Oleh : Budi Kurniawan (Penulis buku dan Aktivis Journalist and Writer Forum of Borneo, tinggal di Jakarta. E-mail: budibanjar@yahoo.com)
Dua pekan setelah Jaksa Penuntut Umum menyampaikan repliknya pada 28 November, wartawan yang pernah malang melintang di berbagai media cetak, Bersihar Lubis akan menghadapi vonis majelis hakim yang menyidangkan perkara pencemaran tertulis terhadap penguasa dan badan umum Indonesia (Pasal 207 KUHP) di Pengadilan Negeri Depok, Jawa Barat.
Seperti yang diberitakan banyak media, Bersihar diadili akibat tulisannya berjudul “Interogator Dungu” di Koran Tempo pada 17 Maret 2007. Penggunaan kata “dungu” yang dikutip Bersihar berdasarkan pidato Joesof Ishak –penerbit Hasta Mitra yang menerbitkan buku-buku karya Pramoedya Ananta Toer kala Orde Baru berkuasa—pada Hari Sastra Indonesia di Paris, 2004 itu rupanya menyinggung aparat Kejaksaan. Dalam pidatonya Joesof Ishak menceritakan dia diinterogasi aparat Kejaksaan Agung menyusul terbitnya roman Anak Semua Bangsa dan Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer.
Tak pelak soal tulisan yang diklaim oleh aparat Kejaksaan telah membuat mereka tersinggung itu membuat banyak pihak tersentak. Terutama mereka yang bergelut dan “bernapas” dari dunia tulis-menulis. Jika apa yang menimpa Bersihar itu terjadi pada masa ketika Orde Baru yang otoriter berkuasa, bisa jadi ia bukan berita besar. Karena kekuasaan Orba dibangun di atas prilaku tiran dan represif. Dengan jaringan yang sistematis dan dukungan aparat (militer, polisi, kejaksaan, dan birokrasi), Orba mengontrol semua sendi hidup warganya. Kritik terhadap kekuasaan Orba selalu berujung penjara.
Tetapi reformasi yang berhasil menggulingkan Soeharto pada 1998 melahirkan banyak perubahan. Salah satunya adalah lindapnya atmosfir pengap kebebasan berekspresi dalam bentuk berpendapat, menulis, dan berbicara. Instrumen perundang-undangan yang ketika Orba berkuasa pun diganti dengan yang lebih terbuka dan tak ketinggalan zaman.
Semua hal itu tak berbanding lurus dengan tuntutan dan konsekwensi demokrasi. Instrumen perundang-undangan yang dilahirkan pasca Orba tak memberi ruang yang sama bagi demokrasi. Sebagian tetap mengusung otoritarian, sebagian lainnya tidak. Sebagian lainnya malah terjebak dan menjebakkan diri pada ruang sektarian, otoritarian, dan pengkhianatan terhadap reformasi.
Salah satu dampaknya adalah yang terjadi pada diri Bersihar Lubis di Depok. Bersihar mungkin termasuk dari sebagian besar wartawan dan penulis yang percaya bahwa kebebasan berekspresi melalui tulisan sudah lahir dan menjadi bagian hidup di era reformasi. Pikiran yang ternyata tidak berbanding lurus dengan yang ada dalam otak penguasa. Lihatlah bagaimana aparat kejaksaan yang mengadukan Bersihar ke polisi. Mereka terlihat gagap mendefinisikan penghinaan melalui tulisan. Mereka tak sepakat menyatakan bahwa kata “dungu” yang meletikkan ketersinggungan itu berasal dari Bersihar atau sekadar mengutip orang lain.
Hal yang sama juga terjadi dengan Muhammad Faisal di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Faisal yang pernah menjadi wartawan di salah satu media lokal itu kini dipenjara selama empat bulan. Penjara terpaksa dikecap Faisal sebagai akibat tulisannya di rubrik Surat Pembaca sebuah media lokal berjudul “Duh, Gus Dur Kecil”. Tulisan pendek yang berisi kritik terhadap kebijakan dan prilaku memimpin daerah ini rupanya membuat Gubernur Kalsel Sjachriel Darham –kini mantan Gubernur dan mendekam di penjara setelah diadili di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Jakarta—tersinggung. Sang Gubernur mengadukan Faisal ke polisi dengan tuduhan telah mencemarkan nama baiknya (Pasal 310 dan 316 KUHP). Di pengadilan negeri Faisal bebas.
Namun kejaksaan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. MA mengabulkan kasasi itu dan menghukum Faisal empat bulan penjara. Anehnya setelah MA memvonis Faisal, kejaksaan justru tidak langsung melakukan eksekusi. Padahal Faisal tidak pernah meninggalkan Banjarmasin. Hal ini bahkan berlangsung lebih dari dua tahun. Baru pada 13 Oktober 2007, kejaksaan melakukan eksekusi dan menjebloskan Faisal ke penjara. Pada 13 Januari 2008 Faisal akan bebas.
Dua kasus yang berbeda tempat ini menunjukkan betapa tidak arifnya kejaksaan bereaksi terhadap penegakan hukum. Mereka sepertinya sibuk dengan perkara-perkara kecil, tidak prinsipil, tidak mendasar, dan lebih mengedepankan untuk melindungi korps ketimbang menegakkan hukum yang punya dampak besar bagi masyarakat luas dan demokrasi.
Kejaksaan –juga aparat penegak hukum lainnya—rupanya masih terjebak dan menjebakkan dirinya dalam perspektif memahami hukum secara tekstual. Bukan kontekstual. Aparat lupa atau tak mau tahu pasal-pasal pencemaran nama baik dan penistaan dalam KUHP lahir dalam konteks pemerintah kolonial yang menggandangkan aktivis dan masyarakat pro kemerdekaan. Secara kontekstual pasal-pasal yang dikenakan terhadap Bersihar dan Faisal sudah ketinggalan zaman.
Aparat hukum juga lupa dan tak mau tahu dengan konfigurasi politik yang melatarbelakangi lahirnya pasal-pasal dalam KUHP. Bukankah konfigurasi politik yang busuk dan penuh persekongkolan juga akan melahirkan perundang-undangan yang juga busuk. Mungkin ada baiknya jika aparat hukum menahan diri untuk menegakkan pasal-pasal yang selalu penuh kontroversi dan beraroma melanggengkan kekuasaan kolonial di masa silam, hingga pembahasan Rancangan Undang-Undang KUHP yang sedang dibahas di parlemen selesai. Jika tidak dalam rentang sebelum RUU KUHP itu selesai, maka akan jatuh Bersihar-Bersihar dan Faisal-Faisal yang lain. Itukah yang kita inginkan?
Sunday, December 9, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment