Friday, September 28, 2007

Menyelami Misi Dakwah Seorang Faisal (Bagian Terakhir dariri Dua Tulisan)

Berita Opini Harian Radar Banjarmasin
Jumat, 28 September 2007

Oleh: Ali Mustofa *,-


ADA keadaan umum mengatakan bahwa nilai manusia itu sengguhnya ditentukan oleh nama baiknya yaitu nama baik dari sisi penilaian manusia dan penilaian dihadapan KhalikNya. Adapun pengertian “kehormatan” merujuk kepada “respect” (rasa hormat) yang merupakan hak seseorang sebagai manusia. Sedangkan pengertian “nama baik” merujuk pada “mengurangi kehormatan seseorang di mata orang lain”.

Penilaian tentang nama baik di hadapan Tuhan adalah hak prerogatif Tuhan dan manusia tidak berwenang untuk campur tangan atasnya. Tetapi nama baik yang bersandar pada penilaian manusia mempunyai kriteria-kriteria yang bisa dijadikan pegangan bersama.

Sebagai contoh seorang penguasa yang suka berzina, korupsi dan menyimpangkan amanah yang diembannya maka masyarakat luas akan menilainya bahwa penguasa tersebut sebenarnya sudah tidak pantas lagi menjadi pemimpinnya. Dengan kata lain nama baik sang penguasa telah hilang dimata rakyat yang dipimpinnya. Nama baik adalah penilaian yang dilakukan oleh orang luar sebagai konsekuensi dari perilaku yang dilakukan oleh seorang penguasa.

Pertanyaan pun muncul, kalau seorang penguasa bertindak zalim dan menyimpangkan amanah yang di embannya, masihkan ia dianggap mempunyai nama baik? Sehingga ia berhak untuk menuntut orang lain yang mengkritiknya karena telah dianggap mencemari nama baiknya? Bukankah “label” nama baik itu diberikan oleh orang lain bukan karena SK atau melekat pada jabatan yang diembannya?

Itulah sebabnya, dalam masyarakat demokratik yang modern, delik penghinaan tidak boleh lagi digunakan untuk menghambat “kritik” dan “protes’ terhadap kebijakan pemerintah atau penguasa. Terhadap pasal-pasal pencemaran nama baik yang dituduhkan pada Faisal dengan merujuk pasal 310 KUHP sesungguhnya pada ayat (3)nya menyatakan bahwa bila kritik itu dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri, maka perbuatan tersebut bukan tindakan “pencemaran”. Dibedakan juga antara “pencemaran” (pasal 310), dengan “fitnah” (pasal 311). Bahwa dalam delik “pencemaran” dan “pencemaran tertulis”, tidak disyaratkan bahwa apa yang dikatakan tentang korban adalah tidak benar (onwaar).

Lain halnya pada “fitnah”, di sini dipersyaratkan bahwa pelaku harus mengetahui bahwa apa yang dikatakan tentang korban adalah tidak benar. Dengan demikian kalau kemudian apa yang dituduhkan oleh seorang Faisal itu benar adanya, maka seyogyanya ia bukanlah suatu fitnah atau mengada-ada karena terbukti.

Memang rumusan kata-kata dalam perundang-undangan hukum pidana sering harus ditafsirkan, dan ini merupakan tugas hakim dan para akamedisi (termasuk penemuan hukum). Dengan mempertimbangkan perkembangan nilai-nilai social dasar (fundamental social values) dalam masyarakat demokratik yang modern, maka delik penghinaan tidak boleh lagi digunakan untuk menghambat “kritik” dan “protes’ terhadap kebijakan pemerintah (pusat dan daerah), maupun pejabat-pejabat pemerintah (pusat dan daerah)..

Karena itu bagi aparat penegak hukum, seyogyanya pertimbangan untuk menjatuhkan hukuman pada Faisal tidak hanya semata-mata mendasarkan diri pada fakta hukum yang sifatnya tekstual yang seringkali multi tafsir tetapi harusnya juga dengan menyelami asbabul nuzul atau asal usul lahirnya surat pembaca itu. Selain itu juga menggali kebenaran kontekstual berdasarkan aspirasi yang berkembang di masyarakat. Sehingga hukum yang ditegakkan benar-benar hukum yang berkeadilan sesuai dengan aspirasi masyarakat.

Dampak hukum yang timbul juga perlu di pikirkan karena akan lebih strategis bagi aparat penegak hukum untuk mengusut kasus-kasus besar seperti korupsi di birokrasi yang terbukti merugikan rakyat banyak ketimbang memperkarakan kasus Faisal yang notabene justru mengemban misi perbaikan kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini perlu di lakukan agar supaya tidak muncul stigma di masyarakat bahwa aparat penegak hukum selama ini hanyalah menjadi “anjing penjaga” kepentingan penguasa di Pusat maupun di Daerah.


Harus Dilawan

Penahanan seorang Faisal harus dimaknai sebagai tindakan sewenang-wenang aparat penegak hukum terhadap warganya. Hukum yang seyogyanya berlaku secara sinergis mempertimbangkan aspek yuridis, filosifis dan sosiologis terbukti hanya mengedepankan pertimbangan kebenaran yuridis belaka. Seorang Faisal yang di tuduh melakukan pencemaran nama baik, seharusnya bebas demi hukum karena apa yang dituduhkan tujuh tahun lalu olehnya terbukti benar adanya. Terbukti benar karena mantan Gubernur Sjahriel Darham menjadi pesakitan sekarang. Karena itu wajar kalau rombongan aktivis, LSM dan tokoh-tokoh masyarakat berbondong-bondong menjenguk seorang Faisal di Teluk Dalam. Karena apa yang terjadi pada Faisal sebenarnya adalah miniatur kejadian yang bisa menimpa mereka juga. Rasa senasib dan seperjuangan inilah yang membuat mereka semua “bergerak” menyuarakan asipirasinya. Langkah ini harus dilakukan terus menerus untuk membuka mata hati dan menunjukkan pada semua orang bahwa perjuangan perlu di teruskan. Terjadinya kemungkaran dan kesewenang-wenangan khususnya yang dilakukan oleh penguasa harus dilawan. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW: “Siapa saja yang menyaksikan kemungkaran, hendaknya mengubahnya dengan tangan-nya. Jika tidak mampu, hendaknya dengan lisannya” (HR Muslim).

Berani karena benar, takut karena salah.***


*) Penulis warga Banjarmasin yang sekarang tinggal di Semarang

No comments: