Friday, September 28, 2007

Bukan Sekadar Faisal

Berita Opini Harian Radar Banjarmasin

Selasa, 18 September 2007


Oleh: Nasrullah


SAYA yakin, kedatangan kaum akademisi, mahasiswa, kalangan parpol, aktivis LSM maupun kalangan jurnalis yang menjenguk Faisal di tahanan, bukan sekadar solidaritas untuk Muhammad Faisal saja. Percayalah, kedatangan mereka untuk hal-hal yang lebih jauh. Anda jangan beranggapan, “Ko’ Faisal aja dibela”. Padahal saya sendiri, mungkin juga anda, boleh jadi tidak akan setegar Faisal yang harus berjuang di setiap persidangan membela diri dari dakwaan, hingga berujung sebuah keputusan bernama penjara.

Ada kekhawatiran kasus Faisal berpengaruh kepada para aktivis jurnalis, akan menyendatkan goresan pena untuk menulis, atau membuat kaku ujung jari untuk mengetukkannya di atas keyboard komputer maupun mesin tik. Inilah dunia penulis, antara pena dan penjara di masa sebelum reformasi jaraknya terlampau dekat. Kita terlanjur berharap banyak, ketika reformasi bergulir jarak pena dan penjara itu semakin jauh. Namun yang terjadi pada Faisal misalnya, saat bangsa Indonesia berbulan madu dalam reformasi, ternyata kebebasan mengekspresikan pendapat lewat tulisan ternyata tidak dimiliki oleh setiap orang. Lebih celaka lagi, terjadi di Kalimantan Selatan ini.

Kita mesti melihat pengalaman Faisal dalam hubungan antara penulis dan penguasa, setidaknya ada tiga kemungkinan pilihan tulisan yang akan disampaikan. Pertama, membenarkan, kebenaran versi penguasa. Bagi sang penulis apapun menjadi kebijakan penguasa akan selalu benar, pokoknya “semua baik-baik saja Pak”. Kedua, mempertanyakan kebenaran. Bagian ini, apa yang disampaikan penguasa, bukanlah sebuah kebenaran mutlak, jadi memberikan peluang untuk dipertanyakan. Ketiga, menyatakan kebenaran kepada penguasa, yakni kebenaran itu bukan hanya milik penguasa, melainkan penulis atau bahkan orang lain memiliki pandangan tentang kebenaran versi mereka sendiri.

Jika mengambil pilihan pertama, maka kita akan bermesraan dengan penguasa. Boleh jadi mendapatkan fasilitas enak, karena mendapatkan “proyek maambung” demi menyenangkan penguasa. Namun kita melupakan suara-suara rakyat, bahkan suara dari hati nurani kita sendiri tidak akan didengarkan. Pilihan kedua, kita akan menjadi pengawal kebijakan penguasa. Bukan untuk membenarkan, tapi menjadi navigator untuk melihat jalan mana semestinya ditempuh, barangkali perselisihan dengan penguasa akan terjadi. Pilihan ketiga, menjadi pilihan sulit bagi orang yang terbiasa berdekatan dan bermesraan dengan penguasa. Tapi pilihan ketiga, Anda menjadi juru bicara rakyat dan nurani Anda sendiri untuk menyatakan kebenaran-kebenaran yang terlindungi oleh gemerlapnya kekuasaan dan atas kebenaran tunggal dari penguasa.

Terhadap pilihan kedua dan ketiga ini, jika seorang penguasa atau pemimpin maupun pejabat mengerti akan hak berpendapat dalam kehidupan berdemokratisasi dan meniadakan sakralisasi kekuasaan. Maka ia menempuh jalan dialog, atau pena diladeni dengan pena juga, sehingga akan terbuka berbagai kemungkinan lebih luas untuk melihat kebenaran dari berbagai sudut pandang.

Saya yakin pilihan Faisal adalah kedua dan ketiga, jika Anda pembaca pernah menempuh pilihan-pilihan tersebut, saya yakin Anda akan mengetahui mengapa nabi bersabda “Jihad yang paling disukai di sisi Allah adalah perkataan yang benar diucapkan kepada imam (pemimpin) yang palsu/curang”. Sebab menyatakan kebenaran melalui tulisan sekalipun, bukanlah perkara mudah apalagi kebenaran anda tidak bisa diterima. Risikonya, kalau Anda tidak bisa dipanggil sang Penguasa, maka keluarga Anda akan mendapatkan getahnya. Jika keluarga Anda mempunyai hubungan struktural dengan penguasa tersebut, bersiap-siaplah karena Anda, maka hubungannya dengan penguasa akan terancam, barangkali ancaman penurunan jabatan. Sungguh pengalaman seperti ini turut saya rasakan.

Seorang penulis akan mampu mengekpresikan pikiran-pikirannya, apabila tidak ada ketakutan apakah tulisan itu salah, dicemooh orang, atau bahkan mendapat tekanan dari banyak. Seorang penulis yang tegar tak akan goyah dengan berbagai kecaman. Tapi menjadi pertanyaan, siapakah yang setegar itu? Apalagi dengan kejadian dialami Faisal, akan melayukan semangat para penulis menyuarakan kebenaran. Sungguh kita tidak berharap Faisal kebal hukum, jika ia memang salah. Justru ada perkara lain yang tidak bisa disepelekan, yakni kebebasan berpendapat lewat tulisan untuk menyuarakan kebenaran tersebut. Itulah yang sangat dikhawatirkan.

Saya yakin, bagi Faisal di dalam penjara tidak akan memenjarakan jiwanya, dia tahu penjara merupakan sekolah bagi para penulis untuk mempertajam nuraninya dan mengkilatkan ujung pena. Faisal tahu, banyak karya besar lahir dari dalam penjara, bukan dari hotel berbintang. Pramoedya Ananta Toer bahkan mengatakan, “karena kau terus menulis, namamu akan abadi hingga jauh, jauh dikemudian hari”. Maka jangan pernah sama sekali, minta pengurangan masa tahanan baginya, saya yakin Faisal tidak akan pernah berharap untuk itu. Kita menunggu saja, ia akan melahirkan karya-karya besar dari dalam tahanan.

Saya lantas berpikir, jika hal seperti ini terjadi kembali. Seorang Faisal saja yang cukup disegani dan mempunyai banyak teman dari berbagai kalangan, tidak terjamin kebebasan mengeluarkan pendapat apalagi orang seperti saya. Imbasnya bagi media massa juga merupakan pukulan, sebab mereka akan kehilangan para penulis yang memberikan kritik kepada pemerintah ataupun penguasa.

Maka kedatangan kaum akademisi, mahasiswa, kalangan parpol, aktivis LSM maupun kalangan jurnalis yang menjenguk Faisal di tahanan bukan sekadar demi Faisal belaka. Tapi karena kesedihan kita seperti dikatakan Budi Kurniawan mengancam hak berekspresi dan kebebasan pers. Semestinya lebih banyak pihak lagi turut menyesalkan kejadian ini, kalau saya pemimpin daerah Kalimantan Selatan, tentu akan turut berduka cita karena belenggu terhadap kebebasan untuk mengemukakan pendapat lewat tulisan di media massa belum sepenuhnya hilang. Sebagai pemimpin Kalsel, sayalah orang yang lebih dulu bersedih dan berteriak, namun sayangnya justru hal itu yang tak terdengar.***


*) Mahasiswa Pascasarjana Antropologi UGM

Aktivis Journalist and Writer Forum of Borneo

No comments: