Banjarmasin Post, Senin, 17-09-2007
Imaji atau stigma ini harus diakui sebagai bagian dari realitas masa lampau.
Oleh: Baron R Binti (Urang Banjar dari Suku Dayak Ngaju)
Adalah satu persoalan besar ketika ada kegagalan negara menjalankan perannya selaku pemegang monopoli atas kekuasaan. Padahal, dikehendaki otoritas tersebut mampu mengendalikan serta menjalankannya untuk kesejahteraan rakyat. Inilah yang menjadi substansi persoalan sehingga terjadi konflik etnis di Sampit.
Tulisan sederhana ini ingin memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya terhadap tulisan Budi Kurniawan berjudul, Kayau yang Disesatkan (BPost, Selasa 14 Agustus 2007, Rubrik Opini).
Penyesatan persepsi dalam buku karangan MTH Perelaer berjudul Desersi: Menembus Rimba Raya Kalimantan tentang kayau atau mengayau memang terasa memperburuk imej suku Dayak. Dalam buku berjudul Borneo van Zuid naar Noord ditulis sebagian latar belakang novel ini adalah Perang Banjarmasin, ketika orang-orang Dayak, selain orang Banjar, mengangkat senjata melawan Belanda.
Satu hal yang barangkali penting dipahami menyangkut perannya sebagai salah seorang pelaku yang dilibatkan MTH Perealer dalam novel tersebut yaitu keyakinannya mengikuti jalan Kristus menjadi awal suatu pertobatan seorang tokoh yang sangat diperhitungkan Belanda. Penjajah tentu punya alasan khusus sehingga perlu mengangkatnya menjadi Temanggung Dayak. Secara tersirat Temanggung Ambo memiliki keinginan kuat menjadikan jalan Kristus sebagai pintu keluar dari salah satu kebiasaan buruk seperti mengayau, yang di zaman itu dipahami sebagai lambang keperkasaan dan penaklukan.
Kayau atau tetek uyat (bahasa Dayak Ngaju) hanya salah satu dari imaji populer tentang uluh Dayak. Selain narasi yang banyak bertutur tentang kehidupan komunal di rumah betang, lengkap kisah menenteng mandau, serta primitifisme sebagai simbol kemiskinan dan keterbelakangan.
Imaji atau stigma ini harus diakui sebagai bagian dari realitas masa lampau. Kenyataan pada hari ini bahwa komunitas Dayak tetap akrab dengan kehidupan pilu karena masih belum terlepas dari lingkaran setan kemiskinan maupun kebodohan. Semua ini terjadi akibat belum ada kebijakan publik yang lebih adil sehingga komunitas suku Dayak yang sebagian besar hidup di daerah pedalaman belum memperoleh keadilan atau kesempatan memadai untuk menikmati kemajuan pembangunan.
Ada kesan, ukuran kemajuan di Provinsi Kalteng dilihat dari kemegahan bangunan kantor-kantor pejabat publik, termasuk rumah-rumah, mobil-mobil mewah jabatan para pemangkunya. Padahal, sebagian kabupaten hanya memiliki jalan beraspal sepanjang puluhan kilometer saja. Itu pun jadi bubur di musim hujan.
Kemajuan peradaban belum diprioritaskan untuk sebanyak mungkin membangun gedung sekolah dan rumah-rumah guru yang memadai. Membangun sarana pelayanan kesehatan yang nyaman dan modern atau membangun rumah-rumah yang benar-benar murah hingga mampu dibeli sebagian besar masyarakat yang masih tinggal dibangunan kumuh dan tidak layak huni.
Ketidakadilan sosial, ekonomi dan hukum banyak dialami suku Dayak. Inilah yang menjadi pemicu konflik tahun 2001 di Sampit yang sama sekali tidak kita inginkan. Kerusuhan disertai aksi anarkis nyaris menyebar ke seluruh wilayah kabupaten di Kalteng. Peristiwa ini adalah tragedi paling komplit, karena selain memilukan, juga memalukan.
Di akhir tulisannya, Budi Kurniawan menyatakan tinggal kemudian bagaimana generasi muda Dayak berbuat mengubah dirinya secara sistematis menjadi suku yang disegani, bukan ditakuti. Pendapat ini benar dan cerdas karena orang Dayak akan lebih dihargai bila tidak lagi miskin dan bodoh. Lebih jauh mungkin perlu ditumbuhkan pemahaman bahwa keberhasilan pembangunan di Kalimantan Tengah, tidak lagi diukur dari bangunan megah gedung-gedung pemerintah kabupaten atau banyaknya orang Dayak yang berhasil menjadi pengusaha kaya atau sukses menjadi pejabat tinggi, namun ditambah parameter lain. Misalnya, dihitung semakin kecil jumlah orang Dayak yang miskin, kemerdekaan dari kebodohan dan semakin sedikit orang Dayak yang menjadi narapidana tindak pidana korupsi.
e-mail: binti_advocat@yahoo.co.
Sunday, September 23, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
pembangunan di kalteng akan menuju kalteng yang maju dengan berbagai masalah di dalamnya, terutama masalah sosial di dalam masyarakatnya. pembangunan fisik yang gencar tanpa memperhatikan pembangunan sosial akan membuat hancur kalteng dengan sendirinya. masalah yang ada, seperti di palangkaraya, tidak adanya kelompok kiri, atau LSM yang mengkritik pemerintah dengan lebih tegas.kebanyakan malah meng-iyakan segala keputusan pemerintah. banyak orang bangga dengan berbagai kemajuan di kalteng, tetapi saya malah justru bersedih karena kalteng akan menjadi daerah-daerah lainnya di indonesia, seperti Jakarta, jawa dan berbagai daerah lain yang sudah terlanjur salah jalan dalam pembangunan.
Lussua, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, UKSW
Post a Comment