Tuesday, May 1, 2007

Mengajar Diantara Hempasan Ombak dan Palang Sekolah





Oleh : Budi Kurniawan

(Ini adalah kisah seorang guru yang mengabdi di sebuah pulau terpencil di gugusan Pulau Selayar, Sulawesi Selatan. Tulisan ini dimuat di sebuah majalah pendidikan terbitan Jakarta)


Malam baru saja bertahta di daratan Pulau Bahuluang. Di pulau yang berada di sebelah selatan Pulau Selayar, Sulawesi Selatan itu gelap meraja. Hanya cahaya dari lampu petromak dan lampu minyak yang terlihat berkelap-kelip. Sebagian besar pulau itu hening dalam diam.

Angin barat yang sedang berhembus kencang menyebabkan laut bergelora malam itu. Badai datang menyergap gelap. Tapi semua itu tak menyurutkan niat Hj Nur Dewi untuk berlayar. Malam itu, Kepala Sekolah Dasar Negeri Bahuluang ini mencarter sebuah perahu kecil untuk menuju Desa Appatanah, sebuah desa di ujung utara Pulau Selayar yang menjadi tetangga Pulau Bahuluang.

Dengan satu tangan mengempit hasil ujian anak-anak didiknya, dan tangan yang lainnya berpegangan di pinggiran perahu, bersama seorang penduduk Bahuluang, Hj Nur Dewi bergerak meinggalkan bibir pantai Dusun Bahuluang, Desa Appatanah, Kecamatan Bontosikuyu, Kabupaten Selayar.

Baru beberapa meter perahu berlayar, ombak besar dan angin kencang langsung menerpa. Namun kencan angin dan besarnya ombak itu tak dipedulikan Dewi. Tekadnya bulat. Ia harus mengantarkan hasil ujian itu ke Bontosikuyu, ibukota kecamatan. Apalagi tenggat waktu yang diberikan Dinas Pendidikan Selayar akan jatuh pada esok hari. Sehingga jika ia tak berlayar malam itu, pastilah tenggat waktu itu akan terlanggar. “Nekad saja. Ini sudah tugas,” kata Nur Dewi kepadaku yang menemuinya di Pulau Bahuluang beberapa waktu lalu.

Menentang badai dan ombak besar saat mengantar hasil ujian nasional menjadi rutinitas Nur Dewi. Karena memang, setiap ujian nasional selesai digelar waktunya selalu bersamaan dengan datangnya cuaca buruk di sekitar Bahuluang. “Tapi mau bagaimana lagi. Jadualnya memang sudah begitu,” ujar Nur Dewi.

Tapi tak hanya cuaca buruk yang harus dihadapi Nur Dewi di tempat tugasnya. Sikap para orangtua di Bahuluang yang relatif masih kurang menghargai pendidikan adalah persoalan lain yang harus ia hadapi. Padahal, kata Nur Dewi, pendidikan sangat dibutuhkan warga Bahuluang untuk memperbaiki harkat hidup mereka.

Karena sikap negatif terhadap pendidikan itu, Sunusi, seorang Tuan Tanah yang mengaku tanahnya dipakai untuk lokasi rehab SDN Bahuluang, pernah memarahi Nur Dewi dan memintanya untuk memberi ganti rugi tanah itu. Dewi dengan tegas menolak. Karena selain, soal ganti rugi tanah itu bukan urusannya, ia juga pernah mendengar bahwa di masa lalu tanah itu sudah dihibahkan. Mungkin karena tergiur gemerincing rupiah, sang Tuan Tanah kemudian menuntut ganti rugi.

Dewi pernah memberi pengertian pada sang Tuan Tanah. Tapi Tuan Tanah itu bergeming. Ia malah mengambil tindakan keras dengan memalangi sekolah dan kelas-kelas tempat Dewi menjadi kepala sekolah. Akibatnya proses belajar mengajar pun terganggu. Kini, murid-murid SDN Bahuluang yang seluruhnya berjumlah 47 orang itu harus menderita. Mereka terpaksa belajar berhimpitan dan berbagi ruangan. Satu ruangan digunakan untuk kantor merangkap ruang kelas I dan II; satu ruang untuk kelas III dan IV; dan satu ruangan lagi untuk kelas V dan VI. Papan tulis di masing-masing ruangan pun harus dibagi dua.

Keadaan ini, menurut Siti Syanawiyah, salah satu guru di SDN Bahuluang, sangat mengganggu. Ia dan Noorkati, rekannya yang lain, harus berbagi konsentrasi mengajar dua kelas di satu ruangan. Apalagi, kata Noorkati, guru yang aktif mengajar di SDN Bahuluang selain Nur Dewi hanya mereka berdua.

Mungkin karena perlawanan keras yang diberikan Nur Dewi, sikap keras Tuan Tanah itu sedikit berkurang. Kayu-kayu yang dipalangkan di sekolah dilepaskan. Tapi dua daun pintu kelas masih terpalang. “Ini sikap yang sebenarnya sudah keterlaluan,” kata Herlina, guru SDN Bahuluang yang pernah bermasalah dengan sang Tuan Tanah.

Walau daun pintu kelas masih terpalang, Nur Dewi dan rekan-rekannya terus mengajar. “Mungkin suatu saat sikap yang tidak menghargai pendidikan ini akan hilang jika mereka memahami betapa pendidikan sangat penting untuk anak-anak mereka,” kata Nur Dewi.

Menurut Kepala Seksi Sarana SD/TK Bidang Dikdas Dinas Pendidikan Kabupaten Selayar Fs Daeng Madlassa SPd, apa yang dialami Nur Dewi dan kawan-kawan itu banyak terjadi di Sulawesi Selatan. Para pemilik tanah sering merasa mereka tidak menerima ganti rugi. Padahal uang biasanya sudah diberikan kepada orangtua mereka yang menghibahkan tanah itu kepada sekolah. Tapi ketika orangtua mereka meninggal, mereka meminta lagi sejumlah uang. Karena menurut mereka yang bersepakat dulunya itu adalah orangtua mereka.

MULAI DARI BAERAH

Hj Nur Dewi AM Pd adalah orang asli Selayar. Ia lahir 47 lalu pada 16 Juli 1959 di kampung Baerah, sebuah tempat di sebelah timur Kota Benteng. Dewi, begitu perempuan bersahaja ini biasa disapa adalah anak ketiga dari enam bersaudara dari pasangan Pa’ Gu dan Sarimanah. Pa’ Gu, ayahnya meninggal pada 11 November 2003. Ibunya kini berusia 70-an tahun.

Sedangkan Baho Dini, suami Dewi yang memberinya empat anak, Andi Nordin (28), Andi Noryani (23), Mahdalena (17) dan Ellisa Ervina (15) meninggal pada 30 September 2003. Noordin, anak pertama Dewi tak menyelesaika sekolahnya di SMA. Noryani, putri keduanya kini sudah menikah dan memiliki satu putra. Mahdalena, baru saja menyelesaikan sekolahnya di sebuah SMK di Jakarta. Ellisa kini masih duduk di bangku SMP.

Sebelum bertugas dan menjadi kepala sekolah di Bahuluang selama tiga tahun ini, Dewi memulai karirnya sebagai guru di Baerah, kampung halamannya. Menjadi guru adalah cita-cita Dewi sejak kecil. Ia tak seperti anak kebanyakan yang bisa mengganti-ganti cita-citanya. Dewi pertama kali tertarik menjadi guru karena jatuh hati pada cara mengajar Pak Paragauk, seorang gurunya kala SD. Pak Paragauk, guru Dewi di SD, membimbing dan mengajar murid-muridnya dengan sangat bagus. “Dia mengajarnya sangat bagus. Dia juga penyanyi yang bagus,” kata Dewi tentang guru SD-nya itu.

Karena cara mengajar diselingi nyanyian-nyanyian gembira yang dikumandangkan Paragauk, Dewi kecil dan kawan-kawannya selalu belajar dengan riang. Saat pulang sekolah, Dewi dan kawan-kawannya berbondong-bondong menghampiri Paragauk dan mengajaknya jalan bersama menuju rumah.

Pada malam hari, Paragauk mengajak Dewi dan murid-muridnya yang lain ke rumah. Di rumahnya Paragauk mengajar berbagai hal, dari sejarah, IPA, Ilmu Bumi hingga Matematika. “Dia mengajarnya seperti mendongeng. Apalagi kalau mengajar sejarah, semua peristiwa seolah hadir di depan mata. Sangat mengesankan,” kata Dewi mengenang gurunya itu.

Selain Paragauk yang cerdas, keakraban dan perlakuan masyarakat Baerah yang sangat baik kepada para guru makin menebalkan niat Dewi untuk jadi guru. Di mata Dewi, guru adalah profesi yang sangat mulia. “Karena gurulah orang bisa cerdas. Guru mengajar dan mencerdaskan anak-anak. Dari yang tidak tahu dan buta sama sekali, tidak mengenal huruf, angka dan nomor-nomor sehingga mereka jadi bisa,” kata Dewi.

Selain menganggap menjadi guru adalah pekerjaan mulia, niat Dewi menjadi guru juga didorong oleh nenek-neneknya. Beberapa neneknya dikenal sebagai guru di kampung Baerah.
“Cita-cita menjadi guru itu terus saya simpan dan ingin saya wujudkan,” ujar Dewi.

Setamat SD pada tahun 1971, Dewi kemudian melanjutkan ke Sekolah Kepandaian Putri Negeri (SKPN)) Benteng. Ia lulus pada 1974. Setelah itu Dewi melanjutkan ke Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Muhammadiyah di Benteng) dan lulus pada tahun 1977. Pada tahun 2002 Nur Dewi lulus kuliah penyetaraan di Universitas Terbuka Makassar.

Berbekal ijazah SPG yang digengamnya, Dewi mulai mengajar di SDN Baerah. Ia tak digaji tetap. Semuanya dilakukannya dengan sukarela. Selama dua tahun ia mengajar disitu. Pada 1979 Dewi diangkat menjadi pegawai negeri dan ditugaskan mengajar di SDN Inpres Tombangangeah.

Dewi semula mengajar di kelas IV. Kemudian turun ke kelas I dan kelas II. Di kelas I dan II, Nur Dewi mengajari anak-anak membaca, mengenal huruf dan berhitung sambil bermain dan bernyanyi. “Di sini waktu itu belum ada Taman Kanak-Kanak, jadi anak-anak di kelas I dan II umumnya masih belum mengenal huruf dan belum bisa membaca. Ini agak sulit. Untuk itu agar mereka senang saat belajar, saya menyelipkan hiburan diantara pelajaran,” kata Dewi.

Setelah setahun mengajar, Dewi menikah dengan Baho Dini, teman satu desanya. “Suami saya orang yang sangat baik. Dia mengerti dan membimbing saya,” kata Dewi tentang almarhum suaminya itu.

17 TAHUN

Walau betah di Tombangangeah, pada Agustus 1986 Dewi dipindahkan ke SDN Appatanah, Kecamatan Bontosikuyu. Appatanah adalah desa di ujung selatan Pulau Selayar. Luas desanya, menurut Ansaruddin, kepala desa Appatanah –masyarakat setempat menyebutnya Pak Desa—adalah 50 Km2. Desa Appatanah berbatasan dengan Desa Loa di sebelah utara. Di sebelah timur, selatan dan barat, desa ini berbatasan dengan laut.

Desa Appatanah yang berpenduduk sekitar 690 jiwa dan bermatapencaharian sebagai nelayan ini membawahi tiga dusun yaitu Kanawe, Bunging dan Bahuluang. Bahuluang adalah pulau tersendiri yang berada di sebelah barat Appatanah. Penduduk pulau Bahuluang sekitar 289 jiwa.

Suku-suku yang mendiami Appatanah antara lain Bajo, Bugis, Bugis Makassar, dan Suku Selayar sendiri. Mereka menggunakan bahasa yang berbeda satu sama lain, yaitu Bahasa Bajo, Makassar, Selayar dan Bugis.

Beragamnya bahasa ini menyulitkan Nur Dewi kala pertama kali mengajar di Appatanah. Sebagian besar warga desa ini menggunakan bahasa Bajo. Dewi sama sekali tidak bisa berbahasa Bajo. “Ini menyulitkan,” kata Dewi.

Tapi dengan tekad yang kuat, Dewi belajar bahasa Bajo kepada penduduk Appatanah. Selama tiga bulan awal ia di Appatanah, ia mulai bisa sedikit-sedikit menggunakan bahasa Bajo. Dewi pun senang. Ia kini bisa mengajar dengan menggunakan bahasa ibu masyarakat setempat.
Di SDN Appatanah, Dewi pertama kali mengajar di kelas V. Hingga dua tahun ia mengajar di kelas ini. Tahun-tahun selanjutnya Dewi pindah mengajar di kelas I.

Sepanjang tugasnya di Appatanah duka yang paling berkesan bagi Dewi adalah sulitnya mendapatkan air minum dan masih belum adanya jalan darat dari ibukota kabupaten menuju desa. Hutan di sekitar Appatanah masih sangat lebat dan cukup menyeramkan.

Pada tahun 1992, kata Dewi, untuk sampai ke Appatanah atau menuju Benteng, ia harus berjalan kaki sejauh 10 Km dan baru menemukan kendaraan. Dengan kendaraan itu barulah Dewi bisa mencapai Benteng. Hal yang sama juga terjadi jika ia pulang dari Benteng ke Appatanah. “Pulang ke rumah di Benteng pun baru bisa dilakukan tiga bulan sekali dan ketika liburan saja,” kata Dewi.

UMPAN TELEVISI

Kesulitan soal bahasa bisa dihadapi Dewi. Tapi kesulitan berikutnya tiba. Masyarakat Appatanah berbeda sekali dengan di Tombangangeah. Pada tahun 1986 masyarakatnya belum mengerti sama sekali pada pendidikan. Pada musim nener –musim ketika anak-anak ikan banyak ditemukan di laut—para orangtua di Appatanah biasa membawa anak-anaknya ke laut.

Jika sudah begitu, Dewi dan para guru lainnya terpaksa mengalah. “Waktu itu anak mereka yang sekolah dibawa begitu saja. Nggak perlu sekolah. Saya dan kawan-kawan terpaksa mengalah,” kata Dewi.

Keadaan demikian terus berlangsung. Tapi, pikir Dewi, kebiasaan mengalahkan kepentingan pendidikan anak dengan mata pencaharian ini harus dihentikan. Karena, bagaimana mungkin anak-anak Appatanah bisa mendapatkan pengetahuan, baca, tulis dan berhitung, jika orangtua mereka lebih mementingkan mata pencaharian dibanding pendidikan. Sayangnya, anak-anak pun lebih senang diajak ke laut daripada sekolah.

Untuk mengatasi itu, Dewi berinisiatif mengubah cara mengajarnya. Jika biasanya ia mengajar di sekolah, pada hari-hari tertentu Dewi memanggil murid-muridnya ke rumah. Untungnya mereka mau datang. “Memang harus menggunakan cara yang jeli,” kata Dewi yang mengidolakan para ulama seperti AA Qym dan KH Arifin Ilham ini.

Agar belajar di rumah itu menarik perhatian Dewi menyediakan televisi ukuran 17 inchi untuk murid-muridnya. Kala itu di Appatanah televisi masih sangat jarang. Dewi menyisihkan gajinya dan berpatungan dengan guru-guru yang lain untuk membeli televisi -itu.

Televisi itu dijadikan “umpan” bagi murid-murid yang datang ke rumah Dewi. Murid-murid diperbolehkan nonton dulu beberapa saat, lalu kemudian belajar. Yang tidak mau belajar tidak diperbolehkan menonton televisi.

Pelajaran di rumah dengan televisi ini beragam dari Matematika, IPA hingga IPS ini berlangsung hingga tujuh tahun. Namun yang menjadi fokus Dewi adalah pelajaran bahasa Indonesia. Ini menjadi penting dan strategis, karena dengan menguasai bahasa Indonesia, artinya komunikasi Dewi dan anak-anak bisa berjalan lancar. Dan berujung pada lancarnya aktifitas belajar mengajar di sekolah.

MENGABDI DI BAHULUANG

Setelah mengabdi selama 17 tahun di Appatanah, pada tahun 2003 Dewi dipindahkan ke SDN Bahuluang dan menjadi kepala sekolah disana. Dewi sendiri sedih harus meninggalkan Appatanah. Banyak kenangan sudah diurainya di desa yang penduduknya sangat bersahaja itu. Kehidupan penduduk yang masih serba kekurangan, kata Dewi, ternyata tidak membuat mereka menyerah menghadapi hidup. Mereka selalu optimistis. Dengan segala kekurangan yang ada, mereka berusaha menyekolahkan anak-anaknya, agar pintar dan tak bernasib sama dengan orang-orangtuanya.

Namun kesedihan itu tak berlangsung lama. Dewi harus menjalankan tugas barunya sebagai kepala sekolah di Bahuluang. Di Dusun Bahuluang ia menemukan suasana yang jauh berbeda dengan di Appatanah. Di dusun yang merupakan satu dari 20 desa di Kecamatan Bontosikuyu dan dihuni 289 jiwa ini tak ada listrik –di Appatanah masih ada listrik yang bersumber dari diesel milik warga yang bahan bakarnya dibeli secara patungan--, tak ada WC, dan akses menuju dan keluar pulau sangat sulit.

Bahuluang memang masuk dalam katagori desa terpencil. Untuk mencapai pulau ini satu-satunya sarana yang bisa digunakan adalah perahu kecil –biasa disebut Jolor oleh penduduk setempat. Perahu ini hanya berkapasitas 3-5 ton dengan mesin penggerak berkekuatan 30-an tenaga kuda. Dengan kekuatan mesin seperti itu, Appatanah-Bahuluang bisa ditempuh dalam waktu satu jam.

Tapi jarak tempuh itu bisa berubah-ubah, tergantung pada kondisi laut. Jika angin barat berhembus, ombak laut bisa mencapai tiga meter tingginya sehingga perjalanan Appatanah-Bahuluang bisa mencapai lebih dari satu jam. Para nelayan sering tidak melaut menghindari ganasnya laut.

Walaupun laut bersahabat, tidak setiap hari jolor melayari Bahuluang-Appatanah. Selain karena perahu khusus yang melayani penyeberangan tidak tersedia, para nelayan juga lebih memilih menangkap ikan daripada menyeberangkan orang. “Ini yang menyulitkan. Karena kalau ada urusan ke kecamatan, atau ibukota kabupaten, saya harus menunggu sampai ada kapal yang mau menyeberang. Begitu pula kalau saya membawa tugas yang harus dilaksanakan dari Benteng ke Bahuluang, saya tidak bisa langsung menyeberang. Harus menunggu sampai ada perahu yang mau kesana,” kata Nur Dewi.

Kadang Dewi sudah tiba di Appatanah mau menuju Bahuluang, tapi karena tidak ada perahu, ia terpaksa menginap berhari-hari di Appatanah. Kalau pun ada kapal yang akan pergi ke Bahuluang atau ke Appatanah, pelayaran tetap tidak bisa dilakukan dengan mudah. Pemilik perahu harus menunggu air pasang. Karena ketika air surut, jarak dari bibir pantai menuju perahu yang berada agak di tengah laut bisa mencapai 2-3 Km.

Ketika air pasang, nelayan harus sesegera mungkin melayarkan jolor miliknya. Karena pasang hanya berlangsung singkat, sekitar 2-3 jam. Pasang surutnya air kadang tidak bisa diduga. Kadang berlangsung pagi, kadang malam hari. Semua tergantung pada letak bulan.

Untuk sekali menyeberang, Dewi harus mengelurkan uang sebanyak Rp50.000-Rp100.000. Jika ingin cepat menyeberang, dan kebetulan tidak ada perahu, Dewi terpaksa mencarter. Sekali carter bisa menghabiskan uang lebih dari Rp150.000.

BERDEDIKASI

Di tengah kiprahnya di Bahuluang, Nur Dewi masih sempat mengikuti seleksi guru berdedikasi tingkat nasional yang diadakan Depdiknas Jakarta. Para guru yang mengikuti seleksi ini berasal dari seluruh Indonesia dan dipilih pada Agustus 2006. Setelah melalui beberapa tahapan seleksi, Nur Dewi dinyatakan Dinas Pendidikan Nasional Selayar sebagai wakil daerah yang akan dikirim ke Jakarta.

Untuk melengkapi syarat-syarat pemilihan, Nur Dewi menyertakan sebuah karangan mengenai sekolahnya. Karangan itu rupanya mengesankan dewan juri di Jakarta. Sebuah kabar gembira sampai padanya: Nur Dewi ditetapkan sebagai salah satu pemenang oleh dewan juri di Jakarta.

“Saya tidak pernah menduga akan menang dan terpilih. Perasaan saya waktu itu gembira sekali. Saya malah teriak-teriak. Senang. Saya belum pernah membayangkan dapat penghargaan. Saya merasa ngajar seperti biasa,” kata Nur Dewi yang pada tahun 2002 juga terpilih sebagai guru berprestasi untuk tingkat Kecamatan Bontosikuyu ini.

Nur Dewi pun berangkat ke Jakarta pada Agustus 2006 untuk menerima penghargaan. Ia bersama dengan para guru lain dari berbagai daerah di Indonesia berkumpul dan menginap di sebuah hotel di kawasan Jakarta Utara. Selain diundang Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo beramah-tamah, Nur Dewi dan para guru lainnya berkesempatan mengikuti upacara peringatan Hari Kemerdekaan RI ke-61 di Istana Merdeka. “Seperti mimpi rasanya. Bisa ke Istana dan berjabat-tangan dengan Presiden,” kata Nur Dewi. Dengan keteguhan hati dan prestasinya, Nur Dewi bak cahaya yang bersinar di gelapnya Pulau Bahuluang.

Budi Kurniawan

No comments: