Saturday, October 6, 2007
Karaniyametta Sutta dan Gereja Diaspora dalam Ramadhan
Oleh : Budi Kurniawan (Alumnus FISIP Unlam dan Aktivis Journalist and Writer Forum of Borneo, tinggal di Jakarta. E-mail: budibanjar@yahoo.com)
Mata yatha niyam puttam
Ayusa ekaputtamanurakkhe
Evampi sabbabhutesu
Manasambhavaye aparimanam
Karaniyamatthaku salena
Yantam santam padam abhisamecca
Sakhouju ca suhajuca
Suvaco cassa mudu anatimani
Santussako ca subharo ca
Appakicco ca sallahu kavuti
Santindriyo ca nipako ca
Appagabbho kulesu ananugiddho
(Khotbah Cinta Kasih)
Kidung Karaniyametta Sutta dalam bahasa Pali didendangkan puluhan ribu biksu dan biksuni yang memenuhi udara Burma –junta militer mengubahnya menjadi Myanmar—kini tak lagi banyak terdendangkan. Junta membungkam mereka. Junta rupanya memegang teguh ucapan Ketua Mao, bahwa kekuasaan sesungguhnya lahir dari moncong senapan, ketika menghadapi protes para pemuka agama Buddha ini. Darah pun tumpah. Dunia kembali disentakkan aksi brutal junta setelah pada 1988 mereka melakukan hal yang sama.
Darah tumpah di Burma kali ini kian menegaskan bahwa kawasan yang di masa silam memiliki sejarah gilang-gemilang kini perlahan tapi pasti masuk dan berada di jurang kelam. Biksu yang dalam sejarah Burma selalu memegang peranan penting, baik dalam dataran moral maupun politik, dan menjadi harapan rakyat yang ternistakan, kali ini kembali membuktikan bahwa dengan diam mereka telah menyalakan pelita perlawanan terhadap kekuasaan yang lalim.
Protes dengan membalikkan mangkok-mangkok sedekah sebagai simbol penolakan mereka terhadap derma yang diberikan junta dan keluarga (pattam nikkujjana kamma) –dalam ajaran Buddha ini menunjukkan tingkat perlawanan dalam diam yang tertinggi tensinya—tak sedikit pun menyentuh nurani. Sehingga tidak berlebihan jika biksu dan biksuni mengeluarkan pernyataan keras dengan menyamakan junta dengan kekuasaan setan.
Para pemuka agama Buddha itu sesungguhnya bisa saja berdiam diri dan terlena dengan berbagai ritus di pagoda-pagoda. Tapi hal itu tak mereka lakukan. Panggilan moral dan perlawanan terpaksa mereka lakukan ketika kekuasaan menjadi lalim dan tak lagi memedulikan nasib para kaula. Prilaku junta yang menaikkan harga bahan bakar minyak hingga 500 persen menjadi pemicu kian miskinnya rakyat Burma. Dan para biksu memilih bergerak dalam diam dan menghadapi segala macam risiko, termasuk kehilangan nyawa di ujung senjata.
Sebuah foto yang dilansir gerakan perlawanan di Burma yang menunjukkan tubuh seorang biksu mengapung di tengah sungai dengan luka lebam dan darah membeku kehilangan nyawa adalah prilaku yang sangat jauh dari nilai moral dan kemanusiaan.
Dalam ajaran Katholik, apa yang dilakukan para biksu yang memilih bergerak melawan dan meninggalkan pagoda-pagoda –untuk sementara-- adalah bentuk penerjemahan gerakan Gereja Diaspora (kesadaran baru perlunya pembaharuan gereja dengan terlibat langsung pada persoalan-persoalan kaum marjinal). Gerakan ini dalam bentuk nyata diterjemahkan Romo Mangun Wijaya pada era 1980-an. Romo Mangun memilih “meninggalkan” gereja dan bergabung bersama kaum terpinggirkan di pinggiran Kali Code, Yogyakarta. Romo Mangun berhasil mengubah cara hidup warga pinggiran Kali Code yang sebelumnya dikenal sebagai kawasan kumuh dan semrawut tanpa nilai di Yogyakarta.
"Pemujaan kepada Tuhan Yang Maha Besar diungkapkan lewat pengangkatan manusia hina ke taraf kemanusiawian yang layak, sebagaimana dirancang oleh Tuhan pada awal penciptaan, tetapi dirusak oleh kehadiran hukum rimba buatan manusia,” kata Romo Mangun tentang apa yang dilakukannya.
Dalam bentuk nyata, Romo Mangun mengajak warga pinggir Kali Code (Girli Code) belajar bersama, sambil membangkitkan apa saja potensi terpendam yang mereka miliki. Romo Mangun terlibat langsung dalam semua proses itu. Ia misalnya turut mendesain rumah-rumah sederhana di sepanjang pinggiran kali. Ia juga mengajari anak-anak belajar segala macam hal, dari ilmu-ilmu yang umum dipelajari di sekolah hingga berdebat soal filsafat.
Melalui Yayasan Edukasi Dasar yang dipimpinnya, Romo Mangun memberi kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat miskin di girli untuk belajar. Romo Mangun berhasil memanusiakan (memperlakukan masyarakat girli sebagai manusia yang bermartabat). Ia juga mendirikan sebuah gubuk yang dihuninya di tengah komunitas girli.
Romo Mangun berhasil mengubah sikap dan pikiran pemerintah yang menganggap masyarakat girli yang hampir tergusur dan telah mengotori wajah kota Yogya dan merusak lingkungan di sepanjang Kali Code menjadi masyarakat yang “berharga” dan bukan sampah masyarakat yang pantas dimusnahkan.
Islam pun mengajarkan dan mengembangkan keberpihakan pada kaum terpinggirkan yang dihinakan kekuasaan dalam ajaran-ajarannya. Beragam ayat-ayat suci dalam Al Qur’an misalnya menganjurkan –bahkan memerintahkan—kaum berpunya menyedekahkan sebagian penghasilannya kepada kaum marjinal. Itu menunjukkan bahwa Islam sesungguhnya berpihak pada kaum lemah tak berpunya.
Ramadhan yang kini berada di ujung bulan pun menyimpan pesan tentang keberpihakan itu. Dahaga dan lapar yang mendera selain bermanfaat untuk kesehatan, juga menyimpan pesan dan praktik untuk merasakan betapa dicobanya kaum miskin memenuhi kebutuhan mendasarnya. Setelah waktu berbuka tiba, kaum berpunya bisa jadi bebas dari dahaga dan lapar yang sebelumnya mendera. Sementara bagi kaum miskin papa dahaga, lapar, dan ketidakberdayaan menjadi bagian hidup yang tidak terpisahkan.
Jika para biksu di Burma, Romo Mangun di pinggiran Kali Code, Yogyakarta, memilih berbaur dan membela para jelata, menjadi ibu yang mempertaruhkan jiwa melindungi “anak tunggalnya”, maka rasanya tak ada alasan bagi kaum berpunya yang taat menjalankan perintah agama untuk tak peduli dan memalingkan mukanya dari segala penindasan yang hingga kini masih saja ada.
Bagaikan seorang ibu mempertaruhkan jiwanya
Melindungi anak tunggalnya
Demikian terhadap semua makhluk
Dipancarkan (kasih sayang) tanpa batas
Kasih sayangnya ke segenap alam semesta
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment