Friday, September 28, 2007

Dua Pelukan, Dialektika, dan Reproduksi Sejarah di Sekitar Peristiwa G 30 S

Oleh: Budi Kurniawan (Wartawan, Penulis Buku “Menolak Menyerah, Menyingkap Tabir Keluarga Aidit” dan Buku “Melawan dengan Restoran” ditulis bersama Sobron Aidit).


Dua puluh delapan tahun silam, seorang jenderal TNI bersilang maaf dengan seorang anak komunis. “Rekonsiliasi” terjadi di balik sebuah tebing di Kawah Upas di Gunung Tangkuban Perahu.

BERDEBAR-debur jantung anak muda berusia 22 tahun itu. Sebentar lagi, ia akan bertatapan mata langsung dengan Sarwo Edhie, mantan Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD). Anak muda itu tahu benar siapa Sarwo Edhie dan sepak terjangnya dalam mengganyak Partai Komunis Indonesia (PKI) pada rentang tahun 1965-1966. Sepak terjang itu diketahuinya seusai menerima pelajaran sejarah di sekolah.

Anak muda itu tak bisa menghindari tatap mata Sarwo Edhie yang mengarah padanya. Ia tak bisa berlindung di antara 72 anggota Wanadri, sebuah kelompok pendaki gunung di Bandung, Jawa Barat, yang hingga kini masih tersohor, yang akan dilantik pada awal tahun 1981. Sarwo Edhie selaku Inspektur Upacara lah yang akan melantik anak muda dan 72 rekannya itu. Sarwo Edhie mengetahui di antara anggota Wanadri yang akan dilantiknya itu terdapat seorang putra Dipa Nusantara (DN) Aidit, Ketua Centra Committee PKI. Sarwo Edhie juga tahu nama anak muda itu, Ilham Aidit.

Jantung Ilham kian berdegub kencang. Ilham berada di baris kedua, dan beberapa detik lagi ia akan berhadapan dan bersalaman dengan Sarwo Edhie. Saat sang Jenderal tiba di hadapannya, Ilham menguatkan diri. Sarwo Edhie menyalami dan menepuk bahu kanan Ilham sesuai dengan tradisi yang biasa dilakukan Wanadri. Mata Sarwo Edhie mengarah pada nama Ilham yang tertera di bagian dada kemejanya. Ilham berusaha tegar menatap mata sang Inspektur Upacara. Sarwo memeluk Ilham. "Ilham, selamat kamu telah berhasil menyelesaikan pendidikan," kata Sarwo.

Pelukan itu hanya berlangsung sekejap. Pelukan itu adalah satu-satunya pelukan di antara 72 siswa Wanadri yang dilantik. Tidak ada yang tahu apa makna pelukan itu, kecuali Sarwo Edhie dan Ilham Aidit.

Pada tahun 1984 –tiga tahun seusai pertemuan pertama-- Ilham kembali bertemu Sarwo Edhie. Ketika itu, Wanadri kembali melakukan pendidikan dasar anggota baru. Pada pelantikan anggota baru yang dilakukan pukul tujuh pagi itu, Ilham menjadi komandan operasi dan Sarwo Edhie sebagai Inspektur Upacara.

Pukul enam pagi, Sarwo Edhie sudah datang. Tiba-tiba, Sarwo Edhie memanggil Ilham. Ia mengajak Ilham berjalan berdua ke balik sebuah tebing di Kawah Upas, Gunung Tangkuban Perahu. Ilham gugup menerima ajakan itu. Hanya sepuluh menit keduanya berbicara di tebing itu.

Dalam pertemuan itu, Sarwo Edhie mengatakan dalam Peristiwa 1965 dirinya melakukan tugas dan kewajiban yang diyakininya sebagai satu hal yang benar. Tetapi setelah itu, dia sadar betul bahwa semua yang dilakukannya itu salah. Ilham terpana mendengar pengakuan itu. Sarwo Edhie mengulurkan tangannya pada Ilham. Tangan Ilham bergetaran. Mereka bersalaman dan berpelukan seperti tiga tahun silam.

Ilham, saat itu menganggap apa yang terjadi antara keduanya adalah semacam rekonsiliasi
Kala itu, ada pembicaraan tentang masa lalu yang menyangkut kebenaran. Kemudian, ada semacam pengakuan bersalah, dan saling memaafkan. "Hanya 10 menit, tetapi maknanya luar biasa. Saya menganggap pertemuan itu semacam rekonsiliasi," kata Ilham.

Saat bertemu pada 1981 itu, sebenarnya Ilham dirasuki perasaan takut dan marah. "Saya sudah tahu apa yang dilakukan Sarwo Edhie pada Peristiwa 1965. Ada kemarahan luar biasa dan ketakutan terhadap figurnya,” kata Ilham.

Tapi Ilham bertahan tegar menatap mata Sarwo Edhie saat bersalaman. Saat mereka bersalaman dan berpelukan, Ilham merasakan ada juga getaran di hati Sarwo Edhie. "Suara pak Sarwo juga bergetar," kenang Ilham. Setelah saling memaafkan, Ilham baru menyadari betapa kabut pagi Kawah Upas yang hening sangatlah dingin. "Saya memahaminya, Pak Sarwo. Dan saya bisa memaafkan," kata Ilham kepada Sarwo. Bagi Ilham kenangan berbincang –walau sesaat— dengan Sarwo Edhie di pagi berkabut itu sangat berkesan.

Usai pertemuan itu, Ilham semakin sering bertemu dengan Sarwo Edhie. Maklum posisi Sarwo di Wanadri adalah anggota kehormatan. Sarwo juga adalah nara sumber dalam pelatihan untuk The Esprit The Corps (Kesetiaan terhadap Korps). "Itu sebabnya saya mengerti bahwa dia adalah orang yang sangat setia terhadap korpsnya. Demikian juga ketika dia ditugaskan untuk menumpas PKI. Mungkin dia menilai bahwa itu tugas dan merasa itu benar," kata Ilham.

Memberi Ruang

Peristiwa itu, seperti yang dituturkannya pada saya ketika menyusun buku “Menolak Menyerah, Menyingkap Tabir Keluarga Aidit” (Era Publisher, 2005), selalu terbayang menjelang peringatan tragedi paling berdarah dan kelam dalam sejarah Indonesia, Gerakan 30 September. Bagi kebanyakan orang di Indonesia, hari itu selalu mengingatkan pada tewasnya beberapa jenderal TNI AD, diumumkannya Dewan Revolusi yang mengkudeta kepemimpinan Presiden Soekarno, pembunuhan para anggota dan mereka yang dituding terlibat dan memiliki hubungan dengan PKI, dan berujung pada lahirnya rezim baru pimpinan Soeharto (Orde Baru).

Sejak menggenggam kekuasaan, Orde Baru selalu mereproduksi ulang peristiwa itu dengan mencampur kisah dan fiksi yang mendiskreditkan PKI –juga lawan-lawan politiknya. Buku-buku yang berpihak dan tidak melalui kajian sejarah mendalam juga objektif diproduksi secara sistematis oleh Orde Baru. Ketika Orba berkuasa tak ada sedikitpun ruang bagi versi sejarah yang isinya berbeda dengan versi yang mereka kembangkan.

Sejak mahasiswa dan sebagian besar elemen masyarakat berhasil menumbangkan Orba pada Mei 1998, barulan berbagai versi sejarah bermunculan. Ada yang berasal dari penelitian pakar, pengakuan korban, dan dari dokumen resmi pemerintah Amerika yang boleh diunduh secara terbuka. Berbagai karya sastra yang ketika Orba berkuasa terlarang diterbitkan dan diedarkan, kini bermunculan.

Fakta dan cerita baru ini sesungguhnya memberi ruang bagi khalayak untuk menyeimbangkan sekaligus mereproduksi nilai dan pemahaman baru yang berbeda dengan apa yang selama ini mereka ketahui. Reproduksi ini bisa bernilai positif bagi penulisan teks sejarah modern Indonesia. Meminjam istilah Prof Sartono yang menyatakan bahwa sejarah adalah sebuah proses dialektika berbagai fakta dan cerita dari masa silam dan kekinian yang berlangsung terus menerus tanpa henti.

Bagi sejarah tak ada terminal terakhir soal satu peristiwa. Dengan atau tidak adanya campur tangan pemerintah, sejarah akan terus bergulir. Fakta dan cerita lama akan terus berpadu. Pemahaman pada satu hal akan ditindih pemahaman baru. Begitu seterusnya.

Dengan reproduksi dan dialektika tanpa akhir itu satu bangsa bisa belajar sejarah terus menerus. Bisa saja satu bagian sejarah ditulis tidak objektif. Namun seleksi alam pikiran yang meragukan fakta dan cerita bisa memilah-milahnya. Komprehensif dan konstruktifnya peristiwa sejarah disusun dan dituturkan menjadi penentu diterima tidaknya fakta dan cerita-cerita itu.

Dialektika dan Reproduksi Terhenti

Sayangnya proses reproduksi dan dialektika ini justru rusak akibat salah kaprahnya pemerintah menerjemahkan dirinya sebagai satu-satunya otoritas yang berhak memproduksi dan mengatur sejarah. Salah kaprah ini terwujud dalam bentuk pelarangan buku-buku teks yang tidak mencantumkan nama PKI sebagai dalang Peristiwa 30 September 1965 dan dihentikannya pembahasan –juga pembentukan—Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) oleh pemerintah dan DPR.

Komisi yang konon mengadopsi penyelesaian konflik politik masa silam seperti di Afrika Selatan pasca Nelson Mandela menjadi Presiden itu sempat membersitkan harapan banyak pihak. Komisi ini menjadi tumpuan penyelesaian dan rekonsiliasi peristiwa-peristiwa politik –bukan hanya pada korban Peristiwa 30 September 1965, tapi juga korban yang jatuh akibat tindakan DII/TII, DOM Aceh, dan korban tindakan negara yang lainnya.

Padahal di sebuah negara yang pernah mengalami konflik berdarah mutlak memerlukan rekonsiliasi sebagai antisipasi pada peristiwa serupa di kemudian hari. Rupanya pasal-pasal dalam RUU KKR menjadi batu sandungan yang kemudian merubuhkan bangunan imajinasi penyelesaian konflik. Pada pasal 27 misalnya disebutkan bahwa rehabilitasi dan kompensasi hanya diberikan kepada korban apabila pelaku mendapatkan amnesti. Kalau tidak mendapatkan amnesti tidak ada kompensasi dan rehabilitasi. Padahal, amnesti tidak bisa dikaitkan dengan rehabilitasi atau kompensasi. Walau pun pelaku jelas-jelas terbukti salah, kemudian tidak mendapatkan amnesti, korban tetap harus mendapatkan rehabilitasi dan kompensasi.

Langkah pemerintah yang memberangus buku-buku dan terkuburnya KKR sesungguhnya telah menghentikan kebebasan masyarakat untuk belajar sejarah secara komprehensif dan terbuka. Sadar atau tidak, pemerintah telah menghentikan proses reproduksi dan dialektika sejarah. Jika dua hal itu lindap, maka tak hanya rekonsiliasi psikologis seperti yang dialami Sarwo Edhie dan Ilham di tebing Kawah Upas saja yang sia-sia. Tetapi juga rekonsiliasi seluruh komponen bangsa.

No comments: