemilu dan parlemen, kelompok ini jadi resisten, berpengaruh, dan diperhitungkan. Penguasaan terhadap sumber-sumber ekonomi menjadikan mereka menentukan di berbagai sisi hidup setelah reformasi bergulir.
Bentuk-bentuk perubahan kelembagaan politik setelah Soeharto tumbang, yang tampaknya memberi tanda bagi titik awal mengantarkan Indonesia ke gerbang demokrasi, ternyata bergerak ke arah lain. Hingga hari ini lembaga-lembaga demokrasi hasil reformasi tetap kebal dari kepentingan masyarakat marjinal, sekalipun telah tersedia ruang artikulasi yang relatif lebih terbuka.
Kelahiran berbagai lembaga demokrasi juga tidak serta merta diiringi dengan munculnya praktik politik yang lebih beradab. Politik uang disegala lini bermunculan. Uang menjelma menjadi “Tuhan” baru yang disembah dan dipuja. Uang bisa mewujudkan apa pun, termasuk memutar balikkan fakta. Kebenaran menjadi bias, tergantung di pihak mana uang berada.
Eksploitasi simbol-simbol identitas melalui jalur etnis dan agama, kekerasan dan premanisme, nasionalisme dan etnosentrisme picik, menjadi makanan hari-hari. Bau busuk korupsi menyebar rata di seluruh negeri. Dan koruptor tak punya rasa takut sedikitpun. Karena “sapu” anti korupsi nya pun tak jauh kotor dengan mereka yang akan disapu. Kredo ketika orang terbiasa berada di tempat sampah, orang tak lagi merasa terganggu dengan bau busuk sampah, karena yang bersangkutan sudah menjadi sampah itu sendiri, menunjukkan kebenarannya.
***
Di ranah hukum, reformasi bergerak satire. Amandemen UUD 1945 yang terjadi empat kali telah mengubah sendi-sendi hukum Indonesia. Pembentukan Mahkamah Konstitusi memang telah memberikan ruang bagi warga negara menguji peraturan yang merugikan hak konstitusional mereka. Legislasi juga menghasilkan ratusan undang-undang baru. Pembentukan Komisi Yudisial juga memberikan ruang bagi pengawasan hakim. Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai hasil reformasi juga berhasil menangkap para koruptor. Ratifikasi berbagai perjanjian internasional juga telah menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara yang paling banyak meratifikasi instrumen hak asasi manusia.
Namun, pada sisi lain, pemberantasan korupsi antiklimaks. Para koruptor yang ditangkap dan dijebloskanya ke penjara adalah mereka-mereka yang sudah tak memiliki base politik dan ekonomi. Jika para koruptornya berasal dari kalangan yang tidak didukung dan terlibat dalam partai politik yang kuat dan berpengaruh, niscaya mereka akan ditangkap dan dijebloskan ke bui. Begitu juga dengan mereka yang tidak memiliki basis ekonomi.
Atau mereka yang ditangkap adalah orang-orang yang mengganggu partai politik tertentu untuk menguasai basis ekonomi yang akan digunakan untuk keperluan perhelatan politik seperti pemilu 2009. Dalam kasus reshuffle kabinet yang dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beberapa waktu lalu menunjukkan hal ini dengan tegas.
Penegakan hukum dalam praktiknya hanya untuk kepentingan elite politik dan golongan tertentu. Repotnya, kondisi demikian diperparah dengan intervensi kekuasaan dan politik ke wilayah hukum.
***
Di alam reformasi, sektor keamanan terlihat bergerak. Pemisahan Polri dari TNI membuat mereka menjadi penegak hukum yang relatif independen. Penghapusan Dwifungsi ABRI telah membuat tentara “netral” dalam politik dan tak lagi memiliki kursi gratisan di parlemen. Militer pun kini pelan-pelan meninggalkan dunia bisnis. Sipil pun terlihat sudah bisa “bersaing” dengan militer.
Namun semua itu hanya berlangsung di permukaan. Tentara tetap saja menjadi “the untouchables”. Tak banyak kasus yang melibatkan tentara selesai dengan objektif, transparan, dan adil. Kasus pelanggaran HAM di Timor Leste, Kerusuhan Mei 1998, Trisakti, Semanggi I dan II, pembunuhan aktivis HAM Munir, Peristiwa Tanjung Priok 1984, Talangsari 1989 misalnya, hingga kini masih gelap gulita.
Pada tataran diskursus tentara memang telah memberikan respon positif terhadap kritik dan tuntutan reformasi yang mengarah lebih keras kepadanya, ketimbang pada institusi lain. Misalnya, dengan menyatakan mengubah paradigma, peran, fungsi, dan tugas mereka. Namun secara substansial, sebenarnya tidak ada yang berubah.
Kini sudah sembilan tahun reformasi menyapa kita. Tapi tak jua kita menjawabnya dengan kerja yang jelas dan tegas. Semua seolah lupa dengan apa yang terjadi pada Peristiwa Mei 1998. Padahal dari darah para mahasiswa dan air mata yang tumpah itulah kita kini berada dalam alam yang berbeda. Alam yang membuat kita bisa bernafas lebih lega ketimbang sebelumnya. Orang kini tergoda untuk membandingkan ketika Orba berkuasa dengan menyanjung prestasi ekonomi penuh dusta. Orang lupa prestasi Orba itu diraih di atas derita, darah, dan air mata rakyatnya. Orang lupa prestasi ekonomi Orba dilakukan dengan perselingkuhan, tipa-tipu disana-sini. Dan ketika krisis ekonomi tiba, semua dusta ekonomi dan prestasi itu roboh bak rumah kartu. Yang menderita akibat itu bukan sekadar Orba dan antek-anteknya. Juga rakyat jelata yang tak berdosa dan tahu menahu itu.
Parahnya kita seolah bertekuk lutut di hadapan lupa. Bagaimana melawan penindasan lainnya, jika kepada lupa saja kita tak kuasa melawannya?
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment