Sunday, May 6, 2007

Ken Arok, Pilkada, dan Narkoba (Tulisan ini dimuat di Harian Banjarmasin Post pada Senin, 7 Mei 2007)



Oleh: Budi Kurniawan

Ketika nurani dan logika hilang, ungkapan Freidrich Nietzhe bahwa ‘Tuhan’ telah mati, bisa jadi benar secara faktual. Tapi kebenaran filosofis juga Tuhan, tak bisa mati. Begitu juga dengan nurani. Dibungkus dengan apa pun --juga oleh sesuatu yang tampak luar benar, namun di dalamnya busuk tiada tara-- nurani tak bisa dibohongi.

Dalam konteks sederhana, pemegang kekuasaan yang cenderung korup selalu melakukan apa pun untuk melegitimasi diri dan perannya. Pengalaman di negeri ini menunjukkan bukti yang tak perlu rumit dibuktikan dengan segala macam teori untuk menunjukkan kecenderungan dan prilaku buruk ini.

Tengok ke belakang, bagaimama Ken Arok, preman yang kemudian menjadi raja setelah dengan tipu dayanya membunuh Tunggal Ametung lalu merebut Ken Dedes, memerintahkan cerdik pandai kerajaan menulis ‘dongeng’ tentang kedigjayaan dirinya yang sepenuhnya bohong belaka. Tengok pula sejarah versi pemenang dalam setiap konflik. Pemenang yang kemudian berkuasa menggunakan sejarawan menulis kisah baik tentang dirinya dengan imbalan kekuasaan dan jabatan. Dalam hal ini kebenaran dan nurani menjadi nomor kesekian dalam diri orang bayaran dan sewaan ini.

Di era kekinian, pemegang kekuasaan melansir data dan statistik tentang ‘keberhasilannya’. Mereka melansir pembangunan dengan memaparkan peningkatan SDM, kontribusi PDRB, pendapatan perkapita, IPM, kesehatan, pendidikan, daya beli, jumlah rumah tangga miskin, penghargaan yang diterima pemerintah kabupaten dan investasi. Klaim yang sesungguhnya sangat terbuka untuk diberi ‘catatan kaki’.

Sayangnya, catatan kaki itu dianggap sebagai kritik yang diberikan tanpa data dan penuh prasangka. Cara menanggapi kritik yang berbelok-belok dan ujungnya menyimpulkan bahwa kritik terhadap pemegang kekuasaan diberikan tanpa data dan prasangka, tanpa melihat dengan jernih subtansi yang membuat kritik itu disampaikan, justru memperbanyak ‘catatan kaki’ baru. Bukankah ketika rupa buruk, bukan cerminnya yang kemudian dibelah.

Fenomena ini sesungguhnya memberi pesan, jangan mengklaim semua pertumbuhan dan keberhasilan yang sangat kecil itu sebagai sebuah prestasi luar biasa. Bisa jadi semua itu terjadi karena tindakan kawula. Lalu apa yang dilakukan pemegang kekuasaan selain menjalankan pemerintahan apa adanya. Menjadi birokrat yang lebih banyak bagaimana prosedur menjalankan pemerintahan dilakukan, ketimbang berimprovisasi untuk menyejahterakan rakyatnya.

Khawatir dan kampanye

Fenomena menjelang pilkada di daerah mana pun selalu menunjukkan kekhawatiran pada pemegang kekuasaan. Kekuasaan yang tergenggam memang bak ekstasi. Memberi kenikmatan yang mencandukan. Kekuasaan menjadi sangat susah untuk dilepaskan. Walau kenyataan misalnya membuktikan, kegagalan terutama secara moral jelas-jelas terpampang di hadapan mata.

Rakyat yang cerdas tidak akan melihat calon pemimpinnya dalam kacamata sempit, seperti melihat sukunya apa, atau partainya apa. Kadar moral dan prilaku sang pemimpin dan calon pemimpin pasti menjadi bagian yang paling dipertimbangkan rakyat ketika akan memilih pemimpinnya. Sangat tidak masuk akal jika rakyat memilih seorang pemimpin, yang misalnya terlibat narkoba atau mengorupsi APBD yang notabene berasal dari keringat rakyatnya sendiri.

Selain tak perlu khawatir, pemegang kekuasaan yang bersih sesungguhnya tidak perlu berkampanye. Jika ia baik-baik saja memimpin selama lima tahun masa jabatannya, maka waktu lima tahun itulah masa kampanye yang paling efektif dan objektif bagi dirinya. Rakyat bisa menilai apa saja yang sudah dilakukan pemegang kekuasaan selama lima tahun memimpin. Jika baik-baik saja, lepas dari pelanggaran moral dan kebenaran, niscaya rakyat akan memilihnya kembali. Karena, rakyat pasti menginginkan sang pemimpin melanjutkan masa jabatannya agar meneruskan semua pekerjaannya yang telah menyejahterakan rakyat.

Sebaliknya jika dalam masa lima tahun itu sang pemimpin tidak berbuat banyak, niscaya rakyat akan berpikir ulang untuk memilih dirinya. Siapa yang mau mempertaruhkan dan menyerahkan masa depannya selama lima tahun ke depan kepada pemimpin yang tak banyak bekerja untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.

Tesis ini sudah dibuktikan dengan sangat jelas pada fenomena terpilihnya kembali Fadel Muhammad sebagai gubernur Gorontalo untuk kedua kalinya dengan perolehan suara sangat fantastis: di atas 80%. Fadel tak banyak berkampanye. Ia juga tak khawatir. Tapi semua langkah yang dilakukannya selama lima tahun bagi rakyatnya, membuat rakyat mempercayakan lagi dirinya jadi gubernur.

Ketika kewenangan dan kekuasaan banyak dialihkan pada daerah, rakyat sesungguhnya memerlukan pemimpin yang punya jaringan luas ke luar. Jaringan luas yang dimiliki sang pemimpin bisa ia gunakan untuk menyejahterakan rakyatnya. Pemimpin jago kandang saat ini sudah bukan eranya. Pemimpin yang bak katak dalam tempurung juga sudah ketinggalan zaman.

Fakta bahwa pemimpin yang punya jaringan luas di luar daerahnya berpenampilan berbeda dengan pemimpin jago kandang, di hari-hari ini sangat jelas terlihat. Untuk sekadar memberi contoh, Fadel yang pernah jadi ‘orang besar’ di Jakarta, misalnya, mampu mempengaruhi kawannya pengusaha untuk turut menamamkan modal di Gorontalo. Teras Narang yang punya jaringan sangat luas di Jakarta, berhasil mengundang banyak investor ke daerahnya. Kalteng saat ini sungguh berbeda. Terasa betul gemuruh keinginan untuk maju dan meninggalkan semua ketertinggalan di masa silam membahana di Kalteng saat ini.

e-mail: budibanjar@yahoo.com

1 comment:

Budi Kurniawan said...
This comment has been removed by the author.