Sunday, September 23, 2007

Antara Metta, Faisal, dan Pembungkaman Itu

Oleh : Budi Kurniawan (Alumnus FISIP Unlam dan Aktivis Journalist and Writer Forum of Borneo. Email: budibanjar@yahoo.com)

Metta Dharmasaputera, wartawan Majalah Berita Mingguan TEMPO, kini mengalami masalah. Komunikasi intensnya dengan narasumber yang memberikan data sangat lengkap tentang praktik bisnis curang dan illegal justru bocor. Komunikasi dilakukan Metta, satu diantara tiga bersaudara wartawan berdarah Tionghoa, ini untuk membongkar praktik curang yang sering menjadi ciri “khas” pebisnis Indonesia. Sayangnya investigasi yang dilakukan Metta justru mengantarkannya pada masalah.

Dengan alasan yang tak jelas aparat keamanan justru meminta rekaman komunikasi itu –termasuk pesan-pesan pendek—antara Metta dan narasumbernya. Rekaman komunikasi itu tak ayal membuat kerahasiaan terbongkar dan Metta berada dalam bahaya. Betapa tidak selain membocorkan investigasi yang dilakukan, tindakan aparat itu menjadi tanda tanya besar. Karena komunikasi yang dilakukan Metta tidak ada hubungannya dengan tindakan makar, terorisme, dan membahayakan kepentingan publik. Kasus ini kini mengemuka dan menjadi perhatian khalayak di Jakarta. Tak kurang Dewan Pers turun tangan.

Dalam tataran yang hampir sama, kasus di sekitar dunia kewartawanan dan pers juga terjadi di Banjarmasin. Sebuah tulisan pendek yang ditulis Muhammad Faisal dan dimuat di salah satu koran lokal berbuah penjara. Surat pembaca berjudul “Duh Gus Dur Kecil” isinya mengkritik kebijakan Gubernur Kalimantan Selatan Sjachriel Darham –kini mantan Gubernur dan divonis hukuman penjara selama empat tahun oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Jakarta—dalam soal pengerukan alur Barito dan perjalanan yang dilakukan Sjachriel dan keluarganya ke luar daerah.

Tak terima dengan surat pembaca itu Sjachriel mengadukan Faisal ke polisi. Pengaduan itu menjadi dasar penyelidikan dan penyidikan. Di pengadilan Faisal menang. Kejaksaan tidak terima dengan vonis pengadilan itu dan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Setelah sempat terkubur selama hampir dua tahun –ini anehnya—Kejaksaan melakukan eksekusi terhadap Faisal dan menjebloskannya ke Lembaga Pemasyarakatan Teluk Dalam Banjarmasin beberapa waktu lalu. Keputusan kasasi Mahkamah Agung itu membuat Faisal meringkuk dalam penjara selama empat bulan.

Mencuatkan Diskursus

Kasus yang menimpa Faisal ini mau tidak mau mencuatkan kembali diskursus terhadap kebebasan berekspresi (berpendapat, menulis, dan berbicara) yang dilindungi Undang-Undang dan menjadi salah satu dari unsur Hak Asasi Manusia yang sesuai dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.

Ketika kritik disampaikan masyarakat –siapa pun orangnya—terhadap jalannya kekuasaan dan tindakan para penguasa justru berbuah penjara, maka masa kelam pembungkaman seperti yang terjadi ketika Orde Baru berkuasa telah kembali. Padahal tindakan semacam ini menjadi musuh bersama dalam era yang kini jauh lebih terbuka.

Lebih jauh lagi ketika kritik dengan sangat mudah dibungkam, maka para penguasa akan semakin memaharaja melakukan tindakan apa pun. Kontrol yang dilakukan para aktivis –juga kalangan pers—akan menjadi sia-sia. Dan kekuasaan yang selalu cenderung korup dan menyengsarakan rakyat banyak akan makin seenaknya.

Karena itu kasus ini bukan sekadar menyangkut diri Faisal. Namun kasus ini menjadi starting point kembalinya kekuasaan lalim yang dengan sangat mudah membungkam kritik. Padahal era pembungkaman sudah lama berlalu. Kebebasan pers yang dituangkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan merupakan perubahan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan Pokok Pers, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1967 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 karena sudah tidak sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman.

Diktum Undang-Undang Pers jelas menyebutkan bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis, sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 harus dijamin.

Diktum itu juga menyebutkan bahwa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis, kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani dan hak memperoleh informasi, merupakan hak asasi manusia yang sangat hakiki, yang diperlukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejateraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa;

Undang-Undang itu juga menyebut peran pers sebagai wahana komunikasi massa, penyebar
informasi, dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional, sehingga harus mendapat jaminan dan perlindungan hukum, serta bebas dari campur tangan dan paksaan dari manapun.

Wajib Dilawan

Berdasarkan pemikiran bahwa pembungkaman terhadap kritik konstruktif yang disampaikan siapa pun terhadap jalannya kekuasaan dan kebijakan yang diambil penguasa itulah maka kalangan aktivis di Banjarmasin pada Rabu (21/9) menggelar “Malam Melawan Pembungkaman”. Acara yang digelar di halaman terbuka kampus Universitas Lambung Mangkurat, diterangi obor nan bersahaja, dan juadah sederhana, itu dihadiri oleh hampir semua kalangan, termasuk wartawan dan pekerja media lainnya.

Satu pesan yang terungkap jelas dari acara itu adalah pembungkaman dalam bentuk apa pun dan diterapkan pada siapa pun harus dilawan. Karena hal itu menyangkut kebebasan masyarakat untuk menyampaikan pendapatnya. Jika kemudian penguasa yang dikritik tidak terima, jalur yang diatur oleh instrument perundang-undangan sesungguhnya sudah jelas.

Undang-Undang Pers misalnya dijelaskan adanya hak jawab yang bisa dilakukan pihak-pihak yang tidak terima dengan kritik dan pemberitaan yang dianggap telah merugikan dirinya. Pers sendiri diwajibkan memuat hak jawab itu. Memang Undang-Undang tidak menyarankan dengan sangat tegas penggunaan hak jawab diutamakan sebelum pengaduan pidana oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan.

Namun, di era yang sudah jauh berbeda ketimbang era Orde Baru yang biasa menggunakan cara-cara refresif, maka metode hak jawab sesungguhnya bisa dikatakan sebagai salah satu solusi jika persoalan soal pers dan kritik terjadi.

Dari Kalsel Menyelamatkan Indonesia

Apa yang dilakukan para aktivis muda Kalsel dalam dua pekan terakhir ini selain menunjukkan adanya reaksi terhadap pembungkaman hak berpendapat sesungguhnya menyiratkan pesan mendalam. Dalam soal kebebasan pers dan berpendapat Kalsel sesungguhnya saat ini sedang dalam proses menyelamatkan Indonesia.

Betapa tidak, ketika kebebasan pers dan berpendapat yang merupakan salah satu hasil reformasi terancam melalui kasus yang menimpa Faisal, para aktivis dan semua kalangan bereaksi. Tidak bisa dibayangkan betapa buruknya dampak kasus Faisal ini bagi kebebasan pers dan berpendapat di Indonesia, jika dalam kasus serupa keputusan kasasi MA menjadi yurisprudensi. Maka polah penguasa dan kekuasaan yang cenderung korup dan karenanya wajib diawasi, dikritik, dan dikabarkan secara terbuka dan objektif, akan semakin memaharaja. Jika itu yang kemudian terjadi, maka percayalah kebebasan berpendapat bisa jadi akan tinggal cerita. Dan kekuasaan berlangsung kian seenaknya.

No comments: