Thursday, September 27, 2007
Menyelami Misi Dakwah Seorang Faisal (Bagian Pertama dari Dua Tulisan)
Berita Opini Harian Radar Banjarmasin
Kamis, 27 September 2007
Oleh: Ali Mustofa *
HARI masih gelap ketika telepon dirumah kontrakanku berdering kencang. Pagi itu tanggal 13 September 2007, seorang kawan dari Banjarmasin tergopoh-gopoh mengabarkan bahwa Faisal barusan dijebloskan ke penjara oleh Kejaksaan Negeri Banjarmasin. Penulis yang merasa mempunyai “andil’ atas terjadinya kasus ini ikut tersentak atas penahanan Faisal.
Segera ingatanku menerawang pada kejadian-kejadian tujuh tahun lalu tepatnya tahun 2000 silam. Saat itu Gubernur Kalsel Sjahriel Darham sedang berada di puncak kekuasaannya. Roda pemerintahan Kalsel yang dikendalikannya tengah mendapatkan sorotan deras dari masyarakat luas di Kalimantan Selatan. Tak lain karena saat itu, mantan Gubernur yang sekarang menghuni hotel prodeo di Jakarta itu sedang “jalan-jalan” ke Jerman dan China untuk studi banding dengan membawa rombongan besar yang diduga keras menghabiskan uang APBD Kalsel. Kunjungan ini terkait dengan proyek pengerukan alur Barito yang menggandeng “perusahaan bonafid“ dari China bernama CHEC. Belakangan diketahui bahwa perusahaan itu hanyalah perusahaan ecek-ecek yang kemudian terbukti bermasalah. Hartono Limin yang menjadi dedengkot perusahaan CHEC akhirnya juga masuk bui.
Sepulang studi banding, Banjarmasin saat itu berubah menjadi semarak dengan hiasan aneka spanduk dan umbul-umbul penyambutan sang penguasa. “Selamat atas keberhasilan meraih investasi 33 miliar/triliun?”, begitu kira-kira salah satu bunyi spanduk yang digelar oleh para pendukung sang penguasa. Belakangan juga terbukti bahwa investasi Rp33 triliun yang gembar-gembor akan ditanam oleh negara luar itu hanyalah pepesan kosong belaka.
Pendek kata, sang penguasa pada waktu itu memang sedang menebar pesona dan angin surga bagi masyarakatnya. Namun bagi seorang Faisal, ulah sang penguasa itu dinilainya sebagai bentuk kebohongan publik dan kesemena-menaan penguasa. “Kita tidak boleh diam, kita harus melakukan sesuatu,” katanya. Lantas beberapa tindakan pun diambil. Diantaranya dengan menulis surat pembaca di media massa. Salah satu surat pembaca yang kemudian mengantarkannya ke penjara berjudul “Duh Gus Dur Kecil”. Karena perilaku sang penguasa Kalsel saat itu yang mirip-mirip dengan aksi Gus Dur khususnya dalam konteks hobi “melancongnya”.
Misi Dakwah
Alhasil apa yang dilakukan seorang Faisal pada waktu itu sesungguhnya tak lain adalah wujud tanggung jawab sosialnya atas terjadinya penyimpangan perilaku sang penguasa yang dinilainya lalim dan sewenang-wenang. Sekiranya pada waktu itu Pemerintah Kalsel berjalan lurus-lurus saja tentu tidak akan muncul surat pembaca yang bernada keras dari seorang Faisal. Seandainya, penguasa waktu itu tidak melakukan kebohongan publik, tentulah Faisal tidak melakukan perbuatannya yang kemudian mengantarkannya ke penjara. Tidak ada asap kalau tidak ada api. Tidak ada reaksi kalau tidak ada aksi.
Kritik seorang Faisal sesungguhnya juga merupakan representasi aspirasi publik yang berkembang saat itu sehingga harus dimaknai sebagai langkah positif untuk perbaikan jalannya pemerintahan daerah. Dari sisi agama, seorang Faisal sebenarnya juga sedang melaksanakan misi dakwah yaitu menyikapi tindak-tanduk sang penguasa yang telah keluar dari koridor amanah yang diembannya.
Sebagai bagian dari warga rakyat biasa tentu seorang Faisal juga berhak untuk memberikan nasehat kepada penguasa. Karena nasihat adalah hak setiap orang, mulai dari rakyat jelata hingga para penguasa. Artinya, penguasa juga mempunyai hak untuk dinasihati. Sebaliknya, nasihat menjadi kewajiban bagi setiap mukallaf, tatkala menyaksikan kemungkaran atau kezaliman yang dilakukan oleh orang lain; baik pelakunya penguasa maupun rakyat jelata. Inilah yang dinyatakan dalam hadis Nabi SAW: “Agama adalah nasihat; untuk Allah, Rasul-Nya, para pemimpin kaum Muslim, dan orang-orang awam” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Karena itu, nasihat sebagai upaya mengubah perilaku mungkar atau zalim orang lain, baik penguasa maupun rakyat jelata, sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari konteks dakwah bi al-lisân (melalui lisan maupun tulisan), sebagaimana sabda Nabi SAW: “Siapa saja yang menyaksikan kemungkaran, hendaknya mengubahnya dengan tangan-nya. Jika tidak mampu, hendaknya dengan lisannya” (HR Muslim).
Karena itu, tindakan mengkritik kebijakan zalim atau mungkar yang dilakukan oleh penguasa, baik secara langsung ketika berada di hadapannya maupun tidak langsung, misalnya melalui tulisan, demonstrasi atau masîrah, bukan saja boleh secara syar‘i, tetapi wajib. Kewajiban ini bahkan pahalanya dinyatakan sebanding dengan pahala penghulu syuhada, yaitu Hamzah bin Abdul Muthallib, seperti dalam hadis Nabi SAW: Penghulu syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthallib dan orang yang berkata di hadapan seorang penguasa yang zalim, lalu dia memerintahkannya (pada kemakrufan) dan melarangnya (terhadap kemungkaran), kemudian penguasa itu membunuhnya” (HR al-Hakim).
Apa yang dilakukan oleh para Sahabat terhadap Umar dalam kasus pembatasan mahar atau pembagian tanah Kharaj hingga kain secara terbuka di depan publik adalah bukti kebolehan tindakan ini. Memang, ada pernyataan Irbadh bin Ghanam yang mengatakan, “Siapa saja yang hendak menasihati seorang penguasa, maka dia tidak boleh mengemukakannya secara terbuka, tetapi hendaknya menarik tangannya dan menyendiri. Jika dia menerimanya maka itu kebaikan baginya; jika tidak, pada dasarnya dia telah menunaikannya.Akan tetapi, pada dasarnya pernyataan tersebut tidak menunjukkan adanya larangan mengkritik atau menasihati penguasa di depan publik; ia hanya menjelaskan salah satu cara (uslûb) saja.
Dengan demikian, bisa disimpulkan, bahwa menasihati penguasa atau mengkritik kebijakan penguasa yang zalim, termasuk membongkar kemungkaran atau kebohongan publik seperti yang dilakukan oleh seorang Faisal hukumnya wajib, hanya saja cara (uslûb)-nya bisa beragam; bisa dilakukan langsung, dengan bertemu face to face; atau secara tidak langsung, dengan melalui tulisan, surat, demonstrasi atau masîrah. Melakukan upaya dengan lisan—termasuk melalui tulisan, seperti surat pembaca , buletin, majalah, atau yang lain—baik langsung maupun tidak, jelas lebih baik ketimbang upaya bi al-qalb (dengan memendam ketidaksukaan), apalagi jika tidak melakukan apa-apa, sementara terus mengkritik orang lain yang telah melakukannya. (bersambung)
*) Penulis warga Banjarmasin yang sekarang tinggal di Semarang
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment