Thursday, April 26, 2007

Private Call Number


Pagi ini, Jumat (27/4), telepon genggamku yang sudah butut itu berdering. Aku melihat di layar telepon, tertulis private call number. Biasanya aku tak akan mengangkat telepon jika di layarnya muncul tulisan semacam itu. Karena kupikir buat apa orang menelepon jika identitasnya disembunyikan. Kalau sudah begitu, pasti ada maksud tertentu di balik penyembunyian identitas itu. Kalau sudah sembunyi-sembunyi bisa jadi niat di balik itu buruk semata.

Tapi aku coba mengangkat telepon itu. Dan sebuah suara yang tegas terdengar. “Bung Budi, dimana saya bisa mendapatkan buku Bung. Buku “Menolak Menyerah, Menyingkap Tabir Keluarga Aidit” itu,” kata si penelepon.

Aku yang sering ditelepon berbagai orang sejak menulis buku tentang keluarga DN Aidit, ketua CC PKI, berpikir ulang untuk menjawab pertanyaan dari si penelepon tadi. Aku curiga ini telepon dari orang “pro” atau orang “kontra”? Tapi kupikir sudahlah, pro dan kontra kan kadang tidak perlu ada, dan kadang tidak banyak bermakna selain menambah lebar jurang perbedaan akibat sejarah masa silam nan penuh rekayasa.

Aku pun menjelaskan pada si penelepon. Buku pertama yang kutulis bersama Yani Andryansjah itu sudah habis di toko-toko buku. Kalau mau, aku bilang, coba kontak penerbitnya di Yogyakarta saja. Si penelepon menanggapi dan bercerita dia menyenangi buku “Melawan dengan Restoran” yang kutulis bersama Bang Sobron Aidit dan kini sedang beredar itu. Si penelepon bilang di masa lalu ia punya sangat banyak koleksi buku yang karena berbahaya terpaksa ia bakar. “Masa itu masa yang menyeramkan Bung. Saya terpaksa membakar semua buku koleksi saya,” katanya.

Mendengar itu aku terdiam sejenak. Lalu kubilang pada si penelepon, “saya turut sedih bung”. Tetapi ia hanya bilang, “nggak apa-apa Bung”. Aku pun mencoba bertanya pada si penelepon, “Bung dimana”.
“Saya di Jakarta.”
“Bisa ketemu kapan-kapan Bung.”
“Ah tidak usahlah Bung.”
“Saya boleh mendapatkan nomor telepon Bung? Karena di telepon genggam saya nomor Bung tidak muncul.”
“Tidak usahlah Bung. Kapan-kapan saya akan telepon Bung lagi. Terimakasih ya Bung.”
“Ok. Sampai ketemu dan tetap semangat ya Bung.”

Lalu si penelepon misterius itu pun menutup teleponnya. Aku pun bergegas menuju kantor yang pimpinannya kemarin mengabarkan padaku dan kawan-kawan bahwa gaji bulan ini belum bisa dibayar…

1 comment:

Anonymous said...

Weleh, mas, akhir cerita yang sangat menarik, menyentuh..saya jadi terharu dan ikut bersedih..ck..ck..ck..mas sebagai pemberita ham, justru tercerabut haknya..hahaha..