Saturday, October 20, 2007

Berpuasa Sepanjang Zaman



Oleh : Budi Kurniawan (Aktivis Journalist and Writer Forum of Borneo. Tinggal di Jakarta. E-mail: budibanjar@yahoo.com)

Pekan ini menjadi pekan pertama para pekerja memulai aktivitasnya setelah lebih seminggu menikmati cuti bersama yang ditentukan pemerintah sebelum dan sesudah Lebaran. Seperti yang dilansir berbagai media –termasuk Banjarmasin Post— dengan berbagai sarana angkutan para pekerja yang sebelumnya ramai-ramai mudik pulang kampung, kini bergegas kembali ke kota-kota tempat mereka bekerja. Jalanan, pelabuhan, bandara, dan kapal-kapal penyeberangan dipadati para pekerja dalam arus balik Lebaran itu.

Menyaksikan kesibukan semacam ini yang konon hanya terjadi di Nusantara, seperti menyaksikan sebuah kenduri besar pasca Lebaran. Semua orang sedang bersiap-siap kembali ke kehidupan “normal”.

Puasa yang dijalankan selama sebulan penuh seolah tak banyak meninggalkan sesuatu dalam polah kehidupan. Puasa seolah hanya menjadi “gencatan senjata” terhadap polah negatif. Semua orang menjadi baik dan beriman saat Ramadhan. Segala hal yang mungkin biasa dilakukan dengan bebas, pada Ramadhan ditinggalkan.

Ramadhan memang tegas terhadap segala macam kemunafikan dan prilaku negatif kehidupan. Ketentuan dalam Ramadhan seperti tidak makan dan minum, bersenggama dengan istri pada siang hari, berbohong, menjaga mata, hati, dan perbuatan, tidak berprasangka dan seterusnya, memang sangat tegas. Namun seusai Ramadhan, semua itu seolah tak lagi menjadi ketentuan yang digenggam erat dan diterapkan dalam hidup keseharian.

Padahal yang terpenting dari puasa bukan kala menjalankan semua aturan itu pada bulan Ramadhan. Yang terpenting adalah bagaimana semua nilai yang dijaga selama Ramadhan diimplementasikan dalam keseharian. Ini sama dengan pengertian nilai kesarjanaan dan Haji Mabrur. Kesarjanaan justru diuji ketika sang sarjana keluar kampus dan meniti hidup. Haji baru bisa disebut mabrur seusai pulang dari tanah suci.

Karena jika menjalankan nilai-nilai luhur dalam situasi yang mengharuskan pelaksanaannya, itu bukanlah sesuatu yang luar biasa. Tetapi mampu melaksanakan nilai-nilai yang semula dilaksanakan dalam situasi yang baik, dan kemudian berada pada situasi destruktif, barulah hal itu bisa disebut luar biasa.

Meminjam istilah cendekiawan Muslim Nurcholis Majid, manusia sering disandera oleh situasi di sekitar dirinya. Ketika seseorang naik sebuah bus yang penuh sesak dan panas, lalu tiba-tiba menyalip sebuah mobil mewah yang berada pada jalur jalan yang benar, lalu sang sopir bus berteriak menyalahkan, ia pun turut menyalahkan. Kadang sang penumpang turut mengumpat dan mengeluarkan sumpah serapah. “Mentang-mentang naik mobil mewah. Nggak mau ngalah,” kalimat semacam ini yang sering terdengar.

Namun jika kebetulan kita yang menumpangi mobil mewah itu, maka kita juga akan bertindak sama dengan penumpang bus tadi. Maka kalimat “Bus sialan. Nggak tau diri. Main salib aja,” bisa dengan mudah meluncur.

Karena itu puasa sesungguhnya tidak banyak bermakna ketika Ramadhan berlangsung. Semua orang akan melakukan yang terbaik dalam bulan penuh berkah, ampunan, dan pembebasan dari jilatan api neraka itu. Yang penting justru sesudah Ramadhan berlalu.

Dalam bahasa Ziauddin Sardar, intelektual Muslim di Inggris, agama kadang menjadi tidak fungsional. Sederet ritual –termasuk berpuasa pada bulan Ramadhan—yang dijalankan justru hampa implikasi sosial. Kesalehan sosial penting di samping kesalehan individual.

Agama fungsional bisa kita temukan dan pelajari sehari-hari. Yang sulit ditemukan adalah agama yang diimplementasi dan memiliki implikasi sosial. Internalisasi nilai-nilai ke-Ilahian-an dalam kehidupan sehari-hari lah yang seharusnya terwujud pasca Ramadhan.

Jadi setelah kembali beraktivitas seperti sebelum pulang mudik dan seuasai Ramadhan pergi, teruslah menghindar dari hal-hal yang membatalkan puasa. Negeri ini pasti akan menjadi jauh lebih baik, jika puasa dari korupsi, polah menyakiti, membohongi, dan menipu rakyat, dilakukan sepanjang zaman. *

2 comments:

Nasrullah said...

Puasa itu, seumpama bagi timnas sepakbola di PSSI, atlet nasional bulutangkis di PBSI adalah bagi para atlet sebagai bulan pelatnas. Dimana kemampuan skil individu, kerjasama antar pemain benar-benar diasah supaya menjadi tajam.
Selesai pelatnas, mereka diharap sangat mampu mempraktekkan latihannya untuk bermain lebih baik.
Begitu pula Ramadhan adalah bulan pelatnas, dimana manusia kembali ke fitrahnya dan ia bertarung dengan kehidupan berbekal puasa ramadhan.
Kelak jika kemampuan mengendor, rotasi alami akan kembali ke bulan Ramadhan lagi dan manusia akan dimemasuki masa pelatnas kembali.
Itulah sebabnya pasca ramadhan, fungsi sosial individu diharapkan menjadi lebih mampu mencium ketidakberesan dalam kehidupan sehari-hari.

Budi Kurniawan said...

Terimakasih Wa komentarnya. Puasa memang selalu berlalu kala Ramadhan berakhir. Lalu umat pun kembali sibuk dengan tindakan yang jauh dari puasa. Andai saja Tuhan mau murka seperti kepada umat Nabi Luth AS, lalu membalikkan Sodom Gomorah, manusia pasti akan tergopoh-gopoh menyatakan dirinya beriman.

Budi Kurniawan