Sunday, December 2, 2007

Korupsi di Negeri Para Penipu


Oleh : Budi Kurniawan (Aktivis Journalist and Writer Forum of Borneo, wartawan dan penulis buku. Tinggal di Jakarta. E-mail: budibanjar@yahoo.com)

Melewati jalanan di sekitar Sentra Antasari –dulu Pasar Antasari—tak sekadar mata yang sakit. Kesemrawutan berlangsung tiada henti, akibat taksi Kuning yang sopirnya seenak perutnya parkir dan berhenti mengambil penumpang di pinggiran jalan, becak yang sudah berjalan lamban dan senang berada di tengah jalan, pengendara motor yang tak tahu aturan, gerobak yang menyeberang, kaum miskin papa yang mengamen melantunkan berbagai lagu dengan alat musik seadanya, dan polisi yang lebih senang berada di posnya.

Hati juga miris menyaksikan pasar terbesar di Banjarmasin yang dimasa silam menjadi salah satu ikon mampu bertahannya pasar tradisional di tengah gempuran kapitalisme itu kini berselemak korupsi dengan nilai penyimpangan sebesar Rp 32 milyar. Datangnya PT GJW sebagai investor pembangunan Sentra Antasari yang kemudian merekrut orang-orang yang semula berperan dalam menumbangkan Kepala Badan Pengelola Pasar Antasari Sugito di tahun 1997 dan elite Pemerintah Kotamadya Banjarmasin, rupanya menjadi awal pintu masuk korupsi ini. Korupsi yang dilakukan para pemimpin kota (Sentra Antasari) dan anggota parlemen lokal (kasus Dana Siluman) menambah miris hati.

Koran ini misalnya memberitakan mantan Walikota Banjarmasin Midpai Yabani yang diperiksa aparat Kejaksaan Tinggi Kalsel secara marathon dalam kasus penggelembungan jumlah kios yang dibangun di Sentra Antasari. Kepada koran ini Midpai menyatakan heran mengapa ia diperiksa. Melalui pengacaranya Midpai menyatakn tidak tahu menahu dengan penggelembungan jumlah kios yang dibangun dan disewakan itu.

Hampir bersamaan, pembangunan sarana dan prasarana Bandara Syamsudin Noor pun membawa para mantan pejabat dan pejabat Kalsel ke penjara. Sebagian lainnya kini masih menjadi tersangka dan terus diperiksa aparat kejaksaan. Jauh sebelum dua kasus korupsi ini mengemuka Kalsel juga “menyumbang” mantan pejabatnya sebagai terpidana korupsi. Di Jakarta seorang mantan Gubernur kini meringkuk di penjara. Kalsel –juga Kaltim— rupanya memiliki “prestasi” dalam hal korupsi bersama daerah-daerah lainnya di Indonesia.

Korupsi di daerah ini sesungguhnya tak berbeda dengan daerah lain. Semenjak pintu otonomi daerah dibuka lebar, yang terjadi bukannya daerah mampu memberdayakan dirinya untuk memberi kemaslahatan bagi warganya, tetapi juga membuka kesempatan besar bagi “Raja-Raja Kecil” di daerah memperkaya dirinya sendiri.

Dalam sebuah pembicaraan dengan Andi Mallarangeng di sebuah pesawat yang menerbangkan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) pertama pasca Orde Baru tumbang, Rudini dan Pakar Otonomi Daerah Ryass Rasyid ke berbagai daerah untuk mensosialisasikan peraturan perundang-undangan, kekhawatiran akan munculnya “Raja-Raja Kecil” ketika otonomi daerah dibuka lebar pernah saya sampaikan. Dengan yakin Andi Mallarangeng yang ketika itu masih menjadi dosen di Institut Ilmu Pemerintahan (IIP), menyatakan kekhawatiran itu tidak perlu ada. Karena dampak otonomi yang diberikan sudah diperhitungkan. Keyakinan yang kini hanya tinggal keyakinan kosong belaka.

Seiring dengan otonomi daerah yang diberikan itu, ternyata tak sekadar “Raja-Raja Kecil” yang kemudian bertahta dan menjadi selebritas lokal, tetapi juga mereka kian gampang memperkaya diri. Mereka pintar menipu dan menjadikan negeri ini negeri para penipu.

Pelaksanaan berbagai pekerjaan yang semula menjadi wilayah pemerintah pusat dan kini diserahkan ke daerah menjadi makanan empuk untuk melakukan korupsi. Kebijakan politik yang memiliki nilai ekonomi juga menjadi pintu masuk korupsi. Penyusunan instrumen pemerintahan daerah selalu saja berselemak korupsi.

Korupsi yang dilakukan di daerah ini –juga daerah lainnya di Indonesia—tidaklah bermetode canggih. Modus yang dilakukan para koruptor masih berpola konvensional. Mereka cerdik memanipulasi data, menggelembungkan dana, menyuap, dan berselingkuh dengan otoritas pemerintahan dan anggota lembaga legislatif.

Data yang dilansir Indonesian Corruption Watch (ICW) pada Semester I (Januari-Juni 2007) menunjukkan fenomena ini. Mark up menjadi bentuk korupsi terbanyak. Sedangkan lembaga asal korupsi terbanyak masih didominasi oleh Eksekutif (101), Legislatif (102), Swasta (49), BUMN/BUMD (27), Badan Negara (24), Komisi Negara (5), Yudikatif (5), Ormas (5), Kepolisian/Jaksa (3), TNI (1), dan lainnya (4). Dari semua pelaku ini pola mark up rupanya menjadi primadona. Jumlahnya 20 kasus (39,22%). Sementara jumlah kerugian negara akibat korupsi pada Semester I 2007 mencapai Rp665,8 miliar dengan dua sektor terbanyak pada pemerintah pusat dan daerah (7 kasus) dan sektor sosial kemasyarakatan (7 kasus). Karena itu korupsi dengan pola ini gampang dilacak seperti yang terjadi dengan Sentra Antasari atau Pasar Kuripan di masa yang lalu.

Walau berpola sederhana, korupsi tetap saja sulit diberantas. Selain korupsi sudah dianggap menjadi budaya dan keseharian –dari pengurusan KTP hingga menjadi pejabat publik, korupsi menjadi hal yang “biasa”, kesan “tebang pilih” juga tak bisa dihindari. Karena mereka-mereka yang dikejar para penegak hukum seringkali adalah orang-orang yang sudah tak memiliki base ekonomi maupun politik. Mereka adalah figur publik dan selebritas yang menjabat tanpa dukungan partai politik besar. Mereka juga tak lagi memiliki sumber daya ekonomi yang besar yang bisa “dibagi” pada aparat penegak hukum. Bisa dibayangkan jika Midpai Yabani, Prof Ismet Ahmad, Sampurno, dan Helmi Indra Sangun adalah anggota parlemen lokal atau ketua salah satu partai politik besar di Kalsel, atau Laksamana Sukardi adalah Megawati Soekarnoputri, atau Jusuf Kalla, maka yang berlaku terhadap mereka sangat mungkin berbeda.

No comments: