PALANGKARAYA - Konflik lahan antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan sawit terus saja terjadi. Tidak hanya karena lahan perkebunan warga yang diklaim menjadi milik perkebunan, konflik makin menjadi karena lokasi-lokasi yang dianggap sakral seperti makam leluhur juga sering ikut tergusur.
Seperti laporan warga kepada aktivis yang tergabung dalam Save Our Borneo (SOB) belum lama ini. Sejumlah warga dari Desa Tanah Putih Kecamatan Talawang Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), Kalteng mengadu karena kebun dan makam keluarga mereka digusur oleh salah satu perusahaan yang beroperasi di kawasan itu.
Koordinator SOB, Nordin mengatakan warga yang mengadu adalah Umbung bin Jahan(58) dan Tarang bin Udil(50). Mereka mengeluh karena pihak perusahaan belum merealisasikan janjinya mengembalikan tanah makam tersebut dan mengganti rugi kebun dan tanam tumbuh milik mereka.
"Umbung minta makam dikembalikan seperti semula dan ganti rugi kebun. Sedangkan Tarang minta makam keluarga mereka juga dikembalikan dan dilakukan tiwah atas kejadian itu. Mereka juga meminta perusahaan melakukan sumpah aday untuk tidak melakukan perbuatan merugikan masyarakat lagi dalam bentuk apapun," kata Nordin, Jumat (2/1).
Dijelaskan, penggusuran makam itu sebenarnya terjadi antara 2003-2004 lalu. Pembukaan lahan oleh perusahaan tersebut membuat delapan makam dan sandung di lokasi yang disebut masyarakat setempat sebagai Padang Agung ikut diratakan.
Para ahli waris marah namun kebingungan karena sadar yang mereka hadapi adalah perusahaan besar. 9 Mei 2005 lalu sempat dilakukan pengecekan lapangan bersama-sama oleh perusahaan, masyarakat serta ahli warisnya.
Lokasi yang bermasalah, baik karena penggusuran makam, maupun tanah, kebun dan ladang masyarakat yang di gusur perusahaan tersebut terdapat di Blok D30T, D31T, E31T, E32T, E34T dan D35T. Namun belum ada tindak lanjut dari hasil pengecekan tersebut sehingga ahli waris terus menuntut.
Senin, 21 Juli 2008 lalu Umbung mengirimkan surat kepada Camat Talawang yang intinya telah terjadi perataan-penggusuran sewenang-wenang oleh perusahaan. Makam tersebut milik orangtua dan kerabat Jaruh, Anoi, Moni, Mido, Wesi dan Irik.
"Mereka berharap pemerintah daerah tidak tutup mata terhadap masalah ini. Para ahli waris juga berencana mengadukan perbuatan pidana perusakan kuburan tersebut ke polisi. Mereka berharp kepolisian juga bersikap adil meski yang dilaporkan adalah perusahaan besar," kata Nordin.
Sebelumnya Gubernur Agustin Teras Narang meminta perusahaan yang beroperasi di Kalteng mencari jalan tengah jika terjadi konflik lahan dengan masyarakat. Jika ternyata terdapat makam atau situs budaya dalam kawasan maka hendaknya tetap diamankan dan tidak diganggu.
Saturday, January 3, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment