Monday, May 28, 2007

Dari Gairah Kebangsaan Hingga Nyanyi Sunyi

Jawa Pos - Minggu, 20 Mei 2007,

Gairah Kebangsaan dalam Menu Masakan

Judul Buku : Melawan dengan Restoran
Penulis : Sobron Aidit & Budi Kurniawan
Penerbit : Mediakita, Jakarta
Cetakan : I, 2007
Tebal : 154 halaman

Mengenang sosok Sobron Aidit seamsal menengadah pandang pada sebuah layang-layang yang sedang tegak tinggi tali. Jauh, tapi terasa begitu dekat. Tinggi, tapi terasa terbang rendah. Adik mantan ketua Centra Commite Partai Komunis Indonesia (PKI), D.N. Aidit itu adalah salah seorang dari sekian banyak "orang-orang terbuang" pasca tragedi 30 September 1965. Sejak 1964, Sobron Aidit bekerja sebagai pengajar Sastra dan Bahasa Indonesia di Institut Bahasa Asing Beijing. Selain itu ia juga menjadi wartawan di Peking Review.

Tak berselang lama setelah Sobron berdomisili di Beijing, tersiar kabar perihal tewasnya Bang Amat (begitu Sobron memanggil kakaknya, D.N. Aidit) setelah dibunuh tentara di Boyolali, Jawa Tengah. Karena sedang berada di Beijing, Sobron dan keluarga serta ratusan orang Indonesia lainnya, selamat dari pembantaian rezim Orba. Mereka terpaksa bermukim di Tiongkok sambil terus berharap bisa pulang ke tanah air. Namun, harapan itu serupa pungguk merindukan bulan, pemerintahan Orde Baru terus-menerus memupuk dendam kusumat pada kaum kiri. Akhirnya, Sobron Aidit harus "menggelandang" di negeri orang. Delapan belas tahun di Tiongkok, 21 tahun di Paris.

Meskipun jauh, hampir setiap hari tulisan-tulisan Sobron (puisi, cerpen, kolom, esai, dan catatan-catatan perjalanan) dapat dijumpai di berbagai mailing list (grup diskusi di internet). Ia berdiskusi, berpolemik bahkan tidak jarang berdebat sengit dengan kawan-kawan penulis muda tanah air. Sobron memang pecandu diskusi, meski usianya sudah renta. Ia tak pernah abai pada kritik dan tanggapan kawan-kawan sesama anggota mailing list terhadap tulisan-tulisannya. Selalu dibalas, dan balasan itu jauh lebih panjang dari esainya yang tengah jadi pusat perhatian. Dalam sehari, tak kurang dari tiga sampai empat tulisan ia kirimkan ke sejumlah mailing list. Rata-rata panjang tulisan itu lebih dari delapan halaman dengan format 1,5 spasi. Sebuah gambaran tentang energi kreatif yang tiada pernah sumbing meski usia Sobron sudah berkepala tujuh.

Dapat dibayangkan betapa sabar dan tekunnya ia duduk berlama-lama di depan komputer. Beberapa hari sebelum Sobron Aidit meninggal dunia pada 10 Februari 2007, seperti diceritakan salah seorang anaknya, dia terpeleset dan jatuh di sebuah stasiun bawah tanah di Paris saat mencari layanan internet. Lagi-lagi untuk urusan berkomunikasi dengan kawan-kawan mudanya di dunia maya, di Indonesia. Sobron sepertinya "tidak di sana", sebab ia sungguh "dekat di sini", di negerinya sendiri, di Indonesia yang selalu disinggahinya, meski hanya lewat internet.

Buku Melawan dengan Restoran yang ditulis Sobron bersama Budi Kurniawan ini adalah salah satu buah dari stamina kepengarangan Sobron yang tiada pernah surut itu. Berbeda dengan buku-buku yang sudah terbit sebelumnya, kali ini Sobron tampil dengan bahasa tutur yang bersahaja, kalimat-kalimatnya dibumbui senda gurau khas kaum eksil. Berkisah perihal suka duka ketika Sobron Cs tertatih-tatih mendirikan restoran Indonesia di Paris. Sobron, Umar Said, J.J. Kusni, Ibbaruri (putera D.N. Aidit) dan kawan-kawan sesama eksil saling bahu-membahu, hingga akhirnya restoran Indonesia pertama pun tegak berdiri di Rue de Vaugirard, jantung kota Paris (1982).

Apa yang hendak dicari Sobron? Selain untuk bertahan hidup, restoran itu saksi bahwa kaum eksil tak sungguh-sungguh merasa terasing dari tanah air mereka, Indonesia. Di restoran itu mereka berjuang, melawan hasrat rindu ingin pulang ke tanah kelahiran. Mereka sajikan aneka masakan khas Indonesia (aasi rawon, gudeg Jogja, rendang Padang dan lain-lain) seolah-olah tidak sedang berada di negeri orang.

Banyak aral melintang menghadang Sobron setelah mendirikan restoran itu. KBRI Perancis bahkan mengeluarkan maklumat larangan berkunjung ke restoran milik orang-orang kiri itu. Tapi, banyak pula yang tidak patuh pada larangan tak masuk akal itu. Masak makan di restoran saja dilarang?

Pertentangan ideologis masa lalu telah membuat hidup Sobron Aidit selalu di bawah tekanan dan ancaman, bahkan dalam urusan restoran yang tujuannya hanya untuk menyediakan lapangan kerja bagi kaum eksil pun dihubung-kaitkan dengan persoalan ideologi. Tapi, begitulah Sobron Aidit! Bila memang lewat restoran itu ia berpeluang melawan, ia tak bakal sia-siakan peluang itu. Sobron akan terus melawan, meski hanya lewat restoran. Nasib dan peruntungan kaum eksil yang terkatung-katung selama berbilang tahun di negeri orang harus diperjuangkan. Lewat menu makanan, Sobron mengibarkan semangat keindonesiaan di restoran yang kemudian menjadi tempat berkumpul yang mengasikkan bagi para pejabat tanah air bila berkunjung ke Prancis. Tak kurang-kurang, mantan presiden Gus Dur berkali-kali singgah di sana.

Kini, Sobron Aidit sudah tiada. Tapi, restoran Indonesia yang berdiri kokoh di jantung kota Paris tetap saja menjadi "posko perlawanan" orang-orang buangan. Begitu pula dengan buku setebal 154 halaman yang (amat disayangkan) penggarapan sampul dan perwajahan isinya tidak maksimal dan buru-buru ini, hendak menikamkan jejak tekstual perlawanan Sobron Aidit lewat restoran, lewat menu rendang Padang yang sudah dimodifikasi sesuai selera orang Paris, lewat obrolan-obrolan nostalgik tentang tanah tumpah darah yang selalu dirindukannya. Terlepas dari anutan ideologi di masa silam, bagaimana pun, Sobron telah menyalakan gairah kebangsaan yang tiada kunjung padam. Maka, Sobron Aidit perlu dicatat, dibukukan, dibaca, dihargai… (*)

DAMHURI MUHAMMAD
Cerpenis, bermukim di Jakarta


Tak Ada Nanyi Sunyi di Sini
(Dimuat Harian Pikiran Rakyat, Sabtu 26 Mei 2007)

Penghayatan adalah simpul terpenting keberhasilan sebuah karya. Catatan harian Anne Frank dianggap sebagai prosa terbesar yang dihasilkan Perang Dunia II berkat penghayatan yang dalam dari gadis cilik tersebut, yang sedang bersembunyi dari pengejaran fasis Nazi Jerman.

Dengan bahasa yang sederhana, gadis itu merekam kecemasan, juga harapan, selama bersembunyi di sebuah gudang di Amsterdam, sampai akhirnya pasukan Nazi memergokinya. Prosa dalam bentuk catatan-catatan harian yang ditulis Anne Frank itu menjadi personifikasi dari mereka yang menderita di bawah telapak kaki kaum fasis pada masa itu.

Demikian juga dengan Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, catatan-catatan Pramoedya Ananta Toer selama dalam pembuangan di Buru, telah menjadi wakil terbaik dari perasaan mereka yang menjadi korban. Catatan Pram itu merupakan karya paling menonjol dari seluruh prosa yang pernah ditulis sehubungan dengan kekejaman politik tiada tara di tahun 1965.

Catatan Anne Frank dan Pram mencapai puncak keberhasilan berkat kedalaman penghayatan mereka atas peristiwa yang menimpa nasib manusia. Catatan-catatan tersebut memang bersifat pribadi, namun mencerminkan apa yang sedang dialami oleh banyak orang dalam satu kurun waktu.

Kedalaman penghayatan, kesungguhan jiwa, itulah kuncinya. Yang melawan arus besar ini hanya akan menemukan nasib terkucilkan. Itulah yang dialami Idrus melalui ceritanya Surabaya yang telah memilih sinisme dalam melukiskan perjuangan rakyat tahun 1945 untuk mengusir penjajahan. Walau begitu, harus diakui bahwa dengan pendekatannya itu Idrus masih menunjukkan keunggulan dalam mempertahankan kekuatan literernya.

Timbul pertanyaan ketika membaca Melawan dengan Restoran karya Sobron Aidit (dengan editor Budi Kurniawan). Apakah sebuah bencana kemanusiaan dengan korban ratusan ribu mati terbunuh dan ratusan ribu lagi dipenjarakan dan dizalimi sebagai akibat dari pertikaian politik tahun 1965, bisa ditulis dengan enteng, tanpa membangkitkan kecemasan bahwa telah terjadi pelupaan terhadap penderitaan korban dan kebengisan pengguasa?

Sesungguhnya yang dialami Sobron fenomenal. Kesengsaraan yang tiada bertepi. Empat puluh tahun terasing dari negerinya sendiri, karena tak bisa pulang dari Beijing di mana dia mengajar bahasa Indonesia, tersebab sebuah rezim militer yang antikomunis sedang marak menyusun pemerintahan di Jakarta, setelah gagalnya Gerakan 30 September tahun 1965. Belasan tahun dia terbuang di Tiongkok dan ikut tergilas Revolusi Kebudayaan yang dilancarkan Mao Tse Tung. Istri tersayangnya meninggal di sana. Kemudian dia melepaskan diri, lari dari negara itu, dan terdampar di Prancis.

Di jantung demokrasi Barat ini, hidupnya memang lebih baik. Dapat bantuan dari pemerintah. Akan tetapi, demi harga diri, tak rela disebut sebagai benalu, Sobron dan beberapa teman senasib mendirikan “Restaurant Indonesia” di wilayah yang cukup strategis untuk bisnis makanan-minuman di Paris. Di dalam buku ini dikisahkan tentang pahit getir ketika membangun restoran tersebut. Yang kalau bukan karena semangat orang yang terbuang, kemungkinan takkan berhasil. Sukacita ketika restoran itu mulai bernapas juga terlukis. Tergambar pula bagaimana restoran itu menjadi pusat pertemuan atau persembunyian, bagi mereka yang berada di luar Indonesia, yang ingin melihat runtuhnya rezim Soeharto. Banyak orang Indonesia yang bebas merdeka singgah di situ. "Gur Dur sejak sebelum jadi presiden, kala sudah presiden, dan saat tidak lagi jadi presiden pun selalu mampir ke resto bila sedang berada di Paris," tulis Sobron.

Uang Nobel Ramos Horta

Ramos Horta pun sering ke situ. Malah dia menyisihkan sedikit dari uang Hadiah Nobel yang dia terima untuk memperkuat daya hidup restoran orang-orang terbuang tersebut. Yang tak diharapkan juga pernah muncul di situ, yaitu seorang tokoh seni rupa Lekra, yang berbalik menjadi kolaborator Orde Baru.

Dia sengaja ke situ untuk memata-matai Sobron (baca buku Sobron yang lain, Kisah Intel dan Sebuah Warung). Masih mujur di negeri jauh itu, sang pendurhaka tidak sempat meninggalkan jejak kejahatannya. Tidak sebagaimana informan Belanda yang bekerja untuk Nazi, yang menunjukkan persembunyian Anne Frank, dan selebihnya dunia pun tahu apa yang terjadi pada gadis kecil itu.…

Sobron memang fenomena. Selain D.N. Aidit, abangnya yang dibunuh militer di daerah Boyolali menjelang akhir 1965, sebagian besar dari keluarganya dibuat merana oleh satu rezim. Dua anaknya yang tak berdosa ikut terbuang bersamanya. Dan yang lebih dramatis lagi, namun sayang tak menggugah Sobron untuk menukik dan menulis sepenuh penghayatan yang berjiwa, tentang bagaimana dia menyerahkan pertahanannya yang terakhir, imannya (yang diwarisinya dari ayahnya, Haji Abdullah Aidit) sebagai seorang Islam, dengan merebahkan diri pada komunitas Kristen (hlm. 111).

Tak bisa dimungkiri, dengan buku ini Sobron memang telah memberikan sumbangan penting pada penulisan sejarah politik Indonesia. Namun, penulis resensi ini siap menerima risiko merasa dipersalahkan untuk mengatakan, sayang Melawan dengan Restoran hanya menampilkan kenyataan di permukaan. Mereka yang mencari roh berkat penjiwaan yang dalam, akan tersesat di buku ini. Buku yang tidak berhasil melepaskan citranya yang tak lebih dari sekadar armchair travelogue, di mana getaran jiwa tak menemukan lubuknya, hambar….***

MARTIN ALEIDA
Sastrawan, tinggal di Jakarta.

1 comment:

Anonymous said...

Hello !.
You may , probably very interested to know how one can collect a huge starting capital .
There is no need to invest much at first. You may start to get income with as small sum of money as 20-100 dollars.

AimTrust is what you haven`t ever dreamt of such a chance to become rich
The company represents an offshore structure with advanced asset management technologies in production and delivery of pipes for oil and gas.

It is based in Panama with structures around the world.
Do you want to become an affluent person?
That`s your chance That`s what you really need!

I feel good, I began to get income with the help of this company,
and I invite you to do the same. If it gets down to select a proper companion who uses your savings in a right way - that`s it!.
I take now up to 2G every day, and my first investment was 500 dollars only!
It`s easy to start , just click this link http://ododinaxe.s-enterprize.com/ucacydi.html
and go! Let`s take this option together to become rich