Thursday, April 26, 2007

Sobron Aidit dan Makna Sebuah Nama


Oleh Budi Kurniawan

Wartawan; Penulis Buku Menolak Menyerah, Menyingkap Tabir Keluarga Aidit (Tulisan ini dimuat Harian KOMPAS pada 25 Februari 2007)

"kau dan aku
hanya percaya dan setia
maka kita berdua bisa begitu"


Dering telepon tiada henti memecah malam yang beku di Friendship Hotel, pinggiran Beijing. Agak tergesa, lelaki 28 tahun itu meninggalkan buku-buku Indologie yang tekun ia baca. Pelan ia mengangkat gagang telepon. Lima menit pembicaraan berlangsung. Lalu semuanya jatuh dalam muram. Seketika ruang yang disediakan pemerintah Tiongkok untuk para ahli itu jatuh dalam suram.

Seorang teman yang baru pulang dari Havana, Kuba, membuat Sobron Aidit tercenung. Indologie (ilmu tentang keindonesiaan) yang disiapkan untuk mahasiswa tingkat tiga dan empat di Institut Bahasa Asing (IBA) Beijing, ia biarkan berserakan.

Keindahan Istana Musim Panas di sebelah hotel lenyap seketika. Kawan yang baru bertemu Fidel Castro itu mengabarkan bahwa abangnya, Dipa Nusantara (DN) Aidit, telah tewas terbunuh. Melalui sang kawan, pemimpin revolusi Kuba itu menyampaikan dukacita yang mendalam.

Sobron menahan marah, kehilangan, juga sedih. Baginya Bang Amat—demikian panggilan sayang Sobron pada abangnya itu—bukan sekadar abang. Ia tahu betul, DN Aidit sangat memerhatikan kehidupannya. Malam kian larut dan beku pada November 1966 itu.

Di antara kebekuan itu, Sobron teringat sebuah peristiwa bersama DN Aidit yang sangat berkesan baginya. Di suatu senja yang temaram, Bang Amat memanggil Sobron ke kantornya di Kramat Raya 81 (Kantor Pusat Partai Komunis Indonesia).

Bang Amat meminta Sobron menimbang-nimbang pencantuman nama Aidit di belakang namanya. Dia khawatir hal itu akan menjadi persoalan di kemudian hari, sebab nama itu akan berkonotasi PKI karena ketuanya bernama sama.

Mendengar permintaan itu, Sobron terdiam. Ia sadar apa yang dimaksudkan abangnya itu. Abangnya ingin ia terus berkembang dan tetap eksis dengan bakat budaya yang
ia miliki, tanpa harus terganggu dengan persoalan politik yang ingar-bingar dan
melelahkan itu.

Apalagi ketika itu Sobron dikenal khalayak sebagai sastrawan yang tulisannya menyebar di banyak media: Zenith, Sastra, Kisah, Republik, Harian Rakjat, Sunday Courier, dan Bintang Timur.

Di sepanjang jalan sebelum tiba di Kramat 81, Sobron mengira Bang Amat keberatan
ia menggunakan nama belakangnya. Padahal, nama Sobron Aidit sudah dipakainya jauh sebelum Bang Amat menjadi anggota petinggi PKI. Ia sudah memakai nama itu sejak 1948. Sedangkan Bang Amat baru menjadi ketua partai pada tahun 1951. Sobron tetap kukuh menggunakan nama Aidit di belakang namanya.

Ketika senja yang temaram ditelan malam, kepada Bang Amat, Sobron menolak permintaan Bang Amat untuk mengubah namanya. Apa pun alasannya. Dengan jujur pula Sobron menceritakan pikiran-pikiran salahnya di sepanjang jalan sebelum bertemu Bang Amat.

Sambil meminta maaf, Sobron memeluk Bang Amat. Bang Amat membalas pelukan itu dengan sangat erat. Air mata Sobron mengalir deras di sela peluk yang erat itu.

Bang Amat berbisik pada Sobron: "Baik, sangat baik, aku selalu percaya kepadamu, kau sangat jujur. Aku senang akanmu. Kau harus tahu lagi bahwa aku menaruh kepercayaan kepadamu. Sangat dan sangat. Ingat itu! Pegang eratlah kepercayaanku kepadamu. Aku sangat ingin melihatmu jadi orang. Jadi sastrawan yang baik. Kalau sanggup, menjadilah kebanggaan rakyat! Kalau tidak sanggup, jadilah sastrawan yang jujur dan memihak rakyat! Tapi selalulah jangan menipu, menyiksa, dan menindas rakyat. Kita ini adalah bagian rakyat yang luas. Tanpa kita, rakyat yang luas itu takkan apa-apa. Tapi kita tanpa mereka yang luas itu bukanlah apa-apa. Tak ada artinya."

Menjelang malam, sesudah dua kali makan di kantor itu, keduanya berpisah. Bagi Sobron, sekali inilah ia merasa paling lama berbicara dari hati ke hati dengan Bang Amat. Ia kian mengerti siapa sebenarnya abangnya itu. Begitu juga dengan Bang Amat, ia kian mengerti siapa adiknya yang ia katakan sangat dipercaya itu.

Kepercayaan yang pekat seperti yang ditulis Sobron dalam sebuah puisinya enam tahun lalu. Kau dan aku/hanya percaya dan setia/maka kita berdua bisa begitu.

Walau bersaudara dan menggunakan nama belakang yang sama, Sobron Aidit sungguh erbeda dengan DN Aidit. DN Aidit sangat fasih dalam soal politik. Sobron justru tak menyukai politik. Sobron lebih memilih bergerak di ranah budaya dan sastra.

Sobron membuktikan orientasinya itu dalam rentang waktu yang panjang. Sobron menulis berbagai karya sastra kala berusia 13 tahun. Cerpennya, Buaja dan Dukunnja, mendapatkan penghargaan dari majalah Kisah pada 1955-1956. Basimah, cerpennya yang lain, pada 1961 mendapat penghargaan dari Harian Rakjat.

Selain menulis karya-karya sastra, Sobron juga menjadi guru dan dosen. Bahkan, pada tahun 1963, Sobron dikirim pemerintah ketika itu menjadi dosen tamu di Beijing.

Soal pilihannya yang berbeda dengan sang abang ini, berkali-kali disampaikan Sobron kepadaku. Ketika diundang hadir dalam pertemuan dengan kawan-kawannya di sebuah rumah yang asri di kawasan Cibubur; pada peringatan ulang tahunnya yang ke-70 di Blok M; ketika peluncuran dua bukunya di Gedung Juang di Menteng, November tahun lalu, Sobron menegaskan penolakannya pada dunia politik. Politik, kata Sobron, bukan bidangnya. Tolong biarkan saya untuk terus berjuang melalui tulisan dan karya sastra, katanya kepadaku.

Komitmennya pada sesuatu, saya kira, menjadi satu hal yang membuat Sobron tegar
menghadapi segala dera dan coba. Ketika terempas oleh pusaran politik yang buram
di China; mengungsi ke Perancis dan lalu membuka restoran di Paris; menjadi "kaum kelayaban" dan orang terbuang yang hanya boleh datang, tetapi tak boleh pulang ke tanah airnya; Sobron menunjukkan ketegarannya.

Sobron memang keras hati pada sesuatu yang dianggapnya benar. Tetapi, dia juga
selalu ingin bersahabat dengan siapa pun, tak peduli warna kulit dan ideologi.

Semua komitmen, jalan panjang, dan kenangan Sobron Aidit terhadap segala hal
mencapai akhirnya pada pagi hari, 10 Februari 2007. Di usianya yang ke-73—lahir
pada 2 Juni 1934 di Belitung—Sobron berpulang setelah terjatuh di sebuah stasiun
kereta api bawah tanah di Perancis. Dia sempat dirawat di rumah sakit. Namun, Sang Khalik rupanya punya skenario lain. Selamat jalan sahabat yang terbuang...

1 comment:

Anonymous said...

Nina:
Mengharukan dan membuat saya serasa mengenal Sobron Aidit.