Oleh Bersihar Lubis
Belum seratus hari saya bekerja di Majalah B-Watch pada awal Maret 2007 itu. Majalah Berita Dwimingguan MEDIUM, tempat saya bekerja sebelumnya, tak lagi terbit sejak awal 2006. Majalah ini sudah “megap-megap” sejak 2005. Biasalah. Soal modal, dan sebagainya, "bahaya laten" yang selalu mengintai penerbitan pers. Apa yang bisa saya kerjakan hanya menulis, dan menulis.
Saya sudah menjadi wartawan sejak 1970, menjadi reporter koran Medan, Mercusuar dan Mingguan Taruna Baru. Jadinya, saya “dungu” dan ini bukan dosa --untuk bekerja di bidang lain. Misalnya membuka kedai kopi, atau menjadi pedagang ikan di kampungku, Sibolga yang pantai pasir putih dan rimbunan pohon kelapanya molek di pantai barat Sumatera Utara. Saya juga “dungu” soal nuklir. Yang Maha Tahu segalanya, hanya DIA.
Tak bisa lain saya mulai menulis kolom atau opini di berbagai koran, baik daerah dan nasional sejak awal 2006. Di antaranya, Koran TEMPO. Walau sudah menjadi Wakil Pemred di B-Watch, menulis opini di koran-koran rupanya membuat tagih juga. Saya pikir, lebih “aman”, ketimbang “nyabu-nyabu”.
B-Watch, majalah bulanan itu sudah beredar di awal Maret 2007, sampai kemudian, Masyarakat Sejarah Indonesia dikagetkan oleh pelarangan peredaran buku teks pelajaran SMP dan SMU setingkat oleh Kejaksaan Agung pada 5 Maret 2007.
Alasannya, karena tidak mencantumkan kebenaran sejarah tentang pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun pada 1948 dan Peristiwa Pemberontakan PKI pada 1965. Gerakan 30 September (G30S) 1965 memang tercantum, tetapi tanpa menyebut keterlibatan PKI. "Itu pemutarbalikan fakta sejarah," kata Jaksa Agung Muda Intelijen Muchtar Arifin (kini Wakil Jaksa Agung RI), Jumat 9 Maret lalu kepada pers.
Dalam hati, saya bertanya-tanya, apakah pelarangan buku-buku sejarah untuk “anak-anak” kita itu sudah didasarkan pada telaah ilmiah dari para sejarawan, atau hanya karena sekedar kekuasaan? Seandainya ada bahasan ilmiah yang melibatkan sejarawan seperti Anhar Gonggong, Asvi Warman Adam dan lainnya, mungkin pelarangan itu sedikitnya telah bertolak dari pandangan ilmiah.
Jika buku sejarah yang dilarang oleh Jaksa Agung tersebut tidak mencantumkan
PKI sebagai pemberontak pada 1965, tidak mengherankan. Banyak sekali buku publikasi domestik dan luar negeri yang meragukan keterlibatan PKI, meskipun versi pemerintah menyebut PKI tetap terlibat. Akibatnya, di masyarakat muncul beragam versi yang berbeda, sehingga menurut Jaksa Agung Muda Muchtar dapat menimbulkan keresahan dan pada akhirnya akan mengganggu ketertiban umum.
Berita pelarangan itu beredar di media, juga kontoroversi dan prokontranya. Saya terdorong untuk menulis. Berbagai memori berlarian di benak, tentang sejarah pelarangan buku dan sejenis. Satu di antara yang banyak itu, yang saya ingat adalah kisah pak Joesoef Isak.
Beliau pernah selama sebulan diperiksa oleh Kejaksaan Agung menyusul terbitnya roman "Anak Semua Bangsa" dan “Bumi Manusia” karya Pramoedya Ananta Toer. Joesoef adalah penerbit Hasta Mitra (1980) dan penerbit karya Pram yang kemudian dilarang. Pernah meringkuk di penjara pada 1965 dan 1966. Meringkuk lagi di penjara Salemba sejak 1967 selama 10 tahun.
Namun, atas keberaniannya menerbitkan karya Pram, ia menerima hadiah "Jeri Laber Pour Ia Liberte de l'edition" dari Perhimpunan Para Penerbit Amerika, partner Pen American Center pada April 2004 lalu di New York. Masih ada hadiah sejenis dari Australia dan Belanda.
Majalah MEDIUM pernah menulis Joesoef Isak tatkala berbicara pada "Hari Sastra Indonesia" di Paris pada Oktober 2004 lalu. Saat itu, ia bertutur tentang jalannya interogasi tersebut. Mulanya, ia mengusulkan supaya Kejaksaan Agung menggelar sebuah simposium ahli untuk membicarakan secara obyektif karya Pram.
Tapi ternyata ditolak. Alasannya, interogator lebih paham dari siapapun bahwa "Bumi Manusia" dan "Anak Semua Bangsa" adalah karya sastra Marxis. Anehnya, ketika diinterogasi, aparat kejaksaan meminta Joesoef untuk menunjukkan baris-baris mana yang menunjukkan adanya teori Marxis dalam buku Pram.
Ketika Joesoef diminta meneken berita acara pemeriksaan, para interogator
tersenyum. "Buku-buku Pram luar biasa. Apakah bapak mempunyai eksemplar tersisa? Istri saya belum membacanya. Bisakah bapak mengirimkan satu eksemplar ke rumah saya?" kata si interogator.
"Pak Joesoef hendaknya maklum bahwa apa yang saya lakukan hanyalah melaksanakan perintah atasan," tambah si interogator. "Saya telah disiksa oleh kedunguan interogator, dan interogator telah disiksa oleh atasan mereka yang lebih tinggi tingkat kebodohannya," kata Joesoef.
Kisah ini ditulis oleh Koresponden MEDIUM di Paris. Sebagai Pemred MEDIUM,
tentu dengan rapat redaksi, kami menerbitkannya pada edisi 27 Oktober-9
November 2004, lengkap dengan foto pak Joesoef saat berbincang dengan Adrian
van Dis, seorang pengarang Belanda di Paris.
Di tengah prokontra pelarangan buku sejarah SMP dan SMU itulah, saya mengutip kembali penjelasan Jesoef di Paris untuk sebuah tulisan yang kemudian saya kirimkan via email ke Koran TEMPO, jika tak salah pada 11 Maret 2007, dan terbit pada 17 Maret 2007, dengan judul “Kisah Interogator yang Dungu”. Judul ini saya cuplik dari isi tulisan, yakni ceramah Joesoef Isak di Paris.
Banyak tulisan dan berita yang muncul di media. Antara lain protes PHBI, Jhonson Panjaitan dan Masyarakat Sejarah Indonesia terhadap pelarangan itu, seperti diberitakan oleh TEMPO Interaktif pada 19 Maret 2007. Sejarawan Asvi Warman Adam berkomentar, bahwa istilah obyektif sesuai dokumen 1 Oktober 1965 adalah Gerakan 30 September. Tidak disingkat atau disertai dengan embel-embel apapun, karena bisa mengaburkan fakta sejarah.
PBHI malah melihat keanehan. Misalnya, buku pelajaran kelas 1 SMP yang masih
membahas kerajaan-kerajaan Nusantara belum sampai pada Peristiwa Madiun 1948
dan 1965. Malah ada buku (Grasindo) yang mencantumkan istilah G30S/PKI pun
tetap dilarang.
Saya bukan sejarawan. Tapi wartawan. Rangkaian fakta demi fakta saya sunting
menjadi tulisan. Agar tak kelihatan “dungu”, saya kutip jugalah pendapat
Benedetto Croce seorang filsuf sejarah kelahiran Italia (1866-1952), bahwa
"Every true story is contemporary history (setiap sejarah yang benar adalah
sejarah masa kini). Kebenaran memang relatif.
Benar di suatu masa, sebaliknya di waktu yang lain. Sejarah adalah gambaran masa silam, tapi tak selalu sepersis masa lalu. Siapa pula yang bisa pergi ke hari lalu yang sangat jauh itu?
Menulis sejarah pun tak bisa mengelak dari ide si penulis bertolak dari visi
dan tafsir sendiri. Topik yang sama bisa berbeda di antara beberapa penulis.
Bahkan, bisa dipengaruhi oleh suasana zaman. Saban zaman juga mengalir sehingga ide, penilaian dan tafsir bisa berubah dan tampillah beragam versi.
Ada versi pemerintah, ada versi sejarawan. Buku sejarah yang ditulis tak berhak memonopoli kebenaran, apalagi hendak memperbaiki buku sejarah yang ada, termasuk versi pemerintah. Menulis kembali dengan visi, tafsir dan metodologi yang berbeda, tidak selalu sama hasilnya. Yang beruntung adalah generasi kemudian yang mewarisi kekayaan sejarah. Terpulang merekalah untuk memahaminya secara arif dan rasional.
Memonopoli kebenaran sejarah itu absurd. Apalagi sejarah selalu ditulis tidak pada saat terjadi, tapi jauh setelah peristiwa itu. Merekayasa sejarah yang telah terjadi cenderung mereduksi sejarah. Rekayasa (dalam arti sebenarnya) itu perbuatan ke depan, misalnya seseorang yang hendak memenangkan Pemilihan Presiden. Tetapi, jika Yudhoyono pernah berhasil pada 2004 lalu, sejarah tak mungkin menulis Yudhoyono gagal menjadi presiden pada 2004 lalu, bukan?
***
Jadi wartawan memang lelah. Tapi nikmat, walau tidak selalu. Seingat saya di
bawah tanggal 11 Juni 2007, rekan Daru Priyambodo dari Koran TEMPO mengabarkan (via telepon) bahwa Kapolres Depok menghubungi Koran TEMPO sehubungan pengaduan dari beberapa staf Kejaksaan Negeri Depok. Kejaksaan tersinggung atas tulisan saya di Koran Tempo 17 Maret 2007. Itulah awalnya, saya diperiksa oleh Polres Depok pada 11 Juni 2007.
Saudara Daru sungkan dan tidak mau memberikan alamat saya di Depok kepada Kapolres Depok, tanpa seizin saya, dan memang begitulah aturan main di Koran TEMPO, seperti juga di media lainnya. Sementara, ini adalah soal penegakan
hukum di Negara hukum tersayang ini. Saudara Daru menghadapi dilema. Akhirnya, kami berdua sepakat bahwa Saudara Daru memberi nomor HP pak Kapolres kepada saya, dan terserah saya lah kemudian untuk menghubunginya.
Merasa tulisan saya di Koran TEMPO “biasa” saja, saya beranikan diri menelepon Kapolres Depok. Percakapan, yang hangat, saya kira. Saya sih sudah bisa menebak ujungnya, ketika pak Kapolres ingin bertamu ke rumah saya, hendak bersilaturrahmi. Bagaimana saya bisa menolak silaturrahmi?
Suatu malam beliau bersama staf datang ke rumah saya. Percakapan mengalir enak. Sembari Kapolres mengabarkan tentang ketersinggungan teman-teman di kejaksaan. Jelaslah, ini soal delicte locus.
Saya lupa harinya, tapi saya datang ke Polres Depok, jika tak salah sehari atau dua hari sebelum hari yang ditetapkan dalam surat panggilan polisi pada 11 Juni 2007. Saya pikir apa bedanya diperiksa lusa dan hari ini? Pemeriksaan pun berlangsung, dan sikap teman-teman di Polres cukup bersahabat. Saya jawab semuanya, mengapa saya menulis artikel itu, kapan dan hal lain yang penting.
Termasuk bahwa kutipan “dungu” itu berasal dari pak Joesoef Isak. Adapun dakwaan yang dikenakan adalah pasal 207 KUHP dan pasal 316 yo pasal 310 ayat (1) KUHP tentang pencemaran dan penghinaan.
Hari itu, juga setelah proses BAP, saya mencoba bertemu Kepala Kejaksaan Negeri Depok. Maksudnya, melihat kemungkinan mediasi. Tapi gagal bertemu. Hal mediasi ini pernah saya tawarkan ke Kapolres Depok sewaktu datang ke rumah saya. Beliau bilang bagus juga.
Sayang tak bertemu. Saya hanya bisa bertemu Sdr Pudin Saprudin (PS), staf Kasi Intel Kejari Depok, yang menjadi saksi pelapor kasus ini Ke Polres Depok. Kami ngobrol. Tapi Kepala Kejari Depok sedang tak di tempat sehingga tak bisa bertemu. Sdr PS menjanjikan, akan melaporkannya kepada Kepala Kejari Depok, dan jika mungkin bertemu saya akan ditelepon.
Memang tak ada keharusan agar bertemu. Boleh ya boleh tidak. Saya sadar itu.
Nah, pada suatu hari, di bulan Agustus datanglah panggilan dari Polres Depok, bahwa kasus saya sudah P-21, dan dilimpahkan ke Kejari Depok. Bersama petugas Polres, saya berangkat ke Kejari dan bertemu Sdr Tikyono, yang kemudian menjadi Jaksa Penuntut Umum dalam perkara ini.
Sidang pertama digelar pada 19 September 2007 lalu. Sudah beberapa hari puasa Ramadhan. Saat itu, tiga saksi dari Kejari Depok diperiksa oleh Majelis Hakim kesaksiannya. Seperti saya uraikan dalam pledoi pada 21 November 2007 lalu, juga dalam rilis ke beberapa media, yang kemudian juga muncul di milis jaringan pers, keterangan tiga saksi ini tak saling kompak.
Satu saksi bilang ucapan “dungu” berasal dari pak Joesoef Isak. Dua saksi lainnya berkata dari saya. Tapi setelah dicecar majelis dengan mengkonfirmasikan dengan tulisan di Koran TEMPO itu, keduanya bimbang dan akhirnya menjawab “tidak tahu”.
Sidang kedua, 26 September 2007, adalah pemeriksaan saksi Daru dari Koran
TEMPO, saksi Joesoef Isak dan Frans Asisi, saksi ahli bahasa dari UI, yang
resume keterangannya sudah saya uraikan dalam pers rilis. Lagi-lagi, tak
seorang pun yang menyebutkan bahwa kata “dungu” itu berasal dari saya.
Ada pun tentang pak Joesoef Isak, saya sangat memahami beliau sebagai seorang yang telah berumur 79 tahun. Dalam kesaksiannya, beliau berkata ceramahnya di Paris (2004) lisan, dan tak lagi bisa mengulanginya secara persis.
Saya mengkonfirmasikan ke pak Joesoef Isak, bahwa ada teks pidato beliau di Fordham University New York pada 24 April 1999, yang dibagi-bagikan dalam pertemuan Hari Sastra Indonesia di Paris pada 2004. Karena memang begitulah, laporan koresponden MEDIUM di Paris yang kemudian dimuat Majalah MEDIUM. Saya sendiri memperoleh teks pidato itu dari situs internet Fordham University, yang kemudian saya print out.
Membaca teks pidato itu, pak Joesoef di depan Majelis Hakim dan Jaksa Penuntut Umum di persidangan PN Depok membenarkan, memang itu pidatonya di NY. Saya juga mengkonfirmasikan beberapa alinea dari pidato, yang kemudian dilaporkan Koresponden MEDIUM, dan belakangan saya kutip lagi dalam tulisan di Koran TEMPO, lagi-lagi beliau membenarkannya.
Semua itu telah saya tumpah ruahkan dalam pledoi saya bacakan pada 21 November 2007 lalu.
***
Pekan depan, 28 November, Jaksa Penuntut Umum akan tampil dengan Replik, dan saya dengan Duplik sepekan kemudian. Sesuai hukum acara, maka sepekan berikutnya pula adalah pembacaan vonis majelis hakim.
Lepas dari persoalan teknis peradilan itu, saya memberi judul pledoi saya dengan kalimat: Merindukan Hukum Indonesia yang Demokratis?
Sebagai seorang wartawan, dan bukan pakar hukum, saya memikir-mikir, inilah persoalan yang mendasar. Hukum yang demokratis, di mana, saban orang sama di
depan hukum. Ini juga yang, antara lain, saya kupas dalam pledoi.
Saya didakwa dengan pasal 207 KUHP, yakni pencemaran tertulis terhadap penguasa dan badan umum yang ada di Indonesia, dalam hal ini, instansi Kejaksan Agung, di depan umum. Padahal, bahkan pasal 134, 136 bis dan 137 KUHP tentang penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden pun telah dihapuskan oleh Mahkamah Konstitusi pada 6 Desember 2006 lalu. Dalil MK karena pasal ini bertentangan dengan UUD 1945, dan asas persamaan di depan hukum, yang tak memungkinkan Presiden dan Wakil Presiden punya hak istimewa dibanding warga Negara lainnya.
Apalagi pasal-pasal itu sering dipakai penguasa untuk membungkam aktivis demokrasi yang melakukan kritikdan protes kepada kebijakan pemerintah. Pasal warisan kolonial ini sejatinya dulu juga dipakai kolonial untuk membungkam
pejuang republik. Tak heran setelah kemerdekaan, pasal-pasal itu mendapat kecaman luas dari masyarakat, dan MK mengabulkannya pada 2006 lalu.
Jika pasal yang berhubungan dengan penghinaan Presiden dan Wakil Presiden pun sudah dicabut, apakah martabat penguasa dan badan umum lainnya di negeri ini, maaf, lebih “tinggi” dibanding Presiden dan Wakil Presiden sebagai lembaga (bukan individual)?
Tak heran jika MK menyarankan agar penggunaan pasal 207 KUHP ke depan sebaiknya tak dilakukan, dan menyesuaikannya dengan kondisi berkembang seraya menunggu R KUHP yang baru. Lagi pula yang berkuasa di negeri ini adalah kedaulatan rakyat.
Rakyatlah King Maker yang membuat Anda bisa menjadi Presiden, Wakil Presiden dan anggota parlemen. Adapun penguasa dan Badan Umum lainnya, adalah jelmaan dari kedaulatan rakyat juga. Anda tak bisa menjadi penguasa tanpa adanya rakyat, bukan?
Toh masih ada pasal 310 maupun 316 KUHP yang memungkinkan seseorang yang merasa dihina dapat mengadukan siapapun ke penegak hukum. Itu pulalah yang dilakukan bapak Susilo Bambang Yudhoyomo saat mengadukan Pak Zainal Ma?arif ke Polda Metrojaya. Tapi dalam kasus saya, justru pasal 316 yo 310 KUHP, yang semula ada dalam dakwaan tapi dalam tuntutan telah meminta Majelis Hakim membebaskan saya dari dakwaan alternatif kedua itu. Jaksa Penuntut Umum hanya memakai pasal 207 KUHP.
Saya kira kompotensi mengkritisi pasal 207 KUHP ini tak hanya wilayah pakar
hukum. Tapi semua kita. Termasuk para sejarawan. Bagaimana sebenarnya riwayat dan asal usul pasal ini dalam KUHP kita? Bagimana di Belanda, dari mana kita mengadopsi hukum mereka? Bagimana di Prancis? Konon, Timorleste bahkan tak lagi memakai pasal ini.
***
Saya diperiksa Polres Depok pada Juni 2007. Kemudian, Majalah B-Watch Juli 2007, adalah edisi yang terakhir. Majalah MEDIUM yang berakhir pada awal 2006 pun, bak mengulangi Majalah GAMMA, tempat saya bekerja sejak 1999, dan finished pada 2002 akhir. Bersama beberapa teman eks GAMMA, kami mendirikan Majalah MEDIUM, Febuarari 2003. Usia saya 53 tahun waktu itu.
Ke belakang lagi, saya pernah menjadi stringer TEMPO pada 1978 di Sibolga. Terakhir Kepala Biro TEMPO Sumatera Bagian Utara di Medan hingga majalah ini dibredel pemerintah pada 1994. Masih lanjut ke Majalah GATRA, dan bersama banyak teman eksodus ke GAMMA.
Selalu ada sesuatu di balik sesuatu. B-Watch yang tak lagi terbit sejak Agustus 2007, membuat ketagihan saya menulis di surat kabar memperoleh kemungkinan waktu yang lebih luas pula. “Penyakit” ini semakin merajalela, dan saya tak bisa mengelak.
Saya menulis saban pekan setiap hari Senin di Medan Bisnis di rubrik Weekly Review halaman depan. Senior saya, Ridha K. Liamsi di Riau Pos memberi waktu saban Sabtu setiap pekan. Juga para senior di Harian Analisa Medan juga saban pekan, kadang Senin kadang Selasa. Kadang saya juga menulis di Harian Pikiran Rakyat Bandung, Batak Pos, Sinar Harapan, Sumut Pos Medan, dan Koran TEMPO.
Apakah di hari-hari esok, saya masih menulis lagi, dengan adanya kasus di PN
Depok? Saya tak bisa menebak-nebak, walau hidup kadang seperti teka-teki silang. Mbak Monik dari Radio Utan Kayu mewawancarai saya Rabu malam, 21 November 2007 lalu, setelah sebelumnya diwawancarai by phone, dan bertanya,
“jika Anda dipenjarakan karena kasus itu, apakah Anda akan terus menulis?”
Agak sulit saya menjawabnya. Kata putri saya, juga seorang jurnalis, yang pasti, matahari masih bersinar besok pagi. Rada berbau ABG ya. Adapun tentang kehendak untuk menulis, janganlah sampai sun set, ya Gusti Allah. Saya masih terlalu muda dibanding Mas Goen, apalagi dibanding Rosihan Anwar yang terus saja menulis, dan bukan di atas air.
Menulis tak perlu kapok. Menulis itu bak kapok sambal. Tapi dalam makna sambal Sumatera yang pedas. Sudah tahu pedas, makan sambal juga. Enak, sih. Jika dalam makna sambal Jawa, makin oke pula. Manis pula. Dan dijamin pasal 28 UUD 1945.
(Depok, Pukul 04.00, 22 Nov 2007)
Thursday, December 13, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment