Saturday, December 29, 2007
Tersesat di Jalan Kayau
Oleh : Budi Kurniawan (Aktivis Journalist and Writer Forum of Borneo yang sedang menulis novel berlatar Kayau, tinggal di Jakarta. E-mail: budibanjar@yahoo.com)
Lebih dari dua pekan kabar angin tentang Kayau menggedor psikologis khalayak di Kalimantan Selatan dan Tengah. Kabar angin yang bermula dari layanan pesan pendek di telepon genggam menggunakan terus meluapnya lumpur panas Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur, dan pemerintah yang bergeming dengan penderitaan rakyatnya, sebagai cantelan (news peg). Pesan pendek itu menyatakan untuk menghentikan luapan lumpur Lapindo diperlukan sekian ribu kepala anak-anak sebagai tumbal.
Di era informasi yang kian modern yang menyebabkan jarak, waktu, dan ruang menyempit, pesan pendek itu cepat meluas. Sayangnya sebagian khalayak percaya dengan kabar angin itu. Target teroris (penyebar isu) membuat kekacauan psikologis dan tumbuhnya sikap saling curiga dalam masyarakat itu kian tercapai ketika media massa memberi ruang bagi kabar angin soal Kayau itu. Media massa –terutama lokal—rupanya masih menggenggam erat kredo lama bad news is good news (berita buruk adalah berita baik). Kredo ini telah menjerumuskan media menjadi sekadar institusi kapitalis dan meminggirkan peran dan tugas media untuk turut mencerdaskan khalayak melalui pemberitaan yang tak hanya konstruktif, tetapi juga cerdas. Jika mau jujur, hanya sebagian media yang memberikan semacam “catatan kaki” terhadap teror bertajuk Kayau ini.
Teror berselimut Kayau itu hampir saja menjadi kebenaran yang diyakini ketika peristiwa pembunuhan seorang gadis cilik di Kapuas, Kalimantan Tengah, terjadi. Kepala sang gadis dipenggal pembunuhnya. Lalu media dan khalayak mengaitkan pembunuhan itu sebagai bentuk aksi Kayau. Setelah sang pembunuh diketahui barulah muncul fakta bahwa pembunuhan gadis cilik tanpa kepala itu adalah peristiwa kriminal biasa. Sang pembunuh memenggal kepala korbannya untuk menghilangkan jejak.
Terkuak dan ditangkapnya pelaku pembunuhan yang semula dikira sebagai Kayau bisa jadi akan mengurangi ketegangan psikologis khalayak. Tetapi dari teror yang berlangsung lebih dari dua pekan ini terlihat dengan sangat jelas betapa khalayak, media, dan pemegang otoritas kekuasaan masih “tersesat” dalam memahami Kayau. Back mind banyak pihak masih berlatar masa silam, ketika Kayau menjadi salah satu tradisi dalam sebagian besar suku Dayak di Kalimantan, dan menjadi salah satu cara untuk mendiskreditkan, mengucilkan, dan memberi stigma buruk terhadap orang Dayak sebagai bangsa yang barbarian, terbelakang, tidak berpendidikan, tidak berperikemanusiaan, dan menggunakan kepala manusia yang dipenggal sebagai salah satu simbol keberanian dan keperkasaan.
Tak ada yang salah dengan back mind semacam itu. “Ketersesatan” memahami dan menyikapi Kayau menjadi salah satu buah keberhasilan kampanye buruk penguasa kolonial terhadap orang Dayak. “Ketersesatan” semakin jauh terjadi ketika bekal untuk memahami Kayau lompong. Apalagi selain merupakan fakta dan menjadi tradisi orang Dayak –juga Dayak Ngaju di sebagian besar Kalimantan Tengah-- di masa silam untuk menyelesaikan konflik antar sesama, Kayau juga dibumbui mitos dan legenda.
Penguasa kolonial dan turis –juga khalayak—sering menggunakan ketidaktahuan dan kesengajaan— untuk berkisah dan melebih-lebihkan kenyataan yang ada agar orang mengimajinasikan orang Dayak sebagai kaum primitif. Kayau di tangan mereka dibumbui dengan cerita-cerita lisan yang menggambarkan sebagai kegiatan perorangan yang dengan barbarian memenggal kepala orang. Padahal selain sebuah simbol adat, Kayau juga menjadi medium perang psikologis, pertahanan, dan reaksi terhadap sesuatu yang sudah berlangsung kelewat batas.
Prof Andrew P Vayda dalam bukunya "War in Ecological Perspective: Persistence, Change, and Adaptive Processes in Three Oceanian Societies" (1976) mengungkapkan bagaimana upaya propaganda menjadi alat pertahanan komunitas maupun tribal nation setempat untuk mengamankan wilayahnya dari para pengganggu keseimbangan hidup dan kearifan lokal yang sudah berlangsung dan terpelihara sekian lama. Pertahanan psikologis semacam itu cukup efektif menghambat gerak kaum penjajah yang ingin menguasai dan menjarah hal-hal berharga milik orang Dayak. Dengan pertahanan itu harga diri Dayak menjadi relatif terjaga. Dalam hal ini tesis Andrew P Vayda menunjukkan kebenarannya.
Pakat Dayak dan Damang
Memang tak bisa dipungkiri seperti pada suku-suku lain di Indonesia, kekerasan juga menjadi bagian dalam kehidupan Suku Dayak. Suasana penuh kekerasan di kalangan Suku Dayak sebelumnya tumbuh subur ketika Perang Banjar pecah pada tahun 1859. Perang ini meluas hampir ke seluruh bagian Kalimantan Tengah. Perang Pulau Petak, Palingkau, Palangkai Telo/Basarang Kanamit misalnya melanda Sungai Kahayan di Bukit Rawi. Perang Lentang Tamuan/Juragan Bangkusin melanda Tewang Pajangan.
Hal yang sama juga terjadi di Tumbang Kurun sebagai akibat dari perang Nuhuda Lampung, di Tewah pada tahun 1885 akibat Perang Patangan (Perang Tewah), di sepanjang sungai Barito, Mambaroh (Kalimantan Barat). Bersamaan dengan itu perang suku di Datah Nalau daerah Barito Hulu/Mahakam Hulu, Kalimantan Timur, juga pecah.
Keresahan yang timbul akibat perang antar suku, perang Banjar dan perang-perang lainnya melawan Belanda yang berlangsung lebih dari 35 tahun lah yang mempengaruhi psikologis dan keberlangsungan hidup suku Dayak.
Untungnya para Damang yang dalam struktur masyarakat Dayak memiliki posisi penting dan strategis, prihatin dengan keadaan ini. Mereka yang semula menjadi pusat dan pendukung para prajurit yang terlibat penuh di berbagai medan perang (Barandar), dengan kesadaran tinggi kemudian mengalihkan dukungan itu kepada proses perdamaian. Bersama komponen masyarakat lainnya mereka menerima tawaran damai dari Belanda, namun dengan syarat status kedamangan tetap tegak dan lembaga keadatan lainnya tetap berdaulat.
Pokok-pokok perdamaian itu mengandung arti kedua belah pihak berdamai atas dasar persamaan derajat; pengalihan strategi perjuangan jangka panjang melalui proses pembaharuan yang tidak rapuh; mengalihkan tugas para prajurit Barandar menjadi misi konsultasi ke segala penjuru demi penyeragaman strategi perjuangan; menuju sasaran membangun persiapan untuk pemantapan yang berkesinambungan.
Tuan rumah pertemuan, Damang Batu, Singa Rontang, Singa Duta, Tamanggung Panji dan kawan-kawan berhasil menggelar pertemuan besar di Tumbang Anoi yang berlangsung selama 60 hari itu. Berbondong-bondong seluruh utusan berdatangan menuju Desa Tumbang Anoi yang berada ditengah-tengah sebuah pulau itu. Semua itu mereka lakukan bukan karena perintah dan bentuk berserah diri pada Belanda, tapi karena ajakan para Damang yang berpengaruh itu.
Rapat Tumbang Anoi yang menghasilkan Pakat Dayak yang terjadi sejak para utusan dari 400 kelompok Suku Dayak di seluruh Kalimantan berkumpul di bawah satu atap di Desa Tumbang Anoi, Kahayan Hulu Utara, Kalimantan Tengah, pada 22 Mei -24 Juli 1894 menghasilkan kesepakatan yang berisikan pertama; perang antara Belanda dan pasukan Barandar dilakukan tanpa penuntutan ganti kerugian masing-masing. Kedua; mengakui kewenangan pemerintah untuk memajukan dan membangun daerah Dayak yang diimbangi dengan pengakuan pada kedaulatan dan status lembaga adat/Kedamangan. Ketiga; semua pihak sepakat menghentikan kegiatan asang maasang (perang antar suku). Keempat; dihentikannya kegiatan bunu habunu (saling bunuh) yang seringkali dilakukan dengan latar belakang dendam. Kelima; menghentikan kegiatan kayau mengayau (kebiasaan memburu manusia, memotong kepala untuk koleksi pribadi dan bukti kepahlawanan). Keenam; menghentikan kebiasaan jipen manjipen dan hajual hapili jipen (perbudakan dan jual beli budak). Ketujuh; menyempurnakan warisan turun temurun yang dipangku para Damang disamping ketentuan-ketentuan yang dijalankan pemerintah. Kedelapan; memberi kesempatan untuk berbagai pihak mengemukakan masalah yang dihadapi masing-masing dan dicarikan penyelesaiannya.
Melihat peran para Damang dalam Rapat Tumbang Anoi, terlihat jelas mereka memang menjadi faktor penentu. Dalam struktur masyarakat Dayak, para Damang ini tak hanya menjadi pemimpin yang disegani dan selalu diikuti perintahnya. Mereka juga memiliki peran sebagai pilar penjaga tegaknya hukum adat.
Namun tidak mudah sebenarnya menjelaskan bagaimana posisi Damang secara formal dalam struktur masyarakat Dayak. Para peneliti tentang Kedamangan di Kalimantan Tengah misalnya kesulitan meneliti tentang apa dan bagaimana lembaga ini berperan di tengah masyarakat. J Mallincrodi (1887-1929) dalam Het Adatrecht van Borneo (1928) ketika menguraikan bagaimana hukum adat di Kalimantan Tengah sama sekali tidak membicarakan lembaga Kedamangan.
Thomas Linblad mengartikan Damang sebagai village head. Arti ini sama dengan Pembakal dan Kyai yang disebut Linblad sebagai indigeneous district officer (Linblad, 1988:271).
Sedangkan Hans Scharer (1904-1947), seorang misionaris yang banyak meneliti kepercayaan Dayak menyatakan Damang adalah the present-day damangnya (adat chief) dan bukan orang yang diberikan kepercayaan oleh masyarakat setempat untuk turut mengatur kehidupan mereka (Scharer, 1963:103). Scharer meyakini Damang hanyalah sebuah jabatan dan status yang diberikan pemerintah untuk kepentingan mereka sendiri.
Tokoh masyarakat Dayak, Tjilik Riwut (1918-1987) menguraikan secara singkat tentang lembaga Kedamangan dalam bukunya. Menurutnya Damang Kepala Adat Tjilik Riwut yang juga adalah Gubernur pertama Kalimantan Tengah menggunakan istilah Damang dan bukan Damang seperti yang tercantum di beberapa produk pemerintah Indonesia, yang pada tahun 1928 dilahirkan sebagai pejabat tebusan menggantikan jabatan Kepala Adat. Kepala Adat di masa lampau oleh Suku Dayak dipandang sebagai suatu rehabilitasi yang diberikan kepada suatu perasaan untuk dihargai dan sekaligus pengakuan atas adat istiadat leluhur mereka (Riwut, 1979:250, 1993:295).
Pasca Pakat Dayak yang didukung penuh para Damang bisa dikatakan Kayau menjadi tinggal cerita. Namun beberapa hukum adat seperti jipen yang kemudian diganti dengan denda adat yang nilainya terukur hingga kini masih hidup dan diakomodir dalam peraturan perundang-undangan di tingkat lokal.
Sayangnya bumbu mitos dan legenda di sekitar Kayau juga ditelan mentah-mentah begitu saja oleh khalayak, walau pun kekuasaan kolonial telah lama berakhir. Dalam kasus pembunuhan di Kapuas misalnya, jelas bukan merupakan Kayau. Karena dalam Kayau yang menjadi sasaran adalah orang-orang yang “setara” kekuatan dan kelasnya. Perempuan dan anak-anak bukan menjadi sasaran utama Kayau. Pelaku yang bukan orang Dayak pun memperterang ketidak benaran Kayau itu.
Peraturan adat di masa lalu, seperti yang ditulis Tjilik Riwut dalam Kalimantan Memanggil dan Kalimantan Membangun yang sebagian besar isinya ditulis kembali oleh Nila Riwut dalam Maneser Panatau Tatu Hiang: Menyelami Kekayaan Leluhur (2003), menunjukkan apabila ada asang dan kayau –asang adalah perang suku dengan melibatkan banyak orang, bersifat tumpas kelor, berupa serangan mendadak, dan memilih sasaran dalam jumlah besar, sementara Kayau adalah sebuah proses penuntasan konflik dengan logika apa yang diambil harus dikembalikan dalam ukuran yang sama-- perempuan dan anak-anak tidak boleh dibunuh. Kayau seringkali memiliki sasaran satu orang dan tidak bersifat tumpas kelor.
Terkecuali perempuan yang ikut terjun langsung dalam peperangan, boleh ditangkap untuk dijadikan jipen (Nila Riwut, 2003:54). Kebebasan sebagai budak baru akan diperoleh apabila pihak yang kalah ataupun kaum keluarganya menebus. Besarnya tebusan ditentuikan oleh kerapatan adat. Di saat perang berlangsung, apabila ada musuh yang telah menyatakan marup yang berarti menyerah, tidak diperkenankan untuk dibunuh.
Baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak dan kewajiban yang sama. Kesetaraan jender, bukan merupakan hal yang baru bagi mereka. Peran serta dalam tugas kemasyarakatan, memangku jabatan Kepala Adat atau Mantir, mengurus rumah tangga, mencari nafkah, siapapun boleh baik laki-laki maupun perempuan, asalkan mau dan mampu.
Charles Baharuddin kepada sebuah koran nasional pada 2001 menceritakan asang memang melibatkan banyak orang. Salah satu yang terbesar adalah Asang Paking Pakang. Dalam peristiwa itu warga Dayak di hulu sungai-sungai besar menyerang secara besar-besaran warga Dayak di hilir sungai. Beribu-ribu pasukan Dayak hulu, seperti tikus, melakukan penyerangan. Dayak hulu merasa kelakuan Dayak di hilir sungai sudah keterlaluan.
Mereka sakit hati karena banyak anggota kelompok mereka yang dikayau. Dalam penyerangan itu, tak peduli anak-anak atau perempuan dibunuh. Asang maasang memang berarti pembunuhan berskala besar. Ketemu perahu, dihancurkan. Dapat ternak juga di sikat. Bahkan, dapat kuburan pun mereka bongkar dan hancurkan. Peristiwa konflik etnis di Sampit pada 6,7 tahun silam pola dan dan jumlah korban yang jatuh mirip dengan Asang Paking Pakang.
Dayak Ngaju khususnya juga memiliki pasal yang ditujukan untuk melindungi dan menjaga orang asing yang masuk kedaerahnya. Suatu penghinaan apabila ada orang asing masuk kedaerahnya, kemudian orang asing tersebut menderita atau mengalami kesusahan di daerah suku Dayak. Di lain pihak, orang asing yang masuk ke daerah suku Dayak, juga dituntut untuk mematuhi aturan yang ada. Hukum ini mewajibkan orang asing yang masuk ke daerah suku Dayak, setelah melaporkan diri, untuk “menyerahkan” nasibnya kepada Kepala Adat, dan telah menyatakan janji untuk tunduk kepada hukum adat suku Dayak, maka kehadirannya wajib diterima dan keamanannya menjadi tanggung jawab warga masyarakat secara bersama-sama.
Akan tetapi, apabila orang asing yang datang mengunjungi mereka itu tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan, membuat kekacauan, mungkin saja keselamatannya
bisa terancam. Kehadirannya bisa dianggap sebagai perusak dan pengganggu keamanan suku. Lebih fatal lagi apabila orang asing tersebut telah melakukan kesalahan besar, lebih-lebih kesalahan tersebut dilakukan kepada Kepala Suku ataupun pimpinan agama, maka hukuman mati bisa dialami. Akan tetapi apabila perkaranya hanya kecil saja, maka hukumannya dapat dijadikan jipen.
Soal menjunjung tinggi hukum adat, menghormati komunitas lokal, dan hidup berdampingan secara damai inilah yang tidak ada dan menjadi pendorong utama terjadinya konflik etnis di Sampit. Akan berbeda halnya jika peribahasa dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung itu hidup dan berkembang di Sampit.
Tidak Mudah
Orang Dayak di seantero Borneo tidak gampang mangayau. Mangayau –juga asang maasang-- memerlukan prakondisi dan prasyarat yang wajib hukumnya dipenuhi. Mangayau misalnya memerlukan persetujuan para roh nenek moyang. Untuk mendapatkan persetujuan itu dilakukan upacara seperti manajah antang, mengikat beliung di atas parang panjang dengan menggunakan bajakah (tanaman merambat) yang khusus yang kemudian ditaburi behas bahandang bahenda (beras merah dan kuning), yang melaksanakan tugas mangayau pun adalah orang-orang terpilih dan direstui para balian. Sasaran mangayau pun harus ditentukan terlebih dahulu. Walau sudah ditentukan, mangayau belum tentu bisa langsung dilaksanakan sebelum restu dari para roh nenek moyang dan penjaga alam tiba. Jika restu tidak datang, mangayau batal dilakukan.
Mangayau juga dilakukan sesuai dengan prakondisi yang terjadi sebelumnya. Misalnya satu orang anggota suku dikayau oleh suku lainnya, maka kepala harus dibayar kepala wajib terjadi. Jadi korban kayau tidaklah berasal dari orang yang tidak memiliki kesalahan sebelumnya.
Para pangayau yang berangkat mangayau juga diwajibkan untuk tidak melanggar pantangan seperti tidak boleh mencuri, merampok, berdusta, berzina, dan mengganggu istri dan anak gadis orang. Pantangan ini menunjukkan Kayau tidak boleh dinodai hal-hal buruk. Karena selain akan menggagalkan Kayau, juga akan berdampak buruk (kematian) bagi para pangayau jika melanggar pantangan-pantangan itu.
Pemahaman yang tersesat terhadap Kayau juga terjadi dengan mempersepsikan bahwa sasaran Kayau hanya manusia. Padahal Kayau memiliki banyak jenis, antara lain Kayau Kayu (“membunuh” kayu yang telah menyebabkan kematian anggota suku), dan Kayau Danum (“membunuh” sungai yang telah mengakibatkan kematian terhadap anggota suku). Bahkan di zaman hidup susah, sandang pangan sulit ditemukan, istilah Kayau Lawu juga muncul. Ini memiliki makna dihembuskannya bahwa akan terjadi Kayau di sekitar kampung. Kayau ini bertujuan menakut-nakuti suku lain yang memiliki sumber pangan melimpah agar mereka meninggalkan permukiman. Begitu mereka pergi, sumber pangan itu diambil alih.
Karena itu Kayau bukanlah sebuah peristiwa yang terjadi serta-merta dan begitu saja. Kayau palsu yang dihembuskan melalui pesan pendek yang meneror khalayak dalam dua pekan terakhir ini jelas hanyalah tindakan sekelompok pihak yang tidak ingin melihat orang Dayak muncul sebagai entitas yang bermartabat dan dilingkupi nilai-nilai kemanusiaan seperti suku-suku lainnya di negeri ini. Penghembus teror Kayau rupanya ingin membenturkan orang Dayak dengan suku lainnya agar saling mencurigai dan kemudian terlibat dalam konflik berkepanjangan. Hanya dengan kecerdasan lah teror Kayau bisa dihadapi. Tinggal pilihannya kemudian adalah: mau cerdas, atau mau bodoh?
Thursday, December 13, 2007
Prolog
Oleh Budi Kurniawan
Bang Ber, begitu saya dan kawan-kawan di Majalah Berita Mingguan GAMMA (Almarhum pada tahun 2002) menyapa Bersihar Lubis. Selama bertahun-tahun saya menjadi salah satu anak buah Bang Ber di Majalah GAMMA.
Sebagai wartawan yang jam terbangnya lebih tinggi dari saya, Bang Ber adalah penulis yang baik. Gaya tulisannya yang penuh metafora, sering membuat berita yang saya laporkan dan kumpulkan dari lapangan menjadi lebih “bunyi.
Sebagai teman, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, Bang Ber adalah sosok yang hangat. Dia tidak pelit berbagi ilmu. Saya akui saya banyak belajar dari dia. Persahabatan diantara awak GAMMA bagi saya sungguh berbeda jika dibandingkan di media lain di Jakarta tempat saya pernah bekerja (saya pernah menjadi wartawan Majalah GATRA, FORUM Keadilan, GAMMA, Banjarmasin Post, dan Voice of Human Right). Walau didera persoalan keuangan yang sesungguhnya bukan dataran kami para wartawan, awak GAMMA selalu riang dan penuh canda. Paling tidak hal itu bisa sedikit mengurangi kepahitan hidup di Jakarta yang terus mendera.
Sayangnya semua kehangatan itu harus berakhir. Majalah GAMMA terus didera persoalan keuangan. Anehnya walau dihajar persoalan keuangan, tiras majalah yang didirikan kawan-kawan eks Majalah GATRA ini terus menaik. Karena tak kuat “membayar” biaya psikologis, saya memilih mengundurkan diri dari Majalah GAMMA. Saya pindah ke satu media yang konon akan diterbitkan perusahaan yang menerbitkan Majalah GATRA. Sayangnya hal itu tak kesampaian. Karena situasi saya dipekerjakan di Majalah GATRA. Disini saya tak lama. Karena sesuatu yang tak bisa saya uraikan, saya termasuk orang yang tidak diperpanjang kontrak kerjanya. Saya pun pergi meniti nasib (kembali) bersama Bang Ber dan kawan-kawan di Majalah MEDIUM.
Saya dan kawan-kawan eks GAMMA –juga Bang Ber—pun berjuang menghadapi hidup. Saya tak lama di MEDIUM. Saya kembali pergi meniti nasib. Lama tak saling berkabar, hingga saya membaca berita di KOMPAS tentang Bang Ber yang diadili di Pengadilan Negeri Depok, Jawa Barat. Saya kaget dengan berita itu. Rupanya ketika saya “nyari makan” di Kalimantan, berita tentang Bang Ber ramai di Jakarta.
Kini pengadilan (?) terhadap Bang Ber terus berlangsung. Dalam sebuah pesan pendek saya sampaikan pada Bang Ber untuk terus berjuang dan melawan. Keep the fight for the truth, saya bilang. Nah, di bawah ini adalah satu tulisan Bang Ber yang beredar luas di internet. Semoga memberi inspirasi.
Banjarmasin, 14 Desember 2007
Menulis itu, Kapok Sambal
Oleh Bersihar Lubis
Belum seratus hari saya bekerja di Majalah B-Watch pada awal Maret 2007 itu. Majalah Berita Dwimingguan MEDIUM, tempat saya bekerja sebelumnya, tak lagi terbit sejak awal 2006. Majalah ini sudah “megap-megap” sejak 2005. Biasalah. Soal modal, dan sebagainya, "bahaya laten" yang selalu mengintai penerbitan pers. Apa yang bisa saya kerjakan hanya menulis, dan menulis.
Saya sudah menjadi wartawan sejak 1970, menjadi reporter koran Medan, Mercusuar dan Mingguan Taruna Baru. Jadinya, saya “dungu” dan ini bukan dosa --untuk bekerja di bidang lain. Misalnya membuka kedai kopi, atau menjadi pedagang ikan di kampungku, Sibolga yang pantai pasir putih dan rimbunan pohon kelapanya molek di pantai barat Sumatera Utara. Saya juga “dungu” soal nuklir. Yang Maha Tahu segalanya, hanya DIA.
Tak bisa lain saya mulai menulis kolom atau opini di berbagai koran, baik daerah dan nasional sejak awal 2006. Di antaranya, Koran TEMPO. Walau sudah menjadi Wakil Pemred di B-Watch, menulis opini di koran-koran rupanya membuat tagih juga. Saya pikir, lebih “aman”, ketimbang “nyabu-nyabu”.
B-Watch, majalah bulanan itu sudah beredar di awal Maret 2007, sampai kemudian, Masyarakat Sejarah Indonesia dikagetkan oleh pelarangan peredaran buku teks pelajaran SMP dan SMU setingkat oleh Kejaksaan Agung pada 5 Maret 2007.
Alasannya, karena tidak mencantumkan kebenaran sejarah tentang pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun pada 1948 dan Peristiwa Pemberontakan PKI pada 1965. Gerakan 30 September (G30S) 1965 memang tercantum, tetapi tanpa menyebut keterlibatan PKI. "Itu pemutarbalikan fakta sejarah," kata Jaksa Agung Muda Intelijen Muchtar Arifin (kini Wakil Jaksa Agung RI), Jumat 9 Maret lalu kepada pers.
Dalam hati, saya bertanya-tanya, apakah pelarangan buku-buku sejarah untuk “anak-anak” kita itu sudah didasarkan pada telaah ilmiah dari para sejarawan, atau hanya karena sekedar kekuasaan? Seandainya ada bahasan ilmiah yang melibatkan sejarawan seperti Anhar Gonggong, Asvi Warman Adam dan lainnya, mungkin pelarangan itu sedikitnya telah bertolak dari pandangan ilmiah.
Jika buku sejarah yang dilarang oleh Jaksa Agung tersebut tidak mencantumkan
PKI sebagai pemberontak pada 1965, tidak mengherankan. Banyak sekali buku publikasi domestik dan luar negeri yang meragukan keterlibatan PKI, meskipun versi pemerintah menyebut PKI tetap terlibat. Akibatnya, di masyarakat muncul beragam versi yang berbeda, sehingga menurut Jaksa Agung Muda Muchtar dapat menimbulkan keresahan dan pada akhirnya akan mengganggu ketertiban umum.
Berita pelarangan itu beredar di media, juga kontoroversi dan prokontranya. Saya terdorong untuk menulis. Berbagai memori berlarian di benak, tentang sejarah pelarangan buku dan sejenis. Satu di antara yang banyak itu, yang saya ingat adalah kisah pak Joesoef Isak.
Beliau pernah selama sebulan diperiksa oleh Kejaksaan Agung menyusul terbitnya roman "Anak Semua Bangsa" dan “Bumi Manusia” karya Pramoedya Ananta Toer. Joesoef adalah penerbit Hasta Mitra (1980) dan penerbit karya Pram yang kemudian dilarang. Pernah meringkuk di penjara pada 1965 dan 1966. Meringkuk lagi di penjara Salemba sejak 1967 selama 10 tahun.
Namun, atas keberaniannya menerbitkan karya Pram, ia menerima hadiah "Jeri Laber Pour Ia Liberte de l'edition" dari Perhimpunan Para Penerbit Amerika, partner Pen American Center pada April 2004 lalu di New York. Masih ada hadiah sejenis dari Australia dan Belanda.
Majalah MEDIUM pernah menulis Joesoef Isak tatkala berbicara pada "Hari Sastra Indonesia" di Paris pada Oktober 2004 lalu. Saat itu, ia bertutur tentang jalannya interogasi tersebut. Mulanya, ia mengusulkan supaya Kejaksaan Agung menggelar sebuah simposium ahli untuk membicarakan secara obyektif karya Pram.
Tapi ternyata ditolak. Alasannya, interogator lebih paham dari siapapun bahwa "Bumi Manusia" dan "Anak Semua Bangsa" adalah karya sastra Marxis. Anehnya, ketika diinterogasi, aparat kejaksaan meminta Joesoef untuk menunjukkan baris-baris mana yang menunjukkan adanya teori Marxis dalam buku Pram.
Ketika Joesoef diminta meneken berita acara pemeriksaan, para interogator
tersenyum. "Buku-buku Pram luar biasa. Apakah bapak mempunyai eksemplar tersisa? Istri saya belum membacanya. Bisakah bapak mengirimkan satu eksemplar ke rumah saya?" kata si interogator.
"Pak Joesoef hendaknya maklum bahwa apa yang saya lakukan hanyalah melaksanakan perintah atasan," tambah si interogator. "Saya telah disiksa oleh kedunguan interogator, dan interogator telah disiksa oleh atasan mereka yang lebih tinggi tingkat kebodohannya," kata Joesoef.
Kisah ini ditulis oleh Koresponden MEDIUM di Paris. Sebagai Pemred MEDIUM,
tentu dengan rapat redaksi, kami menerbitkannya pada edisi 27 Oktober-9
November 2004, lengkap dengan foto pak Joesoef saat berbincang dengan Adrian
van Dis, seorang pengarang Belanda di Paris.
Di tengah prokontra pelarangan buku sejarah SMP dan SMU itulah, saya mengutip kembali penjelasan Jesoef di Paris untuk sebuah tulisan yang kemudian saya kirimkan via email ke Koran TEMPO, jika tak salah pada 11 Maret 2007, dan terbit pada 17 Maret 2007, dengan judul “Kisah Interogator yang Dungu”. Judul ini saya cuplik dari isi tulisan, yakni ceramah Joesoef Isak di Paris.
Banyak tulisan dan berita yang muncul di media. Antara lain protes PHBI, Jhonson Panjaitan dan Masyarakat Sejarah Indonesia terhadap pelarangan itu, seperti diberitakan oleh TEMPO Interaktif pada 19 Maret 2007. Sejarawan Asvi Warman Adam berkomentar, bahwa istilah obyektif sesuai dokumen 1 Oktober 1965 adalah Gerakan 30 September. Tidak disingkat atau disertai dengan embel-embel apapun, karena bisa mengaburkan fakta sejarah.
PBHI malah melihat keanehan. Misalnya, buku pelajaran kelas 1 SMP yang masih
membahas kerajaan-kerajaan Nusantara belum sampai pada Peristiwa Madiun 1948
dan 1965. Malah ada buku (Grasindo) yang mencantumkan istilah G30S/PKI pun
tetap dilarang.
Saya bukan sejarawan. Tapi wartawan. Rangkaian fakta demi fakta saya sunting
menjadi tulisan. Agar tak kelihatan “dungu”, saya kutip jugalah pendapat
Benedetto Croce seorang filsuf sejarah kelahiran Italia (1866-1952), bahwa
"Every true story is contemporary history (setiap sejarah yang benar adalah
sejarah masa kini). Kebenaran memang relatif.
Benar di suatu masa, sebaliknya di waktu yang lain. Sejarah adalah gambaran masa silam, tapi tak selalu sepersis masa lalu. Siapa pula yang bisa pergi ke hari lalu yang sangat jauh itu?
Menulis sejarah pun tak bisa mengelak dari ide si penulis bertolak dari visi
dan tafsir sendiri. Topik yang sama bisa berbeda di antara beberapa penulis.
Bahkan, bisa dipengaruhi oleh suasana zaman. Saban zaman juga mengalir sehingga ide, penilaian dan tafsir bisa berubah dan tampillah beragam versi.
Ada versi pemerintah, ada versi sejarawan. Buku sejarah yang ditulis tak berhak memonopoli kebenaran, apalagi hendak memperbaiki buku sejarah yang ada, termasuk versi pemerintah. Menulis kembali dengan visi, tafsir dan metodologi yang berbeda, tidak selalu sama hasilnya. Yang beruntung adalah generasi kemudian yang mewarisi kekayaan sejarah. Terpulang merekalah untuk memahaminya secara arif dan rasional.
Memonopoli kebenaran sejarah itu absurd. Apalagi sejarah selalu ditulis tidak pada saat terjadi, tapi jauh setelah peristiwa itu. Merekayasa sejarah yang telah terjadi cenderung mereduksi sejarah. Rekayasa (dalam arti sebenarnya) itu perbuatan ke depan, misalnya seseorang yang hendak memenangkan Pemilihan Presiden. Tetapi, jika Yudhoyono pernah berhasil pada 2004 lalu, sejarah tak mungkin menulis Yudhoyono gagal menjadi presiden pada 2004 lalu, bukan?
***
Jadi wartawan memang lelah. Tapi nikmat, walau tidak selalu. Seingat saya di
bawah tanggal 11 Juni 2007, rekan Daru Priyambodo dari Koran TEMPO mengabarkan (via telepon) bahwa Kapolres Depok menghubungi Koran TEMPO sehubungan pengaduan dari beberapa staf Kejaksaan Negeri Depok. Kejaksaan tersinggung atas tulisan saya di Koran Tempo 17 Maret 2007. Itulah awalnya, saya diperiksa oleh Polres Depok pada 11 Juni 2007.
Saudara Daru sungkan dan tidak mau memberikan alamat saya di Depok kepada Kapolres Depok, tanpa seizin saya, dan memang begitulah aturan main di Koran TEMPO, seperti juga di media lainnya. Sementara, ini adalah soal penegakan
hukum di Negara hukum tersayang ini. Saudara Daru menghadapi dilema. Akhirnya, kami berdua sepakat bahwa Saudara Daru memberi nomor HP pak Kapolres kepada saya, dan terserah saya lah kemudian untuk menghubunginya.
Merasa tulisan saya di Koran TEMPO “biasa” saja, saya beranikan diri menelepon Kapolres Depok. Percakapan, yang hangat, saya kira. Saya sih sudah bisa menebak ujungnya, ketika pak Kapolres ingin bertamu ke rumah saya, hendak bersilaturrahmi. Bagaimana saya bisa menolak silaturrahmi?
Suatu malam beliau bersama staf datang ke rumah saya. Percakapan mengalir enak. Sembari Kapolres mengabarkan tentang ketersinggungan teman-teman di kejaksaan. Jelaslah, ini soal delicte locus.
Saya lupa harinya, tapi saya datang ke Polres Depok, jika tak salah sehari atau dua hari sebelum hari yang ditetapkan dalam surat panggilan polisi pada 11 Juni 2007. Saya pikir apa bedanya diperiksa lusa dan hari ini? Pemeriksaan pun berlangsung, dan sikap teman-teman di Polres cukup bersahabat. Saya jawab semuanya, mengapa saya menulis artikel itu, kapan dan hal lain yang penting.
Termasuk bahwa kutipan “dungu” itu berasal dari pak Joesoef Isak. Adapun dakwaan yang dikenakan adalah pasal 207 KUHP dan pasal 316 yo pasal 310 ayat (1) KUHP tentang pencemaran dan penghinaan.
Hari itu, juga setelah proses BAP, saya mencoba bertemu Kepala Kejaksaan Negeri Depok. Maksudnya, melihat kemungkinan mediasi. Tapi gagal bertemu. Hal mediasi ini pernah saya tawarkan ke Kapolres Depok sewaktu datang ke rumah saya. Beliau bilang bagus juga.
Sayang tak bertemu. Saya hanya bisa bertemu Sdr Pudin Saprudin (PS), staf Kasi Intel Kejari Depok, yang menjadi saksi pelapor kasus ini Ke Polres Depok. Kami ngobrol. Tapi Kepala Kejari Depok sedang tak di tempat sehingga tak bisa bertemu. Sdr PS menjanjikan, akan melaporkannya kepada Kepala Kejari Depok, dan jika mungkin bertemu saya akan ditelepon.
Memang tak ada keharusan agar bertemu. Boleh ya boleh tidak. Saya sadar itu.
Nah, pada suatu hari, di bulan Agustus datanglah panggilan dari Polres Depok, bahwa kasus saya sudah P-21, dan dilimpahkan ke Kejari Depok. Bersama petugas Polres, saya berangkat ke Kejari dan bertemu Sdr Tikyono, yang kemudian menjadi Jaksa Penuntut Umum dalam perkara ini.
Sidang pertama digelar pada 19 September 2007 lalu. Sudah beberapa hari puasa Ramadhan. Saat itu, tiga saksi dari Kejari Depok diperiksa oleh Majelis Hakim kesaksiannya. Seperti saya uraikan dalam pledoi pada 21 November 2007 lalu, juga dalam rilis ke beberapa media, yang kemudian juga muncul di milis jaringan pers, keterangan tiga saksi ini tak saling kompak.
Satu saksi bilang ucapan “dungu” berasal dari pak Joesoef Isak. Dua saksi lainnya berkata dari saya. Tapi setelah dicecar majelis dengan mengkonfirmasikan dengan tulisan di Koran TEMPO itu, keduanya bimbang dan akhirnya menjawab “tidak tahu”.
Sidang kedua, 26 September 2007, adalah pemeriksaan saksi Daru dari Koran
TEMPO, saksi Joesoef Isak dan Frans Asisi, saksi ahli bahasa dari UI, yang
resume keterangannya sudah saya uraikan dalam pers rilis. Lagi-lagi, tak
seorang pun yang menyebutkan bahwa kata “dungu” itu berasal dari saya.
Ada pun tentang pak Joesoef Isak, saya sangat memahami beliau sebagai seorang yang telah berumur 79 tahun. Dalam kesaksiannya, beliau berkata ceramahnya di Paris (2004) lisan, dan tak lagi bisa mengulanginya secara persis.
Saya mengkonfirmasikan ke pak Joesoef Isak, bahwa ada teks pidato beliau di Fordham University New York pada 24 April 1999, yang dibagi-bagikan dalam pertemuan Hari Sastra Indonesia di Paris pada 2004. Karena memang begitulah, laporan koresponden MEDIUM di Paris yang kemudian dimuat Majalah MEDIUM. Saya sendiri memperoleh teks pidato itu dari situs internet Fordham University, yang kemudian saya print out.
Membaca teks pidato itu, pak Joesoef di depan Majelis Hakim dan Jaksa Penuntut Umum di persidangan PN Depok membenarkan, memang itu pidatonya di NY. Saya juga mengkonfirmasikan beberapa alinea dari pidato, yang kemudian dilaporkan Koresponden MEDIUM, dan belakangan saya kutip lagi dalam tulisan di Koran TEMPO, lagi-lagi beliau membenarkannya.
Semua itu telah saya tumpah ruahkan dalam pledoi saya bacakan pada 21 November 2007 lalu.
***
Pekan depan, 28 November, Jaksa Penuntut Umum akan tampil dengan Replik, dan saya dengan Duplik sepekan kemudian. Sesuai hukum acara, maka sepekan berikutnya pula adalah pembacaan vonis majelis hakim.
Lepas dari persoalan teknis peradilan itu, saya memberi judul pledoi saya dengan kalimat: Merindukan Hukum Indonesia yang Demokratis?
Sebagai seorang wartawan, dan bukan pakar hukum, saya memikir-mikir, inilah persoalan yang mendasar. Hukum yang demokratis, di mana, saban orang sama di
depan hukum. Ini juga yang, antara lain, saya kupas dalam pledoi.
Saya didakwa dengan pasal 207 KUHP, yakni pencemaran tertulis terhadap penguasa dan badan umum yang ada di Indonesia, dalam hal ini, instansi Kejaksan Agung, di depan umum. Padahal, bahkan pasal 134, 136 bis dan 137 KUHP tentang penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden pun telah dihapuskan oleh Mahkamah Konstitusi pada 6 Desember 2006 lalu. Dalil MK karena pasal ini bertentangan dengan UUD 1945, dan asas persamaan di depan hukum, yang tak memungkinkan Presiden dan Wakil Presiden punya hak istimewa dibanding warga Negara lainnya.
Apalagi pasal-pasal itu sering dipakai penguasa untuk membungkam aktivis demokrasi yang melakukan kritikdan protes kepada kebijakan pemerintah. Pasal warisan kolonial ini sejatinya dulu juga dipakai kolonial untuk membungkam
pejuang republik. Tak heran setelah kemerdekaan, pasal-pasal itu mendapat kecaman luas dari masyarakat, dan MK mengabulkannya pada 2006 lalu.
Jika pasal yang berhubungan dengan penghinaan Presiden dan Wakil Presiden pun sudah dicabut, apakah martabat penguasa dan badan umum lainnya di negeri ini, maaf, lebih “tinggi” dibanding Presiden dan Wakil Presiden sebagai lembaga (bukan individual)?
Tak heran jika MK menyarankan agar penggunaan pasal 207 KUHP ke depan sebaiknya tak dilakukan, dan menyesuaikannya dengan kondisi berkembang seraya menunggu R KUHP yang baru. Lagi pula yang berkuasa di negeri ini adalah kedaulatan rakyat.
Rakyatlah King Maker yang membuat Anda bisa menjadi Presiden, Wakil Presiden dan anggota parlemen. Adapun penguasa dan Badan Umum lainnya, adalah jelmaan dari kedaulatan rakyat juga. Anda tak bisa menjadi penguasa tanpa adanya rakyat, bukan?
Toh masih ada pasal 310 maupun 316 KUHP yang memungkinkan seseorang yang merasa dihina dapat mengadukan siapapun ke penegak hukum. Itu pulalah yang dilakukan bapak Susilo Bambang Yudhoyomo saat mengadukan Pak Zainal Ma?arif ke Polda Metrojaya. Tapi dalam kasus saya, justru pasal 316 yo 310 KUHP, yang semula ada dalam dakwaan tapi dalam tuntutan telah meminta Majelis Hakim membebaskan saya dari dakwaan alternatif kedua itu. Jaksa Penuntut Umum hanya memakai pasal 207 KUHP.
Saya kira kompotensi mengkritisi pasal 207 KUHP ini tak hanya wilayah pakar
hukum. Tapi semua kita. Termasuk para sejarawan. Bagaimana sebenarnya riwayat dan asal usul pasal ini dalam KUHP kita? Bagimana di Belanda, dari mana kita mengadopsi hukum mereka? Bagimana di Prancis? Konon, Timorleste bahkan tak lagi memakai pasal ini.
***
Saya diperiksa Polres Depok pada Juni 2007. Kemudian, Majalah B-Watch Juli 2007, adalah edisi yang terakhir. Majalah MEDIUM yang berakhir pada awal 2006 pun, bak mengulangi Majalah GAMMA, tempat saya bekerja sejak 1999, dan finished pada 2002 akhir. Bersama beberapa teman eks GAMMA, kami mendirikan Majalah MEDIUM, Febuarari 2003. Usia saya 53 tahun waktu itu.
Ke belakang lagi, saya pernah menjadi stringer TEMPO pada 1978 di Sibolga. Terakhir Kepala Biro TEMPO Sumatera Bagian Utara di Medan hingga majalah ini dibredel pemerintah pada 1994. Masih lanjut ke Majalah GATRA, dan bersama banyak teman eksodus ke GAMMA.
Selalu ada sesuatu di balik sesuatu. B-Watch yang tak lagi terbit sejak Agustus 2007, membuat ketagihan saya menulis di surat kabar memperoleh kemungkinan waktu yang lebih luas pula. “Penyakit” ini semakin merajalela, dan saya tak bisa mengelak.
Saya menulis saban pekan setiap hari Senin di Medan Bisnis di rubrik Weekly Review halaman depan. Senior saya, Ridha K. Liamsi di Riau Pos memberi waktu saban Sabtu setiap pekan. Juga para senior di Harian Analisa Medan juga saban pekan, kadang Senin kadang Selasa. Kadang saya juga menulis di Harian Pikiran Rakyat Bandung, Batak Pos, Sinar Harapan, Sumut Pos Medan, dan Koran TEMPO.
Apakah di hari-hari esok, saya masih menulis lagi, dengan adanya kasus di PN
Depok? Saya tak bisa menebak-nebak, walau hidup kadang seperti teka-teki silang. Mbak Monik dari Radio Utan Kayu mewawancarai saya Rabu malam, 21 November 2007 lalu, setelah sebelumnya diwawancarai by phone, dan bertanya,
“jika Anda dipenjarakan karena kasus itu, apakah Anda akan terus menulis?”
Agak sulit saya menjawabnya. Kata putri saya, juga seorang jurnalis, yang pasti, matahari masih bersinar besok pagi. Rada berbau ABG ya. Adapun tentang kehendak untuk menulis, janganlah sampai sun set, ya Gusti Allah. Saya masih terlalu muda dibanding Mas Goen, apalagi dibanding Rosihan Anwar yang terus saja menulis, dan bukan di atas air.
Menulis tak perlu kapok. Menulis itu bak kapok sambal. Tapi dalam makna sambal Sumatera yang pedas. Sudah tahu pedas, makan sambal juga. Enak, sih. Jika dalam makna sambal Jawa, makin oke pula. Manis pula. Dan dijamin pasal 28 UUD 1945.
(Depok, Pukul 04.00, 22 Nov 2007)
Belum seratus hari saya bekerja di Majalah B-Watch pada awal Maret 2007 itu. Majalah Berita Dwimingguan MEDIUM, tempat saya bekerja sebelumnya, tak lagi terbit sejak awal 2006. Majalah ini sudah “megap-megap” sejak 2005. Biasalah. Soal modal, dan sebagainya, "bahaya laten" yang selalu mengintai penerbitan pers. Apa yang bisa saya kerjakan hanya menulis, dan menulis.
Saya sudah menjadi wartawan sejak 1970, menjadi reporter koran Medan, Mercusuar dan Mingguan Taruna Baru. Jadinya, saya “dungu” dan ini bukan dosa --untuk bekerja di bidang lain. Misalnya membuka kedai kopi, atau menjadi pedagang ikan di kampungku, Sibolga yang pantai pasir putih dan rimbunan pohon kelapanya molek di pantai barat Sumatera Utara. Saya juga “dungu” soal nuklir. Yang Maha Tahu segalanya, hanya DIA.
Tak bisa lain saya mulai menulis kolom atau opini di berbagai koran, baik daerah dan nasional sejak awal 2006. Di antaranya, Koran TEMPO. Walau sudah menjadi Wakil Pemred di B-Watch, menulis opini di koran-koran rupanya membuat tagih juga. Saya pikir, lebih “aman”, ketimbang “nyabu-nyabu”.
B-Watch, majalah bulanan itu sudah beredar di awal Maret 2007, sampai kemudian, Masyarakat Sejarah Indonesia dikagetkan oleh pelarangan peredaran buku teks pelajaran SMP dan SMU setingkat oleh Kejaksaan Agung pada 5 Maret 2007.
Alasannya, karena tidak mencantumkan kebenaran sejarah tentang pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun pada 1948 dan Peristiwa Pemberontakan PKI pada 1965. Gerakan 30 September (G30S) 1965 memang tercantum, tetapi tanpa menyebut keterlibatan PKI. "Itu pemutarbalikan fakta sejarah," kata Jaksa Agung Muda Intelijen Muchtar Arifin (kini Wakil Jaksa Agung RI), Jumat 9 Maret lalu kepada pers.
Dalam hati, saya bertanya-tanya, apakah pelarangan buku-buku sejarah untuk “anak-anak” kita itu sudah didasarkan pada telaah ilmiah dari para sejarawan, atau hanya karena sekedar kekuasaan? Seandainya ada bahasan ilmiah yang melibatkan sejarawan seperti Anhar Gonggong, Asvi Warman Adam dan lainnya, mungkin pelarangan itu sedikitnya telah bertolak dari pandangan ilmiah.
Jika buku sejarah yang dilarang oleh Jaksa Agung tersebut tidak mencantumkan
PKI sebagai pemberontak pada 1965, tidak mengherankan. Banyak sekali buku publikasi domestik dan luar negeri yang meragukan keterlibatan PKI, meskipun versi pemerintah menyebut PKI tetap terlibat. Akibatnya, di masyarakat muncul beragam versi yang berbeda, sehingga menurut Jaksa Agung Muda Muchtar dapat menimbulkan keresahan dan pada akhirnya akan mengganggu ketertiban umum.
Berita pelarangan itu beredar di media, juga kontoroversi dan prokontranya. Saya terdorong untuk menulis. Berbagai memori berlarian di benak, tentang sejarah pelarangan buku dan sejenis. Satu di antara yang banyak itu, yang saya ingat adalah kisah pak Joesoef Isak.
Beliau pernah selama sebulan diperiksa oleh Kejaksaan Agung menyusul terbitnya roman "Anak Semua Bangsa" dan “Bumi Manusia” karya Pramoedya Ananta Toer. Joesoef adalah penerbit Hasta Mitra (1980) dan penerbit karya Pram yang kemudian dilarang. Pernah meringkuk di penjara pada 1965 dan 1966. Meringkuk lagi di penjara Salemba sejak 1967 selama 10 tahun.
Namun, atas keberaniannya menerbitkan karya Pram, ia menerima hadiah "Jeri Laber Pour Ia Liberte de l'edition" dari Perhimpunan Para Penerbit Amerika, partner Pen American Center pada April 2004 lalu di New York. Masih ada hadiah sejenis dari Australia dan Belanda.
Majalah MEDIUM pernah menulis Joesoef Isak tatkala berbicara pada "Hari Sastra Indonesia" di Paris pada Oktober 2004 lalu. Saat itu, ia bertutur tentang jalannya interogasi tersebut. Mulanya, ia mengusulkan supaya Kejaksaan Agung menggelar sebuah simposium ahli untuk membicarakan secara obyektif karya Pram.
Tapi ternyata ditolak. Alasannya, interogator lebih paham dari siapapun bahwa "Bumi Manusia" dan "Anak Semua Bangsa" adalah karya sastra Marxis. Anehnya, ketika diinterogasi, aparat kejaksaan meminta Joesoef untuk menunjukkan baris-baris mana yang menunjukkan adanya teori Marxis dalam buku Pram.
Ketika Joesoef diminta meneken berita acara pemeriksaan, para interogator
tersenyum. "Buku-buku Pram luar biasa. Apakah bapak mempunyai eksemplar tersisa? Istri saya belum membacanya. Bisakah bapak mengirimkan satu eksemplar ke rumah saya?" kata si interogator.
"Pak Joesoef hendaknya maklum bahwa apa yang saya lakukan hanyalah melaksanakan perintah atasan," tambah si interogator. "Saya telah disiksa oleh kedunguan interogator, dan interogator telah disiksa oleh atasan mereka yang lebih tinggi tingkat kebodohannya," kata Joesoef.
Kisah ini ditulis oleh Koresponden MEDIUM di Paris. Sebagai Pemred MEDIUM,
tentu dengan rapat redaksi, kami menerbitkannya pada edisi 27 Oktober-9
November 2004, lengkap dengan foto pak Joesoef saat berbincang dengan Adrian
van Dis, seorang pengarang Belanda di Paris.
Di tengah prokontra pelarangan buku sejarah SMP dan SMU itulah, saya mengutip kembali penjelasan Jesoef di Paris untuk sebuah tulisan yang kemudian saya kirimkan via email ke Koran TEMPO, jika tak salah pada 11 Maret 2007, dan terbit pada 17 Maret 2007, dengan judul “Kisah Interogator yang Dungu”. Judul ini saya cuplik dari isi tulisan, yakni ceramah Joesoef Isak di Paris.
Banyak tulisan dan berita yang muncul di media. Antara lain protes PHBI, Jhonson Panjaitan dan Masyarakat Sejarah Indonesia terhadap pelarangan itu, seperti diberitakan oleh TEMPO Interaktif pada 19 Maret 2007. Sejarawan Asvi Warman Adam berkomentar, bahwa istilah obyektif sesuai dokumen 1 Oktober 1965 adalah Gerakan 30 September. Tidak disingkat atau disertai dengan embel-embel apapun, karena bisa mengaburkan fakta sejarah.
PBHI malah melihat keanehan. Misalnya, buku pelajaran kelas 1 SMP yang masih
membahas kerajaan-kerajaan Nusantara belum sampai pada Peristiwa Madiun 1948
dan 1965. Malah ada buku (Grasindo) yang mencantumkan istilah G30S/PKI pun
tetap dilarang.
Saya bukan sejarawan. Tapi wartawan. Rangkaian fakta demi fakta saya sunting
menjadi tulisan. Agar tak kelihatan “dungu”, saya kutip jugalah pendapat
Benedetto Croce seorang filsuf sejarah kelahiran Italia (1866-1952), bahwa
"Every true story is contemporary history (setiap sejarah yang benar adalah
sejarah masa kini). Kebenaran memang relatif.
Benar di suatu masa, sebaliknya di waktu yang lain. Sejarah adalah gambaran masa silam, tapi tak selalu sepersis masa lalu. Siapa pula yang bisa pergi ke hari lalu yang sangat jauh itu?
Menulis sejarah pun tak bisa mengelak dari ide si penulis bertolak dari visi
dan tafsir sendiri. Topik yang sama bisa berbeda di antara beberapa penulis.
Bahkan, bisa dipengaruhi oleh suasana zaman. Saban zaman juga mengalir sehingga ide, penilaian dan tafsir bisa berubah dan tampillah beragam versi.
Ada versi pemerintah, ada versi sejarawan. Buku sejarah yang ditulis tak berhak memonopoli kebenaran, apalagi hendak memperbaiki buku sejarah yang ada, termasuk versi pemerintah. Menulis kembali dengan visi, tafsir dan metodologi yang berbeda, tidak selalu sama hasilnya. Yang beruntung adalah generasi kemudian yang mewarisi kekayaan sejarah. Terpulang merekalah untuk memahaminya secara arif dan rasional.
Memonopoli kebenaran sejarah itu absurd. Apalagi sejarah selalu ditulis tidak pada saat terjadi, tapi jauh setelah peristiwa itu. Merekayasa sejarah yang telah terjadi cenderung mereduksi sejarah. Rekayasa (dalam arti sebenarnya) itu perbuatan ke depan, misalnya seseorang yang hendak memenangkan Pemilihan Presiden. Tetapi, jika Yudhoyono pernah berhasil pada 2004 lalu, sejarah tak mungkin menulis Yudhoyono gagal menjadi presiden pada 2004 lalu, bukan?
***
Jadi wartawan memang lelah. Tapi nikmat, walau tidak selalu. Seingat saya di
bawah tanggal 11 Juni 2007, rekan Daru Priyambodo dari Koran TEMPO mengabarkan (via telepon) bahwa Kapolres Depok menghubungi Koran TEMPO sehubungan pengaduan dari beberapa staf Kejaksaan Negeri Depok. Kejaksaan tersinggung atas tulisan saya di Koran Tempo 17 Maret 2007. Itulah awalnya, saya diperiksa oleh Polres Depok pada 11 Juni 2007.
Saudara Daru sungkan dan tidak mau memberikan alamat saya di Depok kepada Kapolres Depok, tanpa seizin saya, dan memang begitulah aturan main di Koran TEMPO, seperti juga di media lainnya. Sementara, ini adalah soal penegakan
hukum di Negara hukum tersayang ini. Saudara Daru menghadapi dilema. Akhirnya, kami berdua sepakat bahwa Saudara Daru memberi nomor HP pak Kapolres kepada saya, dan terserah saya lah kemudian untuk menghubunginya.
Merasa tulisan saya di Koran TEMPO “biasa” saja, saya beranikan diri menelepon Kapolres Depok. Percakapan, yang hangat, saya kira. Saya sih sudah bisa menebak ujungnya, ketika pak Kapolres ingin bertamu ke rumah saya, hendak bersilaturrahmi. Bagaimana saya bisa menolak silaturrahmi?
Suatu malam beliau bersama staf datang ke rumah saya. Percakapan mengalir enak. Sembari Kapolres mengabarkan tentang ketersinggungan teman-teman di kejaksaan. Jelaslah, ini soal delicte locus.
Saya lupa harinya, tapi saya datang ke Polres Depok, jika tak salah sehari atau dua hari sebelum hari yang ditetapkan dalam surat panggilan polisi pada 11 Juni 2007. Saya pikir apa bedanya diperiksa lusa dan hari ini? Pemeriksaan pun berlangsung, dan sikap teman-teman di Polres cukup bersahabat. Saya jawab semuanya, mengapa saya menulis artikel itu, kapan dan hal lain yang penting.
Termasuk bahwa kutipan “dungu” itu berasal dari pak Joesoef Isak. Adapun dakwaan yang dikenakan adalah pasal 207 KUHP dan pasal 316 yo pasal 310 ayat (1) KUHP tentang pencemaran dan penghinaan.
Hari itu, juga setelah proses BAP, saya mencoba bertemu Kepala Kejaksaan Negeri Depok. Maksudnya, melihat kemungkinan mediasi. Tapi gagal bertemu. Hal mediasi ini pernah saya tawarkan ke Kapolres Depok sewaktu datang ke rumah saya. Beliau bilang bagus juga.
Sayang tak bertemu. Saya hanya bisa bertemu Sdr Pudin Saprudin (PS), staf Kasi Intel Kejari Depok, yang menjadi saksi pelapor kasus ini Ke Polres Depok. Kami ngobrol. Tapi Kepala Kejari Depok sedang tak di tempat sehingga tak bisa bertemu. Sdr PS menjanjikan, akan melaporkannya kepada Kepala Kejari Depok, dan jika mungkin bertemu saya akan ditelepon.
Memang tak ada keharusan agar bertemu. Boleh ya boleh tidak. Saya sadar itu.
Nah, pada suatu hari, di bulan Agustus datanglah panggilan dari Polres Depok, bahwa kasus saya sudah P-21, dan dilimpahkan ke Kejari Depok. Bersama petugas Polres, saya berangkat ke Kejari dan bertemu Sdr Tikyono, yang kemudian menjadi Jaksa Penuntut Umum dalam perkara ini.
Sidang pertama digelar pada 19 September 2007 lalu. Sudah beberapa hari puasa Ramadhan. Saat itu, tiga saksi dari Kejari Depok diperiksa oleh Majelis Hakim kesaksiannya. Seperti saya uraikan dalam pledoi pada 21 November 2007 lalu, juga dalam rilis ke beberapa media, yang kemudian juga muncul di milis jaringan pers, keterangan tiga saksi ini tak saling kompak.
Satu saksi bilang ucapan “dungu” berasal dari pak Joesoef Isak. Dua saksi lainnya berkata dari saya. Tapi setelah dicecar majelis dengan mengkonfirmasikan dengan tulisan di Koran TEMPO itu, keduanya bimbang dan akhirnya menjawab “tidak tahu”.
Sidang kedua, 26 September 2007, adalah pemeriksaan saksi Daru dari Koran
TEMPO, saksi Joesoef Isak dan Frans Asisi, saksi ahli bahasa dari UI, yang
resume keterangannya sudah saya uraikan dalam pers rilis. Lagi-lagi, tak
seorang pun yang menyebutkan bahwa kata “dungu” itu berasal dari saya.
Ada pun tentang pak Joesoef Isak, saya sangat memahami beliau sebagai seorang yang telah berumur 79 tahun. Dalam kesaksiannya, beliau berkata ceramahnya di Paris (2004) lisan, dan tak lagi bisa mengulanginya secara persis.
Saya mengkonfirmasikan ke pak Joesoef Isak, bahwa ada teks pidato beliau di Fordham University New York pada 24 April 1999, yang dibagi-bagikan dalam pertemuan Hari Sastra Indonesia di Paris pada 2004. Karena memang begitulah, laporan koresponden MEDIUM di Paris yang kemudian dimuat Majalah MEDIUM. Saya sendiri memperoleh teks pidato itu dari situs internet Fordham University, yang kemudian saya print out.
Membaca teks pidato itu, pak Joesoef di depan Majelis Hakim dan Jaksa Penuntut Umum di persidangan PN Depok membenarkan, memang itu pidatonya di NY. Saya juga mengkonfirmasikan beberapa alinea dari pidato, yang kemudian dilaporkan Koresponden MEDIUM, dan belakangan saya kutip lagi dalam tulisan di Koran TEMPO, lagi-lagi beliau membenarkannya.
Semua itu telah saya tumpah ruahkan dalam pledoi saya bacakan pada 21 November 2007 lalu.
***
Pekan depan, 28 November, Jaksa Penuntut Umum akan tampil dengan Replik, dan saya dengan Duplik sepekan kemudian. Sesuai hukum acara, maka sepekan berikutnya pula adalah pembacaan vonis majelis hakim.
Lepas dari persoalan teknis peradilan itu, saya memberi judul pledoi saya dengan kalimat: Merindukan Hukum Indonesia yang Demokratis?
Sebagai seorang wartawan, dan bukan pakar hukum, saya memikir-mikir, inilah persoalan yang mendasar. Hukum yang demokratis, di mana, saban orang sama di
depan hukum. Ini juga yang, antara lain, saya kupas dalam pledoi.
Saya didakwa dengan pasal 207 KUHP, yakni pencemaran tertulis terhadap penguasa dan badan umum yang ada di Indonesia, dalam hal ini, instansi Kejaksan Agung, di depan umum. Padahal, bahkan pasal 134, 136 bis dan 137 KUHP tentang penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden pun telah dihapuskan oleh Mahkamah Konstitusi pada 6 Desember 2006 lalu. Dalil MK karena pasal ini bertentangan dengan UUD 1945, dan asas persamaan di depan hukum, yang tak memungkinkan Presiden dan Wakil Presiden punya hak istimewa dibanding warga Negara lainnya.
Apalagi pasal-pasal itu sering dipakai penguasa untuk membungkam aktivis demokrasi yang melakukan kritikdan protes kepada kebijakan pemerintah. Pasal warisan kolonial ini sejatinya dulu juga dipakai kolonial untuk membungkam
pejuang republik. Tak heran setelah kemerdekaan, pasal-pasal itu mendapat kecaman luas dari masyarakat, dan MK mengabulkannya pada 2006 lalu.
Jika pasal yang berhubungan dengan penghinaan Presiden dan Wakil Presiden pun sudah dicabut, apakah martabat penguasa dan badan umum lainnya di negeri ini, maaf, lebih “tinggi” dibanding Presiden dan Wakil Presiden sebagai lembaga (bukan individual)?
Tak heran jika MK menyarankan agar penggunaan pasal 207 KUHP ke depan sebaiknya tak dilakukan, dan menyesuaikannya dengan kondisi berkembang seraya menunggu R KUHP yang baru. Lagi pula yang berkuasa di negeri ini adalah kedaulatan rakyat.
Rakyatlah King Maker yang membuat Anda bisa menjadi Presiden, Wakil Presiden dan anggota parlemen. Adapun penguasa dan Badan Umum lainnya, adalah jelmaan dari kedaulatan rakyat juga. Anda tak bisa menjadi penguasa tanpa adanya rakyat, bukan?
Toh masih ada pasal 310 maupun 316 KUHP yang memungkinkan seseorang yang merasa dihina dapat mengadukan siapapun ke penegak hukum. Itu pulalah yang dilakukan bapak Susilo Bambang Yudhoyomo saat mengadukan Pak Zainal Ma?arif ke Polda Metrojaya. Tapi dalam kasus saya, justru pasal 316 yo 310 KUHP, yang semula ada dalam dakwaan tapi dalam tuntutan telah meminta Majelis Hakim membebaskan saya dari dakwaan alternatif kedua itu. Jaksa Penuntut Umum hanya memakai pasal 207 KUHP.
Saya kira kompotensi mengkritisi pasal 207 KUHP ini tak hanya wilayah pakar
hukum. Tapi semua kita. Termasuk para sejarawan. Bagaimana sebenarnya riwayat dan asal usul pasal ini dalam KUHP kita? Bagimana di Belanda, dari mana kita mengadopsi hukum mereka? Bagimana di Prancis? Konon, Timorleste bahkan tak lagi memakai pasal ini.
***
Saya diperiksa Polres Depok pada Juni 2007. Kemudian, Majalah B-Watch Juli 2007, adalah edisi yang terakhir. Majalah MEDIUM yang berakhir pada awal 2006 pun, bak mengulangi Majalah GAMMA, tempat saya bekerja sejak 1999, dan finished pada 2002 akhir. Bersama beberapa teman eks GAMMA, kami mendirikan Majalah MEDIUM, Febuarari 2003. Usia saya 53 tahun waktu itu.
Ke belakang lagi, saya pernah menjadi stringer TEMPO pada 1978 di Sibolga. Terakhir Kepala Biro TEMPO Sumatera Bagian Utara di Medan hingga majalah ini dibredel pemerintah pada 1994. Masih lanjut ke Majalah GATRA, dan bersama banyak teman eksodus ke GAMMA.
Selalu ada sesuatu di balik sesuatu. B-Watch yang tak lagi terbit sejak Agustus 2007, membuat ketagihan saya menulis di surat kabar memperoleh kemungkinan waktu yang lebih luas pula. “Penyakit” ini semakin merajalela, dan saya tak bisa mengelak.
Saya menulis saban pekan setiap hari Senin di Medan Bisnis di rubrik Weekly Review halaman depan. Senior saya, Ridha K. Liamsi di Riau Pos memberi waktu saban Sabtu setiap pekan. Juga para senior di Harian Analisa Medan juga saban pekan, kadang Senin kadang Selasa. Kadang saya juga menulis di Harian Pikiran Rakyat Bandung, Batak Pos, Sinar Harapan, Sumut Pos Medan, dan Koran TEMPO.
Apakah di hari-hari esok, saya masih menulis lagi, dengan adanya kasus di PN
Depok? Saya tak bisa menebak-nebak, walau hidup kadang seperti teka-teki silang. Mbak Monik dari Radio Utan Kayu mewawancarai saya Rabu malam, 21 November 2007 lalu, setelah sebelumnya diwawancarai by phone, dan bertanya,
“jika Anda dipenjarakan karena kasus itu, apakah Anda akan terus menulis?”
Agak sulit saya menjawabnya. Kata putri saya, juga seorang jurnalis, yang pasti, matahari masih bersinar besok pagi. Rada berbau ABG ya. Adapun tentang kehendak untuk menulis, janganlah sampai sun set, ya Gusti Allah. Saya masih terlalu muda dibanding Mas Goen, apalagi dibanding Rosihan Anwar yang terus saja menulis, dan bukan di atas air.
Menulis tak perlu kapok. Menulis itu bak kapok sambal. Tapi dalam makna sambal Sumatera yang pedas. Sudah tahu pedas, makan sambal juga. Enak, sih. Jika dalam makna sambal Jawa, makin oke pula. Manis pula. Dan dijamin pasal 28 UUD 1945.
(Depok, Pukul 04.00, 22 Nov 2007)
Menulis itu, Kapok Sambal
Oleh Bersihar Lubis
Belum seratus hari saya bekerja di Majalah B-Watch pada awal Maret 2007 itu.
Majalah Berita Dwimingguan MEDIUM, tempat saya bekerja sebelumnya, tak lagi terbit sejak awal 2006. Majalah ini sudah “megap-megap” sejak 2005. Biasalah. Soal modal, dan sebagainya, ?bahaya laten? yang selalu mengintai penerbitan pers. Apa yang bisa saya kerjakan hanya menulis, dan menulis.
Saya sudah menjadi wartawan sejak 1970, menjadi reporter koran Medan, Mercusuar dan Mingguan Taruna Baru. Jadinya, saya “dungu” dan ini bukan dosa --untuk bekerja di bidang lain. Misalnya membuka kedai kopi, atau menjadi pedagang ikan di kampungku, Sibolga yang pantai pasir putih dan rimbunan pohon kelapanya molek di pantai barat Sumatera Utara. Saya juga “dungu” soal nuklir. Yang Maha Tahu segalanya, hanya DIA.
Tak bisa lain saya mulai menulis kolom atau opini di berbagai koran, baik daerah dan nasional sejak awal 2006. Di antaranya, Koran TEMPO. Walau sudah menjadi Wakil Pemred di B-Watch, menulis opini di koran-koran rupanya membuat tagih juga. Saya pikir, lebih “aman”, ketimbang “nyabu-nyabu”.
B-Watch, majalah bulanan itu sudah beredar di awal Maret 2007, sampai kemudian, Masyarakat Sejarah Indonesia dikagetkan oleh pelarangan peredaran buku teks pelajaran SMP dan SMU setingkat oleh Kejaksaan Agung pada 5 Maret 2007.
Alasannya, karena tidak mencantumkan kebenaran sejarah tentang pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun pada 1948 dan Peristiwa Pemberontakan PKI pada 1965. Gerakan 30 September (G30S) 1965 memang tercantum, tetapi tanpa menyebut keterlibatan PKI. "Itu pemutarbalikan fakta sejarah," kata Jaksa Agung Muda Intelijen Muchtar Arifin (kini Wakil Jaksa Agung RI), Jumat 9 Maret lalu kepada pers.
Dalam hati, saya bertanya-tanya, apakah pelarangan buku-buku sejarah untuk “anak-anak” kita itu sudah didasarkan pada telaah ilmiah dari para sejarawan, atau hanya karena sekedar kekuasaan? Seandainya ada bahasan ilmiah yang melibatkan sejarawan seperti Anhar Gonggong, Asvi Warman Adam dan lainnya, mungkin pelarangan itu sedikitnya telah bertolak dari pandangan ilmiah.
Jika buku sejarah yang dilarang oleh Jaksa Agung tersebut tidak mencantumkan
PKI sebagai pemberontak pada 1965, tidak mengherankan. Banyak sekali buku publikasi domestik dan luar negeri yang meragukan keterlibatan PKI, meskipun versi pemerintah menyebut PKI tetap terlibat. Akibatnya, di masyarakat muncul beragam versi yang berbeda, sehingga menurut Jaksa Agung Muda Muchtar dapat menimbulkan keresahan dan pada akhirnya akan mengganggu ketertiban umum.
Berita pelarangan itu beredar di media, juga kontoroversi dan prokontranya. Saya terdorong untuk menulis. Berbagai memori berlarian di benak, tentang sejarah pelarangan buku dan sejenis. Satu di antara yang banyak itu, yang saya ingat adalah kisah pak Joesoef Isak.
Beliau pernah selama sebulan diperiksa oleh Kejaksaan Agung menyusul terbitnya roman "Anak Semua Bangsa" dan “Bumi Manusia” karya Pramoedya Ananta Toer. Joesoef adalah penerbit Hasta Mitra (1980) dan penerbit karya Pram yang kemudian dilarang. Pernah meringkuk di penjara pada 1965 dan 1966. Meringkuk lagi di penjara Salemba sejak 1967 selama 10 tahun.
Namun, atas keberaniannya menerbitkan karya Pram, ia menerima hadiah "Jeri Laber Pour Ia Liberte de l'edition" dari Perhimpunan Para Penerbit Amerika, partner Pen American Center pada April 2004 lalu di New York. Masih ada hadiah sejenis dari Australia dan Belanda.
Majalah MEDIUM pernah menulis Joesoef Isak tatkala berbicara pada "Hari Sastra Indonesia" di Paris pada Oktober 2004 lalu. Saat itu, ia bertutur tentang jalannya interogasi tersebut. Mulanya, ia mengusulkan supaya Kejaksaan Agung menggelar sebuah simposium ahli untuk membicarakan secara obyektif karya Pram.
Tapi ternyata ditolak. Alasannya, interogator lebih paham dari siapapun bahwa "Bumi Manusia" dan "Anak Semua Bangsa" adalah karya sastra Marxis. Anehnya, ketika diinterogasi, aparat kejaksaan meminta Joesoef untuk menunjukkan baris-baris mana yang menunjukkan adanya teori Marxis dalam buku Pram.
Ketika Joesoef diminta meneken berita acara pemeriksaan, para interogator
tersenyum. "Buku-buku Pram luar biasa. Apakah bapak mempunyai eksemplar tersisa? Istri saya belum membacanya. Bisakah bapak mengirimkan satu eksemplar ke rumah saya?" kata si interogator.
"Pak Joesoef hendaknya maklum bahwa apa yang saya lakukan hanyalah melaksanakan perintah atasan," tambah si interogator. "Saya telah disiksa oleh kedunguan interogator, dan interogator telah disiksa oleh atasan mereka yang lebih tinggi tingkat kebodohannya," kata Joesoef.
Kisah ini ditulis oleh Koresponden MEDIUM di Paris. Sebagai Pemred MEDIUM,
tentu dengan rapat redaksi, kami menerbitkannya pada edisi 27 Oktober-9
November 2004, lengkap dengan foto pak Joesoef saat berbincang dengan Adrian
van Dis, seorang pengarang Belanda di Paris.
Di tengah prokontra pelarangan buku sejarah SMP dan SMU itulah, saya mengutip kembali penjelasan Jesoef di Paris untuk sebuah tulisan yang kemudian saya kirimkan via email ke Koran TEMPO, jika tak salah pada 11 Maret 2007, dan terbit pada 17 Maret 2007, dengan judul “Kisah Interogator yang Dungu”. Judul ini saya cuplik dari isi tulisan, yakni ceramah Joesoef Isak di Paris.
Banyak tulisan dan berita yang muncul di media. Antara lain protes PHBI, Jhonson Panjaitan dan Masyarakat Sejarah Indonesia terhadap pelarangan itu, seperti diberitakan oleh TEMPO Interaktif pada 19 Maret 2007. Sejarawan Asvi Warman Adam berkomentar, bahwa istilah obyektif sesuai dokumen 1 Oktober 1965 adalah Gerakan 30 September. Tidak disingkat atau disertai dengan embel-embel apapun, karena bisa mengaburkan fakta sejarah.
PBHI malah melihat keanehan. Misalnya, buku pelajaran kelas 1 SMP yang masih
membahas kerajaan-kerajaan Nusantara belum sampai pada Peristiwa Madiun 1948
dan 1965. Malah ada buku (Grasindo) yang mencantumkan istilah G30S/PKI pun
tetap dilarang.
Saya bukan sejarawan. Tapi wartawan. Rangkaian fakta demi fakta saya sunting
menjadi tulisan. Agar tak kelihatan “dungu”, saya kutip jugalah pendapat
Benedetto Croce seorang filsuf sejarah kelahiran Italia (1866-1952), bahwa
"Every true story is contemporary history (setiap sejarah yang benar adalah
sejarah masa kini). Kebenaran memang relatif.
Benar di suatu masa, sebaliknya di waktu yang lain. Sejarah adalah gambaran masa silam, tapi tak selalu sepersis masa lalu. Siapa pula yang bisa pergi ke hari lalu yang sangat jauh itu?
Menulis sejarah pun tak bisa mengelak dari ide si penulis bertolak dari visi
dan tafsir sendiri. Topik yang sama bisa berbeda di antara beberapa penulis.
Bahkan, bisa dipengaruhi oleh suasana zaman. Saban zaman juga mengalir sehingga ide, penilaian dan tafsir bisa berubah dan tampillah beragam versi.
Ada versi pemerintah, ada versi sejarawan. Buku sejarah yang ditulis tak berhak memonopoli kebenaran, apalagi hendak memperbaiki buku sejarah yang ada, termasuk versi pemerintah. Menulis kembali dengan visi, tafsir dan metodologi yang berbeda, tidak selalu sama hasilnya. Yang beruntung adalah generasi kemudian yang mewarisi kekayaan sejarah. Terpulang merekalah untuk memahaminya secara arif dan rasional.
Memonopoli kebenaran sejarah itu absurd. Apalagi sejarah selalu ditulis tidak pada saat terjadi, tapi jauh setelah peristiwa itu. Merekayasa sejarah yang telah terjadi cenderung mereduksi sejarah. Rekayasa (dalam arti sebenarnya) itu perbuatan ke depan, misalnya seseorang yang hendak memenangkan Pemilihan Presiden. Tetapi, jika Yudhoyono pernah berhasil pada 2004 lalu, sejarah tak mungkin menulis Yudhoyono gagal menjadi presiden pada 2004 lalu, bukan?
***
Jadi wartawan memang lelah. Tapi nikmat, walau tidak selalu. Seingat saya di
bawah tanggal 11 Juni 2007, rekan Daru Priyambodo dari Koran TEMPO mengabarkan (via telepon) bahwa Kapolres Depok menghubungi Koran TEMPO sehubungan pengaduan dari beberapa staf Kejaksaan Negeri Depok. Kejaksaan tersinggung atas tulisan saya di Koran Tempo 17 Maret 2007. Itulah awalnya, saya diperiksa oleh Polres Depok pada 11 Juni 2007.
Saudara Daru sungkan dan tidak mau memberikan alamat saya di Depok kepada Kapolres Depok, tanpa seizin saya, dan memang begitulah aturan main di Koran TEMPO, seperti juga di media lainnya. Sementara, ini adalah soal penegakan
hukum di Negara hukum tersayang ini. Saudara Daru menghadapi dilema. Akhirnya, kami berdua sepakat bahwa Saudara Daru memberi nomor HP pak Kapolres kepada saya, dan terserah saya lah kemudian untuk menghubunginya.
Merasa tulisan saya di Koran TEMPO “biasa” saja, saya beranikan diri menelepon Kapolres Depok. Percakapan, yang hangat, saya kira. Saya sih sudah bisa menebak ujungnya, ketika pak Kapolres ingin bertamu ke rumah saya, hendak bersilaturrahmi. Bagaimana saya bisa menolak silaturrahmi?
Suatu malam beliau bersama staf datang ke rumah saya. Percakapan mengalir enak. Sembari Kapolres mengabarkan tentang ketersinggungan teman-teman di kejaksaan. Jelaslah, ini soal delicte locus.
Saya lupa harinya, tapi saya datang ke Polres Depok, jika tak salah sehari atau dua hari sebelum hari yang ditetapkan dalam surat panggilan polisi pada 11 Juni 2007. Saya pikir apa bedanya diperiksa lusa dan hari ini? Pemeriksaan pun berlangsung, dan sikap teman-teman di Polres cukup bersahabat. Saya jawab semuanya, mengapa saya menulis artikel itu, kapan dan hal lain yang penting.
Termasuk bahwa kutipan “dungu” itu berasal dari pak Joesoef Isak. Adapun dakwaan yang dikenakan adalah pasal 207 KUHP dan pasal 316 yo pasal 310 ayat (1) KUHP tentang pencemaran dan penghinaan.
Hari itu, juga setelah proses BAP, saya mencoba bertemu Kepala Kejaksaan Negeri Depok. Maksudnya, melihat kemungkinan mediasi. Tapi gagal bertemu. Hal mediasi ini pernah saya tawarkan ke Kapolres Depok sewaktu datang ke rumah saya. Beliau bilang bagus juga.
Sayang tak bertemu. Saya hanya bisa bertemu Sdr Pudin Saprudin (PS), staf Kasi Intel Kejari Depok, yang menjadi saksi pelapor kasus ini Ke Polres Depok. Kami ngobrol. Tapi Kepala Kejari Depok sedang tak di tempat sehingga tak bisa bertemu. Sdr PS menjanjikan, akan melaporkannya kepada Kepala Kejari Depok, dan jika mungkin bertemu saya akan ditelepon.
Memang tak ada keharusan agar bertemu. Boleh ya boleh tidak. Saya sadar itu.
Nah, pada suatu hari, di bulan Agustus datanglah panggilan dari Polres Depok, bahwa kasus saya sudah P-21, dan dilimpahkan ke Kejari Depok. Bersama petugas Polres, saya berangkat ke Kejari dan bertemu Sdr Tikyono, yang kemudian menjadi Jaksa Penuntut Umum dalam perkara ini.
Sidang pertama digelar pada 19 September 2007 lalu. Sudah beberapa hari puasa Ramadhan. Saat itu, tiga saksi dari Kejari Depok diperiksa oleh Majelis Hakim kesaksiannya. Seperti saya uraikan dalam pledoi pada 21 November 2007 lalu, juga dalam rilis ke beberapa media, yang kemudian juga muncul di milis jaringan pers, keterangan tiga saksi ini tak saling kompak.
Satu saksi bilang ucapan “dungu” berasal dari pak Joesoef Isak. Dua saksi lainnya berkata dari saya. Tapi setelah dicecar majelis dengan mengkonfirmasikan dengan tulisan di Koran TEMPO itu, keduanya bimbang dan akhirnya menjawab “tidak tahu”.
Sidang kedua, 26 September 2007, adalah pemeriksaan saksi Daru dari Koran
TEMPO, saksi Joesoef Isak dan Frans Asisi, saksi ahli bahasa dari UI, yang
resume keterangannya sudah saya uraikan dalam pers rilis. Lagi-lagi, tak
seorang pun yang menyebutkan bahwa kata “dungu” itu berasal dari saya.
Ada pun tentang pak Joesoef Isak, saya sangat memahami beliau sebagai seorang yang telah berumur 79 tahun. Dalam kesaksiannya, beliau berkata ceramahnya di Paris (2004) lisan, dan tak lagi bisa mengulanginya secara persis.
Saya mengkonfirmasikan ke pak Joesoef Isak, bahwa ada teks pidato beliau di Fordham University New York pada 24 April 1999, yang dibagi-bagikan dalam pertemuan Hari Sastra Indonesia di Paris pada 2004. Karena memang begitulah, laporan koresponden MEDIUM di Paris yang kemudian dimuat Majalah MEDIUM. Saya sendiri memperoleh teks pidato itu dari situs internet Fordham University, yang kemudian saya print out.
Membaca teks pidato itu, pak Joesoef di depan Majelis Hakim dan Jaksa Penuntut Umum di persidangan PN Depok membenarkan, memang itu pidatonya di NY. Saya juga mengkonfirmasikan beberapa alinea dari pidato, yang kemudian dilaporkan Koresponden MEDIUM, dan belakangan saya kutip lagi dalam tulisan di Koran TEMPO, lagi-lagi beliau membenarkannya.
Semua itu telah saya tumpah ruahkan dalam pledoi saya bacakan pada 21 November 2007 lalu.
***
Pekan depan, 28 November, Jaksa Penuntut Umum akan tampil dengan Replik, dan saya dengan Duplik sepekan kemudian. Sesuai hukum acara, maka sepekan berikutnya pula adalah pembacaan vonis majelis hakim.
Lepas dari persoalan teknis peradilan itu, saya memberi judul pledoi saya dengan kalimat: Merindukan Hukum Indonesia yang Demokratis?
Sebagai seorang wartawan, dan bukan pakar hukum, saya memikir-mikir, inilah persoalan yang mendasar. Hukum yang demokratis, di mana, saban orang sama di
depan hukum. Ini juga yang, antara lain, saya kupas dalam pledoi.
Saya didakwa dengan pasal 207 KUHP, yakni pencemaran tertulis terhadap penguasa dan badan umum yang ada di Indonesia, dalam hal ini, instansi Kejaksan Agung, di depan umum. Padahal, bahkan pasal 134, 136 bis dan 137 KUHP tentang penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden pun telah dihapuskan oleh Mahkamah Konstitusi pada 6 Desember 2006 lalu. Dalil MK karena pasal ini bertentangan dengan UUD 1945, dan asas persamaan di depan hukum, yang tak memungkinkan Presiden dan Wakil Presiden punya hak istimewa dibanding warga Negara lainnya.
Apalagi pasal-pasal itu sering dipakai penguasa untuk membungkam aktivis demokrasi yang melakukan kritikdan protes kepada kebijakan pemerintah. Pasal warisan kolonial ini sejatinya dulu juga dipakai kolonial untuk membungkam
pejuang republik. Tak heran setelah kemerdekaan, pasal-pasal itu mendapat kecaman luas dari masyarakat, dan MK mengabulkannya pada 2006 lalu.
Jika pasal yang berhubungan dengan penghinaan Presiden dan Wakil Presiden pun sudah dicabut, apakah martabat penguasa dan badan umum lainnya di negeri ini, maaf, lebih “tinggi” dibanding Presiden dan Wakil Presiden sebagai lembaga (bukan individual)?
Tak heran jika MK menyarankan agar penggunaan pasal 207 KUHP ke depan sebaiknya tak dilakukan, dan menyesuaikannya dengan kondisi berkembang seraya menunggu R KUHP yang baru. Lagi pula yang berkuasa di negeri ini adalah kedaulatan rakyat.
Rakyatlah King Maker yang membuat Anda bisa menjadi Presiden, Wakil Presiden dan anggota parlemen. Adapun penguasa dan Badan Umum lainnya, adalah jelmaan dari kedaulatan rakyat juga. Anda tak bisa menjadi penguasa tanpa adanya rakyat, bukan?
Toh masih ada pasal 310 maupun 316 KUHP yang memungkinkan seseorang yang merasa dihina dapat mengadukan siapapun ke penegak hukum. Itu pulalah yang dilakukan bapak Susilo Bambang Yudhoyomo saat mengadukan Pak Zainal Ma?arif ke Polda Metrojaya. Tapi dalam kasus saya, justru pasal 316 yo 310 KUHP, yang semula ada dalam dakwaan tapi dalam tuntutan telah meminta Majelis Hakim membebaskan saya dari dakwaan alternatif kedua itu. Jaksa Penuntut Umum hanya memakai pasal 207 KUHP.
Saya kira kompotensi mengkritisi pasal 207 KUHP ini tak hanya wilayah pakar
hukum. Tapi semua kita. Termasuk para sejarawan. Bagaimana sebenarnya riwayat dan asal usul pasal ini dalam KUHP kita? Bagimana di Belanda, dari mana kita mengadopsi hukum mereka? Bagimana di Prancis? Konon, Timorleste bahkan tak lagi memakai pasal ini.
***
Saya diperiksa Polres Depok pada Juni 2007. Kemudian, Majalah B-Watch Juli 2007, adalah edisi yang terakhir. Majalah MEDIUM yang berakhir pada awal 2006 pun, bak mengulangi Majalah GAMMA, tempat saya bekerja sejak 1999, dan finished pada 2002 akhir. Bersama beberapa teman eks GAMMA, kami mendirikan Majalah MEDIUM, Febuarari 2003. Usia saya 53 tahun waktu itu.
Ke belakang lagi, saya pernah menjadi stringer TEMPO pada 1978 di Sibolga. Terakhir Kepala Biro TEMPO Sumatera Bagian Utara di Medan hingga majalah ini dibredel pemerintah pada 1994. Masih lanjut ke Majalah GATRA, dan bersama banyak teman eksodus ke GAMMA.
Selalu ada sesuatu di balik sesuatu. B-Watch yang tak lagi terbit sejak Agustus 2007, membuat ketagihan saya menulis di surat kabar memperoleh kemungkinan waktu yang lebih luas pula. “Penyakit” ini semakin merajalela, dan saya tak bisa mengelak.
Saya menulis saban pekan setiap hari Senin di Medan Bisnis di rubrik Weekly Review halaman depan. Senior saya, Ridha K. Liamsi di Riau Pos memberi waktu saban Sabtu setiap pekan. Juga para senior di Harian Analisa Medan juga saban pekan, kadang Senin kadang Selasa. Kadang saya juga menulis di Harian Pikiran Rakyat Bandung, Batak Pos, Sinar Harapan, Sumut Pos Medan, dan Koran TEMPO.
Apakah di hari-hari esok, saya masih menulis lagi, dengan adanya kasus di PN
Depok? Saya tak bisa menebak-nebak, walau hidup kadang seperti teka-teki silang. Mbak Monik dari Radio Utan Kayu mewawancarai saya Rabu malam, 21 November 2007 lalu, setelah sebelumnya diwawancarai by phone, dan bertanya,
“jika Anda dipenjarakan karena kasus itu, apakah Anda akan terus menulis?”
Agak sulit saya menjawabnya. Kata putri saya, juga seorang jurnalis, yang pasti, matahari masih bersinar besok pagi. Rada berbau ABG ya. Adapun tentang kehendak untuk menulis, janganlah sampai sun set, ya Gusti Allah. Saya masih terlalu muda dibanding Mas Goen, apalagi dibanding Rosihan Anwar yang terus saja menulis, dan bukan di atas air.
Menulis tak perlu kapok. Menulis itu bak kapok sambal. Tapi dalam makna sambal Sumatera yang pedas. Sudah tahu pedas, makan sambal juga. Enak, sih. Jika dalam makna sambal Jawa, makin oke pula. Manis pula. Dan dijamin pasal 28 UUD 1945.
(Depok, Pukul 04.00, 22 Nov 2007)
Belum seratus hari saya bekerja di Majalah B-Watch pada awal Maret 2007 itu.
Majalah Berita Dwimingguan MEDIUM, tempat saya bekerja sebelumnya, tak lagi terbit sejak awal 2006. Majalah ini sudah “megap-megap” sejak 2005. Biasalah. Soal modal, dan sebagainya, ?bahaya laten? yang selalu mengintai penerbitan pers. Apa yang bisa saya kerjakan hanya menulis, dan menulis.
Saya sudah menjadi wartawan sejak 1970, menjadi reporter koran Medan, Mercusuar dan Mingguan Taruna Baru. Jadinya, saya “dungu” dan ini bukan dosa --untuk bekerja di bidang lain. Misalnya membuka kedai kopi, atau menjadi pedagang ikan di kampungku, Sibolga yang pantai pasir putih dan rimbunan pohon kelapanya molek di pantai barat Sumatera Utara. Saya juga “dungu” soal nuklir. Yang Maha Tahu segalanya, hanya DIA.
Tak bisa lain saya mulai menulis kolom atau opini di berbagai koran, baik daerah dan nasional sejak awal 2006. Di antaranya, Koran TEMPO. Walau sudah menjadi Wakil Pemred di B-Watch, menulis opini di koran-koran rupanya membuat tagih juga. Saya pikir, lebih “aman”, ketimbang “nyabu-nyabu”.
B-Watch, majalah bulanan itu sudah beredar di awal Maret 2007, sampai kemudian, Masyarakat Sejarah Indonesia dikagetkan oleh pelarangan peredaran buku teks pelajaran SMP dan SMU setingkat oleh Kejaksaan Agung pada 5 Maret 2007.
Alasannya, karena tidak mencantumkan kebenaran sejarah tentang pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun pada 1948 dan Peristiwa Pemberontakan PKI pada 1965. Gerakan 30 September (G30S) 1965 memang tercantum, tetapi tanpa menyebut keterlibatan PKI. "Itu pemutarbalikan fakta sejarah," kata Jaksa Agung Muda Intelijen Muchtar Arifin (kini Wakil Jaksa Agung RI), Jumat 9 Maret lalu kepada pers.
Dalam hati, saya bertanya-tanya, apakah pelarangan buku-buku sejarah untuk “anak-anak” kita itu sudah didasarkan pada telaah ilmiah dari para sejarawan, atau hanya karena sekedar kekuasaan? Seandainya ada bahasan ilmiah yang melibatkan sejarawan seperti Anhar Gonggong, Asvi Warman Adam dan lainnya, mungkin pelarangan itu sedikitnya telah bertolak dari pandangan ilmiah.
Jika buku sejarah yang dilarang oleh Jaksa Agung tersebut tidak mencantumkan
PKI sebagai pemberontak pada 1965, tidak mengherankan. Banyak sekali buku publikasi domestik dan luar negeri yang meragukan keterlibatan PKI, meskipun versi pemerintah menyebut PKI tetap terlibat. Akibatnya, di masyarakat muncul beragam versi yang berbeda, sehingga menurut Jaksa Agung Muda Muchtar dapat menimbulkan keresahan dan pada akhirnya akan mengganggu ketertiban umum.
Berita pelarangan itu beredar di media, juga kontoroversi dan prokontranya. Saya terdorong untuk menulis. Berbagai memori berlarian di benak, tentang sejarah pelarangan buku dan sejenis. Satu di antara yang banyak itu, yang saya ingat adalah kisah pak Joesoef Isak.
Beliau pernah selama sebulan diperiksa oleh Kejaksaan Agung menyusul terbitnya roman "Anak Semua Bangsa" dan “Bumi Manusia” karya Pramoedya Ananta Toer. Joesoef adalah penerbit Hasta Mitra (1980) dan penerbit karya Pram yang kemudian dilarang. Pernah meringkuk di penjara pada 1965 dan 1966. Meringkuk lagi di penjara Salemba sejak 1967 selama 10 tahun.
Namun, atas keberaniannya menerbitkan karya Pram, ia menerima hadiah "Jeri Laber Pour Ia Liberte de l'edition" dari Perhimpunan Para Penerbit Amerika, partner Pen American Center pada April 2004 lalu di New York. Masih ada hadiah sejenis dari Australia dan Belanda.
Majalah MEDIUM pernah menulis Joesoef Isak tatkala berbicara pada "Hari Sastra Indonesia" di Paris pada Oktober 2004 lalu. Saat itu, ia bertutur tentang jalannya interogasi tersebut. Mulanya, ia mengusulkan supaya Kejaksaan Agung menggelar sebuah simposium ahli untuk membicarakan secara obyektif karya Pram.
Tapi ternyata ditolak. Alasannya, interogator lebih paham dari siapapun bahwa "Bumi Manusia" dan "Anak Semua Bangsa" adalah karya sastra Marxis. Anehnya, ketika diinterogasi, aparat kejaksaan meminta Joesoef untuk menunjukkan baris-baris mana yang menunjukkan adanya teori Marxis dalam buku Pram.
Ketika Joesoef diminta meneken berita acara pemeriksaan, para interogator
tersenyum. "Buku-buku Pram luar biasa. Apakah bapak mempunyai eksemplar tersisa? Istri saya belum membacanya. Bisakah bapak mengirimkan satu eksemplar ke rumah saya?" kata si interogator.
"Pak Joesoef hendaknya maklum bahwa apa yang saya lakukan hanyalah melaksanakan perintah atasan," tambah si interogator. "Saya telah disiksa oleh kedunguan interogator, dan interogator telah disiksa oleh atasan mereka yang lebih tinggi tingkat kebodohannya," kata Joesoef.
Kisah ini ditulis oleh Koresponden MEDIUM di Paris. Sebagai Pemred MEDIUM,
tentu dengan rapat redaksi, kami menerbitkannya pada edisi 27 Oktober-9
November 2004, lengkap dengan foto pak Joesoef saat berbincang dengan Adrian
van Dis, seorang pengarang Belanda di Paris.
Di tengah prokontra pelarangan buku sejarah SMP dan SMU itulah, saya mengutip kembali penjelasan Jesoef di Paris untuk sebuah tulisan yang kemudian saya kirimkan via email ke Koran TEMPO, jika tak salah pada 11 Maret 2007, dan terbit pada 17 Maret 2007, dengan judul “Kisah Interogator yang Dungu”. Judul ini saya cuplik dari isi tulisan, yakni ceramah Joesoef Isak di Paris.
Banyak tulisan dan berita yang muncul di media. Antara lain protes PHBI, Jhonson Panjaitan dan Masyarakat Sejarah Indonesia terhadap pelarangan itu, seperti diberitakan oleh TEMPO Interaktif pada 19 Maret 2007. Sejarawan Asvi Warman Adam berkomentar, bahwa istilah obyektif sesuai dokumen 1 Oktober 1965 adalah Gerakan 30 September. Tidak disingkat atau disertai dengan embel-embel apapun, karena bisa mengaburkan fakta sejarah.
PBHI malah melihat keanehan. Misalnya, buku pelajaran kelas 1 SMP yang masih
membahas kerajaan-kerajaan Nusantara belum sampai pada Peristiwa Madiun 1948
dan 1965. Malah ada buku (Grasindo) yang mencantumkan istilah G30S/PKI pun
tetap dilarang.
Saya bukan sejarawan. Tapi wartawan. Rangkaian fakta demi fakta saya sunting
menjadi tulisan. Agar tak kelihatan “dungu”, saya kutip jugalah pendapat
Benedetto Croce seorang filsuf sejarah kelahiran Italia (1866-1952), bahwa
"Every true story is contemporary history (setiap sejarah yang benar adalah
sejarah masa kini). Kebenaran memang relatif.
Benar di suatu masa, sebaliknya di waktu yang lain. Sejarah adalah gambaran masa silam, tapi tak selalu sepersis masa lalu. Siapa pula yang bisa pergi ke hari lalu yang sangat jauh itu?
Menulis sejarah pun tak bisa mengelak dari ide si penulis bertolak dari visi
dan tafsir sendiri. Topik yang sama bisa berbeda di antara beberapa penulis.
Bahkan, bisa dipengaruhi oleh suasana zaman. Saban zaman juga mengalir sehingga ide, penilaian dan tafsir bisa berubah dan tampillah beragam versi.
Ada versi pemerintah, ada versi sejarawan. Buku sejarah yang ditulis tak berhak memonopoli kebenaran, apalagi hendak memperbaiki buku sejarah yang ada, termasuk versi pemerintah. Menulis kembali dengan visi, tafsir dan metodologi yang berbeda, tidak selalu sama hasilnya. Yang beruntung adalah generasi kemudian yang mewarisi kekayaan sejarah. Terpulang merekalah untuk memahaminya secara arif dan rasional.
Memonopoli kebenaran sejarah itu absurd. Apalagi sejarah selalu ditulis tidak pada saat terjadi, tapi jauh setelah peristiwa itu. Merekayasa sejarah yang telah terjadi cenderung mereduksi sejarah. Rekayasa (dalam arti sebenarnya) itu perbuatan ke depan, misalnya seseorang yang hendak memenangkan Pemilihan Presiden. Tetapi, jika Yudhoyono pernah berhasil pada 2004 lalu, sejarah tak mungkin menulis Yudhoyono gagal menjadi presiden pada 2004 lalu, bukan?
***
Jadi wartawan memang lelah. Tapi nikmat, walau tidak selalu. Seingat saya di
bawah tanggal 11 Juni 2007, rekan Daru Priyambodo dari Koran TEMPO mengabarkan (via telepon) bahwa Kapolres Depok menghubungi Koran TEMPO sehubungan pengaduan dari beberapa staf Kejaksaan Negeri Depok. Kejaksaan tersinggung atas tulisan saya di Koran Tempo 17 Maret 2007. Itulah awalnya, saya diperiksa oleh Polres Depok pada 11 Juni 2007.
Saudara Daru sungkan dan tidak mau memberikan alamat saya di Depok kepada Kapolres Depok, tanpa seizin saya, dan memang begitulah aturan main di Koran TEMPO, seperti juga di media lainnya. Sementara, ini adalah soal penegakan
hukum di Negara hukum tersayang ini. Saudara Daru menghadapi dilema. Akhirnya, kami berdua sepakat bahwa Saudara Daru memberi nomor HP pak Kapolres kepada saya, dan terserah saya lah kemudian untuk menghubunginya.
Merasa tulisan saya di Koran TEMPO “biasa” saja, saya beranikan diri menelepon Kapolres Depok. Percakapan, yang hangat, saya kira. Saya sih sudah bisa menebak ujungnya, ketika pak Kapolres ingin bertamu ke rumah saya, hendak bersilaturrahmi. Bagaimana saya bisa menolak silaturrahmi?
Suatu malam beliau bersama staf datang ke rumah saya. Percakapan mengalir enak. Sembari Kapolres mengabarkan tentang ketersinggungan teman-teman di kejaksaan. Jelaslah, ini soal delicte locus.
Saya lupa harinya, tapi saya datang ke Polres Depok, jika tak salah sehari atau dua hari sebelum hari yang ditetapkan dalam surat panggilan polisi pada 11 Juni 2007. Saya pikir apa bedanya diperiksa lusa dan hari ini? Pemeriksaan pun berlangsung, dan sikap teman-teman di Polres cukup bersahabat. Saya jawab semuanya, mengapa saya menulis artikel itu, kapan dan hal lain yang penting.
Termasuk bahwa kutipan “dungu” itu berasal dari pak Joesoef Isak. Adapun dakwaan yang dikenakan adalah pasal 207 KUHP dan pasal 316 yo pasal 310 ayat (1) KUHP tentang pencemaran dan penghinaan.
Hari itu, juga setelah proses BAP, saya mencoba bertemu Kepala Kejaksaan Negeri Depok. Maksudnya, melihat kemungkinan mediasi. Tapi gagal bertemu. Hal mediasi ini pernah saya tawarkan ke Kapolres Depok sewaktu datang ke rumah saya. Beliau bilang bagus juga.
Sayang tak bertemu. Saya hanya bisa bertemu Sdr Pudin Saprudin (PS), staf Kasi Intel Kejari Depok, yang menjadi saksi pelapor kasus ini Ke Polres Depok. Kami ngobrol. Tapi Kepala Kejari Depok sedang tak di tempat sehingga tak bisa bertemu. Sdr PS menjanjikan, akan melaporkannya kepada Kepala Kejari Depok, dan jika mungkin bertemu saya akan ditelepon.
Memang tak ada keharusan agar bertemu. Boleh ya boleh tidak. Saya sadar itu.
Nah, pada suatu hari, di bulan Agustus datanglah panggilan dari Polres Depok, bahwa kasus saya sudah P-21, dan dilimpahkan ke Kejari Depok. Bersama petugas Polres, saya berangkat ke Kejari dan bertemu Sdr Tikyono, yang kemudian menjadi Jaksa Penuntut Umum dalam perkara ini.
Sidang pertama digelar pada 19 September 2007 lalu. Sudah beberapa hari puasa Ramadhan. Saat itu, tiga saksi dari Kejari Depok diperiksa oleh Majelis Hakim kesaksiannya. Seperti saya uraikan dalam pledoi pada 21 November 2007 lalu, juga dalam rilis ke beberapa media, yang kemudian juga muncul di milis jaringan pers, keterangan tiga saksi ini tak saling kompak.
Satu saksi bilang ucapan “dungu” berasal dari pak Joesoef Isak. Dua saksi lainnya berkata dari saya. Tapi setelah dicecar majelis dengan mengkonfirmasikan dengan tulisan di Koran TEMPO itu, keduanya bimbang dan akhirnya menjawab “tidak tahu”.
Sidang kedua, 26 September 2007, adalah pemeriksaan saksi Daru dari Koran
TEMPO, saksi Joesoef Isak dan Frans Asisi, saksi ahli bahasa dari UI, yang
resume keterangannya sudah saya uraikan dalam pers rilis. Lagi-lagi, tak
seorang pun yang menyebutkan bahwa kata “dungu” itu berasal dari saya.
Ada pun tentang pak Joesoef Isak, saya sangat memahami beliau sebagai seorang yang telah berumur 79 tahun. Dalam kesaksiannya, beliau berkata ceramahnya di Paris (2004) lisan, dan tak lagi bisa mengulanginya secara persis.
Saya mengkonfirmasikan ke pak Joesoef Isak, bahwa ada teks pidato beliau di Fordham University New York pada 24 April 1999, yang dibagi-bagikan dalam pertemuan Hari Sastra Indonesia di Paris pada 2004. Karena memang begitulah, laporan koresponden MEDIUM di Paris yang kemudian dimuat Majalah MEDIUM. Saya sendiri memperoleh teks pidato itu dari situs internet Fordham University, yang kemudian saya print out.
Membaca teks pidato itu, pak Joesoef di depan Majelis Hakim dan Jaksa Penuntut Umum di persidangan PN Depok membenarkan, memang itu pidatonya di NY. Saya juga mengkonfirmasikan beberapa alinea dari pidato, yang kemudian dilaporkan Koresponden MEDIUM, dan belakangan saya kutip lagi dalam tulisan di Koran TEMPO, lagi-lagi beliau membenarkannya.
Semua itu telah saya tumpah ruahkan dalam pledoi saya bacakan pada 21 November 2007 lalu.
***
Pekan depan, 28 November, Jaksa Penuntut Umum akan tampil dengan Replik, dan saya dengan Duplik sepekan kemudian. Sesuai hukum acara, maka sepekan berikutnya pula adalah pembacaan vonis majelis hakim.
Lepas dari persoalan teknis peradilan itu, saya memberi judul pledoi saya dengan kalimat: Merindukan Hukum Indonesia yang Demokratis?
Sebagai seorang wartawan, dan bukan pakar hukum, saya memikir-mikir, inilah persoalan yang mendasar. Hukum yang demokratis, di mana, saban orang sama di
depan hukum. Ini juga yang, antara lain, saya kupas dalam pledoi.
Saya didakwa dengan pasal 207 KUHP, yakni pencemaran tertulis terhadap penguasa dan badan umum yang ada di Indonesia, dalam hal ini, instansi Kejaksan Agung, di depan umum. Padahal, bahkan pasal 134, 136 bis dan 137 KUHP tentang penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden pun telah dihapuskan oleh Mahkamah Konstitusi pada 6 Desember 2006 lalu. Dalil MK karena pasal ini bertentangan dengan UUD 1945, dan asas persamaan di depan hukum, yang tak memungkinkan Presiden dan Wakil Presiden punya hak istimewa dibanding warga Negara lainnya.
Apalagi pasal-pasal itu sering dipakai penguasa untuk membungkam aktivis demokrasi yang melakukan kritikdan protes kepada kebijakan pemerintah. Pasal warisan kolonial ini sejatinya dulu juga dipakai kolonial untuk membungkam
pejuang republik. Tak heran setelah kemerdekaan, pasal-pasal itu mendapat kecaman luas dari masyarakat, dan MK mengabulkannya pada 2006 lalu.
Jika pasal yang berhubungan dengan penghinaan Presiden dan Wakil Presiden pun sudah dicabut, apakah martabat penguasa dan badan umum lainnya di negeri ini, maaf, lebih “tinggi” dibanding Presiden dan Wakil Presiden sebagai lembaga (bukan individual)?
Tak heran jika MK menyarankan agar penggunaan pasal 207 KUHP ke depan sebaiknya tak dilakukan, dan menyesuaikannya dengan kondisi berkembang seraya menunggu R KUHP yang baru. Lagi pula yang berkuasa di negeri ini adalah kedaulatan rakyat.
Rakyatlah King Maker yang membuat Anda bisa menjadi Presiden, Wakil Presiden dan anggota parlemen. Adapun penguasa dan Badan Umum lainnya, adalah jelmaan dari kedaulatan rakyat juga. Anda tak bisa menjadi penguasa tanpa adanya rakyat, bukan?
Toh masih ada pasal 310 maupun 316 KUHP yang memungkinkan seseorang yang merasa dihina dapat mengadukan siapapun ke penegak hukum. Itu pulalah yang dilakukan bapak Susilo Bambang Yudhoyomo saat mengadukan Pak Zainal Ma?arif ke Polda Metrojaya. Tapi dalam kasus saya, justru pasal 316 yo 310 KUHP, yang semula ada dalam dakwaan tapi dalam tuntutan telah meminta Majelis Hakim membebaskan saya dari dakwaan alternatif kedua itu. Jaksa Penuntut Umum hanya memakai pasal 207 KUHP.
Saya kira kompotensi mengkritisi pasal 207 KUHP ini tak hanya wilayah pakar
hukum. Tapi semua kita. Termasuk para sejarawan. Bagaimana sebenarnya riwayat dan asal usul pasal ini dalam KUHP kita? Bagimana di Belanda, dari mana kita mengadopsi hukum mereka? Bagimana di Prancis? Konon, Timorleste bahkan tak lagi memakai pasal ini.
***
Saya diperiksa Polres Depok pada Juni 2007. Kemudian, Majalah B-Watch Juli 2007, adalah edisi yang terakhir. Majalah MEDIUM yang berakhir pada awal 2006 pun, bak mengulangi Majalah GAMMA, tempat saya bekerja sejak 1999, dan finished pada 2002 akhir. Bersama beberapa teman eks GAMMA, kami mendirikan Majalah MEDIUM, Febuarari 2003. Usia saya 53 tahun waktu itu.
Ke belakang lagi, saya pernah menjadi stringer TEMPO pada 1978 di Sibolga. Terakhir Kepala Biro TEMPO Sumatera Bagian Utara di Medan hingga majalah ini dibredel pemerintah pada 1994. Masih lanjut ke Majalah GATRA, dan bersama banyak teman eksodus ke GAMMA.
Selalu ada sesuatu di balik sesuatu. B-Watch yang tak lagi terbit sejak Agustus 2007, membuat ketagihan saya menulis di surat kabar memperoleh kemungkinan waktu yang lebih luas pula. “Penyakit” ini semakin merajalela, dan saya tak bisa mengelak.
Saya menulis saban pekan setiap hari Senin di Medan Bisnis di rubrik Weekly Review halaman depan. Senior saya, Ridha K. Liamsi di Riau Pos memberi waktu saban Sabtu setiap pekan. Juga para senior di Harian Analisa Medan juga saban pekan, kadang Senin kadang Selasa. Kadang saya juga menulis di Harian Pikiran Rakyat Bandung, Batak Pos, Sinar Harapan, Sumut Pos Medan, dan Koran TEMPO.
Apakah di hari-hari esok, saya masih menulis lagi, dengan adanya kasus di PN
Depok? Saya tak bisa menebak-nebak, walau hidup kadang seperti teka-teki silang. Mbak Monik dari Radio Utan Kayu mewawancarai saya Rabu malam, 21 November 2007 lalu, setelah sebelumnya diwawancarai by phone, dan bertanya,
“jika Anda dipenjarakan karena kasus itu, apakah Anda akan terus menulis?”
Agak sulit saya menjawabnya. Kata putri saya, juga seorang jurnalis, yang pasti, matahari masih bersinar besok pagi. Rada berbau ABG ya. Adapun tentang kehendak untuk menulis, janganlah sampai sun set, ya Gusti Allah. Saya masih terlalu muda dibanding Mas Goen, apalagi dibanding Rosihan Anwar yang terus saja menulis, dan bukan di atas air.
Menulis tak perlu kapok. Menulis itu bak kapok sambal. Tapi dalam makna sambal Sumatera yang pedas. Sudah tahu pedas, makan sambal juga. Enak, sih. Jika dalam makna sambal Jawa, makin oke pula. Manis pula. Dan dijamin pasal 28 UUD 1945.
(Depok, Pukul 04.00, 22 Nov 2007)
Sunday, December 9, 2007
Antara Bersihar dan Faisal
Oleh : Budi Kurniawan (Penulis buku dan Aktivis Journalist and Writer Forum of Borneo, tinggal di Jakarta. E-mail: budibanjar@yahoo.com)
Dua pekan setelah Jaksa Penuntut Umum menyampaikan repliknya pada 28 November, wartawan yang pernah malang melintang di berbagai media cetak, Bersihar Lubis akan menghadapi vonis majelis hakim yang menyidangkan perkara pencemaran tertulis terhadap penguasa dan badan umum Indonesia (Pasal 207 KUHP) di Pengadilan Negeri Depok, Jawa Barat.
Seperti yang diberitakan banyak media, Bersihar diadili akibat tulisannya berjudul “Interogator Dungu” di Koran Tempo pada 17 Maret 2007. Penggunaan kata “dungu” yang dikutip Bersihar berdasarkan pidato Joesof Ishak –penerbit Hasta Mitra yang menerbitkan buku-buku karya Pramoedya Ananta Toer kala Orde Baru berkuasa—pada Hari Sastra Indonesia di Paris, 2004 itu rupanya menyinggung aparat Kejaksaan. Dalam pidatonya Joesof Ishak menceritakan dia diinterogasi aparat Kejaksaan Agung menyusul terbitnya roman Anak Semua Bangsa dan Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer.
Tak pelak soal tulisan yang diklaim oleh aparat Kejaksaan telah membuat mereka tersinggung itu membuat banyak pihak tersentak. Terutama mereka yang bergelut dan “bernapas” dari dunia tulis-menulis. Jika apa yang menimpa Bersihar itu terjadi pada masa ketika Orde Baru yang otoriter berkuasa, bisa jadi ia bukan berita besar. Karena kekuasaan Orba dibangun di atas prilaku tiran dan represif. Dengan jaringan yang sistematis dan dukungan aparat (militer, polisi, kejaksaan, dan birokrasi), Orba mengontrol semua sendi hidup warganya. Kritik terhadap kekuasaan Orba selalu berujung penjara.
Tetapi reformasi yang berhasil menggulingkan Soeharto pada 1998 melahirkan banyak perubahan. Salah satunya adalah lindapnya atmosfir pengap kebebasan berekspresi dalam bentuk berpendapat, menulis, dan berbicara. Instrumen perundang-undangan yang ketika Orba berkuasa pun diganti dengan yang lebih terbuka dan tak ketinggalan zaman.
Semua hal itu tak berbanding lurus dengan tuntutan dan konsekwensi demokrasi. Instrumen perundang-undangan yang dilahirkan pasca Orba tak memberi ruang yang sama bagi demokrasi. Sebagian tetap mengusung otoritarian, sebagian lainnya tidak. Sebagian lainnya malah terjebak dan menjebakkan diri pada ruang sektarian, otoritarian, dan pengkhianatan terhadap reformasi.
Salah satu dampaknya adalah yang terjadi pada diri Bersihar Lubis di Depok. Bersihar mungkin termasuk dari sebagian besar wartawan dan penulis yang percaya bahwa kebebasan berekspresi melalui tulisan sudah lahir dan menjadi bagian hidup di era reformasi. Pikiran yang ternyata tidak berbanding lurus dengan yang ada dalam otak penguasa. Lihatlah bagaimana aparat kejaksaan yang mengadukan Bersihar ke polisi. Mereka terlihat gagap mendefinisikan penghinaan melalui tulisan. Mereka tak sepakat menyatakan bahwa kata “dungu” yang meletikkan ketersinggungan itu berasal dari Bersihar atau sekadar mengutip orang lain.
Hal yang sama juga terjadi dengan Muhammad Faisal di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Faisal yang pernah menjadi wartawan di salah satu media lokal itu kini dipenjara selama empat bulan. Penjara terpaksa dikecap Faisal sebagai akibat tulisannya di rubrik Surat Pembaca sebuah media lokal berjudul “Duh, Gus Dur Kecil”. Tulisan pendek yang berisi kritik terhadap kebijakan dan prilaku memimpin daerah ini rupanya membuat Gubernur Kalsel Sjachriel Darham –kini mantan Gubernur dan mendekam di penjara setelah diadili di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Jakarta—tersinggung. Sang Gubernur mengadukan Faisal ke polisi dengan tuduhan telah mencemarkan nama baiknya (Pasal 310 dan 316 KUHP). Di pengadilan negeri Faisal bebas.
Namun kejaksaan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. MA mengabulkan kasasi itu dan menghukum Faisal empat bulan penjara. Anehnya setelah MA memvonis Faisal, kejaksaan justru tidak langsung melakukan eksekusi. Padahal Faisal tidak pernah meninggalkan Banjarmasin. Hal ini bahkan berlangsung lebih dari dua tahun. Baru pada 13 Oktober 2007, kejaksaan melakukan eksekusi dan menjebloskan Faisal ke penjara. Pada 13 Januari 2008 Faisal akan bebas.
Dua kasus yang berbeda tempat ini menunjukkan betapa tidak arifnya kejaksaan bereaksi terhadap penegakan hukum. Mereka sepertinya sibuk dengan perkara-perkara kecil, tidak prinsipil, tidak mendasar, dan lebih mengedepankan untuk melindungi korps ketimbang menegakkan hukum yang punya dampak besar bagi masyarakat luas dan demokrasi.
Kejaksaan –juga aparat penegak hukum lainnya—rupanya masih terjebak dan menjebakkan dirinya dalam perspektif memahami hukum secara tekstual. Bukan kontekstual. Aparat lupa atau tak mau tahu pasal-pasal pencemaran nama baik dan penistaan dalam KUHP lahir dalam konteks pemerintah kolonial yang menggandangkan aktivis dan masyarakat pro kemerdekaan. Secara kontekstual pasal-pasal yang dikenakan terhadap Bersihar dan Faisal sudah ketinggalan zaman.
Aparat hukum juga lupa dan tak mau tahu dengan konfigurasi politik yang melatarbelakangi lahirnya pasal-pasal dalam KUHP. Bukankah konfigurasi politik yang busuk dan penuh persekongkolan juga akan melahirkan perundang-undangan yang juga busuk. Mungkin ada baiknya jika aparat hukum menahan diri untuk menegakkan pasal-pasal yang selalu penuh kontroversi dan beraroma melanggengkan kekuasaan kolonial di masa silam, hingga pembahasan Rancangan Undang-Undang KUHP yang sedang dibahas di parlemen selesai. Jika tidak dalam rentang sebelum RUU KUHP itu selesai, maka akan jatuh Bersihar-Bersihar dan Faisal-Faisal yang lain. Itukah yang kita inginkan?
Dua pekan setelah Jaksa Penuntut Umum menyampaikan repliknya pada 28 November, wartawan yang pernah malang melintang di berbagai media cetak, Bersihar Lubis akan menghadapi vonis majelis hakim yang menyidangkan perkara pencemaran tertulis terhadap penguasa dan badan umum Indonesia (Pasal 207 KUHP) di Pengadilan Negeri Depok, Jawa Barat.
Seperti yang diberitakan banyak media, Bersihar diadili akibat tulisannya berjudul “Interogator Dungu” di Koran Tempo pada 17 Maret 2007. Penggunaan kata “dungu” yang dikutip Bersihar berdasarkan pidato Joesof Ishak –penerbit Hasta Mitra yang menerbitkan buku-buku karya Pramoedya Ananta Toer kala Orde Baru berkuasa—pada Hari Sastra Indonesia di Paris, 2004 itu rupanya menyinggung aparat Kejaksaan. Dalam pidatonya Joesof Ishak menceritakan dia diinterogasi aparat Kejaksaan Agung menyusul terbitnya roman Anak Semua Bangsa dan Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer.
Tak pelak soal tulisan yang diklaim oleh aparat Kejaksaan telah membuat mereka tersinggung itu membuat banyak pihak tersentak. Terutama mereka yang bergelut dan “bernapas” dari dunia tulis-menulis. Jika apa yang menimpa Bersihar itu terjadi pada masa ketika Orde Baru yang otoriter berkuasa, bisa jadi ia bukan berita besar. Karena kekuasaan Orba dibangun di atas prilaku tiran dan represif. Dengan jaringan yang sistematis dan dukungan aparat (militer, polisi, kejaksaan, dan birokrasi), Orba mengontrol semua sendi hidup warganya. Kritik terhadap kekuasaan Orba selalu berujung penjara.
Tetapi reformasi yang berhasil menggulingkan Soeharto pada 1998 melahirkan banyak perubahan. Salah satunya adalah lindapnya atmosfir pengap kebebasan berekspresi dalam bentuk berpendapat, menulis, dan berbicara. Instrumen perundang-undangan yang ketika Orba berkuasa pun diganti dengan yang lebih terbuka dan tak ketinggalan zaman.
Semua hal itu tak berbanding lurus dengan tuntutan dan konsekwensi demokrasi. Instrumen perundang-undangan yang dilahirkan pasca Orba tak memberi ruang yang sama bagi demokrasi. Sebagian tetap mengusung otoritarian, sebagian lainnya tidak. Sebagian lainnya malah terjebak dan menjebakkan diri pada ruang sektarian, otoritarian, dan pengkhianatan terhadap reformasi.
Salah satu dampaknya adalah yang terjadi pada diri Bersihar Lubis di Depok. Bersihar mungkin termasuk dari sebagian besar wartawan dan penulis yang percaya bahwa kebebasan berekspresi melalui tulisan sudah lahir dan menjadi bagian hidup di era reformasi. Pikiran yang ternyata tidak berbanding lurus dengan yang ada dalam otak penguasa. Lihatlah bagaimana aparat kejaksaan yang mengadukan Bersihar ke polisi. Mereka terlihat gagap mendefinisikan penghinaan melalui tulisan. Mereka tak sepakat menyatakan bahwa kata “dungu” yang meletikkan ketersinggungan itu berasal dari Bersihar atau sekadar mengutip orang lain.
Hal yang sama juga terjadi dengan Muhammad Faisal di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Faisal yang pernah menjadi wartawan di salah satu media lokal itu kini dipenjara selama empat bulan. Penjara terpaksa dikecap Faisal sebagai akibat tulisannya di rubrik Surat Pembaca sebuah media lokal berjudul “Duh, Gus Dur Kecil”. Tulisan pendek yang berisi kritik terhadap kebijakan dan prilaku memimpin daerah ini rupanya membuat Gubernur Kalsel Sjachriel Darham –kini mantan Gubernur dan mendekam di penjara setelah diadili di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Jakarta—tersinggung. Sang Gubernur mengadukan Faisal ke polisi dengan tuduhan telah mencemarkan nama baiknya (Pasal 310 dan 316 KUHP). Di pengadilan negeri Faisal bebas.
Namun kejaksaan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. MA mengabulkan kasasi itu dan menghukum Faisal empat bulan penjara. Anehnya setelah MA memvonis Faisal, kejaksaan justru tidak langsung melakukan eksekusi. Padahal Faisal tidak pernah meninggalkan Banjarmasin. Hal ini bahkan berlangsung lebih dari dua tahun. Baru pada 13 Oktober 2007, kejaksaan melakukan eksekusi dan menjebloskan Faisal ke penjara. Pada 13 Januari 2008 Faisal akan bebas.
Dua kasus yang berbeda tempat ini menunjukkan betapa tidak arifnya kejaksaan bereaksi terhadap penegakan hukum. Mereka sepertinya sibuk dengan perkara-perkara kecil, tidak prinsipil, tidak mendasar, dan lebih mengedepankan untuk melindungi korps ketimbang menegakkan hukum yang punya dampak besar bagi masyarakat luas dan demokrasi.
Kejaksaan –juga aparat penegak hukum lainnya—rupanya masih terjebak dan menjebakkan dirinya dalam perspektif memahami hukum secara tekstual. Bukan kontekstual. Aparat lupa atau tak mau tahu pasal-pasal pencemaran nama baik dan penistaan dalam KUHP lahir dalam konteks pemerintah kolonial yang menggandangkan aktivis dan masyarakat pro kemerdekaan. Secara kontekstual pasal-pasal yang dikenakan terhadap Bersihar dan Faisal sudah ketinggalan zaman.
Aparat hukum juga lupa dan tak mau tahu dengan konfigurasi politik yang melatarbelakangi lahirnya pasal-pasal dalam KUHP. Bukankah konfigurasi politik yang busuk dan penuh persekongkolan juga akan melahirkan perundang-undangan yang juga busuk. Mungkin ada baiknya jika aparat hukum menahan diri untuk menegakkan pasal-pasal yang selalu penuh kontroversi dan beraroma melanggengkan kekuasaan kolonial di masa silam, hingga pembahasan Rancangan Undang-Undang KUHP yang sedang dibahas di parlemen selesai. Jika tidak dalam rentang sebelum RUU KUHP itu selesai, maka akan jatuh Bersihar-Bersihar dan Faisal-Faisal yang lain. Itukah yang kita inginkan?
Sunday, December 2, 2007
Demokrasi, Iblis, dan Jalan Berliku Sang Calon
Oleh : Budi Kurniawan (Alumnus FISIP Unlam, wartawan, dan penulis buku. Tinggal di Jakarta. E-mail: budibanjar@yahoo.com
Demokrasi kadang jadi misteri. Suara terbanyak yang menjadi salah satu nilai lebih demokrasi dibanding kekuasaan totaliter sering tak mencerminkan kebenaran. Jika suara terbanyak itu adalah iblis, maka sebagai konsekuensi demokrasi maka iblis lah yang jadi pemenang.
Rakyat yang menjadi pemegang saham terbesar demokrasi sering tak mendapatkan dividen politik atas investasi yang mereka tanam dan menjadi haknya. Anggota parlemen dan penguasa yang hanya memiliki sebagian kecil saham demokrasi justru mendapatkan segalanya. Atau malah mengambil banyak hal yang sesungguhnya bukan hak mereka. Pemikiran untuk melaksanakan logika demokrasi yang mengedepankan partisipasi politik rakyat justru sangat sulit terwujud. Bahkan harus menempuh jalan berliku.
Inilah yang kini terjadi dengan draft revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang dilakukan para anggota parlemen di Jakarta. Sikap ngotot mereka terhadap revisi Undang-Undang ini terutama dalam hal syarat calon independen pasca Mahkamah Konstitusi memutuskan dibolehkannya calon perseorangan mengikuti Pilkada. Draft usulan inisiatif DPR calon independen harus mampu mengumpulkan mengumpulkan 3-15 persen Kartu Tanda Penduduk (KTP) dari jumlah penduduk di daerahnya sebagai bentuk dukungan dan uang jaminan sebesar Rp200 juta-Rp 1,4 milyar untuk calon Gubernur dan Rp50 juta-Rp350 juta untuk calon Buati/Walikota misalnya menunjukkan tidak responsifnya mereka pada nilai strategis calon independen dalam kehidupan demokrasi modern.
Padahal untuk mengumpulkan 10.000 KTP saja, calon independen dipastikan akan keteteran. Apalagi jamak diketahui tak ada yang gratis dalam politik. Warga yang “nakal” bisa menjual KTP nya dengan harga tinggi, tanpa memikirkan siapa dan bagaimana kualitas calon pemimpin mereka entah itu maling atau “Nabi”.
Besarnya uang jaminan jika draft revisi Undang-Undang ini disepakati di DPR juga akan menutup peluang calon independen yang berintegritas dan memiliki kapabilitas, tetapi tak punya banyak uang untuk ikut dalam Pilkada. Padahal keberadaan calon independen sangat jelas bertujuan untuk mempermudah partisipasi masyarakat sekaligus menghilangkan dominasi partai politik.
Karena tanpa adanya calon independen, maka sistem partai yang dikembangkan dalam demokrasi Indonesia pasca Orde Baru tumbang tidak akan sempurna. Negara bisa bergerak ke arah oligarki partai dan tak ubahnya sama dengan sistem totaliter semasa Orba berkuasa.
Penjegalan anggota partai politik di parlemen terhadap kemunculan calon independen dengan syarat politik dan ekonomi ini selain menunjukkan bahwa mereka telah mengkhianati demokrasi, juga memperlihatkan ketakutan yang berlebihan. Mereka takut calon yang diusung parpol kalah populer, kalah kelas, kalah integritas, dan kalah kapabilitas dengan calon independen.
Mereka juga takut kehilangan sumber pendapatan yang selama ini bisa didapat dari para calon kepala daerah yang akan maju dalam Pilkada dengan menggunakan perahu partai politik. Karena kesempatan panen uang dalam jumlah sangat besar –selain pada event-event politik lainnya seperti ketika kepala daerah menyampaikan laporan pertanggung jawabannya—itu hanya terjadi ketika sang calon melamar dan memilih menggunakan perahu partai politik untuk maju dalam Pilkada.
Belum jadi kepala daerah saja calon independen sudah harus menempuh jalan berliku. Jika pun mereka kemudian terpilih jalan yang tak kalah berlikunya pun harus juga ditempuh. Kepala daerah dari calon independen harus mengeluarkan tenaga, pikiran, dan dana yang juga besar untuk “menghibur” para anggota parlemen. Jika itu tidak bisa ia lakukan, maka posisi politiknya pasti akan terancam. Gertak sambal dari para anggota parlemen sering berlangsung menjelang event-event politik penting yang menentukan berlanjut tidaknya kepemimpinan seorang kepala daerah.
Teori politik memang mengajarkan bahwa lahirnya instrumen kekuasaan ditentukan oleh konfigurasi kekuatan politik yang ada. Jika konfigurasi politiknya dikuasai dan didominasi partai yang tidak pro rakyat dan hanya mementingkan dirinya sendiri, maka instrumen politik yang lahir pun tidak akan pernah membahagiakan rakyat.
Namun, dalam hal calon independen, sudah saatnya konfigurasi politik yang ada sadar diri. Perubahan adalah keniscayaan. Tak ada yang bisa melawan perubahan.
Korupsi di Negeri Para Penipu
Oleh : Budi Kurniawan (Aktivis Journalist and Writer Forum of Borneo, wartawan dan penulis buku. Tinggal di Jakarta. E-mail: budibanjar@yahoo.com)
Melewati jalanan di sekitar Sentra Antasari –dulu Pasar Antasari—tak sekadar mata yang sakit. Kesemrawutan berlangsung tiada henti, akibat taksi Kuning yang sopirnya seenak perutnya parkir dan berhenti mengambil penumpang di pinggiran jalan, becak yang sudah berjalan lamban dan senang berada di tengah jalan, pengendara motor yang tak tahu aturan, gerobak yang menyeberang, kaum miskin papa yang mengamen melantunkan berbagai lagu dengan alat musik seadanya, dan polisi yang lebih senang berada di posnya.
Hati juga miris menyaksikan pasar terbesar di Banjarmasin yang dimasa silam menjadi salah satu ikon mampu bertahannya pasar tradisional di tengah gempuran kapitalisme itu kini berselemak korupsi dengan nilai penyimpangan sebesar Rp 32 milyar. Datangnya PT GJW sebagai investor pembangunan Sentra Antasari yang kemudian merekrut orang-orang yang semula berperan dalam menumbangkan Kepala Badan Pengelola Pasar Antasari Sugito di tahun 1997 dan elite Pemerintah Kotamadya Banjarmasin, rupanya menjadi awal pintu masuk korupsi ini. Korupsi yang dilakukan para pemimpin kota (Sentra Antasari) dan anggota parlemen lokal (kasus Dana Siluman) menambah miris hati.
Koran ini misalnya memberitakan mantan Walikota Banjarmasin Midpai Yabani yang diperiksa aparat Kejaksaan Tinggi Kalsel secara marathon dalam kasus penggelembungan jumlah kios yang dibangun di Sentra Antasari. Kepada koran ini Midpai menyatakan heran mengapa ia diperiksa. Melalui pengacaranya Midpai menyatakn tidak tahu menahu dengan penggelembungan jumlah kios yang dibangun dan disewakan itu.
Hampir bersamaan, pembangunan sarana dan prasarana Bandara Syamsudin Noor pun membawa para mantan pejabat dan pejabat Kalsel ke penjara. Sebagian lainnya kini masih menjadi tersangka dan terus diperiksa aparat kejaksaan. Jauh sebelum dua kasus korupsi ini mengemuka Kalsel juga “menyumbang” mantan pejabatnya sebagai terpidana korupsi. Di Jakarta seorang mantan Gubernur kini meringkuk di penjara. Kalsel –juga Kaltim— rupanya memiliki “prestasi” dalam hal korupsi bersama daerah-daerah lainnya di Indonesia.
Korupsi di daerah ini sesungguhnya tak berbeda dengan daerah lain. Semenjak pintu otonomi daerah dibuka lebar, yang terjadi bukannya daerah mampu memberdayakan dirinya untuk memberi kemaslahatan bagi warganya, tetapi juga membuka kesempatan besar bagi “Raja-Raja Kecil” di daerah memperkaya dirinya sendiri.
Dalam sebuah pembicaraan dengan Andi Mallarangeng di sebuah pesawat yang menerbangkan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) pertama pasca Orde Baru tumbang, Rudini dan Pakar Otonomi Daerah Ryass Rasyid ke berbagai daerah untuk mensosialisasikan peraturan perundang-undangan, kekhawatiran akan munculnya “Raja-Raja Kecil” ketika otonomi daerah dibuka lebar pernah saya sampaikan. Dengan yakin Andi Mallarangeng yang ketika itu masih menjadi dosen di Institut Ilmu Pemerintahan (IIP), menyatakan kekhawatiran itu tidak perlu ada. Karena dampak otonomi yang diberikan sudah diperhitungkan. Keyakinan yang kini hanya tinggal keyakinan kosong belaka.
Seiring dengan otonomi daerah yang diberikan itu, ternyata tak sekadar “Raja-Raja Kecil” yang kemudian bertahta dan menjadi selebritas lokal, tetapi juga mereka kian gampang memperkaya diri. Mereka pintar menipu dan menjadikan negeri ini negeri para penipu.
Pelaksanaan berbagai pekerjaan yang semula menjadi wilayah pemerintah pusat dan kini diserahkan ke daerah menjadi makanan empuk untuk melakukan korupsi. Kebijakan politik yang memiliki nilai ekonomi juga menjadi pintu masuk korupsi. Penyusunan instrumen pemerintahan daerah selalu saja berselemak korupsi.
Korupsi yang dilakukan di daerah ini –juga daerah lainnya di Indonesia—tidaklah bermetode canggih. Modus yang dilakukan para koruptor masih berpola konvensional. Mereka cerdik memanipulasi data, menggelembungkan dana, menyuap, dan berselingkuh dengan otoritas pemerintahan dan anggota lembaga legislatif.
Data yang dilansir Indonesian Corruption Watch (ICW) pada Semester I (Januari-Juni 2007) menunjukkan fenomena ini. Mark up menjadi bentuk korupsi terbanyak. Sedangkan lembaga asal korupsi terbanyak masih didominasi oleh Eksekutif (101), Legislatif (102), Swasta (49), BUMN/BUMD (27), Badan Negara (24), Komisi Negara (5), Yudikatif (5), Ormas (5), Kepolisian/Jaksa (3), TNI (1), dan lainnya (4). Dari semua pelaku ini pola mark up rupanya menjadi primadona. Jumlahnya 20 kasus (39,22%). Sementara jumlah kerugian negara akibat korupsi pada Semester I 2007 mencapai Rp665,8 miliar dengan dua sektor terbanyak pada pemerintah pusat dan daerah (7 kasus) dan sektor sosial kemasyarakatan (7 kasus). Karena itu korupsi dengan pola ini gampang dilacak seperti yang terjadi dengan Sentra Antasari atau Pasar Kuripan di masa yang lalu.
Walau berpola sederhana, korupsi tetap saja sulit diberantas. Selain korupsi sudah dianggap menjadi budaya dan keseharian –dari pengurusan KTP hingga menjadi pejabat publik, korupsi menjadi hal yang “biasa”, kesan “tebang pilih” juga tak bisa dihindari. Karena mereka-mereka yang dikejar para penegak hukum seringkali adalah orang-orang yang sudah tak memiliki base ekonomi maupun politik. Mereka adalah figur publik dan selebritas yang menjabat tanpa dukungan partai politik besar. Mereka juga tak lagi memiliki sumber daya ekonomi yang besar yang bisa “dibagi” pada aparat penegak hukum. Bisa dibayangkan jika Midpai Yabani, Prof Ismet Ahmad, Sampurno, dan Helmi Indra Sangun adalah anggota parlemen lokal atau ketua salah satu partai politik besar di Kalsel, atau Laksamana Sukardi adalah Megawati Soekarnoputri, atau Jusuf Kalla, maka yang berlaku terhadap mereka sangat mungkin berbeda.
Subscribe to:
Posts (Atom)