Sunday, September 30, 2007

Matahari Terbit di Sela Gunung Kembar


Matahari Terbit di Sela Gunung Kembar

Oleh : Budi Kurniawan (Wartawan, Penulis Buku, dan Peminat Sastra. Tinggal di Jakarta. Email: budibanjar@yahoo.com)


kupancing kau masuk hutan, kekasih sayang
dan kau ikuti aku seperti bayangan
tinggal pantai hilang lautan
bertimbun bangkai di kota rebutan
pita merah dan matahari
cinta berdarah sampai mati.

(Revolusi, 1957)


Ketika politik kian jauh dari logika, hukum milik kaum berpunya, kebenaran menjadi paria, jelata merayapi hidup dalam nista, ekonomi hanya penuh angka tak bermakna, perselingkuhan kalangan elite menjadi biasa, dan orang-orang yang sudah tak punya basis ekonomi dan politik silih berganti datang dan pergi dari penjara, kerinduan terhadap perlawanan tiba.

Perlawanan yang dinanti tak hanya datang dari kalangan pergerakan yang memang sudah menjadi khittahnya. Perlawanan melalui berbagai karya sastra, entah itu cerita pendek, esai, puisi, dan sebagainya, itu yang kini dinanti.

Bukankah karya sasta –juga media massa—adalah cerminan zamannya. Ironi rasanya jika zaman edan seperti yang sedang berlangsung saat ini, lewat begitu saja dan tidak dilawan.

Ketika berbicara dalam tataran ini, orang mungkin kembali berdebat tentang “Seni untuk Seni”, “Seni untuk Rakyat”, “Realisme Sosialis”, “Manifestasi Kebudayaan (Manikebu) versus Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra)”, “Politik sebagai Panglima”, “Tinggi mutu ideologi tinggi mutu artistik", dan sebagainya.

Umbul-umbul dan embel-embel ini menjadi semacam kontroversi abadi dan memisahkah dua kutub besar. “Seni untuk Seni” dan “Seni untuk Rakyat”. Lekra di kutub yang satu dan Manikebu di kutub yang lain.

Umbul-umbul dan embel-embel semacam itu di masa silam ketika ideologi sedang baku hantam bisa jadi masalah tersendiri. Namun yang namanya penindasan –juga perlawanan—tak mengenal umbul-umbul dan embel-embel semacam itu. Penindasan tetaplah penindasan. Dan perlawanan wajib dilakukan oleh semua kutub dan aliran kesenian.

Perlawanan bahkan kadang bisa dilakukan dengan sangat santun. Puisi yang panas membara, kadang bisa tampil dingin dan elegan. Meminjam istilah penyair Lekra, Amarzan Ismael Hamid alias Amarzan Loebis, yang penting bukan puisi yang bagus atau tidak bagus, tapi puisi yang menyentuh atau tak menyentuh. Atau, secara sederhana: puisi yang puisi.

Jadi bukan puisi atau karya sastra yang sekadar “berbunyi nyaring” namun kosong belaka. Puisi politik pun bisa menyentuh, bahkan bisa "tidak politik". Sekadar memberi contoh –karena masih banyak puisi perlawanan yang lain yang ditulis para penyair--, puisi berjudul “Revolusi” yang ditulis Agam Wispi pada 1957 misalnya, indah, tinggi mutu, politik sekaligus tidak politik.

kain ini kain sutra
kalau mandi disesah jangan
main ini main berdua
kalau mati disesal jangan

kecitak-kecitung jakarta-bandung
terasa jauh, terasa jauh
jika kau gubuk di kaki gunung
singgahku tidak untuk berteduh.

(Agam Wispi, 1957)

Tetapi bisa juga puisi menjadi sangat politik. Apalagi jika suasana bathin dan fakta yang melatarbelakanginya dramatik dengan tensi ketertindasan yang tinggi. Misalnya puisi tentang Peristiwa Tanjung Morawa, Lubuk Pakam, Sumatera bagian Timur, yang terjadi pada suatu hari pertengahan 1950-an tak lama setelah Konfrensi Meja Bundar yang juga ditulis Wispi.


“Matinya Seorang Petani”
buat L. Darman Tambunan

1.
depan kantor tuan bupati
tersungkur seorang petani
karena tanah
karena tanah
dalm kantor barisan tani
silapar marah
karena darah
karena darah
tanah dan darah
memutar sejarah
dari sini nyala api
dari sini damai abadi

2.
dia jatuh
rubuh
satu peluru
dalam kepala
ingatannya melayang
didakap siksa
tapi siksa Cuma
dapat bangkainya
ingatannya kejaman muda
dan anaknya yang jadi tentera
-- ah, siapa kasi makan mereka? --
isteriku, siangi padi
biar mengamuk pada tangkainya
kasihi mereka
kasihi mereka
kawan-kawan kita
beri aku air, aku haus
dengan lapar tubuh lemas
aku datang pada mereka
aku pulang padamu
sedang tanah kering dikulit
kita makan samasama

3.
mereka berkata
yang berkuasa
tapi membunuh rakyatnya
mesti turun tahta

4.
padi bunting bertahan
dalam angin
suara loliok disayup gubuk
menghirup hidup
padi bunting
menari dengan angin
ala, wanita berani jalan telanjang
di sicanggang
dimana cangkol dan padi dimusnahkan
mereka yang berumah penjara
bayi digendongan
juga tahu arti siksa
mereka berkata
yang berkuasa
tapi merampas rakyat
mesti turun tahta
sebelum dipaksa
jika datang traktor
bikin gubuk hancur
tapi pintu kitagedor
kita gedor


Jadi alangkah aneh dan tidak arifnya ketika segala macam penindasan terjadi, imajinasi kanak-kanak ketika melukiskan matahari terbit di sela gunung kembar, sinarnya menerangi persawahan di bawahnya, dan seorang petani sedang menanam padi, masih saja ada dalam kepala.

Padahal petani yang ada dalam imajinasi itu sudah tak punya tanah, padi yang ditanam tumbuh merana karena pupuk dimakan spekulan, air di sawah mengering, korupsi telah merusak irigasi, dan tengkulak telah menghancurkan nasib sang petani.

Maafkan jika kini saya merindukan karya sastra yang menjadi cermin zamannya. Bukan hanya karya tentang bulan nan indah di langit malam. Namun juga tentang rakyat yang ternistakan.

No comments: