Sunday, December 2, 2007

Demokrasi, Iblis, dan Jalan Berliku Sang Calon


Oleh : Budi Kurniawan (Alumnus FISIP Unlam, wartawan, dan penulis buku. Tinggal di Jakarta. E-mail: budibanjar@yahoo.com

Demokrasi kadang jadi misteri. Suara terbanyak yang menjadi salah satu nilai lebih demokrasi dibanding kekuasaan totaliter sering tak mencerminkan kebenaran. Jika suara terbanyak itu adalah iblis, maka sebagai konsekuensi demokrasi maka iblis lah yang jadi pemenang.

Rakyat yang menjadi pemegang saham terbesar demokrasi sering tak mendapatkan dividen politik atas investasi yang mereka tanam dan menjadi haknya. Anggota parlemen dan penguasa yang hanya memiliki sebagian kecil saham demokrasi justru mendapatkan segalanya. Atau malah mengambil banyak hal yang sesungguhnya bukan hak mereka. Pemikiran untuk melaksanakan logika demokrasi yang mengedepankan partisipasi politik rakyat justru sangat sulit terwujud. Bahkan harus menempuh jalan berliku.

Inilah yang kini terjadi dengan draft revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang dilakukan para anggota parlemen di Jakarta. Sikap ngotot mereka terhadap revisi Undang-Undang ini terutama dalam hal syarat calon independen pasca Mahkamah Konstitusi memutuskan dibolehkannya calon perseorangan mengikuti Pilkada. Draft usulan inisiatif DPR calon independen harus mampu mengumpulkan mengumpulkan 3-15 persen Kartu Tanda Penduduk (KTP) dari jumlah penduduk di daerahnya sebagai bentuk dukungan dan uang jaminan sebesar Rp200 juta-Rp 1,4 milyar untuk calon Gubernur dan Rp50 juta-Rp350 juta untuk calon Buati/Walikota misalnya menunjukkan tidak responsifnya mereka pada nilai strategis calon independen dalam kehidupan demokrasi modern.

Padahal untuk mengumpulkan 10.000 KTP saja, calon independen dipastikan akan keteteran. Apalagi jamak diketahui tak ada yang gratis dalam politik. Warga yang “nakal” bisa menjual KTP nya dengan harga tinggi, tanpa memikirkan siapa dan bagaimana kualitas calon pemimpin mereka entah itu maling atau “Nabi”.

Besarnya uang jaminan jika draft revisi Undang-Undang ini disepakati di DPR juga akan menutup peluang calon independen yang berintegritas dan memiliki kapabilitas, tetapi tak punya banyak uang untuk ikut dalam Pilkada. Padahal keberadaan calon independen sangat jelas bertujuan untuk mempermudah partisipasi masyarakat sekaligus menghilangkan dominasi partai politik.

Karena tanpa adanya calon independen, maka sistem partai yang dikembangkan dalam demokrasi Indonesia pasca Orde Baru tumbang tidak akan sempurna. Negara bisa bergerak ke arah oligarki partai dan tak ubahnya sama dengan sistem totaliter semasa Orba berkuasa.

Penjegalan anggota partai politik di parlemen terhadap kemunculan calon independen dengan syarat politik dan ekonomi ini selain menunjukkan bahwa mereka telah mengkhianati demokrasi, juga memperlihatkan ketakutan yang berlebihan. Mereka takut calon yang diusung parpol kalah populer, kalah kelas, kalah integritas, dan kalah kapabilitas dengan calon independen.

Mereka juga takut kehilangan sumber pendapatan yang selama ini bisa didapat dari para calon kepala daerah yang akan maju dalam Pilkada dengan menggunakan perahu partai politik. Karena kesempatan panen uang dalam jumlah sangat besar –selain pada event-event politik lainnya seperti ketika kepala daerah menyampaikan laporan pertanggung jawabannya—itu hanya terjadi ketika sang calon melamar dan memilih menggunakan perahu partai politik untuk maju dalam Pilkada.

Belum jadi kepala daerah saja calon independen sudah harus menempuh jalan berliku. Jika pun mereka kemudian terpilih jalan yang tak kalah berlikunya pun harus juga ditempuh. Kepala daerah dari calon independen harus mengeluarkan tenaga, pikiran, dan dana yang juga besar untuk “menghibur” para anggota parlemen. Jika itu tidak bisa ia lakukan, maka posisi politiknya pasti akan terancam. Gertak sambal dari para anggota parlemen sering berlangsung menjelang event-event politik penting yang menentukan berlanjut tidaknya kepemimpinan seorang kepala daerah.

Teori politik memang mengajarkan bahwa lahirnya instrumen kekuasaan ditentukan oleh konfigurasi kekuatan politik yang ada. Jika konfigurasi politiknya dikuasai dan didominasi partai yang tidak pro rakyat dan hanya mementingkan dirinya sendiri, maka instrumen politik yang lahir pun tidak akan pernah membahagiakan rakyat.

Namun, dalam hal calon independen, sudah saatnya konfigurasi politik yang ada sadar diri. Perubahan adalah keniscayaan. Tak ada yang bisa melawan perubahan.

1 comment:

Anonymous said...

negeri ini memang tidak pernah belajar. kebanyakan manusianya juga hanya menimbun uang untuk kepentingan sendiri.

akibatnya semua yang punya kuasa sedikit saja memanfaatkannya semaksimal mungkin untuk kepentingan sendiri. semua trik yang bisa dilakukan termasuk menjegal calon perseorangan - yang sebenarnya bisa menjadi pengimbang parpol - dilancarkan.

kapan ya indonesia punya lebih banyak orang baik ketimbang orang pintar tapi kemaruk....